Selasa, 21 Agustus 2012

Kingdom Of Dream_Part 5: Cafe Happy Chipmunks


Kingdom Of Dream
part 5: Cafe Happy Chipmunks
Matahari semakin terik. Agni, Cakka dan juga Oik tidak bisa melakukan apa-apa tentang cuaca hari itu. Sepanjang perjalanan mereka terus mengusap dahi mereka yang dibanjiri keringat.
“Uh… untung saja sebentar lagi mau sampai.. sepertinya aku akan langsung pingsan kalau harus berjalan 10 meter lagi” keluh Oik yang tidak tahan panas.
“Memang cafénya ada di mana, Agni?” tanya Cakka kepada Agni. Saat itu ia tidak berani bertanya sesuatu kepada Oik. Takut Oik tambah frustasi.
“Sebentar lagi kita sampai kok. Tinggal belok ke gang ‘Amesty Rope’ lalu naik beberapa tangga” jawab Agni sambil tersenyum manis.
Ternyata benar apa yang dikatakan Agni. Tak lama kemudian di samping kiri mereka terdapat sebuah gang yang beratapan batu bata merah yang di tumbuhi oleh tanaman-tanaman rambat dengan bunga warna-warni. Cakka, Agni dan Oik masuk ke gang itu. Baru dua meter berjalan gang itu sudah mentok, tapi di kanan mereka ada sebuah tangga dari batu. Lalu mereka naik ke tangga itu. Makin lama tangga semakin teduh karena beberapa pohon yang menghalangi cahaya matahari dari atas. Lalu tangga itu berubah menjadi seperti gua. Makin lama makin menjorok ke dalam hingga akhirnya dinding-dinding gua itu ada yang bolong. Cakka mengintip keadaan di luar dari bolongan di dinding gua. Ternyata posisi mereka sudah cukup tinggi dari jalan setapak kota. Lalu perjalanan di dalam gua pun berakhir. Cakka, Agni dan Oik keluar dari gua dan sekarang mereka melewati gang seperti gang Amesty rope di awal mereka masuk.
Cakka menengadahkan kepalanya. Ia melihat burung-burung yang terbang di langit biru. Ada salah satu burung yang membawa kantong putih kecil di kakinya.
“Pasti itu burung yang mengantarkan ramuan Rahmi ke rumah Agni dan Oik” pikirnya.
Lalu Cakka tertawa kecil. Ia melihat Agni dan Oik yang masih berjalan, lalu kembali memandang langit biru.
“Kira-kira sekarang kak Elang lagi ngapain yah?” Cakka mulai tenggelam dalam lamunannya. Ia memikirkan kak Elang yang mungkin sedang kebingungan mencarinya.
“Huft… bodohnya aku.. tadi aku lupa bertanya kepada Rahmi tentang Bumi. Ah.. sudah lah… dari kecurigaannya padaku sudah pasti Rahmi tidak tahu menahu tentang Bumi’.
Cakka terus melamun sampai tiba-tiba ia merasa suatu kain basah menyentuh dagunya. Namun bukannya mundur, Cakka malah makin maju dan menengok kedepan. Alhasil kain basah yang sebenarnya baju-baju yang sedang di jemur oleh salah satu warga kota Kingdom Animalia pun jatuh menimpa kepala Cakka.
“Haa… hmp.. Aaa…” Cakka berteriak kebingungan. Ia seperti orang buta sekarang. Tangannya diangkat kedepan, mencari-cari sesuatu untuk dijadikan pegangan.
Karena mendengar keributan di belakang, Agni dan Oik yang tadinya sudah jauh langsung berbalik.
“Jangan-jangan Cakka tertangkap copcastle!…” kata Agni cemas.
“Haa.. jangan sampai..”
Oik dan Agni langsung lari kembali ke Cakka. Dan ternyata, setelah jauh-jauh Agni dan Oik berlari menguras tenaga, dengan persasaan cemas terhadap Cakka, ternyata yang mereka temui malah Cakka yang sedang berputar-putar tidak jelas dan tanpa arah, dengan baju berwarna merah tua yang menutupi kepalanya.
“Ha ha ha ha ha ha ha…” Agni dan Oik langsung tertawa melihat keadaan Cakka saat itu. Well, setidaknya tenaga mereka tidak terbuang percuma. Setelah lari jarak dekat itu mereka bisa merilekskan pikiran mereka dengan tertawa dengan lepasnya.
“Cakka… Ya ampuuuun…”
Sekarang Cakka sudah terbebas dari baju merah tua yang menutupi kepalanya. Rambutnya lumayan basah terkena air di baju itu.
“Makanya, Cakka… kalo jalan di gang ini jangan meleng. Terkadang ada beberapa warga yang sembarangan menjemur pakaiannya di sini. Padahal sudah dilarang.. huft…” kata Agni sambil memeras beberapa tetes air yang ada di rambut Cakka.
“Tenang.. rambut Cakka akan kering kok sebelum kita sampai di café..” ujar Oik yang bermaksud menghibur Cakka. Tapi baru 3 detik berjalan, Agni sudah berseru duluan.
“Eh, kita udah sampai!”
Yup, that’s right!. Cakka, Agni dan Oik telah sampai di café yang mereka tuju. Yaitu café Happy Chipmunks. Dari luar café itu kelihatan sangat kecil, mungkin dikarenakan area gang yang memang agak sempit untuk berlalu lalang. Kalau café ini letaknya di pinggir jalanan kota, pasti kelihatan sangat besar.
Café Happy Chipmunks ini sangat panjang atau lebih tepatnya luas kesamping. Jendela-jendelanya bersih kinclong layaknya baru di bersihkan 5 menit sebelum Cakka, Agni dan Oik datang, dan di pintu masuk tercantum nama café, “Café Happy Chipmunks”.
Di dinding-dinding bata yang menjadi bahan utama bangunan ini ada beberapa tanaman rambat yang tumbuh teratur, di tambah beberapa pot bunga berwarna yang ditaruh di sisi jendela. Di atasnya di gantungkan beberapa pot dengan bunga-bunga lily. Dan jika kita perhatikan dengan seksama, ada sebuah sarang burung di atap café yang terbuat dari kayu. Di samping kiri-kanan café terdapat pot yang ditanami tanaman kayu, begitu juga dengan kiri-kanan pintu masuk. Dan di ranting-ranting tanaman kayu itu, di lilitkan sebuah lampu-lampu kecil berwarna kuning. Seperti lampu-lampu yang biasanya ada di café-café kota paris. Sayang.. Cakka, Agni dan Oik datangnya di saat siang hari yang sedang panas, jadi mereka tidak bisa melihat cahaya lampu-lampu itu untuk sementara.
Kembali ke Cakka, Agni dan Oik, mereka berdiri di depan café dengan pandangan terkagum-kagum. He he.. sebenarnya yang kagum cuma Cakka, ia tidak percaya café di gang kecil seperti ini bahkan ada café yang tampak indah seperti di jalan-jalan kota ramai. Lalu ia memegang rambutnya dan berujar.
“Mau masuk café yang bagus masa baju dan rambut aku kayak gini sih?…” keluh Cakka terhadap dirinya sendiri.
Lalu, seperti tau apa yang ada di pikiran Cakka, Agni membalas. “Nggak papa… café ini menerima siapa aja yang masuk kok… rambut Cakka juga tetep kereen..”
Ha ha.. Agni bisa aja. Cakka merasa mulai mendingan. Lalu mereka bertiga pun masuk ke dalam café.
Pintu café terbuka. Ketika melangkah ke dalam, mereka sudah disambut oleh pelayan laki-laki berparas cakap. Ia memakai baju kemeja putih polos, dan vest atau rompi hitam. Rambutnya hitam gelap dan di kepalanya terdapat telinga tupai.
“Hmm… aku tau kenapa café ini dinamai Happy Chipmunks…” batin Cakka.
Pelayan itu tersenyum, dan sambil tersenyum ia berkata.
“Welcome… welcome… Selamat datang di café Happy Chipmunks… café di mana cahaya kunang-kunang menerangi hatimu… dan alunan music menenangkan pikiranmu… kami akan melayani sampai kalian sepenuh hati… Tuan dan Nona… ada yang bisa saya bantu? Ingin duduk di bangku yang mana?” kata Pelayan itu panjang lebar. Suaranya yang serak-serak basah membuat kata-kata welcome terdengar istimewa. Pandangan matanya tajam, namun memancarkan aura yang ramah.
Agni tersenyum dan membalas perkataan pelayan itu.
“Deva… tidak usah menyambut kita sampai segitunya… seperti baru bertemu pertama kali saja..”
“Ha ha..” pelayan yang bernama Deva itu tertawa kecil sambil menepuk-nepuk kepala bagian belakangnnya. “Habis… kalau tidak seperti itu, nanti aku dimarahi lagi oleh Rio…” katanya.
Lalu terdengar seruan dari ujung café. Seruan itu bersumber dari bar kecil, tempat para bartender melakukan beberapa atraksi sederhana dengan melontarkan botol-botol wine mereka sambil menuangkan anggur ke gelas sang penikmat wine. Di sana ada seorang laki-laki sebaya dengan Agni dan Oik. Laki-laki itu juga bertelinga tupai dan matanya agak sipit. Ia berseru.
“Hoi, Deva… ada pelanggan ya?… Ayo suruh mereka masuk…”
Tanpa Deva suruh masuk, sebenarnya Agni dan Oik akan menghampiri bartender itu sendiri.
“Riooo…” sapa Agni dan Oik.
Bartender yang bernama Rio itu agak kaget saat disapa oleh Agni dan Oik. Ia yang tadinya sedang sibuk dengan botol-botol wine langsung menaruh botol wine yang ia pegang dan balas menyapa Agni dan Oik.
“Agni.. Oik… Kalian datang?… bagaimana bisa?… bukankah Profesor Degor melarang kalian keluar dari istana?” tanya Rio yang tidak menyangka akan didatangi oleh kedua temannya yang manis dan imut itu.
“Iya… tapi professor sedang keluar kota. Tadi pagi Alvin menyampaikan sebuah surat undangan untuk professor. Katanya Alvin, para minister memanggil professor secara mendadak. Tidak tau untuk apa?…” jelas Oik.
“Jadi… dari pada bosan di istana kita memilih untuk jalan-jalan di bukit dekat rumah Rahmi” tambah Agni.
“Oh…” Rio manggut-manggut.
Deva bertanya pada Agni dan Oik, “mau duduk di cafénya atau di bar?”. Agni dan Oik langsung sepakat bersama untuk duduk di bar. Cakka pun ikut duduk disamping Oik. Dari tingkah lakunya sepertinya Deva paling dekat dengan Agni. Yah, bukan cuma Deva sih. Sebenarnya mungkin seluruh Pelayan-pelayan di sini sudah dekat dengan Agni maupun Oik. Cakka jadi agak tenang. Tapi mulai muncul pertanyaan baru di benak Cakka. “Apa yang di maksud Rio dan Agni dengan istana?”
Lalu Rio menanyakan minuman apa yang ingin disuguhi kepada Agni dan Oik. Agni menjawab jus melon. Sangat sederhana yah… tapi Agni memang sangat suka dengan jus melon. Itu adalah minuman favoritnya. Sementara Oik memesan satu milkshake corna  village, di tambah butiran chocorise di atasnya. Setelah bertanya-tanya Cakka akhirnya tau kalau milkshake corna village adalah sebuah milkshake yang di dalamnya ada bola-bola kecil warna-warni  yang renyah namun rasanya semanis popcorn yang tentu saja manis. Ingat popcorn manis yang biasa kita beli untuk menemani kita menonton film di bioskop? Kira-kira seperti itu manisnya. Sementara butiran chocorise itu adalah hasil tumbukan biscuit hitam yang di buat sendiri oleh Rio. Kata Rio, ia menamakannya chocorise karena warna butiran itu hitam dan sedikit terasa seperti coklat, lalu kata rise diambil dari namanya ‘Ri’ dan dia ingin butiran chocorise itu bisa terkenal jadi menu istimewa café Happy chipmunks nantinya.
Lalu Rio memandang Cakka dan bertanya dengan hati-hati. “Eeh… anda…?” Rio agak bingung harus memanggil Cakka dengan sebutan apa. Tuan? Nak? Atau… brader mungkin? Ha ha… tentu saja bukan brader. Dan Oik pun langsung membantu Rio dan Cakka yang sama-sama takut salah ngomong.
“Rio, Ini teman baru kita, namanya Cakka…” jelas Oik.
“Oh…” Rio membuat mulutnya seperti huruf O. Lalu ia balas bertanya pada Oik. “Cakka datang dari Negara mana, Oik?… bukankah sudah jarang ada ras kucing di kingdom Animalia ini?”
“Eh…” Oik jadi bingung sendiri. Ia menyenggol kaki Agni yang ada di samping kirinya. “Tolongin…” pinta Oik dengan muka memelas dan suara pelan.
Agni berpikir dengan segala imajinasinya. Mencoba mengarang sebuah nama Negara yang mendeskripsikan wujud kucing Cakka.
“Eh…” Agni masih berpikir, hingga akhirnya, “Ah!…” Ia menemukan jawaban. “Cakka datang dari Negara Catiophia…” kata Agni dengan pedenya. Motonya saat itu kira-kira seperti ini..
Ngasal-ngasal, yang penting pede!
Dan ternyata moto Agni saat itu mujarab. Dengan kepedeannya yang tinggi, Agni berhasil meyakinkan Rio kalau Cakka memang datang dari Negara Catiophia.
“Oh… Baiklah kalau begitu…” Rio pun mulai mencoba akrab dengan Cakka. Dan dimulai dengan menanyakan pesanan. “Jadi…, Cakka mau memesan apa?” tanya Rio.
“Eh…” Cakka memandang daftar menu yang tercantum di papan sebelah rak-rak wine. Di antara semua menu itu nggak ada yang cakka mengerti. Jadi Cakka menjawab.
“Eh… air putih… ada nggak?” tampang Cakka langsung jadi polos.
“Air putih?…” sekarang Rio yang bingung. “Maksud Cakka… susu murni?”
“Hoh?… bukan… tapi… kalo gitu susu murni ada nggak?”
“Susu murni… nggak ada…” Rio mulai gugup. Ia tidak akan bisa memaafkan dirinya kalau sampai mengecewakan pelanggannya.
“Kalo gitu… aku pesan yang kayak Oik aja deh” kata Cakka.
“Baik. Minuman akan siap dalam waktu 10 menit, silahkan tunggu…” kata Rio. Rio pun masuk ke sisi bar yang ditutupi oleh tembok kayu hitam. Terdengar alat-alat yang sedang di pergunakan Rio untuk membuat minuman-minuman itu. Sepertinya Rio adalah bartender istimewa. Tak hanya ahli dalam hal membolak balik botol wine, ia juga handal dalam membuat segala macam minuman dengan look yang menggiurkan.
Sementara itu, Deva yang tadi sedang mengelap-ngelap meja café duduk di sebelah Agni. Agni pun bertanya kepada Deva.
“Keke mana, Deva?”
“Oh.. kalo Keke… dia lagi di ruangan staff.., lagi coba-coba seragam baru..” kata Deva tak lepas dari senyumannya.
“Wah! Aku mau liat!” seru Agni. Oik yang mendengar juga ikut mengangguk-anggukan kepalanya.
“Tenang saja… Keke bakal keluar bentar lagi kok..” kata Deva lagi.
“Terus… Ray di mana, Deva?” tanya Oik. “Kok dari tadi nggak keliatan?”
“He-eh” Agni ikut bertanya.
“Ray tadi keluar… Stok sayuran di café kita habis, kemarin banyak banget yang mesen salad seafood. Rio langsung nyuruh Ray buat beli sayurannya deh…” jelas Deva.
“Emang Ray beli sayurannya jam berapa?” tanya Oik lagi.
“Sebenarnya sih jam 7-an… masih pagi… tapi sayurannya cuma bisa di beli di tengah kota” jelas Deva lagi.
“Wah!… di situ kan ada pawai…” kata Agni.
“Nah itu dia… kayaknya Ray terjebak di pawai itu… semoga dia nggak kenapa-napa” kata Deva mengakhiri informasinya tentang Ray, temannya sesama employee café.
Eh, ternyata Ray panjang umur loh!. Baru saja diomongin pintu café sudah terbuka lebar karena dorongan seseorang dari luar. Orang itu berseragam sama dengan Rio dan Deva. Rambutnya gondrong sebahu, namun dia malah kelihatan menarik dengan rambut gondrongnya itu. Dan orang itu tidak lain adalah Ray.
“Hoaaaah!…. Cappeeeeek!… Aduh…” Ray masuk membawa plastik putih dengan sayur-sayuran di dalamnya. Nafasnya terengah-engah, keringat di dahi, dan rambut agak lepek, mata sayu seperti mau pingsan dan ia terkulai begitu saja di meja yang paling dekat dengan pintu masuk café.
“Ha ha.. Sabar, Ray… setidaknya sekarang kamu sudah bisa santai di café. Hari ini kayaknya nggak ada pelanggan, kecuali putri-putri kita itu…” kata Deva sambil melirik kepada Agni dan Oik. Deva mendekati Ray dan menepuk dua kali pundak temannya yang sudah teler itu.
“Ayo bangun.. Katanya, Rio mau bikinin minuman kesukaanmu loh..” bujuk Deva. Lalu Ray pun bangun dan berjalan dengan gontai ke area bar. Dan ia duduk di sebelah Cakka.
“Rio, bikinin crystal tea dong…” pinta Ray sedikit berseru ke arah Rio.
“Siip!…” Rio menjawab dan menampakan jempolnya dari balik dinding kayu.
“Huhh… Pusat kota makin lama makin menggila… tadi ramai sekali.. hampir sulit untuk bernafas…” kata Ray membagi perjuangannya saat membeli sayuran di kota.
“Ray, tadi kamu melihat pawai nya tidak?” tanya Agni.
“Oh… kalau pawai aku lihat. Orang-orang di kota sangat histeris menyambut kedatangan para pangeran dari negeri tetangga, malah bisa dibilang ricuh. Ketika pangeran dari negeri Ratakela datang ada satu orang perempuan yang langsung teriak histeris. Dia berteriak, “Deboooo…. Debooooo….” dan di akhirnya pitch-nya jadi tinggi banget. Kayaknya telingaku mau pecah. Aku saja hampir tidak bisa mendengar apa-apa saat itu” jelas Ray lagi.
“Oh…” Agni dan Oik manggut-manggut.
Lalu Rio keluar dari dinding pembatas bar membawa jus melon pesanan Agni, dan dua milkshake corna  village pesanan Oik dan Cakka. Juga tak lupa menyuguhi Ray Crystal tea setelah kerja kerasnya menempuh jalan panjang dalam keramaian pawai.
Tak lama setelah itu pintu ruang staff terbuka dari dalam. Agni dan Oik langsung mencari-cari orang yang mereka tunggu dari tadi. Dan keluarlah seorang anak yang cantik, dengan bibir simetris, pipi yang tembem dan poni yang disusun kedepan. Anak itu tersenyum.
Agni dan Oik langsung terpana. “Cantiknyaaa…”
Anak perempuan itu pun keluar dari ruangan staff sambil tersenyum. Rambutnya yang hitam terlihat indah dengan bandana ala maid. Beberapa rambutnya dikuncir kiri-kanan dan sisanya di biarkan terurai sedikit ikal di bawah.
Agni dan Oik langsung berlari menghampiri anak perempuan itu yang tak lain adalah Keke.
“Keke… cantik…” kata mereka berdua.
“Bajunya bagus… sepatunya juga..” kata Oik mengomentari penampilan baru Keke. Keke yang dipuji hanya bisa tersenyum.
“Siapa yang bikin, Rio?” tanya Agni. Ia bertanya kepada Rio karena biasanya Rio lah yang mengatur segala sesuatu tentang café. Dia seperti pemimpinnya.
“Yang bikin baju anak tetangga..” kata Rio.
“Anak tetangga?” Agni dan Oik bertanya-tanya.
Lalu Deva menjelaskan bagaimana bisa baju itu terbuat.
“Jadi begini… kemarin ada anak perempuan yang tinggal di dekat sini, namanya Acha. Dia baru saja pulang dari pusat kota, dan cuaca hari itu sedang panas-panasnya. Akhirnya ia pun mampir ke café ini. Karena haus, ia sudah hampir meminum 3 gelas cappuccino dan 1 ice cream, tapi ternyata setelah ditagih uangnya oleh Ray, dia lupa bawa uang lebih” jelas Deva.
Lalu Ray melanjutkan ceritanya.
“Katanya uangnya habis untuk beli buku sketsa dan pensil berwarna. Sudah lagi ternyata kunci rumahnya ada di tangan tantenya yang juga lagi pergi. Ya sudah… akhirnya dia membayar semua itu dengan menggambarkan sebuah design baju buat pelayan café. Tapi yang cewek… Huh… bisa saja yah”
“Tapi kita tidak rugi kok” kata Rio. “Ternyata baju yang di gambar itu memang terlihat bagus di Keke. Dan Keke juga terlihat makin cantik dengan baju itu”
“Iya memang benar” kata Deva menyetujui.
“Iya.. aku akui design bajunya memang bagus… cocok buat Keke” kata Ray juga.
“Makasih semuanya…” Keke tersenyum ramah. Dan ternyata senyumannya juga tambah cantik dengan baju itu. He he…
Lalu Agni dan Oik kembali ke kursi bar mereka. Rio menyuruh Keke menaruh sayuran yang Ray beli tadi di Dapur. Setelah itu café menjadi sedikit lebih sunyi dari yang tadi. Bunyi yang jelas terdengar hanya beberapa sedotan dan sendok kecil panjang yang mengenai gelas kaca karena milkshake yang sedang di aduk.
Setelah meminum Crystal tea bikinan Rio, Ray pun merasa semangat kembali. Dan ia baru sadar ada seorang anak laki-laki yang tidak ia kenal duduk disampingnnya. Ray pun menengok ke Cakka dan mengajak berkenalan. Cara berkenalan Ray ini sepertinya sangat Straigth to the point. Jadi Cakkanya agak kagok saat di ajak bicara pertama kali.
“Hai!.. Dari tadi kamu diam saja. Dan sepertinya aku baru bertemu denganmu pertama kali” kata Ray dengan santai.
Deva yang lewat di sisi Cakka pun berbisik dengan pelan. “Ray itu kadang suka straight to the point. Tapi kalo udah deket, anaknya asik kok”
Cakka diam-diam mengangguk mendengar bisikan Deva. Namun matanya tetap memandang Ray.
“Nama kamu siapa? Bisa main apa?” tanya Ray. Dan benar bukan. Soo Straight to the point.
Tapi ternyata, mendengar pertanyaan Ray itu, tiba-tiba Cakka jadi merasa tertantang.
“Aku Cakka. Bisa main gitar” jawab Cakka tanpa keraguan sedikit pun.
“Benarkah? Wah! Kalo aku Bisa main drum! Dan aku juga lumayan bisa main gitar. Kita main gitar bareng yuk!… di… situ!” Kata Ray dengan semangat. Ia menunjuk panggung kecil yang ada di samping café. Wah sepertinya Ray dan Cakka akan jadi teman dekat nih.
“Biasanya aku bernyanyi dan menghibur para pelanggan dari atas panggung itu” kata Ray lagi. “Jadi… kita main yuk”
“Ayuk” Cakka dan Ray pun berjabat tangan ala sobat sejati. Dan mereka berjalan ke samping café layaknya gentleman.
Kriiiing…
“Hah? Ada telepon di saat seperti ini?” Deva heran. Jarang-jarang ada yang menghubungi café sekitar jam segini.
Keke baru keluar dari dapur, ia pun mengangkat telepon itu.
“Halo…” katanya.
“Oh iya… Oh, iya iya…”
Cklek.
Telepon ditaruh kembali oleh Keke. Dan Ia menyampaikan kata “Tadi itu Alvin. Katanya, professor Degor sudah di jalan pulang, katanya sebentar lagi dia akan sampai di istana”
“Hah?!… sudah pulang?… aku kira professor akan pulang malam hari” kata Oik tidak percaya.
“Katanya jadwalnya di cepatkan secara mendadak” kata Keke lagi.
“Wah, kalau gitu kita harus segera pulang… hfft… padahal masih mau disini…” keluh Agni.
“Nggak papa kok, kemarin aku ketemu salah satu pengawal kerajaan. Katanya kemungkinan café Happy Chipmunks di undang ke istana untuk melayani para putri dan pangeran yang datang nanti” kata Deva yang berniat menghibur Agni.
“Hah? Yang benar?” tanya Agni dan Oik serempak.
“Iya benar..” kata Rio.
“Ya sudah, kalau begitu kita cepat pulang. Agar bisa bersiap-siap untuk dilayani oleh kalian” kata Oik.
“Siiip… kita juga anak melayani semampu kita” Kata Rio, dan di-iyakan oleh Deva.
“Cakka. Ayo!… kita harus cepat-cepat ke pulang. Kalo kepergok kabur oleh professor bisa-bisa kita dihukum” kata Agni.
Cakka yang sedang asyik bermain gitar bersama Ray pun harus rela meninggalkan teman barunya. Begitu juga dengan Ray.
“Ya sudah… besok-besok kita main lagi yah..” kata Ray pada Cakka.
“Pastinya” Cakka dan Ray pun tos-an. Cakka menaruh gitar yang ia pegang dan disandarkan di bangku panggung.
Yah… kini waktu harus memisahkan Cakka, Agni, dan Oik dari teman-temannya di café. Tapi tak apa, karena mereka akan bertemu lagi.
Sebelum Cakka, Agni, dan Oik, benar-benar keluar dari café, Ray berseru dari atas panggung.
“Oh iya, Agni! Oik!… Tadi di kota aku juga liat teman kalian!… yang dari Negara chobits itu loh.. Siapa namanya?.. Eh…”
“Obiet?!” tanya Agni dan Oik yang sudah duluan girang.
“Ah! Iya!”
“Yeeeeees!!….” Agni dan Oik langsung berpelukan. Girang sekali mereka.
“Aku udah kangeeen…” kata Agni.
“Aku jugaaaaa…” kata Oik.
“Makanya!… cepetan pulang. Nanti kalo dihukum nggak bisa liat Obiet loh!… Kan Obiet tambah ganteng” tambah Ray lagi.
“Iya!” seru Agni dan Oik sambil mengepalkan tangan mereka dan mengangkatnya tinggi-tinggi.
Setelah itu Deva juga berseru.
“Putri!…”
Oik dan Cakka sudah duluan keluar, tapi Agni masih menengok ke Deva. Dan Deva melanjutkan kata-katanya.
“Dandan yang cantik yah!…”
“Ha ha!… Iya!… tapi kalian juga harus dandanin Keke biar tambah cantik!” balas Agni ke Deva.
“Hoh!… pastinya! Kalau perlu kita panggil lagi si Acha tuh buat dandanin!” kata Ray.
“Ha ha!… Ya udah, aku ketinggalan nih! Aku pulang dulu yah… Dah..” Agni melambaikan tangannya ke Deva, Rio, Ray, dan Keke. Rio dan yang lainnya juga balas melambaikan tangan. Setelah Agni keluar dari café Deva berseru.
“Daa Putriii!…”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar