Rabu, 23 Januari 2013

Dua Detik... ~story of cagni) by : Keep Reading and Jump

Mobil itu terus melaju, membelah jalanan kota Jakarta. Menerabas derasnya air hujan yang terus-menerus mengguyur bumi tanpa jeda. Bulir air hujan yang menetes pada kaca jendela mobil sama sekali tak membantu mendinginkan gejolak hati gadis−jika masih bisa disebut gadis dengan penampilannya yang menyerupai laki-laki−itu. Dia terus melipat tangan di depan dadanya. Sesekali melirik sinis seorang pemuda yang sebenarnya tampan−namun ia tak pernah menyadari−melalui ujung matanya lalu mendengus sebal. Berkali-kali. Terus-menerus. Gadis itu melakukannya berulang-ulang selama beberapa menit terakhir.

"Ya ampun Ag. Lo masih marah gara-gara tadi?" Akhirnya pemuda itu berujar, tak tahan dengan tatapan sinis seorang gadis yang duduk di sampingnya dan keheningan yang membelenggu setiap rongga udara di antara mereka.

Ia melambatkan laju mobil. Namun gadis itu masih bungkam, tetap bergeming.

Pemuda tersebut menghela nafas lelah. Memutar stir dan memarkirkannya di tepi jalan, di depan sebuah rumah bambu−semacam pos ronda−yang sepertinya sudah tak terpakai. Setelah mematikan mesin mobil, ia mengubah posisi duduknya mengahadap seorang gadis yang masih cemberut kesal.

"Agni." Ia memanggil lembut nama gadis di sampingnya. "Lo marah gara-gara tadi?"

Agni tetap bergeming. Kembali menciptakan hening yang menusuk. Hanya terdengar suara derum beberapa angkutan bermotor yang melewati jalanan tersebut dan suara tetesan hujan yang mengenai atap mobil. Terdengar bertalu-talu membentuk irama hujan.

"Ag. Ngomong dong."

Agni mendengus kesal dan menatap sinis pemuda di sampingnya. Sebuah senyum sinis khasnya dengan menyunggingkan sebelah bibir kanan menghiasi wajahnya.

"Maksud lo apa ngomong kalo gue cewek lo di depan wartawan-wartawan itu tadi?" Agni menjawab santai namun dengan nada membentak. "Lo pikir gue seneng? Lo kira lo itu cowok keren? Cowok ganteng? Yang bebas bicara seenak jidat lo? Hah! Gila lo!"

Pemuda itu terdiam, membiarkan Agni mengeluarkan semua amarahnya. Beberapa detik setelah Agni menyelesaikan kalimatnya, ia langsung mendekap gadis yang masih bernafas terputus-putus itu.

Agni terdiam beberapa saat. Tersadar. Ia mendorong dada pemuda yang mendekapnya erat tersebut. "Cakka!" Ia membentak pemuda tersebut. "Cari mati lo!" Agni memandang marah pemuda di depannya.

Cakka, pemuda tersebut memegang tangan Agni. Menggenggamnya erat. Ia balas menatap tatapan marah Agni, memandangnya dengan sorot mata lembut.

"Gue gak tau gue mau mati atau enggak. Tapi yang jelas, gue cinta sama lo. Gue ngaku-ngaku cowok lo karena gue gak mau kehilangan lo. Gue takut karena lo gak pernah nanggepin gue. Lo ngerti kan maksud gue?" Cakka menatap lembut Agni.

"Hah." Agni berujar sinis. "Cinta? Lo bilang cinta? Pemaksaan lo bilang cinta? Bullshit! Tau apa lo tentang cinta?"

Agni memalingkan wajah. Memandang bulir-bulir air hujan yang mengalir turun melalui kaca depan mobil yang sepertinya lebih menyenangkan untuk dipandang. "Asal lo tau. Gue gak pernah punya rasa suka, cinta, sayang, apapun itu namanya sama lo. Gue gak mau lo terlalu berharap. Ngerti lo?" Ia berujar pelan, namun perkataannya menghasilkan hening yang lebih mencekam.

Cakka terdiam beberapa saat. Mengangkat kedua tangannya. Memegang kedua pipi Agni, membawa untuk menghadapnya, menelusuri setiap lekuk wajah Agni dengan jari-jari tangan yang selalu indah di matanya. Ia mengangkat pelan dagu Agni supaya menatapnya. Lantas menatap dalam mata gadis itu. Entah apa yang ia pikirkan. Detik berikut ia mendekatkan wajahnya ke arah Agni, yang masih terdiam kaget dengan keadaan. Membuat kedua nafas yang terhembus saling beradu. Cakka sedikit memiringkan kepala. Sepersekian detik berikut kedua insan itu menghapus jarak yang membentang. Menahan desah nafas yang memburu. Menghentikan waktu yang berdetak. Memacu detak jantung berpacu cepat.

Dua detik singkat yang terasa begitu lama. Cakka tersadar, pipinya memerah, lantas menjauhkan kepala, menatap lembut kedua mata indah di hadapannya. "Apapun yang terjadi. Gue tetap sayang sama lo."

Agni terdiam, mencerna yang baru saja terjadi. Perlahan ia mengangkat tangan kanannya, menyentuh bibirnya yang terasa kebas. "Lo. Apa yang lo..." Ia tak dapat menyelesaikan kalimatnya.

"Gue serius dengan apa yang gue ucapkan. Gue gak maksa lo. Tapi gue mohon. Lo jangan benci gue." Cakka menghela nafas pelan. "Gue bakalan nunggu sampai lo mau. Gue akan selalu jagain lo."

Cakka tersenyum kecil. Mengacak pelan puncak kepala Agni. Lantas menghidupkan mesin mobil. Kembali melaju membelah jalanan Jakarta, menerabas tetesan hujan yang beranjak reda. Membiarkan Agni yang masih terdiam. Memberinya rongga untuk bernafas dengan beberapa kata yang masih melayang dalam pikirannya.

***

Agni melangkah pelan memasuki pintu depan rumah. Pikirannya masih kacau. Berbagai pertanyaan terus berputar dalam otaknya, meminta penjelasan. Ia menggeleng pelan. Relung-relung kosong dalam otaknya seakan terisi dengan kilasan kejadian tadi. “Haaahh...” Ia menghela nafas, lelah dengan pikirannya yang mendadak gila. Apa kejadian dua detik itu begitu berpengaruh sampai ia tak bisa menyingkirkan bayangan pemuda−yang menurutnya−berengsek itu.

***

Cinta. Begitu sederhana dengan makna yang selalu dipersulit. It's just simple. I love you.

***

Hal-hal baru dan segudang kegiatan kadang dapat melupakan sebagian memori yang sangat sulit dilupakan. Meskipun memori tersebut selalu menghantui pikiran setiap saat, tapi setidaknya adiktif memori itu tidak terlalu kuat.

Agni mencoba menjadi Agni yang biasanya. Meskipun perubahan-perubahan kecil sering terlihat. Ia mencoba untuk bersikap biasa pada pemuda itu, yang setiap hari selalu mencari perhatiannya. Ia juga mencoba untuk tetap tersenyum, meskipun rasanya sulit. Hanya saja ia tak mau menjawab beribu pertanyaan jika sikapnya mendadak berubah.

Suara gitar mengalun merdu pada beranda rumah bertingkat di salah satu perumahan di Jakarta. Dua sahabat yang sangat bertolak belakang sifat terlihat begitu kompak. Suara Acha mengalun lembut sesuai dengan kepribadiannya yang juga lembut, berpadu dengan iringan suara bas Agni sambil bermain gitar. Sebuah suara berat seorang pemuda menghentikan permainan mereka. Acha menatap senang pemuda tersebut, berbanding terbalik dengan Agni yang menatap jengah pemuda tersebut.

“Hai Kka! Ikut latihan yuk!” Acha berujar antusias. “Perasaan hampir tiap hari ya lo sekarang ke sini.”

Cakka tersenyum ramah, yang menurut Agni malah terlihat memuakkan.

“Ngapain lo ke sini?” Agni bertanya santai namun sinis. “Enek tau liat muka lo tiap hari.”

Acha menyikut pelan perut Agni. “Ih! Kok lo ngomongnya gitu sih.” Acha tersenyum sebentar pada Cakka, merasa tak enak dengan perkataan Agni. “Kalian kan biasanya kompak.”

“Itu dulu.” Agni berujar santai, dengan tangan yang terus memainkan asal gitar dalam pangkuannya.

Acha melotot kesal pada Agni. Sementara Cakka yang memang mengerti apa yang Agni pikirkan mencoba tersenyum santai. “Udah. Gak apa-apa kali.”

“Sory ya Kka. Si Agni kayaknya lagi kesambet. Duduk Kka, atau mau di dalem?” Acha mempersilakan Cakka bergabung dengan mereka.

Cakka hendak duduk ketika suara Agni kembali terdengar. Membuatnya kembali berdiri.

“Hari ini gue lagi gak nerima tamu cowok. Jadi bilang aja ada perlu apa lo ke sini?” Agni berujar ketus. Lelah dengan semua―yang ia anggap―basa-basi yang terjadi belakangan ini.

Cakka memandang Agni tajam. Tangannya mengepal. Nafasnya memburu cepat.

Agni membalas tatapan tajam pemuda tersebut. Tersenyum meremehkan. “Heh! Lo budek ya? Gue lagi gak nerima tamu cowok. Jadi lo ngomong aja. Ada perlu apa lo ke sini? Gue udah cape dengan semua basa-basi yang lo lakuin selama ini.” Agni kembali berujar, karena Cakka tak kunjung buka suara.

Cakka tersenyum sinis. Entah kenapa, sekarang ia seakan merasa lelah dengan kesabaran yang selama ini ia tunjukkan di hadapan Agni. “Heh!” Cakka sedikit membentak. “Lo punya hati gak sih? Gue datang baik-baik ke sini. Asal lo tau. Selama ini gue berusaha sabar ngadepin sikap kasar lo. Lo tau kenapa? Karena gue sayang sama lo. Bisa gak sih lo hargain perasaan gue dikit aja.” Cakka tersenyum sinis. Nada suaranya bergetar marah. “Ternyata selama ini gue bego. Udah jatuh cinta sama lo.”

Agni tertawa kecil. “Emang gue nyuruh lo suka sama gue? Bukannya lo sendiri yang bilang kalo lo cinta sama gue dan bakalan nunggu gue sampai gue mau? Terus ini yang lo bilang cinta? Hah! Gue udah bilang kan, gue gak percaya cinta.” Agni berusaha terlihat santai, meskipun pikirannya sedang kacau.

Cakka meninju kesal tiang rumah Agni. Ia membungkukan badannya. Mensejajarkan mulutnya dengan telinga Agni yang dalam posisi duduk. “Lo. Cewek berdarah dingin yang pernah gue temuin selama ini. Dan begonya, gue malah suka sama lo.” Cakka berbisik pelan. Terdengar seperti desisan marah.

Cakka tersenyum sinis. Lantas membalikkan badannya, meninggalkan kedua sahabat itu dalam keheningan yang terasa mencekam. Meninggalkan aroma kecanggungan pada setiap butir udara yang menguar. Acha terdiam dengan perasaan kecewanya pada Agni yang kali ini sikapnya terlalu kasar. Sementara Agni terdiam dengan pikirannya yang entah bagaimana. Ia sendiri bingung. Apakah ia menyesal atau puas dengan sikapnya tadi.

Cakka melajukan mobil dengan kecepatan maksimal. Sebenarnya ia tak tega berbicara sekasar itu pada Agni, gadis yang sangat ia cintai. Entah setan apa yang merasuki pikirannya sampai ia bisa berbicara separti itu. “Argh!” Cakka berteriak kesal pada dirinya sendiri, mengacak kasar rambut gondrongnya.

Mobil itu terus melaju dengan kecepatan tinggi. Meliuk melintasi setiap kendaraan yang lewat. Cakka menatap kosong ke depan. Pikirannya kacau. Ia memutar setir, berbalik arah. Kembali menuju kediaman Agni. Ia harus meminta maaf. Mobilnya kembali melaju cepat. Menerabas jalanan Jakarta.

Entah bagaimana kronologisnya. Kejadian itu berlangsung cepat. Separti kecepatan cahaya yang menembus kegelapan.

***



“Ag. Kali ini lo keterlaluan.” Acha berujar. Menggelengkan pelan kepalanya.

