Mobil
itu terus melaju, membelah jalanan kota Jakarta. Menerabas derasnya air
hujan yang terus-menerus mengguyur bumi tanpa jeda. Bulir air hujan
yang menetes pada kaca jendela mobil sama sekali tak membantu
mendinginkan gejolak hati gadis−jika masih bisa disebut gadis dengan
penampilannya yang menyerupai laki-laki−itu. Dia terus melipat tangan di
depan dadanya. Sesekali melirik sinis seorang pemuda yang sebenarnya
tampan−namun ia tak pernah menyadari−melalui ujung matanya lalu
mendengus sebal. Berkali-kali. Terus-menerus. Gadis itu melakukannya
berulang-ulang selama beberapa menit terakhir.
"Ya
ampun Ag. Lo masih marah gara-gara tadi?" Akhirnya pemuda itu berujar,
tak tahan dengan tatapan sinis seorang gadis yang duduk di sampingnya
dan keheningan yang membelenggu setiap rongga udara di antara mereka.
Ia melambatkan laju mobil. Namun gadis itu masih bungkam, tetap bergeming.
Pemuda
tersebut menghela nafas lelah. Memutar stir dan memarkirkannya di tepi
jalan, di depan sebuah rumah bambu−semacam pos ronda−yang sepertinya
sudah tak terpakai. Setelah mematikan mesin mobil, ia mengubah posisi
duduknya mengahadap seorang gadis yang masih cemberut kesal.
"Agni." Ia memanggil lembut nama gadis di sampingnya. "Lo marah gara-gara tadi?"
Agni
tetap bergeming. Kembali menciptakan hening yang menusuk. Hanya
terdengar suara derum beberapa angkutan bermotor yang melewati jalanan
tersebut dan suara tetesan hujan yang mengenai atap mobil. Terdengar
bertalu-talu membentuk irama hujan.
"Ag. Ngomong dong."
Agni
mendengus kesal dan menatap sinis pemuda di sampingnya. Sebuah senyum
sinis khasnya dengan menyunggingkan sebelah bibir kanan menghiasi
wajahnya.
"Maksud
lo apa ngomong kalo gue cewek lo di depan wartawan-wartawan itu tadi?"
Agni menjawab santai namun dengan nada membentak. "Lo pikir gue seneng?
Lo kira lo itu cowok keren? Cowok ganteng? Yang bebas bicara seenak
jidat lo? Hah! Gila lo!"
Pemuda
itu terdiam, membiarkan Agni mengeluarkan semua amarahnya. Beberapa
detik setelah Agni menyelesaikan kalimatnya, ia langsung mendekap gadis
yang masih bernafas terputus-putus itu.
Agni
terdiam beberapa saat. Tersadar. Ia mendorong dada pemuda yang
mendekapnya erat tersebut. "Cakka!" Ia membentak pemuda tersebut. "Cari
mati lo!" Agni memandang marah pemuda di depannya.
Cakka,
pemuda tersebut memegang tangan Agni. Menggenggamnya erat. Ia balas
menatap tatapan marah Agni, memandangnya dengan sorot mata lembut.
"Gue
gak tau gue mau mati atau enggak. Tapi yang jelas, gue cinta sama lo.
Gue ngaku-ngaku cowok lo karena gue gak mau kehilangan lo. Gue takut
karena lo gak pernah nanggepin gue. Lo ngerti kan maksud gue?" Cakka
menatap lembut Agni.
"Hah." Agni berujar sinis. "Cinta? Lo bilang cinta? Pemaksaan lo bilang cinta? Bullshit! Tau apa lo tentang cinta?"
Agni
memalingkan wajah. Memandang bulir-bulir air hujan yang mengalir turun
melalui kaca depan mobil yang sepertinya lebih menyenangkan untuk
dipandang. "Asal lo tau. Gue gak pernah punya rasa suka, cinta, sayang,
apapun itu namanya sama lo. Gue gak mau lo terlalu berharap. Ngerti lo?"
Ia berujar pelan, namun perkataannya menghasilkan hening yang lebih
mencekam.
Cakka
terdiam beberapa saat. Mengangkat kedua tangannya. Memegang kedua pipi
Agni, membawa untuk menghadapnya, menelusuri setiap lekuk wajah Agni
dengan jari-jari tangan yang selalu indah di matanya. Ia mengangkat
pelan dagu Agni supaya menatapnya. Lantas menatap dalam mata gadis itu.
Entah apa yang ia pikirkan. Detik berikut ia mendekatkan wajahnya ke
arah Agni, yang masih terdiam kaget dengan keadaan. Membuat kedua nafas
yang terhembus saling beradu. Cakka sedikit memiringkan kepala.
Sepersekian detik berikut kedua insan itu menghapus jarak yang
membentang. Menahan desah nafas yang memburu. Menghentikan waktu yang
berdetak. Memacu detak jantung berpacu cepat.
Dua
detik singkat yang terasa begitu lama. Cakka tersadar, pipinya memerah,
lantas menjauhkan kepala, menatap lembut kedua mata indah di
hadapannya. "Apapun yang terjadi. Gue tetap sayang sama lo."
Agni
terdiam, mencerna yang baru saja terjadi. Perlahan ia mengangkat tangan
kanannya, menyentuh bibirnya yang terasa kebas. "Lo. Apa yang lo..." Ia
tak dapat menyelesaikan kalimatnya.
"Gue
serius dengan apa yang gue ucapkan. Gue gak maksa lo. Tapi gue mohon.
Lo jangan benci gue." Cakka menghela nafas pelan. "Gue bakalan nunggu
sampai lo mau. Gue akan selalu jagain lo."
Cakka
tersenyum kecil. Mengacak pelan puncak kepala Agni. Lantas menghidupkan
mesin mobil. Kembali melaju membelah jalanan Jakarta, menerabas tetesan
hujan yang beranjak reda. Membiarkan Agni yang masih terdiam.
Memberinya rongga untuk bernafas dengan beberapa kata yang masih
melayang dalam pikirannya.
***
Agni
melangkah pelan memasuki pintu depan rumah. Pikirannya masih kacau.
Berbagai pertanyaan terus berputar dalam otaknya, meminta penjelasan. Ia
menggeleng pelan. Relung-relung kosong dalam otaknya seakan terisi
dengan kilasan kejadian tadi. “Haaahh...” Ia menghela nafas, lelah
dengan pikirannya yang mendadak gila. Apa kejadian dua detik itu begitu
berpengaruh sampai ia tak bisa menyingkirkan bayangan pemuda−yang
menurutnya−berengsek itu.
***
Cinta. Begitu sederhana dengan makna yang selalu dipersulit. It's just simple. I love you.
***
Hal-hal
baru dan segudang kegiatan kadang dapat melupakan sebagian memori yang
sangat sulit dilupakan. Meskipun memori tersebut selalu menghantui
pikiran setiap saat, tapi setidaknya adiktif memori itu tidak terlalu
kuat.
Agni
mencoba menjadi Agni yang biasanya. Meskipun perubahan-perubahan kecil
sering terlihat. Ia mencoba untuk bersikap biasa pada pemuda itu, yang
setiap hari selalu mencari perhatiannya. Ia juga mencoba untuk tetap
tersenyum, meskipun rasanya sulit. Hanya saja ia tak mau menjawab beribu
pertanyaan jika sikapnya mendadak berubah.
Suara
gitar mengalun merdu pada beranda rumah bertingkat di salah satu
perumahan di Jakarta. Dua sahabat yang sangat bertolak belakang sifat
terlihat begitu kompak. Suara Acha mengalun lembut sesuai dengan
kepribadiannya yang juga lembut, berpadu dengan iringan suara bas Agni
sambil bermain gitar. Sebuah suara berat seorang pemuda menghentikan
permainan mereka. Acha menatap senang pemuda tersebut, berbanding
terbalik dengan Agni yang menatap jengah pemuda tersebut.
“Hai Kka! Ikut latihan yuk!” Acha berujar antusias. “Perasaan hampir tiap hari ya lo sekarang ke sini.”
Cakka tersenyum ramah, yang menurut Agni malah terlihat memuakkan.
“Ngapain lo ke sini?” Agni bertanya santai namun sinis. “Enek tau liat muka lo tiap hari.”
Acha
menyikut pelan perut Agni. “Ih! Kok lo ngomongnya gitu sih.” Acha
tersenyum sebentar pada Cakka, merasa tak enak dengan perkataan Agni.
“Kalian kan biasanya kompak.”
“Itu dulu.” Agni berujar santai, dengan tangan yang terus memainkan asal gitar dalam pangkuannya.
Acha
melotot kesal pada Agni. Sementara Cakka yang memang mengerti apa yang
Agni pikirkan mencoba tersenyum santai. “Udah. Gak apa-apa kali.”
“Sory ya Kka. Si Agni kayaknya lagi kesambet. Duduk Kka, atau mau di dalem?” Acha mempersilakan Cakka bergabung dengan mereka.
Cakka hendak duduk ketika suara Agni kembali terdengar. Membuatnya kembali berdiri.
“Hari
ini gue lagi gak nerima tamu cowok. Jadi bilang aja ada perlu apa lo ke
sini?” Agni berujar ketus. Lelah dengan semua―yang ia anggap―basa-basi
yang terjadi belakangan ini.
Cakka memandang Agni tajam. Tangannya mengepal. Nafasnya memburu cepat.
Agni
membalas tatapan tajam pemuda tersebut. Tersenyum meremehkan. “Heh! Lo
budek ya? Gue lagi gak nerima tamu cowok. Jadi lo ngomong aja. Ada perlu
apa lo ke sini? Gue udah cape dengan semua basa-basi yang lo lakuin
selama ini.” Agni kembali berujar, karena Cakka tak kunjung buka suara.
Cakka
tersenyum sinis. Entah kenapa, sekarang ia seakan merasa lelah dengan
kesabaran yang selama ini ia tunjukkan di hadapan Agni. “Heh!” Cakka
sedikit membentak. “Lo punya hati gak sih? Gue datang baik-baik ke sini.
Asal lo tau. Selama ini gue berusaha sabar ngadepin sikap kasar lo. Lo
tau kenapa? Karena gue sayang sama lo. Bisa gak sih lo hargain perasaan
gue dikit aja.” Cakka tersenyum sinis. Nada suaranya bergetar marah.
“Ternyata selama ini gue bego. Udah jatuh cinta sama lo.”
Agni
tertawa kecil. “Emang gue nyuruh lo suka sama gue? Bukannya lo sendiri
yang bilang kalo lo cinta sama gue dan bakalan nunggu gue sampai gue
mau? Terus ini yang lo bilang cinta? Hah! Gue udah bilang kan, gue gak
percaya cinta.” Agni berusaha terlihat santai, meskipun pikirannya
sedang kacau.
Cakka
meninju kesal tiang rumah Agni. Ia membungkukan badannya. Mensejajarkan
mulutnya dengan telinga Agni yang dalam posisi duduk. “Lo. Cewek
berdarah dingin yang pernah gue temuin selama ini. Dan begonya, gue
malah suka sama lo.” Cakka berbisik pelan. Terdengar seperti desisan
marah.
Cakka
tersenyum sinis. Lantas membalikkan badannya, meninggalkan kedua
sahabat itu dalam keheningan yang terasa mencekam. Meninggalkan aroma
kecanggungan pada setiap butir udara yang menguar. Acha terdiam dengan
perasaan kecewanya pada Agni yang kali ini sikapnya terlalu kasar.
Sementara Agni terdiam dengan pikirannya yang entah bagaimana. Ia
sendiri bingung. Apakah ia menyesal atau puas dengan sikapnya tadi.
Cakka
melajukan mobil dengan kecepatan maksimal. Sebenarnya ia tak tega
berbicara sekasar itu pada Agni, gadis yang sangat ia cintai. Entah
setan apa yang merasuki pikirannya sampai ia bisa berbicara separti itu.
“Argh!” Cakka berteriak kesal pada dirinya sendiri, mengacak kasar
rambut gondrongnya.
Mobil
itu terus melaju dengan kecepatan tinggi. Meliuk melintasi setiap
kendaraan yang lewat. Cakka menatap kosong ke depan. Pikirannya kacau.
Ia memutar setir, berbalik arah. Kembali menuju kediaman Agni. Ia harus
meminta maaf. Mobilnya kembali melaju cepat. Menerabas jalanan Jakarta.
Entah bagaimana kronologisnya. Kejadian itu berlangsung cepat. Separti kecepatan cahaya yang menembus kegelapan.
***
“Ag. Kali ini lo keterlaluan.” Acha berujar. Menggelengkan pelan kepalanya.
Agni
tersenyum sarkatis. “Gue emang cewek berengsek,” katanya, lebih kepada
diri sendiri. Sepertinya ia tak mendengar perkataan Acha. Ia berdiri,
melangkah pelan memasuki rumah. Tepat ketika sampai di ambang pintu
masuk, kakinya mendadak lemas. Ia terjatuh, menimpa gitar yang ia
pegang.
Acha tergopoh menghampiri Agni. “Lo gak apa-apa?” tanyanya khawatir.
“Gak
apa-apa.” Agni berdiri perlahan. Mengangkat gitar yang patah tertimpa
tubuhnya. Deg! Agni merasakan degup jantungnya berdetak cepat. Ia
menatap gitar tersebut. Ia teringat sesuatu, gitar itu pemberian Cakka
ketika ulang tahunnya yang ke delapan belas tiga bulan lalu. Kilasan
kenangan itu kembali berputar. Saat Cakka dengan muka senang memberinya
gitar tersebut. Saat Cakka tertawa menggodanya. Saat Cakka selalu
membela dirinya dalam situasi apapun. Saat kejadian di dalam mobil itu.
Dan semua kejadian yang ia lewati bersama Cakka. Semuanya seolah
terefleksi dengan jelas.
“Cakka.” Agni bergumam pelan.
Acha yang kebetulan ada di sampingnya menatap Agni tak mengerti. “Cakka? Cakka kenapa Ag?”
Belum
sempat Agni menjawab, dering ponsel terdengar. Menjerit-jerit nyaring.
Ia mengangkat ponselnya. “Halo,” katanya dengan suara yang sedikit
bergetar.
“Halo. Apakah anda saudaranya Nak Cakka?” Terdengar suara dari seberang.
“Bukan. Saya temannya. Ada apa ya?”
“Saya menemukan nama kontak anda pada panggilan terakhir korban.”
Deg!
“Ko-kor-ban? Maksudnya?” Agni bertanya bingung. Perasaan tak enak
menghampiri dirinya. Dadanya mendadak sesak, seperti ada yang sengaja
menghambat oksigen mengalir dalam tubuhnya.
“Mmm...
Begini. Saudara Cakka kecelakaan. Dia tabrakan dengan sebuah truk. Kami
membawanya ke Rumah Sakit Mutiara Kasih...” Lama-lama suara orang di
seberang telepon terdengar samar.
Agni
merasakan tangannya melemah. Ponsel yang ia pegang terjatuh, membentur
lantai, pecah. “Dia kecelakaan. Dan gue baru saja membentaknya.” Agni
merasakan kedua pelupuk matanya menghangat. Cairan bening itu bergulir
turun, membasahi pipinya. Itulah pertama kalinya ia merasakan ketakutan
yang begitu besar. Ia takut Cakka meninggalkannya.
Acha
mendekap Agni yang kali ini terlihat begitu rapuh. “Cakka kenapa Ag?”
Acha bertanya lirih di sela isakan Agni yang terdengar.
***
Setiap
pertemuan selalu berakhir dengan perpisahan. Dan hampir setiap
perpisahan selalu berakhir dengan tangisan. Takdir memang tidak bisa
dihindari. Bukan takdir jika sesuatu itu bisa berubah. Karena pada
kenyataannya manusia selalu kalah dengan takdir.
Pusara
itu sudah sepi. Hanya seorang gadis berambut pendek yang masih di sana.
Terus-menerus mengeluarkan air mata semenjak dari rumah sakit kemarin.
Sesal dan rasa kehilangan itu terus menggelayuti. Seperti besi yang
ditumpuk pada dadanya. Sesak. Ternyata merasa kehilangan itu
menyakitkan. Sekarang ia mengerti kenapa dulu Acha menangis seperti itu.
Berkali-kali ia minta maaf pada Cakka−yang tak lagi bisa mendengar
perkataan maafnya−dan keluarganya, meskipun keluarga Cakka sama sekali
tidak menyalahkannya.
Agni
terduduk lemah. Menatap nanar pusara seseorang yang baru ia sadari
ternyata begitu berharga. Air mata penyesalan dan kehilangan kembali
keluar. Menerabas pelupuk mata, mengalir perlahan melalui pipi tirusnya.
“Maafin
gue Kka. Gue udah bikin lo meninggal. Gue... gue... gak tau harus
ngapain sekarang. Seandainya... seandainya gue sadar dari dulu... gue...
gue cinta lo Kka.” Agni terisak pedih di sela perkatannya. Rasa sesak
itu semakin menghimpit dadanya. “Maafin gue Kka... maafin gue. Gue
nyesel... maafin gue.” Entah sudah berapa kata maaf yang keluar dari
mulut gadis itu selama dua hari terakhir ini. “Apa yang harus gue
lakuin... apa yang harus gue lakuin buat nebus kesalahan gue? Maafin gue
Kka. Seandainya gue bisa nyusul lo, gue pengen terus sama lo Kka.” Agni
terisak lebih keras. Ia menundukkan kepala, menyesali perkataannya dua
hari lalu.
“Lo gak perlu nyusul gue.” Tiba-tiba terdengar suara berat di belakangnya.
Agni
refleks membalikkan badan. Terlihat tubuh tegap seorang pemuda yang
sangat ia rindukan, sosok yang ia sayangi. “Cakka.” Agni berkata lirih
seraya tersenyum, menatap sosok itu dengan sorot kerinduan.
“Lo gak perlu nyusul gue. Karena kita memang ditakdirkan untuk selalu bersma.” Cakka berujar lembut disertai senyuman sendu.
Agni mengerutkan keningnya, bingung. “Maksudnya?”
Cakka
tersenyum kaku. Ia beranjak menjauhi Agni, berjalan pelan menuju bagian
lain makam. Agni memandangnya bingung. Ia berdiri, lantas beranjak
mengikuti Cakka yang berjalan di depannya.
Mereka
berhenti di depan sebuah pusara yang terlihat sangat baru, terlihat
dari tanahnya yang merah seperti baru digali. Berbagai macam bunga segar
menghiasi bagian atas pusara. Di samping pusara tersebut terlihat
seorang wanita paruh baya yang menangis sedih, serta seorang gadis manis
berambut panjang yang mencoba menenangkan wanita tadi.
Agni
tercengang kaget, ia sangat hapal siapa mereka. Mereka adalah Ibu
tercintanya, dan Acha sahabat terbaiknya. Ia masih berdiri kaku menatap
nama yang tertera pada nisan di atas pusara tersebut.
Agni Nubuwati
Lahir 20-05-1993
Wafat 18-08-2011
Suasana
seolah menjadi beku. Bersama angin yang mendadak mati. Sesuatu yang
besar seolah menohok dirinya. Ia sangat tidak percaya kalau dirinya
ternyata... dan perasaan itu tak bisa diungkapkan. Ia sendiri bingung
harus bersikap apa. Haruskah ia sedih dengan kematinnya? Atau dia harus
merasa bahagia? Yang ia tau hampir setiap kematian berkakhir dengan
tangisan. Haruskah ia juga menangisi kematiannya sendiri?
“Lo
meninggal tadi pagi dalam perjalanan ke sini, truk itu oleng dan nabrak
mobil lo. Maafin gue, lo berniat jenguk gue, tapi malah bikin lo
meninggal. Gue emang pengen bareng-bareng lo. Tapi bukan ini yang gue
inginkan.” Suara berat Cakka terdengar di tengah keheningan.
Sunyi.
Keheningan seolah ikut berpartisipasi di sore mendung hari itu.
Bercampur bersama setiap pikiran yang berputar, mencari sumber kebenaran
yang bisa menenangkan.
Agni
tersenyum kecil, meskipun bukan senyum lega yang ia sunggingkan. Ia
membalikkan badan menghadap Cakka yang masih mentapnya sendu.
“Setidaknya masih ada hal baik yang terselip hari ini. Gue masih bisa
terus besama lo.”
Cakka terdiam sesaat, lantas ikut tersenyum. Ia mengulurkan tangan meraih tangan Agni, mengajaknya bergandengan.
Langit
jingga senja itu menguar. Tersenyum bersama matahari yang terbenam. Ia
akan selalu menggu peristiwa esok sore yang akan terjadi, dan ia
berjanji untuk terus menjadi saksi bisu setiap peristiwa bumi yang
menghuninya.
***
Cinta itu indah jika bisa dirasakan. Cinta itu tetap indah meskipun tidak selalu berakhir indah. Cinta itu untuk semua.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar