Selasa, 21 Agustus 2012

Kingdom Of Dream_Part 2 : Kerajaan Animalia


Cakka ketakutan. Dimana dia sekarang? Rumahnya sudah tidak kelihatan, kak Elang, gang-gang kecil sudah menghilang. Sekarang ia sudah terbaring di rumput hijau yang luas sekali, tidak ada tanda-tanda perumahan di dekat sana, lalu langitnya yang biru dengan awan-awan empuk seperti kapas, udara yang sejuk, jelas-jelas  bukan negaranya yang sudah keruh oleh polusi. Ia lihat di atasnya ada daun-daun dan ranting pohon, sangat nikmat tiduran di sini. Tapi ia sadar ada 2 orang ‘manusia yang diragukan status manusianya’ di depan dia. Cakka langsung duduk dengan tergesa-gesa. Ia terus memandangi 2 mahluk asing itu. Sementara 2 manusia bertelinga dan berekor kelinci itu dari posisi berdiri membungkuk, sekarang salah satu mereka duduk di samping Cakka dengan senyuman yang ramah, manis, dan sangaaaat menggemaskan.
Cakka terus memperhatikan mahluk yang duduk di sebelahnya. Matanya hitam berkilau, bersinar seperti bintang, dan terus menatap Cakka dalam-dalam. Dua tangannya ditaruh di depan dada. Tampangnya polos sekali, rambutnya pendek berwarna hitam dan telinganya yang berbulu lembut menarik perhatian Cakka. Ekornya bergerak-gerak kecil pertanda ia sangat gembira dan dalam perasaan ‘Exited’.
Mahluk yang satunya bertampang sama, namun rambutnya lebih panjang dari pada mahluk satu lagi yang duduk di sebelah Cakka. Mahluk yang satu ini berkulit putih, senyumannya kecil, simple, tapi dengan senyuman sekecil itu ia sudah terlihat sangaaaat imut.
Cakka terus memperhatikan mahluk yang duduk disampingnya dan yang berdiri di dekatnya. Mata mereka sama-sama menyipit kalau tersenyum. Jadi tambah gemesin.
“Eh…” Cakka ingin mengucapkan sesuatu kepada 2 mahluk di dekatnya itu, dari pada diam selama setengah jam. Tapi sebelum berkata-kata, manusia bertelinga kelinci yang ada di sampingnya sudah mencolek pundaknya. “… Apa?” Tanya Cakka.
Yang duduk di sebelah Cakka hanya diam, namun sikunya berputar dan terus berputar. Lalu setelah 3 putaran tangannya berhenti bersamaan dengan jari telunjuknya ditunjukan ke dirinya sendiri. Ia pun berkata.
“…Agni”
Ternyata mahluk yang duduk di sampingnya bernama Agni. Cakka mengangguk, tandanya ia mengerti. Lalu yang satu lagi, yang berdiri di dekatnya juga melakukan hal yang sama dengan Agni, saat ia menunjuk dirinya, ia berkata.
“…Oik”
Maka mulut Cakka pun membentuk huruf ‘o’ dan ia mengangguk sekali lagi. Sementara Oik malah ikut ngangguk-ngangguk.
Cakka tentu juga ingin memperkenalkan dirinya. Ia pun mengajak Agni berjabat tangan dan keluar kata-kata.
“Namaku Cakka…”
Agni hanya diam di tempat, matanya masih bersinar-sinar dan kini mulai bergerak-gerak. Agni memandangi tangan Cakka lama sekali seperti sedang berpikir keras, namun ia tidak mendapatkan jawabannya. Agni pun memandang muka Cakka kembali, matanya penuh Tanya dan ekspresi tidak mengerti. Dahi Cakka pun mengkerut. Agni lalu mengalihkan pandangannya ke Oik, seperti adik kecil yang minta bantuan dari kakaknya. “Aku harus apa?…” kalau mata Agni bisa bicara mungkin pertanyaan itu yang akan terucap. Cakka kembali mempertegas kalau ia ingin berjabat tangan dengan mendekatkan tangannya pada Agni lagi. Agni mundur setengah langkah. Masih dalam posisi duduk Agni kembali memandangi tangan Cakka, lalu muka Cakka, lalu muka Oik, lalu tangan Cakka lagi, muka Cakka dan terus berulang. Hingga akhirnya ia pasrahkan apa yang akan terjadi. Seperti anak kecil yang di pergoki gurunya dan disuruh mengerjakan satu soal yang belum di ajari sama sekali. Agni mengangkat tangan kanannya dari dada, lalu di dekatkan ke atas tangan Cakka yang ingin berjabat tangan.
Pluk’
Bukan di jabat, bukan di tangkas, bukan juga di pukul, Agni malah menyentuh tangan Cakka dengan lembut, pelan, tapi cepat sekali. ‘Hanya coba-coba sekali’ Jadi benar-benar mirip kelinci. Kedua tangannya dari tadi masih mengepal. Ia angkat lagi tangannya yang baru menyentuh tangan Cakka ke depan dada. Cakka pun menarik tangannya kembali. Agni pun memandang Cakka dengan senyum lega.
Namun Cakka memasang kembali tangannya, dan di dekatkan ke Agni kembali. Senyuman Agni seketika hilang, kini tampang murung dan melas memenuhi mukanya. Matanya penuh dengan tanda tanya, sayang Cakka tidak mengerti. Maka terjadi kejadian yang sama. Agni kembali memandangi tangan Cakka, lalu muka Cakka, lalu muka Oik, lalu kembali lagi ke putaran yang sama. Dan Ia berhenti di muka Cakka. Matanya kini berkaca-kaca, ia menahan nafas dalam-dalam.
“Aku…” katanya pelan. “Aku… Salah?…”
Cakka makin bingung, namun tangannya tetap mengarah ke Agni. Agni mencoba tegar, ia tetap berusaha tersenyum, tapi matanya hampir banjir air mata. Agni mengarahkan pandangannya ke Oik.
“Salah?…” tanyanya lagi.
Cakka mulai prihatin, kini ia yang jadi salting. Kalau Agni jelas-jelas bertanya, Cakka hanya bertanya dalam hati. “Apa Aku… Salah?”
Air mata Agni akhirnya tak bisa ditampung lagi. Ia menangis tersedu, air matanya diseka berkali-kali dengan tangannya sendiri.
Cakka akhirnya sadar, ia telah membuat nangis seorang perempuan, teganya dirimu Cakka. “Bagaimana ini?… Cak, didiemin dong..” kata Cakka ke dirinya sendiri.
“Maaf!… jangan nangis… Aku… Aku yang salah… Agni nggak salah kok…” Cakka menggenggam tangan Agni agar tidak gemetaran, ia juga menyeka air mata yang mengalir di pipi Agni.
“Nggak pa-pa, Agni… Agni nggak salah kok..” Cakka pun menirukan bagaimana caranya Agni dan Oik memperkenalkan diri tadi. Setelah ia menunjuk dirinya ia berkata.
“Cakka…”
Agni dan Oik pun berpandangan, lalu mereka tersenyum riang. Cakka mulai senang berada disini. Biar deh nggak ada kak Elang, enak juga ngeliatin 2 anak cewek tersenyum. Manis dan lucu lagi. Lalu Agni mengajak Cakka berdiri. Setelah itu Cakka, Agni dan Oik pun saling berpandangan. Tiba-tiba Cakka tertarik lagi dengan telinga kelinci yang di miliki Agni. Tanpa disadari, Cakka mengangkat tangannya dan ia sudah membelai rambut Agni yang halus. Agni menunduk sedetik, matanya terpejam dan pelan-pelan di buka lagi. Agni memperhatikan tangan Cakka yang sedang membelai rambutnya.
“Eh… maaf…” Cakka pun mengurungkan niatnnya, ia tarik kembali tangannya.
Agni memandang Cakka dan tersenyum ramah. “…Nggak apa-apa kok…”
“Hm?…” Cakka kaget. Jarang sekali ada yang ngebolehin kepalanya di elus sama Cakka. “Oh… Eh… boleh aku pegang nggak telinganya?…” Aduh Cakka iseng banget sih. Agni kan juga manusia.
“mm…”Agni bergumam sebentar. “…Boleh”
“Yes!” Cakka kegirangan. Dengan tangkasnya, tangannya memainkan telinga Agni. Di pelintir kesana kemari. Anehnya, walau awalnya telinga Agni tegak ke atas, saat di tarik dengan lembut ke bawah oleh Cakka, Agni tidak protes dan tidak sakit sama-sekali. Cakka pun semakin Happy. Di elus-elus telinga Agni, lalu lekukan kesana kemari. Sementara yang di elus telinganya hanya diam dan terus tersenyum.
“Agni…” kata Cakka terputus.
“Iya?…” Tanya Agni.
“Agni itu… manis yah?”
“Hah?” Agni terkejut. Telinganya langsung berdiri tegak.
‘Aih!’ Cakka bisa aja. Agni jadi senyum-senyum gaje. Senyum malu-malu kucing, andalan Agni tuh.
“Yay!” Agni langsung memeluk Cakka eraaat sekali. “Cakka juga…”
‘Asek Aseeek’ kayaknya Cakka kesenengan tuh dipeluk sama cewek manis kayak Agni. Setelah beberapa saat, Cakka baru ingat masih ada Oik di dekat mereka.
Oik memandangi Agni dan Cakka dengan pandangan senang sekali. Tapi matanya juga seperti berkata.. “Aku juga mau meluk…”
Oik mengambil nafas panjang dan berkata perlahan. “Aku…”
“Kalo aku gimana?…” Tanya Oik dengan polos dan ragu.
“Iya!” Agni tiba-tiba melepaskan pelukannya dari Cakka. Lalu mendekati Oik, dan berinisiatif mengelus-ngelus telinga Oik. Sepertinya Agni ingin menunjukan kalau telinga Oik juga enak di elus, nggak Cuma dirinya yang manis… kakaknya, Oik juga kok.
“Oik juga…”  Cakka sengaja memperlambat kata-katanya. Ia mau tau respon apa yang diberikan Agni dan Oik.
Selama Cakka diam, Agni dan Oik tidak mengalihkan pandangannya sama sekali. Sepertinya mereka memang sangat polos.
“Oik juga… Imut…”
“Yay!” Agni dan Oik pun memeluk Cakka bersama-sama. “… Cakka juga…”
………………………………#
Setelah diceritakan oleh Agni dan Oik, akhirnya Cakka pun tau dimana dia sekarang. Ternyata sekarang Cakka terdampar di salah satu Negara di dunia Kingdom Of Dream. Negara yang ia pijak sekarang bernama Animalia, disini dipanggilnya Kingdom Animalia. Sepertinya semua orang yang ada di Negara ini berwujud setengah manusia setengah hewan. Sebenarnya hewannya beragam, tapi mayoritas Negara ini kebanyakan berwujud setengah manusia setengah kelinci. Tadinya Cakka langsung ingin menanyakan, ‘kalo portal ke dunia asalku, Bumi lewat mana ya?… timur, selatan, barat atau utara?…’ tapi saat ditanya tentang bumi dan manusia saja Agni maupun Oik malah balik nanya.
“Manusia itu Negara apa?… Bumi binatang jenis apa?”
‘kwekwew’ 2 hal itu aja nggak tau, mana tau jalan kesana lewat mana? Ya sudah, karena kebetulan saat itu Agni dan Oik sama-sama ngajak Cakka ke salah satu rumah teman mereka maka Cakka lebih memilih ikut bareng Agni dan Oik dari pada menunggu seharian di tempat ini. Siapa tau teman mereka tau tentang Bumi dan Manusia?… Jadi… kenapa tidak?..
Ini bonus pitcure-nya…
traveler
"traveler"
Thats for now. Hope you like it^^

Kingdom Of Dream_Part 3: Di rumah Rahmi


The prairie of the lost, padang rumput luas tempat Cakka terdampar di dunia Kingdom of dream telah terlewati. Kini, Oik, Agni dan Cakka memasuki sebuah hutan pinus dengan pohon-pohon yang menjulang tinggi bagaikan menembus awan.
“Ayo!… teman kami tinggalnya di hutan ini, sebentar lagi kita sampai di rumahnya…” kata Agni dengan riang.
“Nama teman kami adalah Rahmi. Dia seorang manusia rubah, dan kerjanya adalah membuat ramuan-ramuan dari bahan alam. Biasanya burung-burung merpati datang kesini untuk membawa ramuannya ke kota untuk dijual atau dikirimkan pada pihak kerajaan”
“Oh…” Cakka hanya bisa manggut-manggut.
Dan tak lama kemudian, Cakka, Agni, dan juga Oik, sampai di depan sebuah rumah kecil sederhana. Rumah itu terbuat dari batu bata merah dan kayu jati yang kuat. Bagian belakang rumah seperti menyatu dengan pohon besar yang tumbuh di sana. Atapnya terbuat dari jerami-jerami yang ditumpuk, dan cerobong asapnya mengepulkan asap putih.
“Yay!.. Rahmi pasti sedang memasak!” seru Oik dengan semangat.
“itu berarti, kita bisa sekalian makan di sini!… Yes!” tambah Agni. Mereka berdua saling tos.
“Ayo Cakka!… masuk yuk!” ajak Oik dan Agni. Mereka berdua menggandeng Cakka ke depan pintu rumah kecil itu. Lalu berseru memanggil teman mereka.
“Rahmiiii….”
Tiba-tiba pintu terbuka dengan perlahan, dan munculan sesosok manusia perempuan. Ia memakai baju yang hampir menutupi seluruh tubuhnya, yang kelihatan hanya muka dan tangannya. Di atasnya kepalanya yang juga ditutupi oleh jubah yang seperti jilbab, ada sepasang telinga rubah dan dari depan terlihat ekor rubahnya yang tebal.
“Rahmi… lagi masak yah?” tanya Agni.
“Iya… masuk yuk!” ajak manusia rubah yang bernama Rahmi itu.
“Iyah…” Agni dan Oik segera masuk. Agni juga menggandeng Cakka agar ikut masuk ke dalam rumah Rahmi. Tapi tiba-tiba, Rahmi menghalangi jalan Cakka untuk masuk dan melepaskan tangan Agni dari Cakka. Rahmi seperti ingin memisahkan mereka berdua.
Agni, Cakka dan Oik tentu saja kaget. Lalu Rahmi memandang Cakka dengan tatapan tajam dan curiga.
“Siapa dia?” tanyanya. Oik dan Agni hanya tersenyum simpul, lalu merangkul Cakka dan berseru bersama.
“Ini Cakka!… Teman baru kita!…”
Beberapa menit berlalu. Cakka akhirnya diperbolehkan masuk ke dalam rumah Rahmi. Setelah ia duduk manis di sofa ruang tamu Rahmi yang terbuat dari rotan dengan bantal-bantal kecil hasil sulaman dari bunga-bunga kapas, Agni dan Oik langsung diajak Rahmi ke dapur. Mereka akan membicarakan sesuatu hal penting!… Apa yah?…
“Ayo Rahmi… bolehin ya…” kata Agni dan Oik memelas.
“Tidak! Keputusanku tetap tidak. Aku masih curiga dengan anak asing yang kalian temukan itu…” kata Rahmi tegas.
“Kenapa?…” tanya Agni dan Oik lagi.
“Ya… habis! Anak itu aneh!…” kata Rahmi lagi. “Agni!” Rahmi menunjuk Agni yang langsung menunduk. “Harusnya kamu tidak boleh menaruh kepercayaan sebesar itu kepada orang asing begitu saja. Mau-mau aja lagi dipegang telinganya. Telingamu kan merupakan asset penting bangsa dan kerajaanmu!..” bentak Rahmi makin keras.
“Hiks… hiks… ka’ Oii’… kak Oii’…” Agni yang langsung merasa bersalah pun menangis tersedu. Kata-kata Rahmi sangat menusuk hatinya. Ia mundur mendekati Oik dan mulai menjauh dari Rahmi. Lalu Oik merangkul adiknya itu dengan penuh sayang.
“Cup cup cup…” kata Oik sambil mengelus-ngelus kepala Agni. Sementara Agni berusaha menahan tangisannya.
Agni memang anak yang paling muda dan sensitive diantara mereka bertiga. Untungnya Agni tegar dan selalu berusaha menghapus air matanya, Ia yakin ia harus tetap ceria.
“Ha… hh… habis…” Agni mulai merangkai kata-katanya.
“Habis… Cakka lucu banget… udah gitu… Cakep… nge-gemesin… sama… Gembul…  Terus kata Rahmi, kalo ketemu benda asing di hutan dan benda itu gembul dan puffy… katanya mending dibawa pulang aja…”
“Ya tapi kan maksud aku, kalo bendanya itu bunga kapas. Karena ragamnya banyak dan semua bentuknya puffy, makanhya aku bilang aman… Nah, mahkluk asing itu bukan bunga kan?” balas Rahmi.
Agni makin menunduk. Lalu Rahmi tambah melotot. Ia mengambil satu vase bunga dengan bunga kapas berbentuk hati dan berwarna merah yang so puffy diatasnya. Lalu Rahmi memperlihatkan bunga itu kepada Agni.
“Gembul yang ini…” Rahmi menunjuk bunga kapas merah di tangannya. “Boleh..”
“Gembul yang itu…” Sekarang Rahmi menunjuk Cakka yang berada nun jauh di ruang tamu. “… NGGAK BOLLEH!!”
Busset dah Rahmi… suaranya… dahsyat!. Oik dan Agni malah jadi ketakutan. Makin lama makin mundur mereka.
“Ta.. tapi…” kata Oik tergagap. Dan ia melanjutkan kata-kata terusannya dengan volume sekecil-kecilnya. “Kita boleh membiarkan dia tinggal di rumah kita kan?”
Dan lagi-lagi…
“NGGAK BOLLEH!!”
BRAK!!
Vase bunga yang ada  di tangan Rahmi di hentakan ke meja dengan kekuatan super yang Rahmi miliki. Seketika ruangan seperti bergetar.
“Oik…” Agni berbisik kepada Oik. Oik pun menoleh ke Agni. “… Aku takut…”
Sebenarnya Oik juga setuju dengan perasaan Agni. Ia juga takut kalau Rahmi lagi marah-marah seperti itu.
“Rahmi…” kata Oik pelan-pelan.
“Apa!” balas Rahmi dengan nada yang bertolak belakang.
“Kok Rahmi jadi galak sih…” kata Oik.
“Iya… bikin ngeri…” tambah Agni.
“Hufft…“ Rahmi menghelakan nafas panjang. “Ya maaf deh… Habis… aku khawatir sama kalian” kata Rahmi.
“Oh…” Agni dan Oik pun membentuk mulut mereka menjadi huruf O.
“Soalnya… anak itu aneh banget!…” tambah Rahmi lagi.
Yang dimaksud Rahmi dengan kata ‘anak itu’ adalah Cakka.
“Liat deh…” Rahmi mengajak Agni dan Oik mengintip Cakka dari balik pintu dapur.
“Dia nggak punya telinga…” kata Rahmi dengar perlahan. Seirama dengan matanya yang meneliti Cakka dari ujung rambut sampai telapak kaki.
“Iya iya…” kata Agni dan Oik menyetujui.
“Terus… Dia nggak punya ekor!…”
“Hahh… Iyah!”
“Jangan-jangan dia siluman lagi?…” kata Rahmi dengan semua khayalannya.
“Iyah!… jangan-jangan dia berasal dari kota tersembunyi di tengah hutan itu… yang katanya tidak jauh dari hutan ini” tambah Agni juga.
“Ah… udah ah, sereeem…” Oik memohon agar cerita yang mulai mengarah ke tema horror itu dihentikan. Ia juga sudah menutup telingannya duluan.
Greeet….
Tiba-tiba pendengaran Agni yang tajam menangkap sebuah bunyi yang asing di telinganya. Suara itu berasal dari ruang tamu. Cakka kah?
“Agni! Oik! Lihat… di celananya, ada ikatan-ikatan yang terbuat dari besi dan bisa mengait dan melepas sendiri jika ujung besi yang berbentuk segitiga di geser… dan mengeluarkan bunyi yang memekakan telinga…”
“hooh…”
Aduh… Rahmi, Agni, Oik… itu sebenernya ret seleting. Namun bagaimana lagi? Dunia mereka memang berbeda. Jauuuuh berbeda. Dan bagi mereka, Cakka adalah sesosok mahluk yang paling aneh yang pernah mereka temui.
“Ih… Kayaknya Cakka nggak aman deh disini… Pokoknya dia aneh banget deh. Pasti langsung ditangkep, terus… di masukin ke penjara kalo ketemu ‘Cop castle’” kata Rahmi.
Agni dan Oik hanya manggut-manggut dan diam. Mereka seperti tenggelam dalam pikiran mereka.
“Ah! Aku tahu!” seru Agni. Sepertinya ia baru menemukan sebuah ide yang brilian. Lalu Agni membisikan idenya itu pada Oik.
“Hooh! Iya bener! Agni pinter ih!…”
Duuh… Agni jadi kegeeran sendiri. Ia tarik telinganya ke bawah dan bahunya goyang kesana kemari. “He he… makasih…”
“Eh… pada bisik-bisik apa sih?” tanya Rahmi penasaran.
“Ini loh…” Oik pun membisikan ide brilian Agni pada Rahmi.
“Oh… bisa juga sih… Rahmi sih setuju-setuju aja. Tapi… apa kalian yakin rencana ini akan berhasil?” tanya Rahmi.
“Yakin! 100 persen!” seru Agni dengan semangat 45. Oik juga ikut mendukung dengan mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya.
“Oke… itu seterah kalian… aku akan berusaha sebaik mungkin untuk membantu kalian!… Apa yang bisa aku bantu?” tanya Rahmi.
Agni dan Oik berpikir sebentar.
“Ng… Oh iya!” seru Oik. “Rahmi masih simpan kostum kucing untuk ‘Cat Raining day’ kan?” tanya Agni.
“Masih..”
“Kalo gitu… kostumnya kita pinjem deh!”
“Cakka!…”
Agni dan Oik keluar dari dapur dan berlari menghampiri Cakka.
“Kita ke kamar loteng yuk…”
“Hah?…”
Cakka kaget. Baru sedetik ketemu, Agni dan Oik sudah mengajaknya lari-lari lagi. Namun Cakka juga tidak bisa menolak. Dan akhirnya, Cakka, Agni dan Oik pun kejar-kejaran di tangga. Oik ngisengin Agni sih… jadi pada lomba berdua. Cakka juga kan nggak mau ketinggalan, akhirnya lari-lari dah tu anak bertiga di tangga rumah Rahmi yang sempitnyaaa minta ampun.
Brak!
Pintu loteng terbuka keras. Oik, orang yang telah mendobrak pintu loteng itu langsung masuk dengan bangganya.
“Yay! Aku menang!…” katanya sambil mengepalkan tangannya dan mengangkatnya tinggi-tinggi. “Oik menang!… Eh, jatoh!” Oik terkejut. Selagi ia berseru dengan bangga, Agni mendorongnya ke depan. Habis… Oik menghalangi jalan masuk ke dalam loteng.
Brug..
“Aduh… kakiku keseleo…” keluh Agni yang tadi langsung terhempas di sofa tua berwarna coklat. Ia memegangi kaki kirinya yang lemas karena keseleo. “Sakiiit…”
“Oh iya! Agni! Oik menang! Nanti jatah makan kamu dikasih ke aku…” kata Oik.
“Yah… jangan… aku kan juga laper…”
Lalu masuklah Cakka. Nafasnya terengah engah. Ia bersandar di dinding pintu sambil mengatur nafasnya agar kembali stabil.
Lalu Agni berdiri dan jalan terpincang-pincang ke Cakka.
“Cakka…” katanya pelan.
“Hm?” Cakka langsung menatap Agni.
“Jatah makanan kamu buat aku yaaah…” lanjut Agni. Ia memegangi pundak Cakka dan memasang muka memelas.
“Boleh yaa…” Agni memohon sekali lagi.
“Eeh… boleh deh..”
“Yay! Cakka baik deh..” Agni memeluk Cakka lagi.
Cakka sih nggak keberatan dengan kebiasaan Agni dan Oik itu. Malah bisa dibilang dia kesenengan. Kayaknya suasana di sekitar kedua manusia kelinci di dekatnya itu selalu ceria.
“Makasih Cakka…” bisik Agni saat memeluk Cakka.
“Agni!” Oik memanggil dari kejauhan.
“Ya?” Agni pun langsung menyahut. Ia melonggarkan pelukannya pada Cakka, namun tangannya masih bertumpu pada kedua pundak Cakka.
“Menurut kamu, bagus yang Hitam… Orens… atau.. Abu-abu?” tanya Oik. Ia memegang 3 buah kostum kucing berukuran tubuh Cakka. Sebenarnya kostum itu hanya terdiri dari pasangan telinga dan ekor serta 2 sarung tangan yang dibuat seperti tangan kucing. 2 sarung tangan itu pun jika tidak mau dipakai tidak apa-apa.
“Oh iya! Kostum kucingnya!” telinga Agni berdiri, mengibaskan beberapa helai rambut Cakka. Barulah setelah itu Agni benar-benar melepaskan pelukannya dari Cakka, dan menghampiri Oik.
Lalu, Agni dan Oik berdiskusi. Sepertinya mereka membicarakan tentang ketiga kostum kucing itu. Cakka sih cuma bisa merhatiin dari jauh, tapi dalam benaknya Cakka berkata,
“Hm… maunya sih… warna hitam..”
“Cakka…” panggil Agni dan Oik bersamaan.
“Iya?” Cakka segera menyahut. Lalu Agni maju dan memperlihatkan kostum kucing yang hitam.
“Coba pakai yang ini deh…” katanya.
“Jangan!…” Oik menyelak tiba-tiba. “Pakai yang abu-abu dulu…” kata Oik sambil memperlihatkan kostum kucing pilihannya, yaitu kostum kucing abu-abu.
“Ah.. hitam aja…” kata Agni.
“Jangan… abu-abu bagus…” kata Oik.
“Hitam!”
“Abu-abu!”
“Hitam!”
“Abu-abu!”
“Aaaah…”
Waduh! Kayaknya bakal terjadi pertarungan sengit nih kalau pertengkaran mereka nggak diakhiri. Akhirnya Cakka pun mengambil alih.
“Aduh… stop! Stop! Stop! Agni sama Oik jangan berantem…” kata Cakka yang bermaksud melerai mereka berdua. “Kalo gitu aku yang milih deh, yang mana yang aku coba duluan…  aku pilih yang…”
“Hitam…” kata Agni.
“Abu-abu…” kata Oik.
“Eh… orens aja deh..”
“Yah…” Agni dan Oik langsung menunduk lesu. Habis mau gimana lagi? Kalo Cakka milih yang hitam atau abu-abu, pasti tambah menjadi-jadi pertengkaran mulut ini.
5 menit kemudian…
Cakka keluar dari ruang ganti, memakai kostum kucing berwarna hitam.
“Kiutooo…” Agni dan Oik terpana. Pupil mereka bergerak-gerak. Mata mereka seperti bercahaya. “Kereeeen….”
Ho ho ho… Cakka senyam-senyum. Langsung ninggi charisma dia.
Cakka getooo… semua baju dipake-in ke Cakka mah pasti keren. Hagz hagz..
“Tapi.. masih lebih royal yang abu-abu” kata Oik.
“Tapi lebih asik yang item…” kata Agni. “Kayak.. itu loh… apa?…”
“Kayak apa?” tanya Cakka dalam hati. Sungguh… ia penasaran.
“Kayak skaters!” seru Agni.
Weiss… ternyata anak fantasi kayak Agni dan Oik kenal sama istilah skaters, keren amat… he he… padahal ret sleting aja nggak tau.
“Tapi.. tapi…” kata Oik terputus. “Kan gelap…”
“Itu dia!” seru Agni. “Jadinya kan kontras sama warna kulit Cakka” kata Agni.
“Tapi nanti jadi serem…” kata Oik lagi.
“Nggak kok… malah jadi misterius.. keren…” kata Agni.
“Tapi kan jadi nggak kayak pangeran yang sopan, berwibawa, dan bijaksana…”
“Ya nggak papa… ceritanya Cakka itu pangeran kegelapan yang lari dari dunia gelapnya…”
Oh… jadi istilahnya kayak badboy gitu ya, Ag? Boleh juga. Dan biasanya kan, anak-anak macam itu sudah terlatih dalam bertarung, kuat, berani, dan rela berkorban demi seseorang yang sangat ia cintai.
“Lagian, Cakka nggak serem kok… Cakka kan lucu… gembul… so cute…” tambah Agni sambil memeluk kostum kucing orens yang ditaruh di sofa tua.
“Oh iya yah…” wah… ternyata setelah itu Oik setuju dengan Agni.
“Kan Cakka Gembul tuh… lucu… nggak mungkin nyeremiiin…” kata Oik sambil memutari Cakka.
“Terus… Cakka ndut! Ha ha”
Oh… gara-gara Cakka ndut toh? jadi nggak serem. Nggak pa-pa lah, walau ndut kayak gini, Cakka tetep keren dan ganteng. Iya kan Cak? Lagi pula… Cakka nggak kecewa kok. Tadinya kan dia memang ingin memakai kostum yang hitam.
Akhirnya waktu Cakka, Agni dan Oik untuk mengunjungi Rahmi pun selesai. Rahmi memberikan bingkisan kue biscuit warna-warni, satu bungkus untuk satu orang.
“Hati-hati yah nanti di kota…” kata Rahmi di ambang pintu.
“Siiip Rahmi!… rahmi juga baik-baik yah di sini. Terus… nanti kirimin Cairan Sparkly dust yang banyak… sama cairan daun putih juga, sekalian buat Cakka” kata Agni.
“Hah? Cairan sparkly dust? Daun putih? Apa itu?” tanya Cakka.
“Itu buat mandi…” kata Agni.
“Iya… di rumah kita, cuma ada persediaan buat kita doang. Cakka kan juga harus mandi…” tambah Oik.
Mandi? Jadi… cairan itu… buat mandi kah?
“Ya udah yuk, mending kita ke rumah sekarang…” kata Oik.
“Tunggu!” kata Cakka tiba-tiba. Agni, Oik maupun Rahmi langsung memperhatikannya.
“Maksud kalian… ini bukan rumah kalian?” tanya Cakka.
“Ya bukan!… ini tuh rumah Rahmi..” kata Oik.
“Rumah kita jauh dari sini” tambah Agni.
“Jauh?…” Wah… Cakka kok tiba-tiba jadi ciut.
“Rumah kita ada di kota…” kata Oik.
“Bukan… tapi di pinggir kota” Rahmi membenarkan.
“Iya! Tepatnya di puncak pinggir kota!…” kata Agni dengan semangat.
“Berarti… kita harus lewat kota dong?” tanya Cakka.
“Benar! Seratus untuk Cakka!” seru Oik dengan riangnya.
“Oh iya, Cakka kamu hati-hati ya… di kota banyak copcastle, nanti kalo ketahuan kamu nggak punya telinga dan ekor bisa-bisa kamu dijeblosin ke penjara” kata Rahmi menakut-nakuti.
“Nggak pa-pa kok… dengan kostum kucing hitam buatan Rahmi, identitas Cakka pasti nggak bakal ketahuan” kata Agni yakin.
“Ya udah, Rahmi… kita pergi dulu yaa” Oik dan Agni pamitan. Cakka lalu mengangguk, ia juga ikut pamitan.
“Iya… baik-baik ya di kota…”
Agni, Oik, dan Cakka melambaikan tangannya pada Rahmi. Rahmi juga membalas.
“Da daa, Rahmi…”
“Iya! Daaa”
Lalu Oik dan Agni mulai berlari dan melompat dengan gesitnya di antara akar-akar pohon yang besar.
“Ayo Cakka, kita harus cepat ke kota, sebentar lagi kota akan ramai oleh pawai penyambutan putra dan putri mahkota kerajaan tetangga” kata Oik.
“Oh iya! Kak Oik, kita kan juga belum mandi…” bisik Agni pada Oik.
“Oh iya! Aduh… aku lupa!… Cakka ayo cepat! Kita lomba lari Yah”
“Hoh?… iya-iya bentar!” Cakka segera mempercepat langkahnya.
Oik mulai memberi aba-aba.
“Satu… Dua… Lari!..”
Agni dan Oik berlari secepat tenaga. Sementara Cakka.
“Yah… Agni! Oik!… kok nggak bilang, nggak pake tiga?… Tungguin…”
“Ha ha..”

Kingdom Of Dream_Part 4: Legenda Ice Dalia


Matahari masih bersinar cerah. Agni, Cakka dan Oik berjalan di sebuah jalan setapak kecil di
hutan. Udara di sekitar mereka sangat sejuk. Tentu saja! Di kanan kiri mereka
ada deretan pohon yang rindang. Ranting-ranting pohon itu tumbuh panjang ke
samping, sampai-sampai ranting-ranting pohon di kanan menyatu dengan
ranting-ranting pohon di kiri. Jadi seperti berjalan di terowongan. Cakka
sangat menikmati saat-saat ia berada di Kingdom Animalia ini. Negara ini penuh
dengan keajaiban, dan keajaiban itu termasuk keajaiban yang menyenangkan.
“Cakka!” Oik memanggil Cakka dari kejauhan. “Cepetan kesini!… jangan lelet-lelet…”
He he… Cakka memang sudah tertinggal jauh. Mungkin karena terlalu menikmati pemandangan di
jalan setapak hutan.
“Iya iya… maaf…” Cakka langsung berlari mengejar ketertinggalannya. Lalu setelah ia
berada di tengah kedua manusia kelinci itu, ia bertanya.
“Kapan kita akan sampai di kota?”
Agni pun menjawab. “Tidak akan lama kok… Sebentar lagi kita akan melewati jembatan
besar, lalu kita akan memasuki gerbang besar dengan tinggi yang sama dengan
pohon-pohon pinus di hutan… Dan dibalik gerbang itu, kita akan memasuki
sebuah kota dengan bangunan-bangunan sederhana yang terbuat dari batu bata
merah dan kayu oldwork kerajaan animalia. Pokoknya Cakka dijamin akan puas!”
jelas Agni panjang lebar.
~~
Setelah 5 menit berjalan, mereka sudah semakin dekat dengan pintu gerbang kota Animalia.
“Ah! Suara air sungainya makin jelas!” seru Oik.
“Iya!” Agni menyetujuinya. Telinga mereka berdua langsung tegak dan saraf pendengarannya
menajam. Sementara Cakka, ia hanya bisa manggut-manggut. Telingannya memang tak
sepeka Agni dan Oik.
“Ayo! Sepertinya aku juga mendengar suara terompet-terompet pawai…” kata Agni agak khawatir.
“Bisa-bisa kita dihukum lagi…”
Oik langsung menarik tangan Cakka agar berlari dengan cepat. Agni sudah memimpin di depan.
“Oik, kalau tidak salah, di belokan ketiga kita akan sampai di sungai ‘Ice Dalia’ kan?” seru
Agni.
“Iyah!… sebentar lagi” balas Oik.
Sungai ‘Ice Dalia’, sungai itu adalah sebuah sungai besar yang mengitari kerajaan animalia.
Sungai itu sangat indah, alirannya tidak terlalu kencang. Warnanya cerah dan
bening jika disinari cahaya matahari. Dasar sungai, tumbuhan air beserta
ikan-ikan kecil akan terlihat jika sungai itu terkena cahaya matahari. Sungguh
indah… Namun, jikala malam datang, sungai itu akan berwarna sangat kelam,
sangat gelap dan dingin. Ada satu legenda yang sudah diceritakan sejak dulu di
kerajaan Animalia. Dan tentu saja cerita itu juga disampaikan kepada Oik dan
Agni oleh ibu mereka dulu.
“Agni, Oik… kita jalan aja deh… aku udah capek” kata Cakka dengan tampang loyo sekali.
“Hfft… Oke… kita juga udah capek nih… tidak seperti yang disangka-sangka, makin siang kok
makin panas… biasanya nggak sepanas ini” kata Agni sambil menyeka
keringatnya.
“Agni, Oik…”Cakka memanggil Agni dan Oik.
“Ya?” kata mereka berdua.
“Sungai ‘Ice Dalia’ itu apa?” tanya Cakka.
“Hm… gimana kalo kita certain legenda sungai ‘Ice Dalia’ sambil jalan ke gerbang?” kata Oik
member usul.
“Oh! Boleh tuh! Boleh! Ayo kita ceritain, kak” balas Agni dengan antusias.
Cakka sudah pasti tertarik dengan legenda-legenda kerajaan animalia. Negara ini sangat ceria,
namun kadang bisa misterius.
Dan mereka pun melanjutkan perjalanannya sambil bercerita.
Dahulu kala di kerajaan Animalia, saat malam bulan purnama, ada seorang putri yang kabur dari istana. Putri itu
bernama dalia. Ia sudah bosan dengan aturan-aturan yang ada di istananya. Maka
ia lari dari istana itu hingga akhirnya sampai di luar gerbang kerajaan
animalia. Saat putri itu melewati jembatan, tiba-tiba ia mendengar tangisan
seorang gadis seumurannya. Ia melihat kesekitar namun tidak ada tanda-tanda seorang
gadis, ia pun melihat ke permukaan air sungai yang ada di bawah jembatan.
Tadinya ia hanya melihat pantulan dirinya, namun tak lama setelah itu pantulan
dirinya berangsur-angsur berubah menjadi seorang gadis yang menangis. Putri
Dalia bertanya kepada gadis di permukaan air itu.
“Hai.. Mengapa kau menangis?…”
Gadis itu pun menjawab. “Aku bosan… aku kesepian disini… aku ingin
teman…”
“Aku juga sama sepertimu… aku juga bosan di istana, aku tidak bisa
bersenang-senang” kata Putri Dalia. Lalu
Putri Dalia dan gadis di pantulan danau itu sama-sama tersenyum. Putri Dalia
mulai tertarik dengan gadis di permukaan danau itu. Putri Dalia kembali
bertanya.
“Siapa namamu?”
Gadis itu menjawab. “Namaku Dalia”
“Hey, Namaku juga Dalia!” kata Putri Dalia dengan gembira. Ia semakin tertarik
dengan gadis di permukaan danau yang mempunyai nama yang sama sepertinya. “Apa
kau suka bunga dahlia?… aku selalu memetik bunga dahlia di taman kerajaan
jika aku sedang kesepian atau sedih… mungkin hatimu juga akan kembali ceria
jika aku petik-kan sebuah bunga dahlia untukmu. Kalau tidak salah, miss Norvea
pernah bilang ada deretan bunga dahlia di dekat jembatan ini… Sebentar ya,
Dahlia… aku akan mencari bunga itu”
Lalu Putri Dalia pun menyebrang ke tepi jembatan setibanya di tanah, ia
langsung menemukan satu pohon bunga dahlia yang indah sekali. Bahkan ia
menganggap bunga dahlia di tepi jembatan itu lebih indah dari pada bunga dahlia
di taman istananya. Ia segera memetik satu tangkai bunga itu dan kembali ke
tengah jembatan. Ia lihat lagi pantulan di sungai, Namun gadis yang bernama
dalia tadi tidak kelihatan lagi.
“Dalia?… Kau di mana?… Ayolah tunjukan dirimu… jangan tinggalkan aku
disini…” Kata putri Dalia memohon. Namun Dalia tak muncul juga. Putri pun
menangis tersedu, dan ia berkata.
“Aku bosan… aku kesepian disini… aku ingin teman…” Lalu putri Dalia
merenung sejenak. ‘Bukankah itu kata-kata yang diucapkan Dalia tadi..’
“Dalia… apakah kau adalah aku?” tanya Putri Dalia.
Suasana sungai tetap sunyi, tak ada jawaban.
“Dalia, ayolah… aku sudah memetik-kan satu tangkai bunga dahlia untukmu. Ayo
kita berteman… kalau perlu aku bisa mengajak putri-putri yang lain, yang
sekarang sedang berada di istana. Aku juga bisa mengajak teman-teman di kota.
Dalia…”
Putri Dalia berdiri, ia naik ke atas jembatan lalu menunduk. Tangan kirinya memegang
erat sisi jembatan sementara tangan kanannya yang memegang bunga dahlia
berusaha menyentuh permukaan sungai.
“Dalia… Ini bunga untukmu…”
Grack!
Tiba-tiba batu bata yang menahan tubuhnya retak, lalu pecah menjadi
bongkahan-bongkahan kecil yang bersinar. Beberapa dari bongkahannya jatuh ke
sungai, bongkahan-bongkahan kecil itu secara ajaib seperti berubah menjadi batu
mulia yang berkilauan memantulkan cahaya bulan purnama, seperti air mata yang
jatuh dan mengiringi Putri Dalia yang juga ikut terseret jatuh oleh pecahnya
batu itu.
Dan sejak saat itu, sungai yang membatasi kerajaan animalia dan hutannya
dinamakan dengan sungai ‘Ice Dalia’.
“Terus… putri dalia-nya tenggelam dong?” tanya Cakka kepada Agni dan Oik yang tadi
menceritakan legenda sungai ‘Ice Dalia’.
“Iya” jawab Agni singkat.
“Kenapa nama depannya Ice? Tanya Cakka lagi.
“Karena… sejak peristiwa itu terjadi, tiap malam sungai ‘Ice Dalia’ jadi selalu berkabut dan
dingin… sedingin… es” kata Oik.
“Iya” Agni menyetujui. “Apalagi di saat bulan purnama. Suhunya menjadi sangat dingin.
Makanya di setiap malam-terutama malam bulan purnama, kita dilarang keras
keluar dari rumah…” tambah Agni.
“Tepatnya setiap gadis di kota… dilarang keras keluar rumah malam-malam begitu, apa lagi
sampai keluar wilayah kota dan melewati jembatan ini…” kata Oik membenahi.
“Loh… bukannya setiap malam memang seharusnya sepeti itu?… berkabut… dingin…” tanya
Cakka.
“Memang seharusnya begitu… tapi mau bagaimana lagi… legenda itu memang sudah
bertahan kuat di kalangan masyarakat kerajaan animalia… padahal keluar malam
hari kan seru!” kata Agni yang sekalian curcol mengenai ketidaksetujuannya
terhadap legenda itu.
“Katanya yah… setiap malam bulan purnama akan terdengar tangisan seorang gadis dari sungai
ini, dan jika tangisan itu terdengar oleh para gadis di kerajaan animalia, kita
bisa terhipnotis untuk datang ke jembatan ini… lalu… yah… tenggelam di
sungai seperti putri Dalia” kata Oik lagi.
“Makanya, pasti setiap orang tua yang mempunyai anak perempuan selalu mengunci pintu jendela
maupun rumahnya rapat-rapat, agar anak perempuannya tidak akan kabur dari
rumah” kata Agni.
“Kalau kalian bagaimana?” tanya Cakka tiba-tiba.
“Maksud Cakka?” tanya Agni.
“Yah… kalian kan suka kabur-kabur gitu dari kota… iya kan? Malah… sampai melewati
jembatan sungai ‘Ice Dalia’..”
“Ya… tapi kan… kita keluarnya siang hari…” kata Oik nge-las.
“Iya! Lagi pula, nama kita kan bukan dalia. Jadi kita aman…” Lah… si Agni lebih ngaco lagi.
“Hei! Itu dia jembatannya!” seru Oik. Ia berlari ke tengah jembatan dan melambaikan tangannya
pada Cakka dan Agni yang masih berjalan santai di belakang. “Ayo, Agni!…
Cakka!…” seru Oik.
“Iya!…” Agni membalas seruan Oik dan menggandeng Cakka agar mau lari ke jembatan. Tapi
sebelum menapakan kakinya di jembatan, ia berhenti dan melihat ke samping.
“Woww… ini pasti bunga dahlianya…” kata Agni sambil jongkok di depan sebuah tanaman yang
berbunga kuning. Oik yang juga penasaran, kembali ke seberang jembatan dan
mendekati Agni beserta Cakka yang sedang jongkok berdua memperhatikan sebuah bunga
berwarna kuning.
“Woww…” Oik juga terkesima. “Bunganya bagus yah…” kata Oik.
“Iyah…” balas Agni. “Kira-kira arti bunganya apa yah?… apa persahabatan?” tanya Agni.
“Bukan…” kata Cakka dengan yakin. “Kalo kata kak Elang sih… artinya penghianatan..”
“Hohh?… penghianatan?” Agni dan Oik kaget. Tentu saja.. mereka heran, kenapa bunga yang
bagus seperti itu bermakna penghianatan.
“Hmm… berarti putri Dalia tenggelam gara-gara dirinya sendiri… dia salah kasih bunga ke
Dalia..”
Jiah… si Agni bisa aja. Makin lama makin ngaco khayalannya. Oik aja langsung memukul kepala
adiknya itu. Tapi dengan lembut… Sementara si Cakka cuma bisa ngetawain.
“Eh, jadi kita kapan nih masuk ke kotanya?” tanya Cakka.
“Oh iya!… ayo masuk!… lebih cepat lebih baik!” seru Agni dan Oik bersamaan.
Akhirnya mereka pun menyebrangi jembatan dan sampai di depan gerbang kota. Setelah mereka masuk
ke kota. Hm… ternyata kota tidak terlalu ramai. Wajar saja sih… gerbang ini
kan gerbang samping kota. Bukan yang depan. Tapi, biasanya banyak anak-anak
kecil bermain di sini.
“Mungkin karena pawai?” kata Agni.
“Yaa… bagus deh. Itu berarti pawai masih berlangsung lama di tengah kota… maka kemungkinan
tidak akan ada copcastle disini… jadi, untuk sementara, Kita… makan-makan dulu yuk!” seru Oik.
“Makan-makan?” tanya Cakka.
“Iya… perutku udah lapar lagi nih… belum puas makan di rumah Rahmi” kata Oik.
“Oh iya!… Cakka kan belum makan. Mending kita makan di kota aja” tambah Agni.
Wah, padahal Cakka baru nyadar tuh kalo dia belum makan.
“Kalau begitu, tujuan kita selanjutnya adalah café Happy Chipmunks!…” seru Oik.
“Yeay!!” Agni dan Oik tos-an dan berseru riang.
“Ayo, Cakka! Kita ke café Happy Chipmunks!” Oik dan Agni langsung menggandeng Cakka masuk ke
gang-gang kecil kota yang berliku-liku.
“Hm… Aku harap Rio masih di café… jadi café nya tidak tutup” kata Agni.
“Loh… Rio kan memang selalu ada di café. Kalau tidak salah, kemarin-kemarin Rio bilang tidak
akan ikut ke pawai. Ia harus menjaga di café” balas Oik.
“Yay!… asyik… aku mau minta dibikinin ‘sup brownball beef’ lagi ah…”
“Oh! Terus… Keke juga katanya mau tetep di café…” tambah Oik.
“Beneran?… Yeay! Agni tambah seneng…”
“terus… kalo nggak salah… Deva dan Ray juga tetep di café…”
“Asyiiiiik…. hari ini hari terseru dalam kehidupanku!…”

Kingdom Of Dream_Part 5: Cafe Happy Chipmunks


Kingdom Of Dream
part 5: Cafe Happy Chipmunks
Matahari semakin terik. Agni, Cakka dan juga Oik tidak bisa melakukan apa-apa tentang cuaca hari itu. Sepanjang perjalanan mereka terus mengusap dahi mereka yang dibanjiri keringat.
“Uh… untung saja sebentar lagi mau sampai.. sepertinya aku akan langsung pingsan kalau harus berjalan 10 meter lagi” keluh Oik yang tidak tahan panas.
“Memang cafénya ada di mana, Agni?” tanya Cakka kepada Agni. Saat itu ia tidak berani bertanya sesuatu kepada Oik. Takut Oik tambah frustasi.
“Sebentar lagi kita sampai kok. Tinggal belok ke gang ‘Amesty Rope’ lalu naik beberapa tangga” jawab Agni sambil tersenyum manis.
Ternyata benar apa yang dikatakan Agni. Tak lama kemudian di samping kiri mereka terdapat sebuah gang yang beratapan batu bata merah yang di tumbuhi oleh tanaman-tanaman rambat dengan bunga warna-warni. Cakka, Agni dan Oik masuk ke gang itu. Baru dua meter berjalan gang itu sudah mentok, tapi di kanan mereka ada sebuah tangga dari batu. Lalu mereka naik ke tangga itu. Makin lama tangga semakin teduh karena beberapa pohon yang menghalangi cahaya matahari dari atas. Lalu tangga itu berubah menjadi seperti gua. Makin lama makin menjorok ke dalam hingga akhirnya dinding-dinding gua itu ada yang bolong. Cakka mengintip keadaan di luar dari bolongan di dinding gua. Ternyata posisi mereka sudah cukup tinggi dari jalan setapak kota. Lalu perjalanan di dalam gua pun berakhir. Cakka, Agni dan Oik keluar dari gua dan sekarang mereka melewati gang seperti gang Amesty rope di awal mereka masuk.
Cakka menengadahkan kepalanya. Ia melihat burung-burung yang terbang di langit biru. Ada salah satu burung yang membawa kantong putih kecil di kakinya.
“Pasti itu burung yang mengantarkan ramuan Rahmi ke rumah Agni dan Oik” pikirnya.
Lalu Cakka tertawa kecil. Ia melihat Agni dan Oik yang masih berjalan, lalu kembali memandang langit biru.
“Kira-kira sekarang kak Elang lagi ngapain yah?” Cakka mulai tenggelam dalam lamunannya. Ia memikirkan kak Elang yang mungkin sedang kebingungan mencarinya.
“Huft… bodohnya aku.. tadi aku lupa bertanya kepada Rahmi tentang Bumi. Ah.. sudah lah… dari kecurigaannya padaku sudah pasti Rahmi tidak tahu menahu tentang Bumi’.
Cakka terus melamun sampai tiba-tiba ia merasa suatu kain basah menyentuh dagunya. Namun bukannya mundur, Cakka malah makin maju dan menengok kedepan. Alhasil kain basah yang sebenarnya baju-baju yang sedang di jemur oleh salah satu warga kota Kingdom Animalia pun jatuh menimpa kepala Cakka.
“Haa… hmp.. Aaa…” Cakka berteriak kebingungan. Ia seperti orang buta sekarang. Tangannya diangkat kedepan, mencari-cari sesuatu untuk dijadikan pegangan.
Karena mendengar keributan di belakang, Agni dan Oik yang tadinya sudah jauh langsung berbalik.
“Jangan-jangan Cakka tertangkap copcastle!…” kata Agni cemas.
“Haa.. jangan sampai..”
Oik dan Agni langsung lari kembali ke Cakka. Dan ternyata, setelah jauh-jauh Agni dan Oik berlari menguras tenaga, dengan persasaan cemas terhadap Cakka, ternyata yang mereka temui malah Cakka yang sedang berputar-putar tidak jelas dan tanpa arah, dengan baju berwarna merah tua yang menutupi kepalanya.
“Ha ha ha ha ha ha ha…” Agni dan Oik langsung tertawa melihat keadaan Cakka saat itu. Well, setidaknya tenaga mereka tidak terbuang percuma. Setelah lari jarak dekat itu mereka bisa merilekskan pikiran mereka dengan tertawa dengan lepasnya.
“Cakka… Ya ampuuuun…”
Sekarang Cakka sudah terbebas dari baju merah tua yang menutupi kepalanya. Rambutnya lumayan basah terkena air di baju itu.
“Makanya, Cakka… kalo jalan di gang ini jangan meleng. Terkadang ada beberapa warga yang sembarangan menjemur pakaiannya di sini. Padahal sudah dilarang.. huft…” kata Agni sambil memeras beberapa tetes air yang ada di rambut Cakka.
“Tenang.. rambut Cakka akan kering kok sebelum kita sampai di café..” ujar Oik yang bermaksud menghibur Cakka. Tapi baru 3 detik berjalan, Agni sudah berseru duluan.
“Eh, kita udah sampai!”
Yup, that’s right!. Cakka, Agni dan Oik telah sampai di café yang mereka tuju. Yaitu café Happy Chipmunks. Dari luar café itu kelihatan sangat kecil, mungkin dikarenakan area gang yang memang agak sempit untuk berlalu lalang. Kalau café ini letaknya di pinggir jalanan kota, pasti kelihatan sangat besar.
Café Happy Chipmunks ini sangat panjang atau lebih tepatnya luas kesamping. Jendela-jendelanya bersih kinclong layaknya baru di bersihkan 5 menit sebelum Cakka, Agni dan Oik datang, dan di pintu masuk tercantum nama café, “Café Happy Chipmunks”.
Di dinding-dinding bata yang menjadi bahan utama bangunan ini ada beberapa tanaman rambat yang tumbuh teratur, di tambah beberapa pot bunga berwarna yang ditaruh di sisi jendela. Di atasnya di gantungkan beberapa pot dengan bunga-bunga lily. Dan jika kita perhatikan dengan seksama, ada sebuah sarang burung di atap café yang terbuat dari kayu. Di samping kiri-kanan café terdapat pot yang ditanami tanaman kayu, begitu juga dengan kiri-kanan pintu masuk. Dan di ranting-ranting tanaman kayu itu, di lilitkan sebuah lampu-lampu kecil berwarna kuning. Seperti lampu-lampu yang biasanya ada di café-café kota paris. Sayang.. Cakka, Agni dan Oik datangnya di saat siang hari yang sedang panas, jadi mereka tidak bisa melihat cahaya lampu-lampu itu untuk sementara.
Kembali ke Cakka, Agni dan Oik, mereka berdiri di depan café dengan pandangan terkagum-kagum. He he.. sebenarnya yang kagum cuma Cakka, ia tidak percaya café di gang kecil seperti ini bahkan ada café yang tampak indah seperti di jalan-jalan kota ramai. Lalu ia memegang rambutnya dan berujar.
“Mau masuk café yang bagus masa baju dan rambut aku kayak gini sih?…” keluh Cakka terhadap dirinya sendiri.
Lalu, seperti tau apa yang ada di pikiran Cakka, Agni membalas. “Nggak papa… café ini menerima siapa aja yang masuk kok… rambut Cakka juga tetep kereen..”
Ha ha.. Agni bisa aja. Cakka merasa mulai mendingan. Lalu mereka bertiga pun masuk ke dalam café.
Pintu café terbuka. Ketika melangkah ke dalam, mereka sudah disambut oleh pelayan laki-laki berparas cakap. Ia memakai baju kemeja putih polos, dan vest atau rompi hitam. Rambutnya hitam gelap dan di kepalanya terdapat telinga tupai.
“Hmm… aku tau kenapa café ini dinamai Happy Chipmunks…” batin Cakka.
Pelayan itu tersenyum, dan sambil tersenyum ia berkata.
“Welcome… welcome… Selamat datang di café Happy Chipmunks… café di mana cahaya kunang-kunang menerangi hatimu… dan alunan music menenangkan pikiranmu… kami akan melayani sampai kalian sepenuh hati… Tuan dan Nona… ada yang bisa saya bantu? Ingin duduk di bangku yang mana?” kata Pelayan itu panjang lebar. Suaranya yang serak-serak basah membuat kata-kata welcome terdengar istimewa. Pandangan matanya tajam, namun memancarkan aura yang ramah.
Agni tersenyum dan membalas perkataan pelayan itu.
“Deva… tidak usah menyambut kita sampai segitunya… seperti baru bertemu pertama kali saja..”
“Ha ha..” pelayan yang bernama Deva itu tertawa kecil sambil menepuk-nepuk kepala bagian belakangnnya. “Habis… kalau tidak seperti itu, nanti aku dimarahi lagi oleh Rio…” katanya.
Lalu terdengar seruan dari ujung café. Seruan itu bersumber dari bar kecil, tempat para bartender melakukan beberapa atraksi sederhana dengan melontarkan botol-botol wine mereka sambil menuangkan anggur ke gelas sang penikmat wine. Di sana ada seorang laki-laki sebaya dengan Agni dan Oik. Laki-laki itu juga bertelinga tupai dan matanya agak sipit. Ia berseru.
“Hoi, Deva… ada pelanggan ya?… Ayo suruh mereka masuk…”
Tanpa Deva suruh masuk, sebenarnya Agni dan Oik akan menghampiri bartender itu sendiri.
“Riooo…” sapa Agni dan Oik.
Bartender yang bernama Rio itu agak kaget saat disapa oleh Agni dan Oik. Ia yang tadinya sedang sibuk dengan botol-botol wine langsung menaruh botol wine yang ia pegang dan balas menyapa Agni dan Oik.
“Agni.. Oik… Kalian datang?… bagaimana bisa?… bukankah Profesor Degor melarang kalian keluar dari istana?” tanya Rio yang tidak menyangka akan didatangi oleh kedua temannya yang manis dan imut itu.
“Iya… tapi professor sedang keluar kota. Tadi pagi Alvin menyampaikan sebuah surat undangan untuk professor. Katanya Alvin, para minister memanggil professor secara mendadak. Tidak tau untuk apa?…” jelas Oik.
“Jadi… dari pada bosan di istana kita memilih untuk jalan-jalan di bukit dekat rumah Rahmi” tambah Agni.
“Oh…” Rio manggut-manggut.
Deva bertanya pada Agni dan Oik, “mau duduk di cafénya atau di bar?”. Agni dan Oik langsung sepakat bersama untuk duduk di bar. Cakka pun ikut duduk disamping Oik. Dari tingkah lakunya sepertinya Deva paling dekat dengan Agni. Yah, bukan cuma Deva sih. Sebenarnya mungkin seluruh Pelayan-pelayan di sini sudah dekat dengan Agni maupun Oik. Cakka jadi agak tenang. Tapi mulai muncul pertanyaan baru di benak Cakka. “Apa yang di maksud Rio dan Agni dengan istana?”
Lalu Rio menanyakan minuman apa yang ingin disuguhi kepada Agni dan Oik. Agni menjawab jus melon. Sangat sederhana yah… tapi Agni memang sangat suka dengan jus melon. Itu adalah minuman favoritnya. Sementara Oik memesan satu milkshake corna  village, di tambah butiran chocorise di atasnya. Setelah bertanya-tanya Cakka akhirnya tau kalau milkshake corna village adalah sebuah milkshake yang di dalamnya ada bola-bola kecil warna-warni  yang renyah namun rasanya semanis popcorn yang tentu saja manis. Ingat popcorn manis yang biasa kita beli untuk menemani kita menonton film di bioskop? Kira-kira seperti itu manisnya. Sementara butiran chocorise itu adalah hasil tumbukan biscuit hitam yang di buat sendiri oleh Rio. Kata Rio, ia menamakannya chocorise karena warna butiran itu hitam dan sedikit terasa seperti coklat, lalu kata rise diambil dari namanya ‘Ri’ dan dia ingin butiran chocorise itu bisa terkenal jadi menu istimewa café Happy chipmunks nantinya.
Lalu Rio memandang Cakka dan bertanya dengan hati-hati. “Eeh… anda…?” Rio agak bingung harus memanggil Cakka dengan sebutan apa. Tuan? Nak? Atau… brader mungkin? Ha ha… tentu saja bukan brader. Dan Oik pun langsung membantu Rio dan Cakka yang sama-sama takut salah ngomong.
“Rio, Ini teman baru kita, namanya Cakka…” jelas Oik.
“Oh…” Rio membuat mulutnya seperti huruf O. Lalu ia balas bertanya pada Oik. “Cakka datang dari Negara mana, Oik?… bukankah sudah jarang ada ras kucing di kingdom Animalia ini?”
“Eh…” Oik jadi bingung sendiri. Ia menyenggol kaki Agni yang ada di samping kirinya. “Tolongin…” pinta Oik dengan muka memelas dan suara pelan.
Agni berpikir dengan segala imajinasinya. Mencoba mengarang sebuah nama Negara yang mendeskripsikan wujud kucing Cakka.
“Eh…” Agni masih berpikir, hingga akhirnya, “Ah!…” Ia menemukan jawaban. “Cakka datang dari Negara Catiophia…” kata Agni dengan pedenya. Motonya saat itu kira-kira seperti ini..
Ngasal-ngasal, yang penting pede!
Dan ternyata moto Agni saat itu mujarab. Dengan kepedeannya yang tinggi, Agni berhasil meyakinkan Rio kalau Cakka memang datang dari Negara Catiophia.
“Oh… Baiklah kalau begitu…” Rio pun mulai mencoba akrab dengan Cakka. Dan dimulai dengan menanyakan pesanan. “Jadi…, Cakka mau memesan apa?” tanya Rio.
“Eh…” Cakka memandang daftar menu yang tercantum di papan sebelah rak-rak wine. Di antara semua menu itu nggak ada yang cakka mengerti. Jadi Cakka menjawab.
“Eh… air putih… ada nggak?” tampang Cakka langsung jadi polos.
“Air putih?…” sekarang Rio yang bingung. “Maksud Cakka… susu murni?”
“Hoh?… bukan… tapi… kalo gitu susu murni ada nggak?”
“Susu murni… nggak ada…” Rio mulai gugup. Ia tidak akan bisa memaafkan dirinya kalau sampai mengecewakan pelanggannya.
“Kalo gitu… aku pesan yang kayak Oik aja deh” kata Cakka.
“Baik. Minuman akan siap dalam waktu 10 menit, silahkan tunggu…” kata Rio. Rio pun masuk ke sisi bar yang ditutupi oleh tembok kayu hitam. Terdengar alat-alat yang sedang di pergunakan Rio untuk membuat minuman-minuman itu. Sepertinya Rio adalah bartender istimewa. Tak hanya ahli dalam hal membolak balik botol wine, ia juga handal dalam membuat segala macam minuman dengan look yang menggiurkan.
Sementara itu, Deva yang tadi sedang mengelap-ngelap meja café duduk di sebelah Agni. Agni pun bertanya kepada Deva.
“Keke mana, Deva?”
“Oh.. kalo Keke… dia lagi di ruangan staff.., lagi coba-coba seragam baru..” kata Deva tak lepas dari senyumannya.
“Wah! Aku mau liat!” seru Agni. Oik yang mendengar juga ikut mengangguk-anggukan kepalanya.
“Tenang saja… Keke bakal keluar bentar lagi kok..” kata Deva lagi.
“Terus… Ray di mana, Deva?” tanya Oik. “Kok dari tadi nggak keliatan?”
“He-eh” Agni ikut bertanya.
“Ray tadi keluar… Stok sayuran di café kita habis, kemarin banyak banget yang mesen salad seafood. Rio langsung nyuruh Ray buat beli sayurannya deh…” jelas Deva.
“Emang Ray beli sayurannya jam berapa?” tanya Oik lagi.
“Sebenarnya sih jam 7-an… masih pagi… tapi sayurannya cuma bisa di beli di tengah kota” jelas Deva lagi.
“Wah!… di situ kan ada pawai…” kata Agni.
“Nah itu dia… kayaknya Ray terjebak di pawai itu… semoga dia nggak kenapa-napa” kata Deva mengakhiri informasinya tentang Ray, temannya sesama employee café.
Eh, ternyata Ray panjang umur loh!. Baru saja diomongin pintu café sudah terbuka lebar karena dorongan seseorang dari luar. Orang itu berseragam sama dengan Rio dan Deva. Rambutnya gondrong sebahu, namun dia malah kelihatan menarik dengan rambut gondrongnya itu. Dan orang itu tidak lain adalah Ray.
“Hoaaaah!…. Cappeeeeek!… Aduh…” Ray masuk membawa plastik putih dengan sayur-sayuran di dalamnya. Nafasnya terengah-engah, keringat di dahi, dan rambut agak lepek, mata sayu seperti mau pingsan dan ia terkulai begitu saja di meja yang paling dekat dengan pintu masuk café.
“Ha ha.. Sabar, Ray… setidaknya sekarang kamu sudah bisa santai di café. Hari ini kayaknya nggak ada pelanggan, kecuali putri-putri kita itu…” kata Deva sambil melirik kepada Agni dan Oik. Deva mendekati Ray dan menepuk dua kali pundak temannya yang sudah teler itu.
“Ayo bangun.. Katanya, Rio mau bikinin minuman kesukaanmu loh..” bujuk Deva. Lalu Ray pun bangun dan berjalan dengan gontai ke area bar. Dan ia duduk di sebelah Cakka.
“Rio, bikinin crystal tea dong…” pinta Ray sedikit berseru ke arah Rio.
“Siip!…” Rio menjawab dan menampakan jempolnya dari balik dinding kayu.
“Huhh… Pusat kota makin lama makin menggila… tadi ramai sekali.. hampir sulit untuk bernafas…” kata Ray membagi perjuangannya saat membeli sayuran di kota.
“Ray, tadi kamu melihat pawai nya tidak?” tanya Agni.
“Oh… kalau pawai aku lihat. Orang-orang di kota sangat histeris menyambut kedatangan para pangeran dari negeri tetangga, malah bisa dibilang ricuh. Ketika pangeran dari negeri Ratakela datang ada satu orang perempuan yang langsung teriak histeris. Dia berteriak, “Deboooo…. Debooooo….” dan di akhirnya pitch-nya jadi tinggi banget. Kayaknya telingaku mau pecah. Aku saja hampir tidak bisa mendengar apa-apa saat itu” jelas Ray lagi.
“Oh…” Agni dan Oik manggut-manggut.
Lalu Rio keluar dari dinding pembatas bar membawa jus melon pesanan Agni, dan dua milkshake corna  village pesanan Oik dan Cakka. Juga tak lupa menyuguhi Ray Crystal tea setelah kerja kerasnya menempuh jalan panjang dalam keramaian pawai.
Tak lama setelah itu pintu ruang staff terbuka dari dalam. Agni dan Oik langsung mencari-cari orang yang mereka tunggu dari tadi. Dan keluarlah seorang anak yang cantik, dengan bibir simetris, pipi yang tembem dan poni yang disusun kedepan. Anak itu tersenyum.
Agni dan Oik langsung terpana. “Cantiknyaaa…”
Anak perempuan itu pun keluar dari ruangan staff sambil tersenyum. Rambutnya yang hitam terlihat indah dengan bandana ala maid. Beberapa rambutnya dikuncir kiri-kanan dan sisanya di biarkan terurai sedikit ikal di bawah.
Agni dan Oik langsung berlari menghampiri anak perempuan itu yang tak lain adalah Keke.
“Keke… cantik…” kata mereka berdua.
“Bajunya bagus… sepatunya juga..” kata Oik mengomentari penampilan baru Keke. Keke yang dipuji hanya bisa tersenyum.
“Siapa yang bikin, Rio?” tanya Agni. Ia bertanya kepada Rio karena biasanya Rio lah yang mengatur segala sesuatu tentang café. Dia seperti pemimpinnya.
“Yang bikin baju anak tetangga..” kata Rio.
“Anak tetangga?” Agni dan Oik bertanya-tanya.
Lalu Deva menjelaskan bagaimana bisa baju itu terbuat.
“Jadi begini… kemarin ada anak perempuan yang tinggal di dekat sini, namanya Acha. Dia baru saja pulang dari pusat kota, dan cuaca hari itu sedang panas-panasnya. Akhirnya ia pun mampir ke café ini. Karena haus, ia sudah hampir meminum 3 gelas cappuccino dan 1 ice cream, tapi ternyata setelah ditagih uangnya oleh Ray, dia lupa bawa uang lebih” jelas Deva.
Lalu Ray melanjutkan ceritanya.
“Katanya uangnya habis untuk beli buku sketsa dan pensil berwarna. Sudah lagi ternyata kunci rumahnya ada di tangan tantenya yang juga lagi pergi. Ya sudah… akhirnya dia membayar semua itu dengan menggambarkan sebuah design baju buat pelayan café. Tapi yang cewek… Huh… bisa saja yah”
“Tapi kita tidak rugi kok” kata Rio. “Ternyata baju yang di gambar itu memang terlihat bagus di Keke. Dan Keke juga terlihat makin cantik dengan baju itu”
“Iya memang benar” kata Deva menyetujui.
“Iya.. aku akui design bajunya memang bagus… cocok buat Keke” kata Ray juga.
“Makasih semuanya…” Keke tersenyum ramah. Dan ternyata senyumannya juga tambah cantik dengan baju itu. He he…
Lalu Agni dan Oik kembali ke kursi bar mereka. Rio menyuruh Keke menaruh sayuran yang Ray beli tadi di Dapur. Setelah itu café menjadi sedikit lebih sunyi dari yang tadi. Bunyi yang jelas terdengar hanya beberapa sedotan dan sendok kecil panjang yang mengenai gelas kaca karena milkshake yang sedang di aduk.
Setelah meminum Crystal tea bikinan Rio, Ray pun merasa semangat kembali. Dan ia baru sadar ada seorang anak laki-laki yang tidak ia kenal duduk disampingnnya. Ray pun menengok ke Cakka dan mengajak berkenalan. Cara berkenalan Ray ini sepertinya sangat Straigth to the point. Jadi Cakkanya agak kagok saat di ajak bicara pertama kali.
“Hai!.. Dari tadi kamu diam saja. Dan sepertinya aku baru bertemu denganmu pertama kali” kata Ray dengan santai.
Deva yang lewat di sisi Cakka pun berbisik dengan pelan. “Ray itu kadang suka straight to the point. Tapi kalo udah deket, anaknya asik kok”
Cakka diam-diam mengangguk mendengar bisikan Deva. Namun matanya tetap memandang Ray.
“Nama kamu siapa? Bisa main apa?” tanya Ray. Dan benar bukan. Soo Straight to the point.
Tapi ternyata, mendengar pertanyaan Ray itu, tiba-tiba Cakka jadi merasa tertantang.
“Aku Cakka. Bisa main gitar” jawab Cakka tanpa keraguan sedikit pun.
“Benarkah? Wah! Kalo aku Bisa main drum! Dan aku juga lumayan bisa main gitar. Kita main gitar bareng yuk!… di… situ!” Kata Ray dengan semangat. Ia menunjuk panggung kecil yang ada di samping café. Wah sepertinya Ray dan Cakka akan jadi teman dekat nih.
“Biasanya aku bernyanyi dan menghibur para pelanggan dari atas panggung itu” kata Ray lagi. “Jadi… kita main yuk”
“Ayuk” Cakka dan Ray pun berjabat tangan ala sobat sejati. Dan mereka berjalan ke samping café layaknya gentleman.
Kriiiing…
“Hah? Ada telepon di saat seperti ini?” Deva heran. Jarang-jarang ada yang menghubungi café sekitar jam segini.
Keke baru keluar dari dapur, ia pun mengangkat telepon itu.
“Halo…” katanya.
“Oh iya… Oh, iya iya…”
Cklek.
Telepon ditaruh kembali oleh Keke. Dan Ia menyampaikan kata “Tadi itu Alvin. Katanya, professor Degor sudah di jalan pulang, katanya sebentar lagi dia akan sampai di istana”
“Hah?!… sudah pulang?… aku kira professor akan pulang malam hari” kata Oik tidak percaya.
“Katanya jadwalnya di cepatkan secara mendadak” kata Keke lagi.
“Wah, kalau gitu kita harus segera pulang… hfft… padahal masih mau disini…” keluh Agni.
“Nggak papa kok, kemarin aku ketemu salah satu pengawal kerajaan. Katanya kemungkinan café Happy Chipmunks di undang ke istana untuk melayani para putri dan pangeran yang datang nanti” kata Deva yang berniat menghibur Agni.
“Hah? Yang benar?” tanya Agni dan Oik serempak.
“Iya benar..” kata Rio.
“Ya sudah, kalau begitu kita cepat pulang. Agar bisa bersiap-siap untuk dilayani oleh kalian” kata Oik.
“Siiip… kita juga anak melayani semampu kita” Kata Rio, dan di-iyakan oleh Deva.
“Cakka. Ayo!… kita harus cepat-cepat ke pulang. Kalo kepergok kabur oleh professor bisa-bisa kita dihukum” kata Agni.
Cakka yang sedang asyik bermain gitar bersama Ray pun harus rela meninggalkan teman barunya. Begitu juga dengan Ray.
“Ya sudah… besok-besok kita main lagi yah..” kata Ray pada Cakka.
“Pastinya” Cakka dan Ray pun tos-an. Cakka menaruh gitar yang ia pegang dan disandarkan di bangku panggung.
Yah… kini waktu harus memisahkan Cakka, Agni, dan Oik dari teman-temannya di café. Tapi tak apa, karena mereka akan bertemu lagi.
Sebelum Cakka, Agni, dan Oik, benar-benar keluar dari café, Ray berseru dari atas panggung.
“Oh iya, Agni! Oik!… Tadi di kota aku juga liat teman kalian!… yang dari Negara chobits itu loh.. Siapa namanya?.. Eh…”
“Obiet?!” tanya Agni dan Oik yang sudah duluan girang.
“Ah! Iya!”
“Yeeeeees!!….” Agni dan Oik langsung berpelukan. Girang sekali mereka.
“Aku udah kangeeen…” kata Agni.
“Aku jugaaaaa…” kata Oik.
“Makanya!… cepetan pulang. Nanti kalo dihukum nggak bisa liat Obiet loh!… Kan Obiet tambah ganteng” tambah Ray lagi.
“Iya!” seru Agni dan Oik sambil mengepalkan tangan mereka dan mengangkatnya tinggi-tinggi.
Setelah itu Deva juga berseru.
“Putri!…”
Oik dan Cakka sudah duluan keluar, tapi Agni masih menengok ke Deva. Dan Deva melanjutkan kata-katanya.
“Dandan yang cantik yah!…”
“Ha ha!… Iya!… tapi kalian juga harus dandanin Keke biar tambah cantik!” balas Agni ke Deva.
“Hoh!… pastinya! Kalau perlu kita panggil lagi si Acha tuh buat dandanin!” kata Ray.
“Ha ha!… Ya udah, aku ketinggalan nih! Aku pulang dulu yah… Dah..” Agni melambaikan tangannya ke Deva, Rio, Ray, dan Keke. Rio dan yang lainnya juga balas melambaikan tangan. Setelah Agni keluar dari café Deva berseru.
“Daa Putriii!…”