Agni tersenyum sarkatis. “Gue emang cewek berengsek,” katanya, lebih kepada diri sendiri. Sepertinya ia tak mendengar perkataan Acha. Ia berdiri, melangkah pelan memasuki rumah. Tepat ketika sampai di ambang pintu masuk, kakinya mendadak lemas. Ia terjatuh, menimpa gitar yang ia pegang.

Acha tergopoh menghampiri Agni. “Lo gak apa-apa?” tanyanya khawatir.

“Gak apa-apa.” Agni berdiri perlahan. Mengangkat gitar yang patah tertimpa tubuhnya. Deg! Agni merasakan degup jantungnya berdetak cepat. Ia menatap gitar tersebut. Ia teringat sesuatu, gitar itu pemberian Cakka ketika ulang tahunnya yang ke delapan belas tiga bulan lalu. Kilasan kenangan itu kembali berputar. Saat Cakka dengan muka senang memberinya gitar tersebut. Saat Cakka tertawa menggodanya. Saat Cakka selalu membela dirinya dalam situasi apapun. Saat kejadian di dalam mobil itu. Dan semua kejadian yang ia lewati bersama Cakka. Semuanya seolah terefleksi dengan jelas.

“Cakka.” Agni bergumam pelan.

Acha yang kebetulan ada di sampingnya menatap Agni tak mengerti. “Cakka? Cakka kenapa Ag?”

Belum sempat Agni menjawab, dering ponsel terdengar. Menjerit-jerit nyaring. Ia mengangkat ponselnya. “Halo,” katanya dengan suara yang sedikit bergetar.

“Halo. Apakah anda saudaranya Nak Cakka?” Terdengar suara dari seberang.

“Bukan. Saya temannya. Ada apa ya?”

“Saya menemukan nama kontak anda pada panggilan terakhir korban.”

Deg! “Ko-kor-ban? Maksudnya?” Agni bertanya bingung. Perasaan tak enak menghampiri dirinya. Dadanya mendadak sesak, seperti ada yang sengaja menghambat oksigen mengalir dalam tubuhnya.

“Mmm... Begini. Saudara Cakka kecelakaan. Dia tabrakan dengan sebuah truk. Kami membawanya ke Rumah Sakit Mutiara Kasih...” Lama-lama suara orang di seberang telepon terdengar samar.

Agni merasakan tangannya melemah. Ponsel yang ia pegang terjatuh, membentur lantai, pecah. “Dia kecelakaan. Dan gue baru saja membentaknya.” Agni merasakan kedua pelupuk matanya menghangat. Cairan bening itu bergulir turun, membasahi pipinya. Itulah pertama kalinya ia merasakan ketakutan yang begitu besar. Ia takut Cakka meninggalkannya.

Acha mendekap Agni yang kali ini terlihat begitu rapuh. “Cakka kenapa Ag?” Acha bertanya lirih di sela isakan Agni yang terdengar.

***

Setiap pertemuan selalu berakhir dengan perpisahan. Dan hampir setiap perpisahan selalu berakhir dengan tangisan. Takdir memang tidak bisa dihindari. Bukan takdir jika sesuatu itu bisa berubah. Karena pada kenyataannya manusia selalu kalah dengan takdir.

Pusara itu sudah sepi. Hanya seorang gadis berambut pendek yang masih di sana. Terus-menerus mengeluarkan air mata semenjak dari rumah sakit kemarin. Sesal dan rasa kehilangan itu terus menggelayuti. Seperti besi yang ditumpuk pada dadanya. Sesak. Ternyata merasa kehilangan itu menyakitkan. Sekarang ia mengerti kenapa dulu Acha menangis seperti itu. Berkali-kali ia minta maaf pada Cakka−yang tak lagi bisa mendengar perkataan maafnya−dan keluarganya, meskipun keluarga Cakka sama sekali tidak menyalahkannya.

Agni terduduk lemah. Menatap nanar pusara seseorang yang baru ia sadari ternyata begitu berharga. Air mata penyesalan dan kehilangan kembali keluar. Menerabas pelupuk mata, mengalir perlahan melalui pipi tirusnya.

“Maafin gue Kka. Gue udah bikin lo meninggal. Gue... gue... gak tau harus ngapain sekarang. Seandainya... seandainya gue sadar dari dulu... gue... gue cinta lo Kka.” Agni terisak pedih di sela perkatannya. Rasa sesak itu semakin menghimpit dadanya. “Maafin gue Kka... maafin gue. Gue nyesel... maafin gue.” Entah sudah berapa kata maaf yang keluar dari mulut gadis itu selama dua hari terakhir ini. “Apa yang harus gue lakuin... apa yang harus gue lakuin buat nebus kesalahan gue? Maafin gue Kka. Seandainya gue bisa nyusul lo, gue pengen terus sama lo Kka.” Agni terisak lebih keras. Ia menundukkan kepala, menyesali perkataannya dua hari lalu.

“Lo gak perlu nyusul gue.” Tiba-tiba terdengar suara berat di belakangnya.

Agni refleks membalikkan badan. Terlihat tubuh tegap seorang pemuda yang sangat ia rindukan, sosok yang ia sayangi. “Cakka.” Agni berkata lirih seraya tersenyum, menatap sosok itu dengan sorot kerinduan.

“Lo gak perlu nyusul gue. Karena kita memang ditakdirkan untuk selalu bersma.” Cakka berujar lembut disertai senyuman sendu.

Agni mengerutkan keningnya, bingung. “Maksudnya?”

Cakka tersenyum kaku. Ia beranjak menjauhi Agni, berjalan pelan menuju bagian lain makam. Agni memandangnya bingung. Ia berdiri, lantas beranjak mengikuti Cakka yang berjalan di depannya.

Mereka berhenti di depan sebuah pusara yang terlihat sangat baru, terlihat dari tanahnya yang merah seperti baru digali. Berbagai macam bunga segar menghiasi bagian atas pusara. Di samping pusara tersebut terlihat seorang wanita paruh baya yang menangis sedih, serta seorang gadis manis berambut panjang yang mencoba menenangkan wanita tadi.

Agni tercengang kaget, ia sangat hapal siapa mereka. Mereka adalah Ibu tercintanya, dan Acha sahabat terbaiknya. Ia masih berdiri kaku menatap nama yang tertera pada nisan di atas pusara tersebut.

Agni Nubuwati
Lahir 20-05-1993
Wafat 18-08-2011

Suasana seolah menjadi beku. Bersama angin yang mendadak mati. Sesuatu yang besar seolah menohok dirinya. Ia sangat tidak percaya kalau dirinya ternyata... dan perasaan itu tak bisa diungkapkan. Ia sendiri bingung harus bersikap apa. Haruskah ia sedih dengan kematinnya? Atau dia harus merasa bahagia? Yang ia tau hampir setiap kematian berkakhir dengan tangisan. Haruskah ia juga menangisi kematiannya sendiri?

“Lo meninggal tadi pagi dalam perjalanan ke sini, truk itu oleng dan nabrak mobil lo. Maafin gue, lo berniat jenguk gue, tapi malah bikin lo meninggal. Gue emang pengen bareng-bareng lo. Tapi bukan ini yang gue inginkan.” Suara berat Cakka terdengar di tengah keheningan.

Sunyi. Keheningan seolah ikut berpartisipasi di sore mendung hari itu. Bercampur bersama setiap pikiran yang berputar, mencari sumber kebenaran yang bisa menenangkan.

Agni tersenyum kecil, meskipun bukan senyum lega yang ia sunggingkan. Ia membalikkan badan menghadap Cakka yang masih mentapnya sendu. “Setidaknya masih ada hal baik yang terselip hari ini. Gue masih bisa terus besama lo.”

Cakka terdiam sesaat, lantas ikut tersenyum. Ia mengulurkan tangan meraih tangan Agni, mengajaknya bergandengan.

Langit jingga senja itu menguar. Tersenyum bersama matahari yang terbenam. Ia akan selalu menggu peristiwa esok sore yang akan terjadi, dan ia berjanji untuk terus menjadi saksi bisu setiap peristiwa bumi yang menghuninya.

***

Cinta itu indah jika bisa dirasakan. Cinta itu tetap indah meskipun tidak selalu berakhir indah. Cinta itu untuk semua.

***

TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar