—
The prairie of the lost, padang rumput luas tempat Cakka terdampar di dunia Kingdom of dream telah terlewati. Kini, Oik, Agni dan Cakka memasuki sebuah hutan pinus dengan pohon-pohon yang menjulang tinggi bagaikan menembus awan.
“Ayo!… teman kami tinggalnya di hutan ini, sebentar lagi kita sampai di rumahnya…” kata Agni dengan riang.
“Nama teman kami adalah Rahmi. Dia seorang manusia rubah, dan kerjanya adalah membuat ramuan-ramuan dari bahan alam. Biasanya burung-burung merpati datang kesini untuk membawa ramuannya ke kota untuk dijual atau dikirimkan pada pihak kerajaan”
“Oh…” Cakka hanya bisa manggut-manggut.
Dan tak lama kemudian, Cakka, Agni, dan juga Oik, sampai di depan sebuah rumah kecil sederhana. Rumah itu terbuat dari batu bata merah dan kayu jati yang kuat. Bagian belakang rumah seperti menyatu dengan pohon besar yang tumbuh di sana. Atapnya terbuat dari jerami-jerami yang ditumpuk, dan cerobong asapnya mengepulkan asap putih.
“Yay!.. Rahmi pasti sedang memasak!” seru Oik dengan semangat.
“itu berarti, kita bisa sekalian makan di sini!… Yes!” tambah Agni. Mereka berdua saling tos.
“Ayo Cakka!… masuk yuk!” ajak Oik dan Agni. Mereka berdua menggandeng Cakka ke depan pintu rumah kecil itu. Lalu berseru memanggil teman mereka.
“Rahmiiii….”
Tiba-tiba pintu terbuka dengan perlahan, dan munculan sesosok manusia perempuan. Ia memakai baju yang hampir menutupi seluruh tubuhnya, yang kelihatan hanya muka dan tangannya. Di atasnya kepalanya yang juga ditutupi oleh jubah yang seperti jilbab, ada sepasang telinga rubah dan dari depan terlihat ekor rubahnya yang tebal.
“Rahmi… lagi masak yah?” tanya Agni.
“Iya… masuk yuk!” ajak manusia rubah yang bernama Rahmi itu.
“Iyah…” Agni dan Oik segera masuk. Agni juga menggandeng Cakka agar ikut masuk ke dalam rumah Rahmi. Tapi tiba-tiba, Rahmi menghalangi jalan Cakka untuk masuk dan melepaskan tangan Agni dari Cakka. Rahmi seperti ingin memisahkan mereka berdua.
Agni, Cakka dan Oik tentu saja kaget. Lalu Rahmi memandang Cakka dengan tatapan tajam dan curiga.
“Siapa dia?” tanyanya. Oik dan Agni hanya tersenyum simpul, lalu merangkul Cakka dan berseru bersama.
“Ini Cakka!… Teman baru kita!…”
—
Beberapa menit berlalu. Cakka akhirnya diperbolehkan masuk ke dalam rumah Rahmi. Setelah ia duduk manis di sofa ruang tamu Rahmi yang terbuat dari rotan dengan bantal-bantal kecil hasil sulaman dari bunga-bunga kapas, Agni dan Oik langsung diajak Rahmi ke dapur. Mereka akan membicarakan sesuatu hal penting!… Apa yah?…
–
“Ayo Rahmi… bolehin ya…” kata Agni dan Oik memelas.
“Tidak! Keputusanku tetap tidak. Aku masih curiga dengan anak asing yang kalian temukan itu…” kata Rahmi tegas.
“Kenapa?…” tanya Agni dan Oik lagi.
“Ya… habis! Anak itu aneh!…” kata Rahmi lagi. “Agni!” Rahmi menunjuk Agni yang langsung menunduk. “Harusnya kamu tidak boleh menaruh kepercayaan sebesar itu kepada orang asing begitu saja. Mau-mau aja lagi dipegang telinganya. Telingamu kan merupakan asset penting bangsa dan kerajaanmu!..” bentak Rahmi makin keras.
“Hiks… hiks… ka’ Oii’… kak Oii’…” Agni yang langsung merasa bersalah pun menangis tersedu. Kata-kata Rahmi sangat menusuk hatinya. Ia mundur mendekati Oik dan mulai menjauh dari Rahmi. Lalu Oik merangkul adiknya itu dengan penuh sayang.
“Cup cup cup…” kata Oik sambil mengelus-ngelus kepala Agni. Sementara Agni berusaha menahan tangisannya.
Agni memang anak yang paling muda dan sensitive diantara mereka bertiga. Untungnya Agni tegar dan selalu berusaha menghapus air matanya, Ia yakin ia harus tetap ceria.
“Ha… hh… habis…” Agni mulai merangkai kata-katanya.
“Habis… Cakka lucu banget… udah gitu… Cakep… nge-gemesin… sama… Gembul… Terus kata Rahmi, kalo ketemu benda asing di hutan dan benda itu gembul dan puffy… katanya mending dibawa pulang aja…”
“Ya tapi kan maksud aku, kalo bendanya itu bunga kapas. Karena ragamnya banyak dan semua bentuknya puffy, makanhya aku bilang aman… Nah, mahkluk asing itu bukan bunga kan?” balas Rahmi.
Agni makin menunduk. Lalu Rahmi tambah melotot. Ia mengambil satu vase bunga dengan bunga kapas berbentuk hati dan berwarna merah yang so puffy diatasnya. Lalu Rahmi memperlihatkan bunga itu kepada Agni.
“Gembul yang ini…” Rahmi menunjuk bunga kapas merah di tangannya. “Boleh..”
“Gembul yang itu…” Sekarang Rahmi menunjuk Cakka yang berada nun jauh di ruang tamu. “… NGGAK BOLLEH!!”
Busset dah Rahmi… suaranya… dahsyat!. Oik dan Agni malah jadi ketakutan. Makin lama makin mundur mereka.
“Ta.. tapi…” kata Oik tergagap. Dan ia melanjutkan kata-kata terusannya dengan volume sekecil-kecilnya. “Kita boleh membiarkan dia tinggal di rumah kita kan?”
Dan lagi-lagi…
“NGGAK BOLLEH!!”
BRAK!!
Vase bunga yang ada di tangan Rahmi di hentakan ke meja dengan kekuatan super yang Rahmi miliki. Seketika ruangan seperti bergetar.
“Oik…” Agni berbisik kepada Oik. Oik pun menoleh ke Agni. “… Aku takut…”
Sebenarnya Oik juga setuju dengan perasaan Agni. Ia juga takut kalau Rahmi lagi marah-marah seperti itu.
“Rahmi…” kata Oik pelan-pelan.
“Apa!” balas Rahmi dengan nada yang bertolak belakang.
“Kok Rahmi jadi galak sih…” kata Oik.
“Iya… bikin ngeri…” tambah Agni.
“Hufft…“ Rahmi menghelakan nafas panjang. “Ya maaf deh… Habis… aku khawatir sama kalian” kata Rahmi.
“Oh…” Agni dan Oik pun membentuk mulut mereka menjadi huruf O.
“Soalnya… anak itu aneh banget!…” tambah Rahmi lagi.
Yang dimaksud Rahmi dengan kata ‘anak itu’ adalah Cakka.
“Liat deh…” Rahmi mengajak Agni dan Oik mengintip Cakka dari balik pintu dapur.
“Dia nggak punya telinga…” kata Rahmi dengar perlahan. Seirama dengan matanya yang meneliti Cakka dari ujung rambut sampai telapak kaki.
“Iya iya…” kata Agni dan Oik menyetujui.
“Terus… Dia nggak punya ekor!…”
“Hahh… Iyah!”
“Jangan-jangan dia siluman lagi?…” kata Rahmi dengan semua khayalannya.
“Iyah!… jangan-jangan dia berasal dari kota tersembunyi di tengah hutan itu… yang katanya tidak jauh dari hutan ini” tambah Agni juga.
“Ah… udah ah, sereeem…” Oik memohon agar cerita yang mulai mengarah ke tema horror itu dihentikan. Ia juga sudah menutup telingannya duluan.
Greeet….
Tiba-tiba pendengaran Agni yang tajam menangkap sebuah bunyi yang asing di telinganya. Suara itu berasal dari ruang tamu. Cakka kah?
“Agni! Oik! Lihat… di celananya, ada ikatan-ikatan yang terbuat dari besi dan bisa mengait dan melepas sendiri jika ujung besi yang berbentuk segitiga di geser… dan mengeluarkan bunyi yang memekakan telinga…”
“hooh…”
Aduh… Rahmi, Agni, Oik… itu sebenernya ret seleting. Namun bagaimana lagi? Dunia mereka memang berbeda. Jauuuuh berbeda. Dan bagi mereka, Cakka adalah sesosok mahluk yang paling aneh yang pernah mereka temui.
“Ih… Kayaknya Cakka nggak aman deh disini… Pokoknya dia aneh banget deh. Pasti langsung ditangkep, terus… di masukin ke penjara kalo ketemu ‘Cop castle’” kata Rahmi.
Agni dan Oik hanya manggut-manggut dan diam. Mereka seperti tenggelam dalam pikiran mereka.
“Ah! Aku tahu!” seru Agni. Sepertinya ia baru menemukan sebuah ide yang brilian. Lalu Agni membisikan idenya itu pada Oik.
“Hooh! Iya bener! Agni pinter ih!…”
Duuh… Agni jadi kegeeran sendiri. Ia tarik telinganya ke bawah dan bahunya goyang kesana kemari. “He he… makasih…”
“Eh… pada bisik-bisik apa sih?” tanya Rahmi penasaran.
“Ini loh…” Oik pun membisikan ide brilian Agni pada Rahmi.
“Oh… bisa juga sih… Rahmi sih setuju-setuju aja. Tapi… apa kalian yakin rencana ini akan berhasil?” tanya Rahmi.
“Yakin! 100 persen!” seru Agni dengan semangat 45. Oik juga ikut mendukung dengan mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya.
“Oke… itu seterah kalian… aku akan berusaha sebaik mungkin untuk membantu kalian!… Apa yang bisa aku bantu?” tanya Rahmi.
Agni dan Oik berpikir sebentar.
“Ng… Oh iya!” seru Oik. “Rahmi masih simpan kostum kucing untuk ‘Cat Raining day’ kan?” tanya Agni.
“Masih..”
“Kalo gitu… kostumnya kita pinjem deh!”
—
“Cakka!…”
Agni dan Oik keluar dari dapur dan berlari menghampiri Cakka.
“Kita ke kamar loteng yuk…”
“Hah?…”
Cakka kaget. Baru sedetik ketemu, Agni dan Oik sudah mengajaknya lari-lari lagi. Namun Cakka juga tidak bisa menolak. Dan akhirnya, Cakka, Agni dan Oik pun kejar-kejaran di tangga. Oik ngisengin Agni sih… jadi pada lomba berdua. Cakka juga kan nggak mau ketinggalan, akhirnya lari-lari dah tu anak bertiga di tangga rumah Rahmi yang sempitnyaaa minta ampun.
—
Brak!
Pintu loteng terbuka keras. Oik, orang yang telah mendobrak pintu loteng itu langsung masuk dengan bangganya.
“Yay! Aku menang!…” katanya sambil mengepalkan tangannya dan mengangkatnya tinggi-tinggi. “Oik menang!… Eh, jatoh!” Oik terkejut. Selagi ia berseru dengan bangga, Agni mendorongnya ke depan. Habis… Oik menghalangi jalan masuk ke dalam loteng.
Brug..
“Aduh… kakiku keseleo…” keluh Agni yang tadi langsung terhempas di sofa tua berwarna coklat. Ia memegangi kaki kirinya yang lemas karena keseleo. “Sakiiit…”
“Oh iya! Agni! Oik menang! Nanti jatah makan kamu dikasih ke aku…” kata Oik.
“Yah… jangan… aku kan juga laper…”
Lalu masuklah Cakka. Nafasnya terengah engah. Ia bersandar di dinding pintu sambil mengatur nafasnya agar kembali stabil.
Lalu Agni berdiri dan jalan terpincang-pincang ke Cakka.
“Cakka…” katanya pelan.
“Hm?” Cakka langsung menatap Agni.
“Jatah makanan kamu buat aku yaaah…” lanjut Agni. Ia memegangi pundak Cakka dan memasang muka memelas.
“Boleh yaa…” Agni memohon sekali lagi.
“Eeh… boleh deh..”
“Yay! Cakka baik deh..” Agni memeluk Cakka lagi.
Cakka sih nggak keberatan dengan kebiasaan Agni dan Oik itu. Malah bisa dibilang dia kesenengan. Kayaknya suasana di sekitar kedua manusia kelinci di dekatnya itu selalu ceria.
“Makasih Cakka…” bisik Agni saat memeluk Cakka.
“Agni!” Oik memanggil dari kejauhan.
“Ya?” Agni pun langsung menyahut. Ia melonggarkan pelukannya pada Cakka, namun tangannya masih bertumpu pada kedua pundak Cakka.
“Menurut kamu, bagus yang Hitam… Orens… atau.. Abu-abu?” tanya Oik. Ia memegang 3 buah kostum kucing berukuran tubuh Cakka. Sebenarnya kostum itu hanya terdiri dari pasangan telinga dan ekor serta 2 sarung tangan yang dibuat seperti tangan kucing. 2 sarung tangan itu pun jika tidak mau dipakai tidak apa-apa.
“Oh iya! Kostum kucingnya!” telinga Agni berdiri, mengibaskan beberapa helai rambut Cakka. Barulah setelah itu Agni benar-benar melepaskan pelukannya dari Cakka, dan menghampiri Oik.
Lalu, Agni dan Oik berdiskusi. Sepertinya mereka membicarakan tentang ketiga kostum kucing itu. Cakka sih cuma bisa merhatiin dari jauh, tapi dalam benaknya Cakka berkata,
“Hm… maunya sih… warna hitam..”
“Cakka…” panggil Agni dan Oik bersamaan.
“Iya?” Cakka segera menyahut. Lalu Agni maju dan memperlihatkan kostum kucing yang hitam.
“Coba pakai yang ini deh…” katanya.
“Jangan!…” Oik menyelak tiba-tiba. “Pakai yang abu-abu dulu…” kata Oik sambil memperlihatkan kostum kucing pilihannya, yaitu kostum kucing abu-abu.
“Ah.. hitam aja…” kata Agni.
“Jangan… abu-abu bagus…” kata Oik.
“Hitam!”
“Abu-abu!”
“Hitam!”
“Abu-abu!”
“Aaaah…”
Waduh! Kayaknya bakal terjadi pertarungan sengit nih kalau pertengkaran mereka nggak diakhiri. Akhirnya Cakka pun mengambil alih.
“Aduh… stop! Stop! Stop! Agni sama Oik jangan berantem…” kata Cakka yang bermaksud melerai mereka berdua. “Kalo gitu aku yang milih deh, yang mana yang aku coba duluan… aku pilih yang…”
“Hitam…” kata Agni.
“Abu-abu…” kata Oik.
“Eh… orens aja deh..”
“Yah…” Agni dan Oik langsung menunduk lesu. Habis mau gimana lagi? Kalo Cakka milih yang hitam atau abu-abu, pasti tambah menjadi-jadi pertengkaran mulut ini.
—
5 menit kemudian…
Cakka keluar dari ruang ganti, memakai kostum kucing berwarna hitam.
“Kiutooo…” Agni dan Oik terpana. Pupil mereka bergerak-gerak. Mata mereka seperti bercahaya. “Kereeeen….”
Ho ho ho… Cakka senyam-senyum. Langsung ninggi charisma dia.
Cakka getooo… semua baju dipake-in ke Cakka mah pasti keren. Hagz hagz..
“Tapi.. masih lebih royal yang abu-abu” kata Oik.
“Tapi lebih asik yang item…” kata Agni. “Kayak.. itu loh… apa?…”
“Kayak apa?” tanya Cakka dalam hati. Sungguh… ia penasaran.
“Kayak skaters!” seru Agni.
Weiss… ternyata anak fantasi kayak Agni dan Oik kenal sama istilah skaters, keren amat… he he… padahal ret sleting aja nggak tau.
“Tapi.. tapi…” kata Oik terputus. “Kan gelap…”
“Itu dia!” seru Agni. “Jadinya kan kontras sama warna kulit Cakka” kata Agni.
“Tapi nanti jadi serem…” kata Oik lagi.
“Nggak kok… malah jadi misterius.. keren…” kata Agni.
“Tapi kan jadi nggak kayak pangeran yang sopan, berwibawa, dan bijaksana…”
“Ya nggak papa… ceritanya Cakka itu pangeran kegelapan yang lari dari dunia gelapnya…”
Oh… jadi istilahnya kayak badboy gitu ya, Ag? Boleh juga. Dan biasanya kan, anak-anak macam itu sudah terlatih dalam bertarung, kuat, berani, dan rela berkorban demi seseorang yang sangat ia cintai.
“Lagian, Cakka nggak serem kok… Cakka kan lucu… gembul… so cute…” tambah Agni sambil memeluk kostum kucing orens yang ditaruh di sofa tua.
“Oh iya yah…” wah… ternyata setelah itu Oik setuju dengan Agni.
“Kan Cakka Gembul tuh… lucu… nggak mungkin nyeremiiin…” kata Oik sambil memutari Cakka.
“Terus… Cakka ndut! Ha ha”
Oh… gara-gara Cakka ndut toh? jadi nggak serem. Nggak pa-pa lah, walau ndut kayak gini, Cakka tetep keren dan ganteng. Iya kan Cak? Lagi pula… Cakka nggak kecewa kok. Tadinya kan dia memang ingin memakai kostum yang hitam.
—
Akhirnya waktu Cakka, Agni dan Oik untuk mengunjungi Rahmi pun selesai. Rahmi memberikan bingkisan kue biscuit warna-warni, satu bungkus untuk satu orang.
“Hati-hati yah nanti di kota…” kata Rahmi di ambang pintu.
“Siiip Rahmi!… rahmi juga baik-baik yah di sini. Terus… nanti kirimin Cairan Sparkly dust yang banyak… sama cairan daun putih juga, sekalian buat Cakka” kata Agni.
“Hah? Cairan sparkly dust? Daun putih? Apa itu?” tanya Cakka.
“Itu buat mandi…” kata Agni.
“Iya… di rumah kita, cuma ada persediaan buat kita doang. Cakka kan juga harus mandi…” tambah Oik.
Mandi? Jadi… cairan itu… buat mandi kah?
“Ya udah yuk, mending kita ke rumah sekarang…” kata Oik.
“Tunggu!” kata Cakka tiba-tiba. Agni, Oik maupun Rahmi langsung memperhatikannya.
“Maksud kalian… ini bukan rumah kalian?” tanya Cakka.
“Ya bukan!… ini tuh rumah Rahmi..” kata Oik.
“Rumah kita jauh dari sini” tambah Agni.
“Jauh?…” Wah… Cakka kok tiba-tiba jadi ciut.
“Rumah kita ada di kota…” kata Oik.
“Bukan… tapi di pinggir kota” Rahmi membenarkan.
“Iya! Tepatnya di puncak pinggir kota!…” kata Agni dengan semangat.
“Berarti… kita harus lewat kota dong?” tanya Cakka.
“Benar! Seratus untuk Cakka!” seru Oik dengan riangnya.
“Oh iya, Cakka kamu hati-hati ya… di kota banyak copcastle, nanti kalo ketahuan kamu nggak punya telinga dan ekor bisa-bisa kamu dijeblosin ke penjara” kata Rahmi menakut-nakuti.
“Nggak pa-pa kok… dengan kostum kucing hitam buatan Rahmi, identitas Cakka pasti nggak bakal ketahuan” kata Agni yakin.
“Ya udah, Rahmi… kita pergi dulu yaa” Oik dan Agni pamitan. Cakka lalu mengangguk, ia juga ikut pamitan.
“Iya… baik-baik ya di kota…”
Agni, Oik, dan Cakka melambaikan tangannya pada Rahmi. Rahmi juga membalas.
“Da daa, Rahmi…”
“Iya! Daaa”
Lalu Oik dan Agni mulai berlari dan melompat dengan gesitnya di antara akar-akar pohon yang besar.
“Ayo Cakka, kita harus cepat ke kota, sebentar lagi kota akan ramai oleh pawai penyambutan putra dan putri mahkota kerajaan tetangga” kata Oik.
“Oh iya! Kak Oik, kita kan juga belum mandi…” bisik Agni pada Oik.
“Oh iya! Aduh… aku lupa!… Cakka ayo cepat! Kita lomba lari Yah”
“Hoh?… iya-iya bentar!” Cakka segera mempercepat langkahnya.
Oik mulai memberi aba-aba.
“Satu… Dua… Lari!..”
Agni dan Oik berlari secepat tenaga. Sementara Cakka.
“Yah… Agni! Oik!… kok nggak bilang, nggak pake tiga?… Tungguin…”
“Ha ha..”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar