Selasa, 21 Agustus 2012

Tersenyumlah ~ Cerita Cagni


~~
Pagi hari di kelas 10.IPA SMA Pelita Harapan, seorang cewek merenung sendiri di bangkunya. Ia menghabiskan waktu paginya di kelas, memandang halaman sekolah yang pagi itu ramai oleh beberapa anak yang bermain basket dan beberapa anak murid ataupun guru yang lewat. Di pinggir lapangan terlihat beberapa anak cheers sedang cari perhatian kepada anak-anak basket yang sedang bermain. Dan begitu juga dengan para anak basket yang bermain, beberapa dari mereka juga sibuk cari-cari pandang ke kumpulan anak cheers di pinggir lapangan.
Cewek yang sedang merenung di bangku kelasnya itu mendesah pelan. Namanya adalah Agni, dan ia sering menganggap hari-harinya itu sia-sia. Ia menderita penyakit sirosis, dan penyakit itu membuat masa hidupnya akan berakhir tidak lama lagi. “Kenapa hidup kita perlu diperjuangkan kalau kita sudah pasti nggak akan punya masa depan?” pernyataan itu yang selama ini membayang-bayang di pikiran Agni. Maka setiap hari-harinya selalu dijalani dengan muka lesu, tidak bergairah, dan kadang dirinya terlihat agak cuek. Karena tampang cueknya jarang anak yang mau dekat dengannya. Namun Agni sendiri tidak menyesal akan semua itu. Ia hanya perlu memikirkan pernyataan yang terus terbayang di pikirannya lagi, bahwa hidup yang ia jalani ini tidak ada artinya.
Namun itu semua berakhir ketika anak baru datang ke sekolahnya. Kebetulan anak baru itu mendapat tempat duduk di sampingnya. Dan anak baru itu entah kenapa sangat tertarik padanya dan selalu berusaha mendekatinya. Nama anak baru itu adalah Cakka. Agni sendiri tidak tau kenapa Cakka selau perhatian padanya, apa mungkin Cakka menyukai Agni?, rasanya tidak. Agni juga melihat Cakka hanya sebagai teman sekelas saja. Cakka lumayan ganteng sih, bahkan mungkin sangat ganteng. Sejak dia datang, kumpulan anak cheers yang sering cari perhatian kepada anak basket di lapangan itu mulai mencoba mendekati Cakka. Tapi kecakapan Cakka itu tidak ada pengaruhnya terhadap Agni, ia malah merasa tingkah Cakka itu sangat mengganggu.
Setelah lama berpikir, Agni menyimpulkan mungkin penyebab Cakka tertarik kepada Agni adalah penyakitnya. Agni memang selalu menutupi penyakitnya dari anak-anak sekolah. Tidak ada alasan pasti, Agni hanya ingin hidupnya berjalan seperti itu. Namun minggu kemarin, Agni dan Cakka tidak sengaja bertemu di rumah sakit. Cakka melihat Agni sedang membayar biaya pengobatan bulanan bersama mamanya, dan mamanya Agni secara panjang lebar menceritakan tentang penyakit Agni itu. Sementara Agni sendiri hanya bisa bersandar di dinding rumah sakit, memandang mamanya dengan raut muka sebal karena telah membongkar segala sesuatu tentang dirinya yang telah ia sembunyikan selama ini.
Pagi hari ini Agni melihat Zaga, teman sekelasnya yang merupakan cowok yang emosian ikut dalam pertandingan basket melawan kelas sebelah. Zaga sibuk bermain sendiri dan memperlihatkan kehebatan dirinya. Namun ketika Rangga, anak cowok kelas sebelah merebut bola basket dari tangannya Zaga langsung marah dan mendorong Rangga ke depan dengan segala kekuatan yang ia miliki. Zaga sudah berpikiran kalau Rangga sengaja merebut bola untuk menjatuhkan dirinya dan mengambil alih bola itu sendiri dan berusaha pamer keahlian. Padahal Rangga merebut bola itu karena mereka memang sedang bermain dan itu fair-fair aja kok. Sayang, Zaga orangnya tidak suka pikir panjang. Ketika ia mendorong Rangga, kakinya menendang kaki kanan Rangga, dan Rangga jatuh dengan hantaman keras di bahunya. Teman-teman sekelas Rangga tidak terima Rangga diperlakukan seperti itu, dan seperti yang sudah Agni reka-reka, mereka semua terpancing oleh emosi dan terjadilah kericuhan dilapangan itu.
“Huft… payah..” keluh Agni pelan. Sebenarnya Agni sangat jago bermain basket. Ia tau cara bermain basket dengan baik dan benar dan bisa melakukan hampir semua trik dengan sempurna. Dan tentu saja ia tidak terlalu suka Zaga yang cuma bisa pamer, padahal tak semua trik yang ia lakukan itu benar.
“Huft… ricuh lagi yah?”
Agni terlonjak kaget. Ada seseorang yang tiba-tiba menepuk pundaknya dan membalas anggapannya itu. Ketika ia berbalik, raut mukanya langsung tambah bĂȘte. Lagi-lagi Cakka yang mengagetkannya. Cakka sedang duduk santai menghadap kepadanya dengan tangan kiri di atas meja dan tangan kanan di senderan bangkunya. Keadaan ini memang sering terjadi di 5 hari terakhir, dan ini merupakan ketujuh kalinya ia kaget gara-gara Cakka.
“Mau ngapain sih lo? Kurang kerjaan banget” kata Agni dengan nada malas.
“Yah… cuma mau say hai aja kok. Lagi lo diem mulu sih disini… nggak bosen apa? kata mama lo, lo jago main basket. Nggak mau ikut main sama anak-anak cowok di lapangan? Sekalian gantiin Zaga.. dia nggak bisa apa-apa tau, cuma bikin ricuh” balas Cakka.
“Nggak ah. Males” balas Agni cuek.
“Kenapa?” tanya Cakka lagi.
“Ya… males aja. Lo ngapain nanyain kayak gituan sih?… ngakk ada kerjaan banget”
“Ck.. Nanya aja sih… tapi lo males main bukan gara-gara penyakit lo kan?”
“Cak, lo diem aja ngapa?… gue males ngomongin hal itu…”
“Iya deh…”
Akhirnya Cakka berdiri dan berniat keluar kelas. “Gue ke lapangan ya. Mau ngelerai perkelahian” katanya.
“Alah! Sok jadi Hero, lo!” seru Arin ke Cakka yang sudah di pertengahan pintu.
“Emang gue Hero sih… jadi, mau gimana lagi?… He he..”
“Hih! Dasar narsis!” Arin melemparkan penghapusnya ke muka Cakka. Cakka segera menghindar dan lemparan itu meleset.
“Eits!.. Nggak kena! Ha ha!”
Selanjutnya Cakka kabur dari Agni dan lari ke lapangan. Agni yang sudah capek dengan tingkah Cakka tidak mau membuang tenaganya lagi hanya untuk mengejar anak yang menurutnya sangat mengganggu itu. Ia mengambil penghapusnya dan kembali duduk di bangku kelasnya.
Kriiiing….
Bel pulang sekolah berbunyi. Tidak seperti biasanya, anak-anak yang seharusnya berseru ketika mendengar bel pulang sekarang harus mengeluh karena cuaca yang sedang tidak ramah siang ini. Pagi-pagi sudah cerah, tapi mengapa tiba-tiba di siang hari harus hujan?. Kebanyakan anak tidak membawa payung, maka mereka yang tidak mau bajunya basah harus menunggu di sekolah. Para siswi yang kaya sibuk menelepon supir mereka untuk menjemput cepat-cepat, karena mood mereka sudah tidak enak lagi kalau dibawa ke mal untuk shoping. Beberapa anak yang membawa payung harus rela payungnya dipinjam oleh teman-temannya, dan beberapa dari mereka harus berdempet-dempetan, namun pada akhirnya baju mereka akan tetap basah. Beberapa anak tertutama anak-anak cowok malah nekat hujan-hujanan, mungkin mereka malah akan menganggap ini sebagai permainan.
Saat keluar kelas, Agni tidak langsung turun ke lantai bawah. Ia menyempatkan diri bersandar di balkon koridor lantai 3 dan memandang lapangan sekolah. Cakka yang baru saja keluar langsung menghampiri Agni dan bersandar di balkon sebelahnya.
“Nggak bawa payung ya?” tanya Cakka tanpa memandang Agni.
Agni melirik Cakka sebentar, lalu ia kembali memandang lapangan. “Bukan urusan lo” balas Agni singkat.
“Pulang naik apa?” tanya Cakka lagi.
“Paling jemputan”
“Oo… Nggak butuh payung?”
“hh..” Agni tidak menjawab pertanyaan Cakka. Ia melihat langit yang tadinya biru menjadi putih pucat. “..Gue bisa pulang sendiri kok”
Cakka mengangguk. “Oke..” Lalu ia pergi meninggalkan Agni tanpa memandangnya sama sekali.
Sudah hampir satu jam Agni menunggu jemputannya di lobi sekolah, namun jemputannya tak urung datang. Agni yang sudah bosan pun segera meraih hp nya dari kantong dan menghubungi supirnya.
“Halo… Pak, kapan nyampenya?…” tanya Agni.
“Eh… maaf, Non. Macet banget nih. Kayaknya saya nggak bisa jemput non, nanti kemaleman. Mungkin lebih baik non pulang sendiri… bensin mobilnya juga sebentar lagi mau abis nih…”
“Yah… kok mendadak gitu sih, Pak?” Agni nggak terima. Dia sudah mondar-mandir di lobi hampir satu jam dan ternyata ia harus pulang sendiri. Apalagi uang sakunya hari ini terbatas.
“Maaf, Non..”
Nit*
“Anjrit!!… pulsa gue abis!.. Ah Elaaah” Agni lagi-lagi mengeluh. Sepertinya ini bukan harinya. Namun ia tidak bisa mengeluh lagi, sudah tidak ada orang di sini. Lebih baik ia segera naik bis yang lewat, tidak usah memikirkan bis itu penuh atau tidak.
5 menit kemudian, Agni melihat ada bis yang lewat dari kejauhan. Ia segera berlari keluar dari lobi dan berseru ke kenek bis itu.
“Bang!… Akasia!…” seru Agni. Ia menyebutkan nama komplek perumahan tempat dia tinggal.
“Nggak bisa, Neng!… mau muter!…” seru kenek bis itu.
“Hah?” Agni tidak percaya. Another bad luck at today?
“Sori, Neng!…”
Dan bis beserta kenek dan pengemudinya itu hanya melewatinya begitu saja. Agni sangat hopeless sekarang. Bajunya kini basah kuyup dan ia sudah merasa kedinginan. Kondisi tubuhnya yang memang tidak sekuat anak lain membuat dirinya lebih cepat merasa dingin.
“Uhuk!!…” Ia terbatuk. Dan ketika ia melihat telapak tangannya yang digunakan untuk menutup mulutnya, telapak tangan itu penuh dengan darah. Agni segera menghapus darahnya dengan terpaan air hujan dari atas. Bibirnya juga ia basahi agar noda darahnya tersamar. Agni mengusap-usap lengannya. Udara semakin dingin, sementara ia tidak mempunyai apa-apa. Hanya sifat cueknya yang berusaha mengabaikan semua derita fisik yang diam-diam menyakitinya.
Namun tiba-tiba Agni tidak merasakan air hujan jatuh di kepalanya lagi. Tubuhnya mulai menghangat, ia berbalik dan Cakka sudah ada di depannya.
“Ngapain lo di sini?” tanya Agni.
Cakka tersenyum. “Cuma mau nawarin payung… atau lo nggak butuh payung, karena lo bisa…”
“Jangan!..” Agni mencegah Cakka yang sudah ingin menjauhkan payung itu dari sisi Agni. “Gue… gue butuh payung..” jawab Agni pelan.
Cakka mengangguk sambil tersenyum. Tak lama kemudian datang satu taksi dan Cakka menghentikan taksi itu tepat di samping Agni. Cakka menggeser Agni kesamping dengan pelan, lalu Ia membuka pintu tengah taksi itu. Agni mengerti akan maksud Cakka yang ingin mempersilahkan Agni masuk. Namun Agni ragu untuk naik.
“Gue nggak… Uang gue nggak cukup” kata Agni apa adanya.
“Lo masuk aja…” kata Cakka. “Gue yang bayar”
Akhirnya Agni pun masuk ke taksi. Setelah Cakka menutup pintu taksi tempat Agni masuk, ia masuk lewat pintu tengah di sisi lainnya, dan taksi pun mulai melaju di jalanan yang masih diguyur hujan itu.
“Rumah lo di mana?” tanya Cakka sambil memasukan payungnya ke dalam kantong plastik yang ia bawa.
“Komplek perumahan Akasia” jawab Agni.
Lalu Cakka berkata ke supir taksi yang duduk di depannya. “Ke Akasia, Pak”
“Siap, Bos” balas supir taksi yang masih muda itu.
Taksi pun melewati beberapa belokan. Di dalam taksi, keadaan masih sedikit sepi. Agni, Cakka, maupun supir taksi itu tidak ada yang berbicara, hingga akhirnya Cakka lah yang harus mencairkan suasana.
“Tadi lo bilang, lo bisa pulang sendiri… kenapa tadi lo masih di sekolah, Ag?” tanya Cakka.
“Jemputan gue stuck di jalan… mobilnya nggak bisa gerak” jawab Agni dengan nada datar. “Lo sendiri… kok nggak pulang dari tadi?… lo kan punya payung” tanya Agni.
“Em… tadi gue makan siang dulu di kantin. Terus ketemu elo lagi diguyur ujan… kasian aja.. ha ha”
“Eh iya, lo udah makan belum?” tanya Cakka lagi.
“Belom”
“Belom?… kalo gitu kita mampir ke resto aja dulu.. bentar lagi kita ngelewatin kok…” kata Cakka memberi usul.
“Nggak usah deh..”
“Jangan bilang ‘Nggak usah’… nanti lo sakit-lagi.. Lo kan nggak boleh makan terlambat.. udah mana tadi ujan-ujanan lagi”
“Peduli amat sih lo ama gue…”
“Emang gue nggak boleh peduli?”
“Iya..” jawab Agni ketus.
Cakka diam untuk sejenak, begitu juga dengan Agni.
“Eh…, Bos… jadi ke resto nggak?” tanya supir taksi itu. Restoran yang tadi Cakka usulkan memang sudah dekat. Namun sebelum Cakka menjawab Agni sudah duluan berkata.
“Nggak usah, Pak… jalan aja terus”
Dan akhirnya taksi itu tidak berhenti di resto yang Cakka usulkan. Setelah itu keadaan kembali sepi. Suara rintik hujan makin terdengar jelas. Embun-embun juga terlihat di kaca jendela taksi.
“Uhuk!..” Agni batuk lagi. Suara batuk itu sangat keras dan membangunkan Cakka dari lamunannya. Pak supir juga lumayan terkejut.
Cakka langsung menegakkan posisi duduknya. Ia memegang pundak Agni. “Lo nggak papa?”
Agni hanya menggeleng dan berkata dengan pelan. “Nggak papa..” Tapi lagi-lagi ia terbatuk.
“Uhuk!..”
Kini Cakka jadi khawatir. Ia memperkecil jarak duduknya kepada Agni dan memperhatikan muka Agni.
“Ag, muka lo pucet banget…”
Agni menggeleng pelan, ia memejamkan matanya dan membuka matanya kembali. Namun kali ini ada setetes air yang keluar dari matanya.
“Ag…”
Cakka tidak peduli Agni mau bilang apa, Ia langsung melihat apa yang disembunyikan oleh Agni di telapak tangannya itu.
“Masyaallah…”
Darah segar mengalir di tangan Agni, dan lama-lama jatuh mengenai rok dan baju sekolah Agni. Cakka segera mengambil tissue yang ia beli di kantin tadi.
“Uhuk!!” Agni batuk lagi. Kali ini lebih keras. Nafas Agni mulai terengah-engah. “Uhuk! Uhuk!!..”
“Ini, Ag… pake tissue nya..” Cakka berusaha mengelap darah yang keluar dengan tissue miliknya, namun tissue yang tipis dan rapuh itu tidak mampu lagi menampung darah Agni yang keluar.
“Uhuk!!… Hhh…” Agni berusaha menghentikan batuknya itu, namun ia tidak kuasa menahan tekanannya. Dadanya mulai sakit. “Uhhuk!!..”
Tissue sudah tidak mungkin lagi dipergunakan saat itu. Cakka akhirnya mengambil persediaan seragam putihnya. Lalu ia merangkul Agni dan mengelap darah Agni yang keluar dengan seragam putihnya itu.
“Nggak…” Agni menolak perbuatan Cakka itu. Ia tau itu adalah baju putih terakhir Cakka untuk minggu ini, dan Agni tau besok Cakka harus memakai baju itu karena harus mewakili sekolah mereka dalam rangka mewakili sekolah ke sekolah lain.
“Enggak apa-apa, Agni…”
Cakka terus berusaha mengelap darah di mulut Agni.
“Nggak usa.. hh… Uhukk!…” Agni batuk lagi. Baju Cakka kini sudah penuh dengan darah.
“Udah lo diem aja, kalau perlu nanti kita ke rumah sakit…” bisik Cakka di telinga Agni.
“Nggak usah… Uhhukk!..”
Agni terus batuk darah. Ketika seragam putih cadangan milik Cakka sudah tidak bisa digunakan lagi, Cakka malah makin erat merangkul Agni, lalu ia memeluk Agni sedikit agar darahnya tidak jatuh ke rok Agni tapi ke jaket yang ia pakai. Sampai akhirnya Agni berhenti batuk dan tersandar lemas di pundaknya.
Malam harinya Agni sudah berada di rumah sakit bersama Cakka. Ibunya sangat khawatir, sampai-sampai ia mengcancel semua jadwal kerjanya hari itu dan hari esoknya. Namun Agni bukanlah anak manja, malamnya Agni malah menyuruh Ibunya membalas jadwal kerja yang terabaikan itu hari esok. Dan Agni tertidur di kasur rumah sakit sementara Cakka menjaga disampingnya. Agni tidak tau apakah Cakka akan pulang ke rumah malam itu, manum yang ia tau pasti, ia telah menemukan sisi lain dari kepribadian Cakka yang dulu ia anggap narsis 100 %. Di samping kenarsisannya itu, Cakka ternyata… penyayang.
Cuit.. cuit cuit…
Siulan burung terdengar merdu. Sinar matahari masuk melalui jendela kamar rumah sakit tempat Agni tidur. Agni membuka matanya dan melihat Cakka sudah duduk di lantai sebelah kasur Agni, bersandar di dinding dan mendengarkan satu buah lagu di mp3 nya.
“Hhh..” Agni mencoba duduk perlahan dengan kekuatannya sendiri.
Cakka yang mendengar nafas serak Agni langsung melepas mp3 nya, berdiri dan membantu Agni duduk.
“Mau minum?” tanya Cakka.
“Enggak..”
“Bo’ong. Udahlah.. nggak usah gengsi.. lo lagi sakit..” kata Cakka.
“Enggak!” Agni terus bersikeras mengatakan kalau ia tidak butuh minum.
“Oh ya?..”
“Ya’…” Agni mikir-mikir sejenak. Kalo boleh jujur, sebenarnya ia memang haus. Tapi ia merasa nggak sreg aja kalo harus kelihatan lemah di depan Cakka.
“Nggak mau beneran?… Ya udah, aku gunain aja airnya buat nyiram tanaman..”
“Iya iya!.. gue mau minum… Sini!” Agni merebut gelas berisi air yang ada di tangan Cakka. Tadinya ia mau meminumnya sendiri, tapi ketika kekuatan ditangannya tiba-tiba hilang Cakka segera membantu Agni memegangi gelas itu. Hh.. sudahlah.. Agni memang sedang lemah saat itu.
Siangnya – sekitar jam 12.30, Agni sudah diperbolehkan pulang. Cakka pun mengantar Agni pulang ke rumah dengan menaiki taksi lagi. Di sepanjang perjalanan Cakka mengajak Agni mengobrol, tapi Agni tetap tidak mau membalas kesemangatan Cakka itu. Akhirnya di tengah perjalanan Cakka menyerah dan memilih untuk mendengarkan mp3 saja. Namun sebenarnya pikiran Agni  sedang penuh dengan pertanyaan tentang Cakka. Sepertinya Cakka sudah sangat terkenal di kalangan doctor, suster, maupun pegawai di rumah sakit. Itu. Bukan berarti Cakka artis, malah lebih cenderung ke seorang pasien. Cakka sepertinya pernah dirawat di rumah sakit itu, bahkan mungkin sering. Ada satu orang dokter yang malah berkata kepada Cakka, “Loh?.. Cakka kok di sini?… bukannya masih lemah?..”. Tapi ketika Agni menanyakan arti sapaan dokter itu, Cakka malah menjawab kalau ibunyalah yang baru saja dirawat di rumah sakit itu beberapa hari kemarin.
Sesampainya di rumah, Agni menghempaskan tubuhnya di sofa ruang tengah. Cakka ke dapur, mengikuti pembantu di rumah Agni yang sering di panggil dengan sebutan mbok. Di dapur, mbok sedikit bercerita tentang Agni. Tentang Agni yang suka menyendiri di kamar, tentang bapaknya yang sudah bercerai dengan mamanya kira-kira 3 tahun lalu, dan juga tentang Agni yang menganggap hidupnya akan berakhir sebentar lagi. Mbok bilang,”Mungkin benar kalau non Agni bilang hidupnya non Agni tinggal sedikit lagi… kemarin dokternya non Agni bilang, kalo Agni masih mau hidup lebih lama, Agni harus cari pendonor hati yang rela hatinya diberikan kepada Agni.. dan orang yang mau berbuat seperti itu sangat jarang.. bahkan hampir tidak ada. Makanya, belakangan ini non Agni makin bosan hidup..”
“Oh iya, lo belum makan ya?” tanya Cakka yang baru menghabiskan 1 buah coca-cola. Lalu ia membuang kaleng coca colanya ke tempat sampah sambil menunggu jawaban Agni.
Agni yang sedang duduk di sofa ruang tengah sambil memainkan game di hp nya menjawab dengan malas. “Nggak usahlah… lo makan aja sendiri. Ada sisa daging tuh di kulkas..”
“Kok malah gue sih yang disuruh makan?.. yang sakit kan elo, Ag..” balas Cakka.
“Iya gue sakit. Dan mau makan sebanyak apapun, gue juga bakal mati bentar lagi… buat apa gue perjuangin hidup gue? Bentar lagi gue juga hilang dari dunia ini…”
Cakka terdiam sebentar. Apalagi yang harus ia katakan agar Agni mau makan?, dan teruntas sesuatu di kepalanya.
“Eh, Ag… asal lo tau.. sebenernya masih banyak orang yang jiwanya terancam sama penyakit, bentar lagi mau mati, dan harapan mereka untuk hidup cuman sedikit… tapi mereka masih bersemangat untuk hidup kok..”
“Oh ya?…” Agni berdiri, menatap Cakka. “Kasih contoh satu orang…”
Cakka membisu, Ia tidak bisa menjawab pertanyaan Agni. Yah, sebenarnya ia tau jawabannya, namun ia tidak berani mengatakannya. Dan akhirnya Cakka hanya menjawab.
“Orang itu ada di dekat lo… cuman lo nggak nyadar aja…”
Agni masih saja sinis terhadap Cakka. Ia memang tipe orang yang tidak terlalu suka jika ada seseorang terlalu ikut campur masalah pribadinya. Namun ia makin merasa sikap Cakka agak aneh belakangan hari ini. Cakka sedikit melankonis. Kata-kata yang keluar dari mulut Cakka entah mengapa membuat suasana agak dramatis. Atau mungkin hanya suasana sepi rumahnya yang menghadirkan suasana daramatis itu sendiri. “Lumayan lah… hidup jadi tenang lagi…” benak Agni.
Saat Agni sedang duduk santai di kamarnya tiba-tiba ada seseorang mengetuk pintu kamarnya. Agni pikir mungkin itu mbok. Tapi ternyata dugaannya melenceng sekali.
“Siapa?” tanya Agni agak keras.
“Cakka!..” jawab orang yang mengetuk pintu kamarnya itu. “Lo mau bubur nggak?.. gue beliin tuh!”
Yup, orang itu adalah Cakka. Betapa jengkelnya Agni saat itu. Ia merasa terganggu lagi.
“Lo belum pulang?” tanya Agni.
“Ya.. sebenernya sih gue mau pulang. Cuman gue nggak tega aja ninggalin elo sendiri… nanti lo nangis lagi..”
Dan Agni pun membatin, “Nangis?… gue nangis ditinggal elo??… Nggak deh!!”
Agni agak kecewa. Baru beberapa jam, masa Cakka udah narsis lagi? Namun pada akhirnya Agni bersedia keluar kamar dan menikmati bubur yang dibeli oleh Cakka di ruang tengah, sambil menonton tv juga. Walaupun Cakka duduk di sampingnya dengan mata yang menatap tv, namun earphone Cakka sudah terpasang di telinga. Jadi sebenarnya Cakka tidak menonton tv, melainkan mendengarkan mp3.
“Lo dengerin apa sih, Cak?” tanya Agni.
“Hah?…eh.. lagu kesukaan gue..” jawab Cakka yang masih menikmati lagu di mp3 nya.
“Lagunya apa?” tanya Agni lagi.
“Lagu dulu… tapi nggak jadul-jadul amat. Enak deh… penyanyinya cewek.. tere..” jawab Cakka berurutan.
“Oh…” Agni manggut-manggut. Padahal sebenarnya ia tidak terlalu kenal tentang penyanyi yang bernama tere.
“Judulnya apa?”
“..Tersenyumlah…”
“Em… gue boleh dengerin nggak?”
“Eh,  gimana kalo gue kasih lagunya aja… tapi nggak sekarang… kalo menurut gue sih lagu ini cocok banget buat elo yang kurang bersemangat dalam hidup…”
“Nggak usah ngomentarin tentang hidup gue deh..”
“Makanya, hidup itu jalani dengan senyum, Ag… dengan semangat!..” kata Cakka dengan semangat 45.
“Iya iya…”
Agni menaruh mangkuk buburnya ke dapur. Mbok yang melihat majikannya menghabiskan bubur yang sudah dibelikan juga lumayan senang. Dan mungkin mbok akan lebih sering membeli bubur di hari-hari kedepan.
“Oh iya, Cak. Berarti lo nggak jadi ngewakilin sekolah dong?” tanya Agni.
“Hoh?” Cakka melepas mp3 nya agar suara Agni bisa lebih jelas terdengar. “Oh… bilang aja lo mau minta maaf ke gue…” kata Cakka pede.
“Idih!… ge-er amat..”
“Ya… tapi bener kan”
“Iya… gue emang mau minta maaf… terus yang gantiin elo siapa?” tanya Agni lagi.
“Temen gue… Obiet..”
“Obiet?… gue baru tau lo deket sama dia..” kata Agni. Agni tau Obiet kok. Dia adalah anak pintar di kelasnya, bukan yang terpintar sih, tapi kalo dibilang terganteng dan tercharming bisa kok. Kalo diitung-itung sudah banyak cewek yang ngaku suka sama Obiet, bahkan nggak sedikit kakak kelas yang naruh hatinya untuk Obiet. Dan ternyata Cakka dekat sama Obiet itu.
“Iya dong!… orang cakep kan harus be’gaul sama orang cakep juga… he he”
“Hih! Lo kok bisa senarsis itu sih Cak… gue takut dah nanti Obiet ketularan narsis..”
Waktu terus berlanjut. Ternyata setelah beberapa lama menghabiskan waktu bersama Cakka, Agni jadi lumayan ceria. Yang pasti ia jadi lebih sering tertawa dan berbicara dari pada hari-hari sebelumnya. Sepertinya Cakka memberikan aura yang hangat di kehidupan Agni.
“Jadi anak-anak semuanya, hari ini kita akan melakukan praktek di ruang fisika. Semuanya membuat kelompok, anggotanya 3 orang, catet nama-nama anggotanya dan di serahkan ke pak Hamdi. Setelah itu ambil buku kalian dan langsung turun ke ruang fisika” jelas Bu Rohana, guru fisika yang mengejar di kelas Agni. Segera setelah beliau selesai memberikan instruksi, ia berjalan keluar kelas meninggalkan pak Hamdi, asistennya dalam mengajar pelajaran fisika.
Beberapa anak telah selesai membuat kelompok namun lebih banyak lagi yang belum. Mereka sibuk berdebat tentang anggota kelompok mereka. Ada beberapa anak sibuk berebut Hani, anak terpintar di kelas agar masuk ke kelompok mereka. Sementara Hani sendiri merasa terusik ditarik-tarik kesana kemari. Agni masih duduk cuek di bangkunya, tapi tiba-tiba Cakka datang dengan tamu istimewa.
“Ag!.. mau sekelompok sama kita nggak?” tanya Cakka sambil menyenggol tangan Agni.
Agni menengok dan mendapatkan Cakka sedang tersenyum di depannya. Sedangkan di samping Cakka ada sesosok Obiet yang tersenyum ramah, sepertinya ia tidak keberatan sama sekali jika Agni masuk ke dalam kelompoknya.
“Eh… ya udah deh..” jawab Agni. Ia tersenyum lega, jarang ada anak yang mau mengajak dia ikut ke kelompok, lagi pula Agni nggak rugi kok kalo bilang iya. Obiet pintar, ramah, dan baik. Sementara Cakka anaknya aktif, walau sedikit pecicilan, tapi siapa tau membawa keberuntungan.
Beberapa menit kemudian, Agni, Cakka, dan Obiet sampai di ruang fisika, tapi baru sampai mereka sudah disuruh jalan lagi ke ruang biologi. Ternyata Bu Rohana baru saja mengunjungi ruang biologi. Ia membawa alat yang akan digunakan dalam praktek kali ini dan tidak sengaja meninggalkannya di ruang biologi. Jadi mereka bertiga terpaksa naik tangga lagi ke ruang biologi.
“Asalamualaikum..” Cakka mengetuk pintu, membukanya sedikit dan memasukan kepalanya ke dalam ruang biologi. Matanya menelusuri ruang biologi dari sudut ke sudut yang lainnya, dan berakhir dengan laporan kepada kedua temannya yang masih di luar.
“Nggak ada orang” kata Cakka. Agni, Cakka, dan Obiet pun merasa leluasa masuk ke ruang biologi. Mereka mencari-cari alat yang diminta oleh bu Rohana tapi nggak ketemu. Sampai akhirnya terlintas di benak Cakka untuk mengeksplore bagian tersembunyi di ruang fisika itu.
Ruang fisika di sekolah mereka memang istimewa. Di bagian belakangnya ada ruangan sedang yang dikunci seperti gudang. Dan itu membuat Hampir semua anak di sekolah penasaran akan isi ruangan itu.
“Eh… kita coba buka yuk..” kata Cakka. Otak usilnya mulai jalan lagi. Agni sebenarnya berada di tengah kedua pilihan. Ia mau-mau aja kok ikut Cakka, tapi… malesnya itu loh. Habis, berarti kan mereka harus buang tenaga untuk mencari kunci ruangan itu. Dan nggak cuma buang-buang tenaga, mereka juga buang-buang waktu. Sudah lagi kalau ketahuan sama guru-guru, hukumannya nggak tanggung-tanggung.
“Emang waktunya nyukup, Cak?” tanya Agni.
Cakka ingin menjawab sih, tapi sebelum itu Obiet malah sudah menjawab duluan. “Kayaknya sih nyukup. Kemarin gue kesini, terus gue ngeliat guru-guru habis ngunci ruangan itu dan kuncinya disimpan di sekitar meja arsip-arsip gitu deh..”
“Wah.. kayaknya Obiet niat usil juga nih..” kata Agni.
“Yah… ngerecoh sekali-kali kan nggak ada salahnya. Lagian bosenin kali kalo jalan tapi luruuus aja” kata Obiet beralasan. Alasan Obiet masuk akal kok. Lagi pula Obiet nggak serajin dan sepintar Hana. Obiet masih punya jiwa pemberontaknya laki-laki. Anaknya suka tertarik sama hal baru dan yang berbau misterius. Bagusnya, karena sifatnya itu Ia bisa dekat dengan Agni lebih cepat.
Obiet mencari di dalam laci-laci dan lemari. Cakka mencari di kolong-kolong meja dan lantai, semantara Agni mencari di atas meja, di antara arsip-arsip dan peralatan biologi.
“Eh!… ini bukan?” Agni baru saja menemukan 1 buah kunci dengan ikatan tali merah. Ia segera menunjukan kunci itu pada Obiet. Obiet mengangguk dan berkata, “Iya!.. itu kuncinya!” lalu menyambar kunci itu dan memasukannya ke lobang kunci di pintu gudang. Cakka dan Agni ikut mendampingi di samping kanan dan kiri.
“Eh!..” Agni menarik tangan Obiet, mencegah Obiet membuka pintu gudang. “Pada yakin mau masuk?… kenapa kita nggak ke ruang fisika sekarang?” usul Agni.
“Kita kan nggak punya alat yang bu Rohana minta..” balas Cakka yang sepertinya masih ingin di ruang biologi.
“Nih..” Agni mengangkat tangan kanannya. Sudah ada satu buah stopwatch kesayangan bu Rohana. Benar… bu Ro hana memang minta diambilkan itu. Ia tidak dapat menggunakan stopwatch yang lain selain stopwatch itu. Setidaknya, tingkat kenyamanannya pasti berbeda. “…Tadi ketemu di samping kunci itu” tambah Agni.
“Ya… nggak papa. Nanggung lagi… kan kita udah nyari dari tadi…” kata Cakka yang tetap bersikeras membuka pintu gudang itu.
“Emang di dalemnya ada apasih?” Tanya Agni. “Paling kayak gudang biasa aja… bukan hal besar kan?..”
“Hm..” Cakka mencari alasan lagi. “Ah!” dan akhirnya ia menemukan alasan itu. Kali ini mungkin agak ngaco, nggak nyambuk atau sekedar keluar jalur, tapi lumayan berbobot.
Cakka mengatakan, “Orang bijak pernah bilang… little things makes life big” He he.. padahal Cakka sendiri tidak mengetahui apa kata-kata itu pernah dikatakan oleh orang bijak sekalipun. Tapi toh pada akhirnya Agni setuju untuk membuka pintu itu. Walau resiko banget kalau mereka ketahuan oleh guru-guru atau stafm bisa disangka macam-macam. Tapi, toh resiko kalau mereka bakal ketahuan juga sedikit. Jadi kenapa nggak?
Krieeeet…
Pintu dibuka perlahan oleh Obiet. Cakka, Agni, dan Obiet masuk pelan-pelan sambil sedikit berjinjit. Well… benar memang, nothings big di ruangan tertutup itu, hanya satu buah meja dengan satu buah alat atau konstruksi semacam rangkaian berantai yang hampir jadi di atasnya. Ada 3 buah bola yang warnanya berbeda tergeletak di samping rangkaian itu. Obiet mencoba mendekat, memperhatikan rangkaian itu lebih rinci.
“Oh.. aku ngerti maksud cara kerjanya…” kata Obiet segera setelah ia selesai meneliti rangkaian itu.
“Wow..” Agni dan Cakka mengakui, otak Obiet memang benar-benar encer. Mereka saja baru melihat sudah melongo, dan akan terus melongo walaupun sudah memperhatikan sedekat-dekatnya. Obiet yang baru memutari rangkaian itu 1 kali dengan pandangan kagum sudah mengerti cara kerjanya, padahal rangkaian belum jadi sepenuhnya, hanya hampir.
“Cak!..” Obiet mengambil bola warna merah dan melemparkannya pada Cakka. Hal yang sama ia lakukan kepada Agni yang mendapatkan bola berwarna hijau. Sementara dirinya sendiri mengambil bola berwarna biru.
“Nanti gue bakal ngitung angka dari 1 sampai sepuluh..” Obiet mulai menjelaskan. “Di hitungan kesatu gue masukin bola biru ke lobang pertama, Cakka masukin bolanya di lobang kedua dan Agni di lobang ketiga-hitungan 3..”
Lalu Obiet menaruh bagian rangkaian yang belum terpasang di samping rangkaian utama, tentu saja dengan memperkirakan jarak, kecepatan dan waktunya dulu.
“Siap?…” Obiet memberi aba-aba. Agni dan Cakka siap di tempat masing-masing.
“GO!… satu… dua…”
Bola-bola itu masuk di waktu yang tepat. Tiap bola menggelinding di jalurnya, dan setiap bola mempengaruhi arah bola berikutnya. Bola Obiet menggelinding dan mendorong sebuah papan di depannya, bola Cakka yang tadinya di balik papan terdorong oleh dorongan bola Obiet, bola Cakka pun berbelok kesamping lalu menggelinding lagi ke bawah sementara bola Obiet terus melaju ke depan. Begitu juga yang terjadi kepada bola Agni yang dipengaruhi oleh dorongan bola Cakka, dan seterusnya sampai ketiga bola bertemu di satu titik, rangkaian itu putus, dan Obiet pun mengambil ke tiga bola yang sudah sukses melalui jalurnya masing-masing.
Rangkaian itu hampir sempurna. Sayang.. di akhir, ada satu buah bagian kecil dari rangkaian yang tidak dapat terpasang di tempatnya. Harus pakai peralatan seperti paku untuk memasangkan rangkaian itu.
“Kereeeen…” Agni dan Cakka member applause bersamaan untuk Obiet.
“He he…” Obiet tersenyum bangga. Ia tak menyangka bisa memiliki otak seencer itu. “Hebat kan?… keren kan gua?… Iya dong… Obiet…” kata Obiet bangga. Sementara Agni yang berdiri di sampingnya mulai mengambil kesimpulan kalau Obiet sudah mulai ketularan sifat Cakka.
Lalu untuk merayakan keberhasilan itu, Obiet mencoba menunjukan kebolehanya dalam menjugling. Ia melempar ketiga bola layaknya pemain sirkus handal. Tadinya sih permainan masih stabil, tapi tiba-tiba terdengar suara grasak-grusuk di bawah meja. Dan…
BRAK!!
Seekor tikus mungil nan dekil lari keluar dari kolong meja, menerobos kedua kaki Obiet. Obiet yang terkejut langsung kehilangan keseimbangan dan tubuhnya yang ramping terjatuh dengan pinggang terpentuk sisi meja yang runcing.
Groak!..
“Aduh!…” Obiet merintih kesakitan. Tangannya terus memegangi pinggangnya yang mulai nyut-nyutan. “Ah… kayaknya tulang gue ada yang retak dah..” Obiet mulai was-was, jangan-jangan bunyi groak yang tadi terdengar merupakan suara tulang pinggangnya yang retak.
“Tapi kayaknya bukan, Biet..” kata Agni. Matanya melihat Obiet dengan pandangan prihatin, namun setelah itu ia melihat rangkaian di meja yang terlihat agak tergeser dari posisi sebelumnya.
“Kretek..”
Terdengar lagi suara suatu benda yang retak. Dan segera setelah itu satu buah potongan rangkaian yang mungkin menjadi salah satu pondasi untuk berdirinya keseluruhan rangkaian itu jatuh, terpisah dari kawanannya. Obiet berbalik, memandang ke rangkaian di atas meja, begitu juga dengan Cakka dan Agni. Dan beberapa detik kemudian, mereka terpaku, mematung melihat rangkaian yang baru saja mereka coba ¾ nya jatuh, roboh, extremely crashed di depan mata mereka sendiri.
“Eh…” Obiet membuka mulut mencoba menenangkan pikirannya yang sudah kalang kabut itu. “Oke… yang ngancurin tikus… bukan gue…”
..
“Biet!…” Hufft.. malangnya Obiet. Sudah sampai ngelas-ngelas segala, tiba-tiba ada suara seseorang yang memanggilnya, suaranya datang dari koridor luar.
“Cakka!… Agni!…” Dan ternyata tak hanya Obiet yang apes, Agni dan Cakka juga. Sudah! Habislah mereka..
..
“Pokoknya sekarang kita keluar aja. Masalah rangkaian bisa kita beresin nanti…” kata Obiet yang langsung saja lari ngibrit keluar ruangan, diikuti oleh Agni. Sementara Cakka masih disana, berujar,
“Iya, Biet… gue tau! Lo kan pinter… lo pasti bisa benerin semua itu” barulah setelah itu Cakka berbalik, menyadari kalau ia sudah sendiri di ruangan itu. “Eh!.. tungguin gue!”
Cakka langsung keluar dari ruangan. Untung saja kunci ruangannya ada pada Cakka, jadi setelah keluar dari ruangan ia langsung menutup pintu, dan mengunci ruangan itu.
Obiet dan Agni sudah di samping pintu, menunggu Cakka.
“Cepetan, Cak!… kayaknya yang manggil Zaga! Dia kan tukang ngadu!” kata Obiet.
“Iya!… tukang pamer lagi!” tambah Agni yang kurang suka dengan Zaga, anak brandalan yang sok jago basket.
Setelah menaruh kunci itu di meja semula, Cakka langsung ambil jalan pintas. Ia melompati beberapa meja di depannya, dan dalam sekejap sudah berada di samping Agni dan Obiet. Mereka bertiga langsung mendorong pintu masuk ruang biologi yang nauzubillah ternyata macet. Kekecewaan mendalam telah hadir disini. “Sudah berapa tahun sih pintu biologi belum di pugar-pugar?” Tanya Cakka nggak percaya. “Makin hari makin macet aja..”
“Dobrak! Dobrak!..” Agni member usul yang langsung disetujui oleh kedua cowok di sampingnya yang sedang berada dalam situasi yang kepepet ini.
“Satu… Dua… Tiga!”
BRAK!
Pintu terdobrak, terbuka, dan terlihat patton, salah satu teman mereka sedang berjalan santai dengan ember aluminium isi ari penuh dan Patton berjalan tanpa pertahanan apapun.  Alhasil, Cakka, Agni dan Obiet yang mendobrak pintu tanpa itung-itung sama sekali langsung menubruk patton beserta ember aluminiumnya.
Byur!
Terdengar suara air yang tadinya penuh langsung tumpah ke lantai bawah. Kenapa? Karena sejujurnya mereka tadi bertabrakan di dekat balkon, dan ember penuh air itu terdorong ke arah balkon. Jadi airnya tumpah ke bawah, ke balkon lantai 2 yang kebetulan lebih lebar dari pada balkon lantai 3.
“Yah…” Patton mengeluh. Ia sudah capek-capek membawa barang berat itu dan ternyata harus tumpah di tengah jalan.
Agni, Cakka, dan Obiet yang juga bertubrukan karena kekuatan mereka sendiri malah jatuh dan duduk tersandar di balkon.
“Woi!.. SIapa tuh yang numpahin air se gallon?!” terdengar suara marah-marah dari lantai bawah.
Agni tersentak. “Eh… bukannya itu suaranya Zaga?” katanya.
Cakka membalas. “I.. Iya tau!.. jangan-jangan…”
Cakka, Agni dan Obiet langsung berdiri dengan semangat. Memandang ke balkon bawah, dan ternyata benar pikiran mereka. Di lantai bawah ada Zaga yang sudah basah kuyup terguyur tumpahan air dari ember aluminium Patton.
“Jha ha ha ha ha!…” mereka bertiga langsung tertawa terpingkal-pingkal. Sementara Zaga harus pasrah ditertawakan dalam keadaan yang memalukan itu.
“Sori, bro!.. tapi jujur, tampang lo ancur banget!” seru Cakka ke Zaga. Dan mereka terus saja tertawa senang sepanjang jalan menuju ke ruang fisika. Walau pada akhirnya mereka dihukum juga.
Mengepel semua air yang tumpah di balkon lantai dua. Ya, itulah hukuman bagi mereka bertiga. Untungnya bagian yang harus mereka pel adalah bagian yang jarang dilalui orang. Selain tidak perlu lama-lama mengepel, mereka juga bisa sekalian ngobrol bertiga tanpa ada orang yang mengganggu. Dan pada sorenya, sepulang sekolah mereka juga disuruh membuat ulang rangkaian yang telah terhancurkan tanpa sengaja oleh mereka.
“Eh…” Cakka bertanya pada Agni dan Obiet yang sama-sama lagi mengepel. “Kalian pada nyesel nggak, nyoba-nyoba masuk ke ruang misterius di ruang biologi itu?”
Obiet berhenti mengepel dan bersandar pada balkon. “… Enggak… malah gue seneng… setidaknya dalam hidup ini, gue pernah ngelakuin hal yang nekat. Lagian seru tau… pengalaman nggak kelupakan tuh!”
Lalu Cakka menatap pada Agni, seakan bertanya padanya sekali lagi.
“Iya deh, gue setuju… pengalaman nggak kelupakan. Walau agak ngelawan… tapi setidaknya gue jadi nggak perlu ngikut ulangan di kelas…” jawab Agni. Sepertinya kejadian barusan menjadikannya lebih happy.
“Eh, Ag.. lo udah ngerti belom bahan yang diajuin dalam ulangan?… kalo belum gue mau ajarin tuh!” Obiet menawarkan jasanya.
“Boleh..” balas Agni.
“Wah… hati-hati nih. Jangan-jangan Obiet mulai ngincer Agni…” goda Cakka pada kedua temannya yang senasib kena hukuman.
“Yee… ngaco lu, Cak!” seruAgni pada Cakka. Sementara Obiet malah membalas “Ngapa, Cak?… cemburu?”
“Liiih… nggak juga kali… eh, iya.. bosen nih ngepel mulu. Main-main dikit yuk!” usul Cakka.
“Main-main gimana?” tanya Agni yang tidak mengerti maksud Cakka.
“Gini nih caranya!…” Cakka langsung menjatuhkan sikat yang ia gunakan tadi, lalu menendangnya pada Obiet. Obiet pun mulai mengerti dan ia menendang sikat itu ke Agni. Agni menendang ke Cakka dan permainan oper-operan sikat itupun berlanjut.
Beberapa hari berlalu. Sekarang lebih sering berkawan dengan Cakka dan Obiet dari paa menyendiri. Ia ubah pikirannya sekarang. Ternyata berteman dengan Cakka lumayan menyenangkan. Cakka anaknya lucu, narsis sih, tapi malah sifatnya itu yang bikin dia enak diajak berteman. Kalo memang harus serius dia juga bisa serius. Kalo ceria ya ceria. Penuh semangat dan inisiarif. Dan bisa dibilang, beberapa hari ini… Agni mulai menyukai Cakka. Masih sebagai teman sih… tapi sekarang Cakka sudah termasuk sangat berarti buat Agni. Obiet juga, anaknya baik, ramah, paling enak jadi tempat curhat. Yang pasti.. hidup Agni jadi lebih menyenangkan.
Ckrek..
Malam itu di padang ialalang, Agni duduk di batu besar di bawah langit malam yang gelap namun diterangi bintang-bintang paling indah dan cemerlang. Ditemani oleh kunang-kunang yang ceria, dan juga Cakka yang sibuk memotret momen malam hari itu.
“Agni… ngadep sini dong… mau difoto nih..” kata Cakka yang sedang mereka-reka jarak foto yang bagus untuk memotret Agni.
“Males ah, Cak… tadi akn gue udah banyak difoto.. foto diri lo sendiri aja..” balas Agni yang urung menatap camera. Ia sudah capek di suruh berputar-putar dan membuat gelembung-gelembung busa tadi siang. Bisa dibilang Agni baru saja menjadi model dadakan untuk pemotretan Cakka. Entah untuk proyek apa, tapi kata Cakka penting.
Cakka yang tadi pagi tiba-tiba mampir ke rumah Agni dan mengajak Agni ke padang ilalang bahkan sempat mengatakan kalau pemotretan hari itu khusus untuk Agni. Katanya agar Agni sadar kalau dirinya itu cantik dan memiliki senyum termanis di antara senyum lainnya yang pernah Cakka lihat, bahkan melebihi senyum monalisa. “Jadi intinya, Ag.. lo tuh patut sering-sering senyum di masa hidup lo. Kalo cowok ngeliat, pasti mereka langsung meleleh di depan lo…” kata Cakka yakin. Dan Agni hanya mengomentari kalau Cakka terlalu gombal.
Melihat malam yang semakin larut, Cakka menghentikan sesi pemotretannya untuk sementara dan duduk di samping Agni. Ia pikir inilah saatnya mengutarakan maksud sesungguhnya mengajak Agni kesini.
“Ag..” panggil Cakka pelan.
“Hm?..” Agni langsung menanggapi, namun pandangannya tetap pada langit biru tua.
Cakka mengambil nafas sejenak, baru setelah itu ia melanjutkan pembicaraan.
“Menurut lo… hidup lo itu gimana?” Tanya Cakka.
“Kenapa lo harus nanya hal itu?” Agni balas bertanya, namun saat ini Cakka sedang dalam mood serius.
“Jawab aja” balas Cakka agak tegas. Dan mau tidak mau, Agni harus menjawab.
“Ya… dulunya sih nggak banget… tapi sekarang udah lebih baik kok… gue udah punya temen buat bersandar kalo lagi sedih maupun seneng. Sayangnya bentar lagi harus berakhir… kalo diibaratkan senyum… mungkin Cuma ¾ nya.. hh… coba gue bisa hidup lebih lama ya?… nggak sakit lagi… yah… intinya hidup gue sekarang… hampir sempurna kali ya?” jawab Agni sebisanya. Memang Cuma itu kata-kata yang terlintas di pikirannya saat itu. Karena Cakka masih diam, Agni hanya menambahkan kata “Itu aja..” untuk menunjukan kalau jawabannya sudah selesai.
Dan Cakka kembali bertanya. “Berarti… kalo misalnya ada orang yang mau ngedonorin hatinya ke elo… hidup lo bakal sempurna dong?..”
“Yah… nggak gitu juga…” jawab Agni. “Hidup ini kan nggak ada yang sempurna… tapi paling nggak, hidup gue bakal lebih berarti dan patut untuk di perjuangkan aja..”
“Em… jadi.. kalo ada yang ngedonor hati buat lo… lo janji bakal memperjuangkan hidup lo?”
“Ya… iya… Ck, Emang kenapa sih lo mau nanyain kae’ begituan ke gue?” Tanya Agni yang merasa nggak nyaman di tanyai hal yang mencangkup hidup dan mati itu.
“Nggak kok… nanya doang..”
Cakka berdiri kembali, melanjutkan pekerjaannya tadi, memotret pemandangan malam di padang ilalang yang dihiasi oleh kunang-kunang.
“Eh..” kata Cakka. Agni seperti biasa mendengungkan nada Tanya.
“Kalo tiba-tiba gue pergi dari hidup lo.. lo bakal gimana ya, Ag?” ujar Cakka dengan sedikit nada canda.
“hih… yaa itu sih terserah lo… gue ngebolehin aja kok..” balas Agni dengan canda juga.
“Emang gue bukan kayak pangeran yang berarti buat lo ya, Ag… kayaknya lo juga mulai suka sama gue tuh”
“Idih! Pede amat lo!… lo kan istilahnya kayak monyet nangkring, yang kerjanya gelayutan di hidup gue… enak aja-dari monyet langsung minta jadi pangeran…” balas Agni dengan bantahan serta merta.
“He he… ya… siapa tau aja..” Cakka tersenyum penuh makna. “Berarti lo nggak ada masalah dong, kalo gue tiba-tiba ngilang..” kata Cakka lagi.
“Ya jangan gitu juga kali, Cak… sejujurnya.. lo asik kok..” kata Agni dengan sejujur-jujurnya.
Cakka tidak mengomentari apapun. Tapi setelah itu ia langsung membuka topic baru. “Hm… Ag,… gimana kalo gue bilang… kemungkinan sebentar lagi bakal ada orang yang mau mendonorkan hatinya sama elo…”
“Gue.. bakal seneng?… tapi… emang mungkin?.. mustahil ah..” balas Agni.
“Yee.. mungkin aja lagi..”
“Gue nggak percaya…”
“Gini deh…” Cakka membuat raut muka berpikir. “Gimana kalo kita bikin kesepakatan?… kalo misalnya bener ada orang yang bentar lagi mau donorin hatinya sama lo, lo harus lebih berusaha dalam hidup dan nggak bakal nyia-nyiain hidup lo itu… lo bakal memperjuangkan hidup lo, nggak males-malesan lagi dan harus selalu tersenyum…” ucap Cakka panjang lebar.
“ha ha… kata-kata lo tadi kayak emak-emak, Cak… tapi… gue setuju kok..” Agni mendekati Cakka dan tiba-tiba Cakka berbalik, mengacungkan jari kelingkingnya pada Agni.
“Deal” Agni membalas acungan kelingking Cakka, lalu merangkulnya layaknya seorang sahabat. “Eh… udah belom motretnya?… bentar lagi mama gue pasti nelfon nih… pulang yuk… nanti mama gue nyangka lo nyulik gue lagi..”
“Iya… ni udah sisa foto terakhir… mm.. kita foto bareng yuk!” usul Cakka. Agni tidak keberatan dan mereka pun berfoto bersama.
Cakka mengambil satu buah bunga tanpopo disana dan memberinya pada Agni.
“Nanti di hitungan ketiga lo ngadep ke camera sambil senyum sama niup bunga itu yah..” suruh Cakka iseng.
“Ih! Maunya… nggak ah! Lo tiup aja sendiri..” Hmm.. Agni menolak. Sepertinya di foto terakhir ini Cakka harus rela ide isengnya ia lakukan sendiri.
“Iya iya… Siap?.. satu.. dua.. cheese..”
Ckrek..
Beberapa hari berlalu, dan hari-hari itu terasa biasa seperti hari-hari sebelumnya, namun sebelum berita gembira tersampaikan dari mulut mama Agni. Beliau bilang ada seseorang teman yang bersedia mendonorkan hatinya. Mama Agni tidak sempat memberitahu siapa yang jadi pendonor hati untuk Agni, namun Agni tidak terlalu peduli dengan hal itu, kegembiraan telah merasuki dirinya, sebentar lagi ia akan mendapat masa depan sepenuhnya. Seperti yang ia janjikan kepada Cakka, ia harus berjuang akan hidup itu, dan tidak akan menyianyiakannya, dan tentu saja tidak lupa tentang bahasan senyuman manis itu. “Oke, Cak… aku bakal tersenyum..” ujar Agni dalam hati. Obiet yang mendengar beritanya langsung dari Agni juga ikut senang, namun sayang… Cakka tidak sempat mendengar berita itu secara langsung dari Agni. Hari itu Cakka Absen, tidak ada keterangan. Agni juga berharap esok Cakka akan masuk sekolah, kalau tidak, mungkin Cakka dapat datang ke rumah sakit untuk bertemu dengan Agni disaat pendonoran hati itu belum dimulai. Namun tidak… Seperti apa yang di ucapkan Cakka malam kemarin di padang ilalang… Cakka seperti menghilang tanpa jejak.
3 hari berlalu, Cakka masih belum menunjukan dirinya. Padahal kemarin Agni sudah senang-senang karena Ia telah berhasil melalui masa pendonoran hati itu. Kini ia mulai lesu kembali. Lesu karena ia rindu Cakka. Benar-benar tidak disangka, dulu Agni selalu kesal kalau harus bertemu dengan Cakka, tapi kenapa sekarang malah sebaliknya? Agni beruntung masih punya Obiet yang setia menemani di rumah sakit, menggantikan posisi Cakka. Tapi sungguh, posisi Cakka di hati Agni sepertinya sudah tak dapat tergantikan lagi sekarang.
Siang itu hujan deras. Agni duduk di kasur rumah sakitnya, memandang ke luar jendela. Ia sudah memakai pakaian lengkap, lengkap dengan jaket coklatnya juga. Obiet duduk di bangku sampingnya memainkan beberapa nada di gitar. Agni masih murung sejak semalam, ia terus memandangi rintik-rintik hujan yang jatuh membasahi bumi. Ia ingat saat pertama kali ia kehujanan, saat pertama kali ia pulang bareng Cakka, dan ia ingat embun-embun yang ada di jendela taksi saat itu. Agni ingin itu terulang. Namun ia juga bertanya-tanya, mengapa ada suatu perasaan yang berkata kalau saat itu tidak dapat terulang lagi, bahkan mulai menghilang.
Obiet memainkan gitarnya, mencoba menghibur Agni. Ia menyanyikan salah satu lagu yang berhubungan dengan hujan, dan lumayan berhubungan juga dengan saat-saat yang sedang Agni bayangkan sekarang.
Rinai hujan basahi aku…
Temani sepi yang mengendam…
Kala aku mengingatmu…
Dan semua saat manis itu…
Aku… selalu bahagia… saat hujan turun…
Karna aku dapat mengenalmu untuk ku sendiri…
(Utopia – hujan)
“Biet…” Agni memanggil Obiet lirih.
“Hm?” Obiet menghentikan permainan gitarnya, mempersilahkan Agni melanjutkan kata-katanya.
“Kenapa ya?… sekarang gue mulai berpikir.. kalo gue tuh nggak bakal ketemu lagi sama Cakka..”
Obiet terdiam. Ia ikut memandang rintik-rintik hujan. Menghela nafas lalu menatap Agni lagi dan merangkulnya. “..Kalo gitu jangan mikir…” kata Obiet dengan nada lembut. “Eh… coba bayangin… mungkin, Cakka nggak sempet ke rumah sakit ini jenguk lo.. dari kemarin… gara-gara dia lagi di rumah lo. Mempersiapkan pesta penyambutan…” tambah Obiet. “Makanya… lo jangan murung gitu dong.. , Ya?”
Agni mengangguk pelan dan bersandar di bahu Obiet. Setidaknya sekarang ia dapat merasakan kehangatan seorang teman.
Obiet benar. Ketika Agni, Obiet dan mamanya Agni masuk ke rumah mereka disambut dengan ceria oleh beberapa kerabat dekat keluarga Agni. Mbok juga ikut merayakan. Pesta itu pun dimeriahkan dengan nyanyian dari Obiet, ditambah dengan masakan enak bikinan mbok dan beberapa makanan yang dipesan dari KFC seperti eskrim untuk penutup. Sekitar jam 8 semua kerabat yang datang sudah harus pulang. Lagi pula Agni kan juga harus istirahat. Pesta itu berlangsung meriah, namun ada sesuatu yang kurang. Ternyata Obiet juga salah. Cakka tidak ada di sana. Pokoknya sejak mama Agni memberitahukan Agni kalau ada orang yang ingin mendonorkan hatinya pada Agni Cakka seperti menghilang begitu saja. Tidak member kabar, tidak menelepon sama sekali. Menghilang… sudah, itu saja. Namun Ada sesuatu yang mengganjal di hati Agni. Dari pertama mamanya menelepon tentang pendonor hati itu, mamanya tidak pernah mau memberitahukan siapa yang pendonor hati itu.
-
Malam itu, bintang-bintang bersinar terang. Agni duduk di teras depan. Ingat saat-saat Ia bersama Cakka di padang ilalang tempo hari. Agni penasaran dengan hasil foto Cakka. Tiba-tiba terlintas satu pikiran konyol di otak Agni. Mungkin Cakka pergi begitu saja untuk meraih mimpinya sebagai seorang fotografer, seperti (yang di film sang pemimpi). Ia lalu mengambil sebuah beasiswa untuk pergi keluar negri, bagaimanapun juga Cakka kan termasuk orang yang nekat. “Ha ha..” Agni tertawa kecil. Yang pasti kalau peristiwa ini seperti peristiwa di film sang pemimpi maka Cakka akan kembali lagi.
“Agni!..” tiba-tiba mama Agni memanggil dari ruang tengah. Mamanya sedang sibuk mengerjakan beberapa tugas yang tertinggal. Karena saking senangnya mama Agni saat mendengar ada yang menawarkan hati untuk Agni, mama Agni sampai lupa kerjaan.
“Iya, ma?..” Agni segera menyahut.
“Tolong ambilin map biru di lemari besar mama dong, Sayang..” lanjut mamanya.
“Iya!..” Agni segera mengerjakan tugasnya. Ia masuk ke rumah, melewati Obiet yang sedang duduk di sofa ruang tamu, memainkan rubik yang tadi ia bawa. Lalu ia masuk ke kamar mamanya yang berada di dekat ruang tamu.
Agni mencari-cari map biru yang mama minta. Kamar mamanya saat itu agak berantakan. Mbok belum sempat merapihkan kamar mamanya. Setelah menggeser-geser beberapa buku tebal yang ada di sebelah deretan map, akhirnya Agni menemukan map yang mama maksud. Ia berdiri tegak, membuka-buka sedikit map biru itu lalu mundur kebelakang. Tadinya ia ingin langsung keluar, tapi tidak sengaja bahunya mementuk satu rak di dekat pintu. Kumpulan kertas yang sudah disteples jatuh. Agni segera mengambilnya dan hendak mengembalikan kumpulan kertas itu ke tempat semula, namun ia terhenti saat melihat potongan kalimat di salah satu lembaran kertas itu.
“Surat penandatanganan pendonoran hati”
Sudah pasti Agni tertarik untuk mengetahui orang yang mendonorkan hatinya untuk Agni. Ia membalik lembar itu, melihat lembar terakhirnya, dan ia tersentak melihat nama pendonor itu. Matanya mulai berkaca-kaca. Nafasnya tersendak dan tangannya bergetar.
Brak!
Agni keluar dengan segenap kebimbangannya. Tanpa sadar pintu kamar mamanya terbanting. Obiet yang terkejut langsung berdiri, menatap Agni bingung. Agni terdiam, di tangannya ada kertas yang ia pegang itu. Dan dengan mata basah karena air mata, nafas yang tidak teratur, Agni berkata.
“Biet…, Cakka… meninggaaal… ”
Obiet diam sejenak, Ia menggeleng-gelengkan kepalanya. “Nggak mungkin…ha ha..” Obiet tertawa kecil, ingin menganggap kalau kenyataan itu salah. Salah besar..
“hhh..” Agni memegangi dadanya yang sesak.
“Eh… ada apa ini?” tanpa Agni maupun Obiet sadari mama Agni sudah berada disitu. Dan ia langsung menunduk ketika melihat apa yang ada di tangan Agni.
Agni menghampiri mamanya. Ia coba untuk mengatur nafasnya yang sudah tak karuan itu, juga suaranya yang mungkin hampir habis karena tertelan oleh isakannya yang tak henti-henti terdengar.
“Ma.. Siapa ma?… siapa pendonor hati itu?…” tanya Agni lirih. Didekatkannya kertas yang ia pegang ke depan muka mamanya.
Mamanya yang juga mulai berkaca-kaca tidak bisa menjawab sejujur-jujurnya. “..Yang donor hati itu… temen kamu, Sayang…”
“Ya tapi temennya itu siapa, Ma?…” Agni mengguncang bahu mamanya. Ia sudah tidak sabar lagi dengan mamanya yang tak pernah menjawab dengan lurus.
“huft…” Berat. Kata-kata itu sangat berat untuk diucapkan oleh mama Agni. Karena mama Agni tau tekanan yang akan Agni terima juga tidak akan ringan. “Dia Cakka… Cakka, Sayang..”
Agni mundur, melepaskan tangannya dari bahu mamanya. Ia terus menggelengkan kepalanya. Bahkan mungkin ia mulai lupa untuk bernafas.
“Nggak… Nggak mungkin…” Agni jatuh, terduduk lemas di lantai. Obiet yang jelas-jelas mendengar jawaban dari mama Agni itu langsung merangkul Agni, berusaha menghiburnya. Mama Agni merasa bersalah telah menjawab semua itu. Namun bagaimana lagi? Cepat atau lambat hal itu memang harus terungkap.
Kini tangisan Agni tak bisa dibendung lagi. Ia menangis sekeras-kerasnya. Ia bingung… Mengapa orang yang sudah membuat hidupnya lebih berarti, tiba-tiba malah membuat hari yang hampir sepurna itu menjadi hari tersedih dalam hidupnya?
“hhh… Cakka bodoh!… Kenapa dia nggak pernah ngomong ke aku dulu sebelum mutusin hal itu… Mau dia tuh apa sih, Biet?” Agni terus memegangi dadanya. Tangan kirinya mencengkram baju Obiet yang mencoba menenangkannya. Cengkramannya sangat erat, tapi Obiet tidak peduli. Sekeras apapun itu rasanya tidak akan sesakit perasaan Agni saat itu.
“Aku nggak pernah mau akhirnya jadi kayak gini… Aku nggak berhak dapetin hati ini… Aku nggak berhak dapetin semua ini… Kenapa harus Cakka?… Dia harusnya hidup.. Aku yang harusnya mati… Aku nggak mau kayak gini… hhh… Balikin Cakka… biar aku yang matii…”
Agni terus memengangi dadanya. Ingin rasanya merobek dada itu, mengeluarkan hatinya, mengembalkan hatinya untuk Cakka lagi. Ia tidak pernah mau akhir yang seperti ini. Jadi selama 3 hari ia menunggu kedatangan Cakka, hati Cakka berada di dalam tubuhnya?. Agni sendiri bingung apa yang sedang ia rasakan sekarang. Menyesal? Sedih? Senang? Aneh? Hidup?… bahkan sekarang ia berharap untuk mati. Semua kebagahiaan bagaikan hilang begitu saja. Malam itu sungguh menyedihkan. Ingin rasanya memulai waktu. “Biar Cakka yang hidup sementara aku yang mati” kata-kata itu terus terucap dari mulut Agni.
“Udah, Ag… Udah… semua udah terjadi..”
“Nggak…hh.. nggak mau… kenapa harus hatinya Cakka?… Jangan hatinya Cakka… Aku nggak mau… hh.. Aku nggak mau hatinya Cakka… Aku nggak mau kehilangan Cakka…”
Obiet memeluk Agni lembut. Air mata Agni tak bisa di bendung lagi. Ia menangis semalaman. Agni sudah kehilangan salah satu orang yang berarti baginya. Bahkan mungkin paling berarti.
Esoknya mama Agni memberikan sebuah kotak kado bergambar kunang-kunang di waktu malam. Mama Agni bilang itu kado dari Cakka. Sebelum Cakka pergi ia telah menitipkan kado itu kepada mama Agni. Mama Agni tidak pernah membuka kado itu sejak Cakka menitipkannya. Dan sebelum Agni membuka kado itu di kamarnya sendiri, mamanya juga menyampaikan beberapa alasan mengapa Cakka rela membiarkan hatinya di donorkan untuk Agni. Ternyata Cakka yang selama ini suka seru-seruan dan agak nekat itu menderita penyakit pada jantungnya. Sebentar lagi ia juga akan meninggal seperti Agni. Bahkan mungkin waktu hidupnya saat itu lebih singkat dari pada Agni. Mungkin hal itu juga yang menyebabkan dirinya bisa senekat itu, senarsis itu, dan mungkin itu juga arti dari beberapa kata yang Cakka ucapkan di padang ilalang di tengah kerubunan kunang-kunang.
Agni membuka kotak yang di berikan Cakka itu. Isinya adalah beberapa foto yang kemarin di ambil di padang ilalang. Beserta cameranya juga. Ada sepucuk surat di situ, dan juga sebuah CD bertuliskan “lagu yang kemarin lo minta, Tere tersenyumlah. Beserta lagu-lagu favorit Cakka lainnya (cia’ellah)”. Agni tersenyum membaca judul CD itu, tulisannya benar-benar ngasal, sebenarnya tidak terlalu cocok untuk dijadikan judul CD, tapi itulah Cakka. Dan ia suka Cakka yang seperti itu. Agni melihat hasil foto-fotonya yang diambil oleh Cakka. Ada banyak, sekitar 30-an. Dan Agni baru sadar ternyata ia lumayan manis. Apalagi Cakka juga menuliskan kata-kata Agni manis di balik salah satu lembaran foto. Ada salah satu foto juga yang bercantumkan label terfavorit di balik lembarannnya. Cakka yang menempelkan label itu. Itu adalah foto saat Cakka dan Agni berfoto bersama, lalu Cakka dengan sengaja menerbangkan helai-helai bunga tanpopo. Benar-benar saat yang tak terlupakan. Dan seperti yang Cakka inginkan dipadang ilalang, foto-foto itu benar-benar akan menjadi kenangan mereka bersama. Lalu terlintas di kepala Agni suatu Ide. Ia segera menelepon Obiet, meminta Obiet untuk mengantarkan dirinya ke suatu tempat. Obiet mengatakan kalau ia bersedia, maka Agni langsung bersiap-siap untuk pergi, namun ketika ia sudah siap di ruang tamu Obiet belum sampai. Dan disaat itu ia baru ingat akan surat dari Cakka, ia belum membaca surat itu. Lalu ia kembali ke kamar, membuka kado dari Cakka dan membaca suratnya.
Hai! Gimana kabarnya nih?
Kalo berdasarkan prediksi gue kemarin, harusnya lo udah sehat walafiat kan?
Gue nggak tau gimana reaksi lo pas baca surat ini. Apa heran kah? Ngerasa ini semua mimpi? Seneng?? Atau jangan-jangan sambil nangis?
Yah… kalo bisa jangan nangis dong… masa Agni ku yang manis nangis? Udah lagi lo kan termasuk tomboy, Ag.
Heh! Asal lo tau, Ag.. gue ngerasa beruntung bisa hidup di dekat lo di saat-saat terakhir hidup gue. Setidaknya gue udah bisa beramal dengan membuat hidup lo lebih berwarna. Haha!
Pede banget ya, gue? Padahal lo sendiri pernah bilang gue kayak monyet nangkring yang suka gelayutan di hidup lo. Tapi, gue termasuk monyet nangkring yang ganteng kan?
Yah… pokoknya, gue Cuma berharap, lo bakal nepatin janji lo untuk hidup lebih ceria dan bersemangat. Apalagi sekarang lo udah punya hati gue yang berharga.
Harusnya sih, lo ketularan narsis kayak gue. He he…
Ag, terus jalani hidup lo dengan semangat yah.
Gue tau, ada banyak orang yang masih cinta dan sayang sama lo sepenuh hati. Termasuk gue.
Lo bisa ngerasain rasa sayang itu di hati lo sekarang. Karena sesungguhnya…
Hatiku Adalah Hatimu… (ciaellah)
Terus tersenyum ya, Agni. Senyum lo manis loh..
^ _ ^    With love.
Cakka Nuraga.
Agni tersenyum memandangi surat dari Cakka yang baru saja ia baca. Tanpa sadar air matanya jatuh membasahi kertas surat itu. Lalu ia menghapus air matanya, menaruh kertas Cakka di kotak kayu, tempat semua harta karunnya tersimpan, termasuk foto-foto kenangan mereka di padang ilalang yang sempat di abadikan oleh Cakka. Lalu ia tutup kotak kayu itu, dan ia taruh di lemari bukunya.
“Agni!…” terdengar panggilan dari luar rumah. Agni langsung mendekati jendela dan melihat sosok yang barusan memanggilnya.
“Obiet?”
“Ag! Udah siap belum? Kita jadi ke padang ilalang kan?” Tanya sosok yang tadi memanggilnya, yaitu Obiet.
“Iya! Bentar!”
Agni pun  mengambil tas selempangannya, ia memasukan mp3nya ke dalam kantong jaket, dan segera turun ke lantai satu. Setelah berpamitan kepada mamanya, ia menutup pintu rumah dan menghampiri Obiet yang sudah menunggu di mobil.
Setelah Agni naik ke mobil, Obiet memperhatikannya dari kursi pengemudi.
“Ngapa?” Tanya Agni curiga terhadap pandangan Obiet yang tak biasa.
“Oh.. enggak…” Obiet kembali memandang kedepan. “..Lo habis nangis ya, Ag?”
Agni langsung gigit bibit. “Perasaan tadi pas gue ngaca, mata gue udah nggak sembab lagi..” benaknya.
“Eh… lupain aja”
“Yah… gue Cuma mau bilang, itu wajar kalo lo nangis… tapi jangan terus-terusan. Kasian Cakka, nanti dia ikut nangis juga lagi..” ujar Obiet. “Jadi? Ada yang ketinggalan nggak?” Tanya Obiet lagi.
“Enggak kok. Udah! Cepet jalan!”
“Oke, Sis..”
Obiet pun menyalakan mesin mobilnya dan tak lama setelah itu, mobilnya mulai melaju di jalan-jalan perumahan akasia.
Agni mengeluarkan mp3 nya. Ia mencari-cari lagu yang kemarin di beri oleh Cakka bersamaan dengan foto-foto dan surat untuknya. Setelah ketemu, ia memasang earphone yang telah tersambung dengan mp3 ke telinganya. Lalu ia menekan tombol play dan lagu itu dimulai. Agni menyukai alumna music itu. Sangat indah… sangat damai.. dan entah mengapa, lirik-liriknya seperti pesan yang ingin Cakka sampaikan padanya. Dan Agni tersenyum manis, semanis madu yang ada di bunga-bunga pohon pinggir jalan, yang daunnya juga ikut menyejukan pagi.
..
- – Tere/Tersenyumlah – -
Mengapa kau bersedih saat cinta pergi
Biarlah saja bila semua harus terjadi
Hidup bukan sampai disini waktu terus berjalan
Yakinlah ada bahagia yang akan kau rasa dalam hidupmu
Dan tersenyumlah sayang
Lepas semua pedih di hati
Karna cinta masih ada…
Dan s’lalu ada
Percayalah…
Kadang cinta tak berhati
Sering menyakiti
Tapi cinta yang sejati
Meski t’lah pergi
Kan datang lagi
Dan tersenyumlah sayang
Lepas semua pedih di hati
Karna cinta masih ada…
Dan s’lalu ada
Percayalah…
Jangan kau tutup hatimu
Raihlah bahagia hidupmu
karna cinta pasti ada dan s’lalu ada
Oh…percayalah
Percayalah…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar