Sabtu, 21 Juli 2012

Saat Hidupmu (bukan lagi) Hidupku (Cerpen) *COPAS*

*
“Sekilas info bersama Fast-News . saat ini kami berada tepat didepan gedung perusahaan Prakasa Corporation, lokasi dimana tragedi bunuh diri dilakukan oleh seorang gadis yang belakangan diketahui bernama….” Reporter itu menyebutkan nama lengkap si korban.

“…entah apa motivasi si korban terjun bebas dari atap gedung yang mempunyai ketinggian hingga 30 lantai ini, pihak kepolisian masih mengusut kasus yang membawa nama perusahaan bonafit, Prakasa Group..” sesekali sang Reporter menoleh kearah TKP.

“..menurut keterangan polisi, mereka masih mencari saksi yang bersedia dimintai keterangan tentang kejadian menyedihkan ini. Demikian Fast-News bersama saya, Zahra Damara melaporkan ditempat” Zahra, Reporter tadi menutup laporannya.

“Gimana ?” tanya gadis itu pada cameramen yang sedari tadi setia merekam laporannya. Rio, sang cameramen mengacungkan jempolnya. “Keren”

Zahra tersenyum. Keduanya menepi, dan mendudukkan diri dibawah pohon besar-entah-apa –jenisnya-yang berdiri kokoh di depan gedung. Gedung itu masih ramai oleh beberapa mobil polisi dan para wartawan yang ingin mengeruk informasi. Sama seperti mereka.

“Tadi gue udah tanya ke salah satu cleaning-service yang tugas lembur semalem” Zahra memulai percakapan. Rio menoleh. “Terus ? apa yang lo dapet ?”

Zahra menghela nafas. “Katanya, dia sempet ngeliat anak pertama dari pemilik Prakasa Group, dateng ke gedung malem-malem”

“Sama cewe yang bunuh diri itu ?”

Zahra menggelengkan kepala. “Gak tau, soalnya saksi gue Cuma liat dia sendirian. Tanpa siapapun”

“Yaudah Ra, mending kita temuin tuh anaknya Ardiwanta Prakasa. Mungkin dia tau sedikit info tentang cewe itu” usul Rio.

“Ide bagus, tapi masalahnya..gimana janjiannya ? gue gak punya nomer HP ato nomer apapun buat ngehubungin dia”

“Aha, gimana kalo kita ke rumahnya aja ?” usul Rio (lagi).

Zahra nampak menimbang-nimbang. “Mmmm..boleh deh”

*
Sore harinya

“Oalah, maaf mbak, mas. Tuan lagi kurang enak badan. Sekarang aja dia lagi di rumah sakit” aku wanita setengah baya yang nampaknya Asisten Rumah Tangga rumah besar itu.

Zahra dan Rio nampak lesu. “Bik, bisa kasih tau ke kita nama Rumah Sakit tempat dia dirawat ?”

“Aduh, bukannya Bibik gamau Mas, Mbak. Tapi..ini perintah dari Tuan dan Nyonya Besar. Setiap hari sih saya kesana buat nganterin makanan kesukaan Tuan Muda. Mas, Mbak” tolak wanita itu halus.

Rio mendecak, namun Zahra terlihat tetap semangat. “Yaelah, kami mohon banget Bik. Kami janji deh ngga akan ngebocorin alamat Rumah Sakitnya, ini demi penyelidikan sekaligus pelengkap laporan kami tentang gadis yang bunuh diri itu..”

Wanita tersebut bimbang. Dari mata Zahra dan Rio, tergambar jelas mereka orang baik-baik. Hanya saja, perintah majikannya lebih memberatkan punggungnya.

“Ah, gini aja deh Bik. Ini Kartu nama kita berdua” Rio berinisiatif menyerahkan kartu nama mereka. “Kalo bibik jenguk Tuan muda, bibik bilang deh sama dia. Kalo kami mau minta kesaksiannya dia tentang tragedi bunuh diri itu”

Wanita itu menerima kartu nama yang disodorkan Rio kala pemuda itu menyambung. “Kalo Tuan muda bibik itu gak bersedia, kita gak maksa kok. Tapi kalo misal dia ngijinin, hubungi kita ya Bik. Makasih”

Wanita yang dipanggil ‘Bibik’ menatapi punggung Zahra dan Rio. Kelihatannya Ia mulai mengerti duduk permasalahannya.

*
“Halo, eh iya Bik..iya ini saya Mario. Bibik udah ke rumah sakit ?....oh iya….terus ?...apa ?...serius Bik ?...yeah! makasih banyak ya Bik..rekan saya pasti seneng banget dengernya…iya..oke” Rio terlihat kegirangan kala menerima sebuah panggilan masuk. Secepat kilat Ia menuju ke ruang lain di kantornya.

“Zahra mana ? ada yang liat Zahra gak ?” tanya Rio pada hampir semua orang yang Ia temui.

“Di kantin tuh” jawab salah satu rekannya. Setelah berterima-kasih, segera Rio larikan kakinya menuju kantin.

“Ra!! Ra, gue ada kabar baik!” tutur Rio kegirangan. Zahra menatap heran sekaligus penasaran. “Apa?”

“ART yang kemaren kita maintain tolong, tadi telepon gue. Katanya Tuan Mudanya ngijinin kita ke rumah sakit buat ambil kesaksiannya!”

Mata Zahra nyaris keluar mendengar pernyataan Rio, hei benarkah ?
“Serius Yo ?”

Rio mengangguk. “Kita kesana sore ini, jam 5”

*
Pemuda itu mendudukkan dirinya diatas ranjang, posisinya membelakangi pintu. Sekalipun ada derit suara pintu yang terbuka, tak dapat mengalihkan perhatian sang pemuda. Bik Darmi-begitulah nama Asisten Rumah Tangga-telah mewanti-wanti Zahra dan Rio agar tak kaget jika melihat sikap Tuan muda-nya yang kelewat dingin.

“Maaf Den, mereka sudah datang” ucap Bik Darmi, pelan.

“Tinggalin kami Bik” balas Tuan muda-nya. Tanpa menoleh.

“Baik Tuan” Bik Darmi member isyarat pada Zahra dan Rio agar tak bertanya macam-macam pada majikannya yang notabene masih belum stabil kesehatannya. Kedua muda-mudi itu mengangguk setuju.

Setelah mendengar bunyi ‘ceklik’ khas pintu ditutup, Tuan Muda itu membalikkan tubuhnya. Menghadap kedua orang yang entah mengapa kehabisan kata-kata.

Zahra mendegut ludah. Tuan Muda itu tampan. Sangat tampan. Sementara Rio menatapi orang didepannya dengan seksama. Ada sesuatu dari tatapan matanya. Sesuatu-yang-tak-dapat-diterka. Wajahnya pucat, bibirnya nyaris sama dengan warna kulitnya yang putih.

“Jadi, wawancarain saya ?” tanya Si Tuan Muda. Teguran halus itu menyebabkan Zahra dan Rio gelagapan. “Iya, jadi jadi. Maaf udah buat Anda  nunggu lama. Kami siap-siap dulu”

Si Tuan muda mengusulkan sesi ‘wawancara’ di sofa saja, biar kedua orang itu tak perlu berdiri, katanya. Rio meletakkan sebuah Digital Voice Recorder, guna merekam segala percakapan mereka.

Saat ini Rio dan Zahra duduk di sofa yang ada dihadapan sofa yang diduduki si Tuan Muda. Tuan Muda itu menghela nafas. Sepertinya berat sekali membuka suara.

Zahra memberanikan diri membuka percakapan. “Kami sedang bersama Narasumber bernama…”

Si Tuan Muda menatap Zahra. “Alvin. Alvin Jonathan S.Prakasa”

“Ya, jadi apakah Anda mengenal gadis yang baru saja bunuh diri itu ?” Zahra mulai gencar menanyakan hal-hal yang berkaitan dengan peristiwa berdarah itu.

Alvin, menghela nafas. “Ya, saya kenal”

“Lalu ada hubungan apa sajakah Anda dengan dia ?” tanya Zahra selanjutnya.

Alvin menatap lurus kedepan, bukan pada Zahra atau Rio. Tatapannya makin kosong. “Saya, kekasihnya”

Zahra dan Rio tersentak. Ternyata..
“Maaf jika ini menyangkut-pautkan dengan urusan pribadi. Jika Anda nggak mau meneruskan wawancara ini, kami nggak keberatan kok”

Alvin menggeleng. “Teruskan. Saya ngga keberatan sama sekali. Saya akan ceritain semua. Semua tentang Saya, dan Ashilla”

*
Kedua pemuda tampan yang tengah terduduk di sofa ruang tamu itu nyaris tertawa terbahak-bahak menatapi seorang gadisyang entah-ada-angin-apa muncul di ruang tamu mereka.

Dan astaga, lihatlah penampilannya yang mmmm..norak mungkin. Terusan bunga-bunga biru tua, sandal jepit lusuh, dan..rambut yang dikepang satu. Ditambah jepit rambut kuno yang menyelip pada poni kirinya. Oia, belum lagi tas besar yang digenggam gadis itu.

“Mo nyari siapa Bik ? Haha” ledek pemuda bermata sipit, disambut tawa oleh pemuda satunya.

“Mmmm..Kula badhe madosi..” si Gadis berniat menjawab dengan Basa JawaKrama. Namun buru-buru disela pemuda yang mempunyai wajah imut. “eh eh, kita ngga ngerti. Pake bahasa Indonesia aja”

Gadis itu tersenyum. “Oia maaf, saya lupa. Saya mau ketemu sama Ibu saya. Menurut alamat, Ibu saya tinggal disini”

Pemuda sipit itu tersenyum sinis. “Eh nama Ibu lo siapa ? lo pikir Ibu lo presiden apa yang semua orang bisa tau ?!”

“Mmm, maaf maaf. Nama Ibu saya..Bu Ira” ada yang istimewa dari gadis ini. Kesopanannya. Selalu Ia tundukkan kepala ketika sedang berbicara.

“Oh, kepala ART toh. Bik Ira udah tau lo mau kemari ?” tanya pemuda satunya.

Si Gadis mengangguk. “Saya sudah kirim surat”

“Yaudah lo ke dapur aja. Dari sini lo masuk ke lorong sebelah tangga noh. Lurus terus, sampe pol. Itu dapur” si pemuda imut itu menunjukkan arah dapur pada si gadis.

“Saya permisi dulu, terima kasih ya Mas” pamit sang gadis.

“Eh tunggu-tunggu.Mas ? sejak kapan kita jadi kakak lo ? gue Alvin. Dan ini adik gue Cakka. Siapa nama lo ?”

“Maaf, nama Saya Ashilla” jawabnya santun.

Ashilla. Diam-diam Alvin merapalkan nama itu dalam hatinya.

*
Atas kebijakan Papa dan Mama-nya, Shilla-begitu panggilan akrab Ashilla-diijinkan untuk tinggal dan bekerja sebagai Asisten Rumah tangga, sekaligus membantu Ibu kandungnya, Bik Ira. Dari yang Alvin dengar, Shilla meninggalkan kampung halamannya di Banyumas dan menyusul Ibunya ke Jakarta. Dengan alasan ingin mencari pekerjaan. Maklum saja, gadis itu baru menanggalkan bangku SMA-nya.

Ah, apa-apaan ini ? Kenapa Ia malah memikirkan gadis desa itu ? keluh Alvin. Pemuda itu menggelengkan kepalanya. Berharap segala bayangan tentang Shilla ikut terhempas dari otaknya.

Cukup! Alvin tak mau makin jauh terhanyut dalam bayang-bayang gadis yang bahkan belum tepat seminggu dikenalnya-dan mengenalnya-.

Untuk itulah pemuda tegap tersebut memutuskan untuk bangkit keluar kamarnya. Menuju dapur untuk sekedar memerintah pembantu membuatkan teh, kopi, coklat atau apapun minuman yang hangat.
Bayangan hitam memanjang jatuh didepan dapur. Tandanya ada sosok lain didalam ruangan itu. Tenang, Alvin tak perlu berfantasi apakah sosok itu hantu atau bukan. Karena sosok itu menampakan dirinya saat Alvin hendak mengintip aktivitas dalam dapurnya.

“Eh, maaf Den. Saya tadi minta kantong teh-nya buat bikinin teh untuk Ibu. Maaf” jelas Shilla sebelum Alvin sempat membuka suara. Tetap sama seperti dulu, gadis itu selalu menundukkan kepalanya setiap berbicara.

“Ck..” Alvin mendecakkan lidahnya. “Kalo ngomong, itu tatap mata orang yang lo ajak ngomong! Lo pikir gue hantu yang nggak keliatan ?” sungutnya sembari mengangkat dagu Shilla dengan tangannya.

Tepat. Tepat mata mereka bertemu.

Jika ini hari Jujur sedunia, Alvin akan berkata sejujur-jujurnya. Bahwa ada kecantikan luar biasa yang terpoles alami pada wajah Shilla. Ditambah segelintir anak rambut yang menjadi bingkai pelengkap kesempurnaan pahatan Tuhan.


Hey, ini bukanlah salah satu cuplikan drama Sinetron kan ? dimana si pemeran lelaki mematung saat matanya bertemu tatap dengan si pemeran wanita ? dan Alvin tak mau detik itu disamakan dengan Sinetron. Terlalu lebay, katanya.

Oleh karena itu segera saja pemuda tersebut mengalihkan pandangannya. Walau sebenarnya dirinya masih ingin berlama-lama menatap gadis didepannya.

“Buatin gue teh juga. Yang sama kaya yang lo buat barusan. Oia, gue gak suka manis. Gulanya setengah sendok aja” perintah Alvin. Yang lalu dibalas Shilla hanya dengan anggukan kepala.

Ah, rasa aneh apa ini ? keluh Alvin. Pemuda itu mendudukkan dirinya di sofa ruang keluarga-sambil menunggu pesanannya datang-.  Pemuda itu memutuskan untuk mengalihkan pikirannya dengan memainkan ponselnya, mengirim pesan singkat pada seseorang.

**

Ajaib, kerlingan matamu bisa membuatku merasa dekat denganmu..

Well, ungkapan jika Cinta berawal dari mata turun ke hati, nampaknya benar. Karena sejak bertemu tatap dengan gadis desa itu, Alvin sama sekali tak dapat mengenyahkan bayangan mata bening Shilla begitu saja. Walau Alvin tak berani memastikan apakah dirinya benar-benar jatuh cinta pada gadis itu.

Terlalu cepat.

Sangat cepat.

Padahal baru hari ke-10 gadis itu tinggal di rumahnya. Tapi telah mampu merebut perhatiannya. Sadarkah Alvin ? bahwa dirinya terlalu dingin untuk ditaklukan begitu cepat oleh gadis biasa ? yah, kecuali jika dia bukan gadis biasa.

**

Alvin tak begitu mengingat secara pasti. Yang Ia ingat, dirinya terlonjak dari tempat tidur dengan keringat mengaliri pelipis dan dahinya. Mimpi buruk lagi, keluhnya.

Sudah menjadi kebiasaan jika diserang mimpi buruk, rasa kantuk rasanya seperti melayang jauh-jauh dari Alvin. Jadi pemuda itu tak membaringkan dirinya kembali di ranjang. Melainkan duduk sejenak di pinggiran ranjang, mengumpulkan nyawanya sejenak.

‘Jam berapa ini ?’ tanya pemuda itu dalam hati. Tangannya meraba-raba wekker yang berdiri setia diatas meja kecil samping ranjangnya. Pukul  3 dini hari ternyata. Masih terlalu pagi.

Jadi ketimbang terlihat bodoh dengan duduk ditempat untuk menunggu pagi, lebih baik pemuda itu keluar kamar. Siapa tau ada ‘objek’ yang mampu menghilangkan kepenatannya.

Sepi.

Jelas saja. Papa dan Mama-nya terbang ke Jepang  2 hari yang lalu. Untuk urusan bisnis dan beberapa bulan disana, kata mereka. Adiknya, Cakka sedang menginap di rumah Nay, May, Ray..ah siapa itu Alvin tak mau tau. pokoknya karib adiknya yang berambut gondrong.

Pemuda itu memutuskan untuk membuka pintu menuju balkon. Tak peduli udara malam yang konon katanya, jahat untuk tubuh.

“Hmmm..” Alvin menghela nafas dalam-dalam. Seakan akan Ia tengah berada diatas puncak gunung, bukan di balkon rumahnya.

Tunggu. Hey, siapakah itu ? sesosok gadis berambut panjang dengan pakaian terusan berwarna…pink mungkin. Entahlah, kurang begitu jelas. Yang tengah duduk di ayunan taman di halaman depan. Posisinya membelakangi rumah. Sehingga Alvin tak lihat jelas siapa dia.

Apakah hantu ? oh, tentu tidak. Karena Alvin bukan tipe manusia yang mempercayai hal-hal tabu seperti itu.

Tapi penasaran juga, siapa sih cewe yang niat malem-malem keluar dan duduk di ayunan? Sendirian pula. Batin Alvin. Jadi pemuda itu putuskan untuk turun kebawah guna melihat si gadis.

“Nanana..syalala..” senandung lirih. Meskipun dilafalkan pelan, namun terdengar merdu dan lembut.

“Ehem” Alvin berdehem. Refleks, si gadis berbalik. Oalah, Shilla toh.  Gadis itu nampak sungkan kala melihat siapa yang datang.

“Lo..ngapain disini ?” tanya Alvin, sembari ikut mendudukkan diri di ayunan samping Shilla.

“Saya selalu bangun jam segini Den. Dulu di kampung juga gitu” ucapnya malu-malu. Masih dengan menunduk. Diam-diam, majikan didepannya ikutan merendahkan kepalanya. Menatap wajah gadis lugu yang –entah mengapa-selalu menunduk ketika berbicara.

Merasa diperhatikan, Shilla memutuskan untuk bangkit dari ayunan. “Saya permisi dulu Den”

“Tunggu” Shilla berbalik. “Ya ?”

“Temenin gue disini. Dan..dan gue bakal nyanyiin satu lagu yang lebih bagus ketimbang senandung lo tadi” janji Alvin. Entah karena perintah majikan, atau memang karena penasaran. Shilla kembali ke tempat duduknya.

“Kenapa sih, lo selalu nunduk tiap gue ngomong ? tiap orang lain ngomong ? gue kan pengen liat wajah lo” keluh Alvin. Shilla tak menjawab.

Kau terindah diantara bunga yang pernah hadir dalam mimpiku.. Kau terbaik diantara dewi
Yang pernah aku miliki dahulu..”
 Pemuda itu menepati janjinya menyuarakan nyanyian.
“Begitu indah kau tercipta bagi rama..begitu anggun kau terlahir sebagai sinta..”sambung Alvin. Sejujurnya pemuda itu menyadari, bahwa alunan lagu yang Ia suarakan adalah..tak lain untuk memuji kecantikan tersembunyi dari gadis lugu didepannya.

Yang mulai malam itu, sudah dipastikan telah merebut hatinya secara kilat.

**
Bila ada seseorang yang kuharap bisa memutihkan gulita ku, yaitu kamu..

“Yaudah kak, tembak aja. Masa iya dia bakal nolak ? gue dukung lo seratus perseeeen” ucap Cakka, kala Alvin membuat pengakuan padanya.
“Gak tau deh Cak, gue gak pede”

“Jiaah, napa jadi lo yang minder ? liat diri lo. Nyaris perfect! Apalagi yang ditunggu ?? gue denger, hari ini dia yang piket belanja ke pasar. Lo susul gih!” Cakka berkoar, member semangat.

Alvin berpikir sebentar. “Tapi kan..gue gak pernah ke pasar. Kalo nyasar gimana ?”

“Ck..!” Cakka mendecakkan lidahnya. “Oon ameeet lo. Lo gak akan nyasar hanya karna baru pertama kali ke pasar. Udah sana, inget Bro, kesempatan gak dateng 2 kali. Dia pasti nrima lo!” tegas Cakka.

Sedetik, dua detik, tiga detik. Hingga Cakka bolak-balik mendecakkan lidahnya karena merasa gregetan dengan sang kakak yang menurutnya lelet.

“Oke, gue bakal susul dia. Doain gue ya!” Alvin bangkit setelah berdiam diri –entah hingga menit keberapa-memompa semangat dan kepercayaan dirinya.

Loh, kenapa ? baru 3 langkah, Alvin sudah menghentikan kakinya. Dan berbalik dengan cengiran tak ada duanya. “Cak, pinjem motor lo dong. Kan gak enak banget ke pasar pake mobil”

*
Pasar

Alvin tak melihat penampakan Shilla didalam pasar tradisional itu. Yang dilihatnya hanyalah ibu-ibu bertubuh tambun dengan tas belanja berisi kacang panjang atau bawang. Dimana Shilla ?
Aha, setelah memutar pandangannya ke berbagai penjuru, akhirnya Alvin menemukan sosok Shilla. Yang sepertinya tengah beradu harga dengan pedagang buncis.

Oke, saatnya. Batin Alvin.

“Hey..” sapa Alvin. Shilla menoleh, rada kaget. “Loh, ngapain disini Den ?”

“Nyusul kamu” jawab Alvin singkat. Dan jujur.

Bola mata Shilla membulat. “Nyusul saya ?”

Alvin mengangguk. “Udah selesai kan belanjanya ? yuk aku anter pulang”

“Eh, tapi..maaf. Aden gak perlu repot repot. Saya bisa naik angkot kok” tolak gadis itu halus.

“Aku kasih kamu opsi. Mau pulang bareng majikan kamu ini, atau..ini jadi hari terakhir kamu kerja di rumah ?” tanya Alvin. Yaaah, nasib babu kan memang tak bisa menolak perintah majikan. Sama halnya seperti Shilla. Jadi gadis itu nurut saja-sekaligus tersentak-saat Alvin menarik lembut pergelangan tangannya.

Alvin melajukan motor nya (re:motor Cakka) dengan kecepatan standart. Shilla duduk menyamping di belakangnya yang masih diselimuti perasaan campur aduk.

BREEESSS..
Gumpalan awan yang mengandung titik-titik hujan pun tak kuasa menampung air lebih lama lagi. Hujan mengguyur kota pagi itu. Jarang terjadi hujan pagi-pagi seperti ini.

“Ck, kita neduh dulu ya ?” ucap Alvin, setengah berteriak. Shilla hanya mengiyakan seperlunya. Untung saja di perjalanan, pemuda itu menemukan sebuah warung kopi yang terlihat tutup. Namun pas untuk tempat mereka berdua meneduh.

“Sori ya, harusnya aku bawa mobil aja biar kita gak kehujanan” kata Alvin. Shilla hanya tersenyum.

Shilla menoleh kearah Alvin. “Oia, kalo boleh saya tau..emang kenapa Ad…”

“Jangan. Jangan panggil ‘Den’ lagi. Panggil aja Alvin. Kan umur kita gak beda jauh” sela Alvin.

“Oh, mmm..jadi, kalo boleh saya tau. kenapa Ad, eh kamu susul saya ke pasar ?” Alvin baru mau membuka mulut menjawab pertanyaan Shilla. Kala petir menggelegar dengan hebatnya.

Aneh ya, seseorang yang sedang jatuh cinta pasti akan merasakan getar-getar listrik tiap berada didekat orang yang dicintainya. Padahal Ia tak terkena petir -__- begitulah yang dirasakan kedua manusia itu. Saat Shilla yang kaget –sekaligus takut-dengan petir, reflex memeluk lengan Alvin.

Mungkin ini saatnya. Gumam Alvin.

“Kamu..masih inget lagu yang aku nyanyiin malam itu ?” tanya Alvin ragu. Shilla mengangkat wajahnya –untuk kali kedua-menatap mata kecil namun teduh didepannya.  “masih”

Alvin menghela nafas. “Lagu itu..adalah..pengakuanku yang selama ini mengagumi kamu. Secara..diam-diam”

Shilla tampak terkejut. Namun Ia tetap seperti Shilla yang biasa. Hanya menanggapi segala yang terjadi dengan senyuman. “Makasih”

Hening.

“Eh, hujannya udah reda. Kita pulang yuk” ajak Shilla yang hendak melangkah keluar area tempat mereka berteduh. Sebelum dicegah Alvin. Pemuda itu memeluk Shilla.

Begitu Indah..kau tercipta..bagi Rama. Begitu..Anggun kau terlahir..sebagai Sinta” Alvin kembali menyanyikan lagu itu. Tepat ditelinga Shilla.

“Izikan aku jadi Rama” pinta Alvin lembut.  Shilla masih tak mengerti. “Maaf, saya..”

“Aku mohon..aku membutuhkan kamu..”

**

Aku tahu, jika memang itu cinta. Tak ada gunanya mengingkari nurani..

Benarkah hubungan cinta antara pembantu dengan majikan merupakan hubungan terlarang ? sepertinya tidak. Karena cinta tak memandang status sosial. Tak memandang fisik. Tak memandang materi. Tak memandang usia. Cinta itu..buta.

Selepas dari jawaban ‘Ya’ yang terlontar dari mulut Shilla 3 minggu yang lalu, kini status Alvin dan Shilla bukanlah sebagai Majikan dan Pembantu. Tapi sepasang kekasih.

Belum banyak yang tau hubungan istimewa diantara mereka. Paling-paling Cakka, Bik Ira, Bik Darmi-Bik Darmi merupakan adik kandung Bik Ira-.

Cakka sempat beberapa kali mengusulkan Alvin agar menelpon Papa dan Mamanya untuk sekedar member tahu bahwa sang kakak telah memiliki gadis penawar rindunya. Tapi Alvin menolak. Alasannya karena takut kalau-kalau mengganggu kesibukan kedua orang tua mereka.

Sebenarnya bukan itu alasan utamanya. Lebih karena..

“Hey, kok ngelamun ?” tegur Shilla, mengagetkan Alvin dari lamunannya. Alvin mendongak dan tersenyum saat gadisnya meletakkan cangkir Green tea di meja beranda tempat Alvin duduk.

“Makasih” kata Alvin singkat. “Mmm..ngelamunin apa ? boleh aku tau ?”

Alvin mengurungkan niatnya mencium tepian cangkir dengan bibirnya kala mendengar pertanyaan Shilla. Pemuda tersebut  memandang gadis ayu didepannya. Lihatlah, walau berstatus ‘kekasih orang kaya’ penampilannya tetap sama seperti dulu. Tak ada yang berubah. Hanya saja sekarang Shilla tak pernah mengepang rambutnya lagi. Itu karena wanti-wanti dari Cakka. Yang bilang bahwa gaya rambut seperti itu membuat Shilla terlihat seperti gadis desa yang kampungan.

Alvin menghela nafas pelan, tak kentara. “Ngelamunin kamu. Hehe”

Shilla tersenyum malu. “Idih gombal. Eh, aku ke ke dapur dulu ya. Masih banyak kerjaan”

Betapa Alvin tau, bahwa gadis itu punya makna tersendiri di matanya. Bahwa gadis itu punya kedudukan sendiri di otaknya. Bahwa gadis itu punya tempat tersendiri, tempat paling istimewa di hatinya. Yang Alvin yakini, tak dapat digantikan oleh siapapun.

**
Seperti halnya tumbuhan yang senantiasa membutuhkan hujan. Setia menanti datangnya hujan. Sama sepertiku. Aku tak mau datangmu terlambat. Hingga membuat hatiku terkulai layu..jika memang datangmu tepat waktu, ijinkanlah aku menjaga anugrah ini, Tuhan..

“Kamu ngapain kesini, nanti ketauan sama orang-orang gimana ?!” pekik Shilla panik saat tiba-tiba pintu kamarnya terbuka dan memunculkan sosok Alvin.

“Ssstt..mereka ngga akan tau kalo kamunya gak seberisik itu. Aku bosen tau. makanya kesini” tanggap Alvin santai. Pemuda itu asal saja mendudukkan dirinya di kasur kapuk milik Shilla. “Hey jangan duduk disitu..” larang Shilla seraya menarik-narik lengan Alvin.

“Eh bentar deh. Jam berapa sekarang ?” Alvin melirik jam di dinding kamar Shilla. “Udah jam setengah 12 loh. Kamu belum tidur ?”

“Ck, gimana mau tidur kalo kamu masih disini ? ayo keluar! Nanti menimbulkan fitnah loh”

Alvin terkekeh mendengar ucapan ngawur Shilla. “Yang nyebarin fitnah itu berarti otaknya ngeres. Gak mau, aku gak mau pergi sebelum kamu tidur”

“Kenapa ?”

“Karena aku pengen liat kamu tidur. Pasti lebih cantik”

“Ck Alvin, gak penting banget sih. Aku yang melek sama aku yang merem tuh sama aja. Mukaku nggak akan berubah” tutur Shilla. Tolong, mau sampai kapan mereka berdebat ?

Shilla menyambung “Lagian gimana aku mau tidur kalo sekarang kamu duduk di kasurku ?”

Alvin memutar bola matanya. “Yaelah, gitu aja ribet. Tinggal tidur aja disini” ucapnya sambil menepuk sisi lain pada kasur itu.

“Alvin!”

“Ashilla”

“Vin, aku ngantuk. Kamu mau liat ada lingkaran hitam disekitar mataku besok ? gara-gara aku kurang tidur ?”

Alvin mengangkat kedua tangannya. “Oke oke, aku duduk di lantai. Silakan Tuan Putri, tidurlah dengan nyenyak”

Benar saja, Alvin segera beringsut ke lantai. Pemuda itu memposisikan dirinya duduk bersila tepat disamping kasur. “Kok malah diem ? katanya mau tidur”

Didorong rasa kantuk yang hebat, tak enak juga bisa lebih mementingkan ego. Jadilah Shilla menuju kasur abadinya. Gadis itu tidur menyamping, sehadapan dengan Alvin yang terduduk di lantai.

“Mau sampe kapan kamu disitu ? gak dingin apa ?” tanya Shilla.

Pemuda itu tersenyum. “Kan tadi aku udah bilang. Aku mau liat kamu tidur. Jadi aku gak akan pergi sebelum kamu merem”

“Yaudah terserah. Tapi..kamu gak ngapa-ngapain kan ?” tuduh Shilla.

Alvin tersenyum jahil. “Kalo ngapa-ngapain dikit, boleh kan ?”

“Ck, Alvin!”

“Becanda Shilla, udah sana tidur” Alvin menarikkan selimut hingga sebatas leher gadisnya. Pelan-pelan, mata Shilla terpejam. Alvin masih setia duduk disampingnya. Sembari menatapi wajah Shilla yang telah terlelap.

“Tuhkan aku bilang apa, kamu tambah cantik kalo merem gini” gumamnya sendiri, sembari mengusap lembut kepala Shilla.

“Hei, aku punya puisi untuk kamu. Mau dengar ?” tanya Alvin, seolah-olah Shilla masih ‘sadar’. “Maaf ya kalo jelek, nih dengerin ya”

“Tak ada sebersitpun inginku untuk berpaling apalagi pergi dari hatimu. Kamu begitu ayu saat matamu pulas. Itu yang membuatku enggan untuk keluar dari kenikmatan wajahmu. Disaksikan langit malam dan kesyahduan rembulan, aku berdoa agar mimpi-mimpi indah layaknya surga menyambangi tidurmu. Gnait, Ashilla” Alvin mengakhiri puisinya dengan mengecup kening gadis itu. Sebelum akhirnya benar-benar keluar dari kamar Shilla.

**

Kamu. Tak pernah memudar di mataku. Seperti matahari  yang setia datang menjadi benderang bagi bumi..

Shilla masih terpaku. Mata beningnya belum berkedip. Demi Tuhan, pemandangan didepannya adalah hal terindah-namun sederhana-yang baru Shilla sadari adanya.
Senja.

Yeah..siapa yang tak terbius ketika sapuan langit jingga menggantikan warna biru muda di cakrawala ? siapa yang tak suka menatap detik-detik sang surya membenamkan dirinya malu-malu ?

Tak terkecuali Shilla. Saat Shilla sedang menyapu beranda depan. Lalu tiba-tiba Alvin datang dan menggeret tangannya lembut. Untuk masuk ke mobil ‘majikannya’. Shilla terpaksa diam saja dan memendam penasarannya karena jawaban Alvin hanya : “Aku punya kejutan buat kamu”

Jadi tak ada gunanya bertanya lagi.

ketika Alvin membawanya ke gedung perusahaan milik Ayahnya, Shilla masih penasaran. Kala pemuda itu mengajaknya menaiki elevator menuju lantai paling atas. Saat Alvin menarik tangannya menaiki anak tangga menuju atap gedung. Dan, saat Alvin menyuruhnya menutup mata.

Hingga terdengar perintah dari pemuda itu untuk Shilla membuka matanya.

“Gimana ? indah kan ?” tanya Alvin. Tak perlu ditanya, sudah tau jawabannya kan ?

Shilla menoleh, menatap manik mata Alvin. “Kenapa ? kenapa kamu ajak aku kesini ?”

“Yeah, biar kamu tau. bahwa hal sederhana dan dan biasa kaya senja dan matahari tenggelam, itu bisa dinilai indah oleh orang-orang yang betul betul mengagumi dan memuja karya Tuhan itu” jelas Alvin.

“Oh, jadi kamu mau ajarin aku bersyukur ?”

Senyum kecil terpoles di wajah tampan pemuda itu. “Nggak gitu juga sih. Tapi, kamu itu..ibarat senja. Mungkin, banyak dari mereka yang gak peduli akan pergantian langit biru muda menjadi langit jingga. Bagi mereka, ada atau gak ada senja, itu gak akan mempengaruhi keadaan langit. Sama kaya aku. Diluar sana, mereka anggep aku..sempurna dengan segala yang aku punya. Materi, fisik. Tapi gak, aku gak akan menjadi lebih baik tanpa kamu. Senjaku itu adalah kamu..”

Pipi Shilla bersemu. “Ini..bukan rayuan kan ?”

Alvin menggeleng. “Bukan. Ini bukan rayuan. Tapi pengakuan hati”

**

Raihlah aku, sebelum ada cinta lain yang membawaku menjauh dari matamu..

Alvin masih terdiam pada posisinya. Di lantai. duduk bersila disamping tempat tidur Shilla. Tangannya mengusap lembut rambut gadisnya. Keinginannya hanya satu, melihat gadisnya terlelap. Sama seperti malam-malam sebelumnya. Itulah kunjungan rutin Alvin tiap malam datang.

“Vin..” sapa Shilla pelan.

“Ya ?”

“Kamu..macarin aku bukan untuk mainan kan ? maksudnya, aku ini kan gadis lugu. Polos. Sementara kamu, anak kota” terka Shilla was-was. Bagai terserang demam sinetron, gadis itu ikutan terserang virus cerita melankolis dalam Sinema Elektronik itu.

Alvin tersenyum simpul. “Ya nggak lah. Emangnya, aku kurang serius ya ?”

“Bukan. Tapi, mau sampe kapan sembunyi-sembunyi terus ?”

“Oke, gini ya..nanti kalo Orang tua ku pulang dari Jepang, aku janji aku bakal bilang sama mereka tentang kita” janji Alvin.

Shilla mengacungkan kelingkingnya. “Janji ? janji juga kamu gak akan pernah tinggalin aku”

Alvin mengangguk, dikaitkannya kelingking mereka berdua. “Janji. Janji aku gak akan pernah pergi dari Ashilla. Kita sehidup semati. Sekarang, waktunya kamu tidur”

“Tapi aku mau satu permintaan” rengek Shilla sedikit manja. “Apa ?”

“Aku mau dinyanyiin kamu. Lagu yang waktu itu. Inget kan ?”

“Gak akan aku lupain. Kau terindah diantara bunga, yang pernah hadir dalam mimpiku. Kau terbaik diantara dewi yang pernah aku miliki dahulu..”

Lagu itu, adalah bukti kekaguman Alvin yang begitu mendalam pada gadis yang dulu sempat ditertawakan olehnya karena penampilan lugunya.

“…begitu indah kau tercipta bagi rama..begitu anggun kau terlahir sebagai sinta. Kau terindah yang pernah kucintai..”

Alvin berhenti bernyanyi saat dilihatnya mata Shilla telah terpejam. Oke, saatnya kembali ke kamarnya sendiri. Pemuda itu menutup pintu kamar Shilla pelan.

*

Cakka menutup sambungan telpon melalui ponselnya. Pemuda itu menghela nafas dalam. Ia merasa harus memberitahukan kabar berita ini secepatnya pada sang kakak. Sebelum Alvin kaget. Jadi Cakka putuskan untuk menyambangi kamar Alvin.

“Tadi..mama nelpon gue. Katanya, besok mereka balik” ucap Cakka. Alvin tersenyum senang. “Yeah, itu artinya gue bisa bilang ke mereka tentang gue sama Shilla”

“Mmmm..tapi…”Cakka menggantungkan kalimatnya. “sebenernya, mama ngelarang gue buat kasih tau lo. Tapi gue rasa, lo harus tau”

Dahi Alvin mengerut. Dari ekspresi yang ditampakkan Cakka, sepertinya itu bukan berita baik.
“Kenapa ?”

Cakka menarik nafas. Semoga keputusannya membocorkan rencana ini tak salah. “Lo..aduh gimana ya, ck! Kayaknya lo gabisa sama Shilla terus”

“Maksud lo ?”

“Mama udah ada rencana sendiri buat lo. Jadi..jadi..mama gak pulang sendiri. Melainkan sama seseorang. Dan seseorang itu yang menurut mama bakal jadi jodoh terbaik lo”

Pemuda itu terperanjat. “Maksud lo gue mo dijodohin ? sama siapa ?”

Cakka terlihat bimbang. “Masih inget sama..temen kecil kita yang tinggal di Jepang ? dia. Dia orangnya”

Mulut Alvin terkunci. Sebentar dulu, teman masa kecil yang tinggal di Jepang ? siapa ? Aha! Ada satu nama terlintas dibenak Alvin.

“Jangan bilang kalo cewe itu…Sivia”

**

Belum. Ini belum saatnya memberi tau Shilla perihal jodoh menjodohkan itu. Tapi bukanlah akan lebih menyakitkan jika gadis itu tau dengan sendirinya ? saat melihat majikannya pulang dan membawa gadis cantik sipit yang disiapkan untuk mendampingi Alvin ?

Alvin dilema. Antara menerima keputusan orang tuanya, atau menomorsatukan gadisnya ?

Benar saja, terlalu lama mengulur-ulur waktu. Hingga saat yang tak ditunggupun tiba juga. Kedua orang tuanya telah sampai di Jakarta. Dan menjejakkan kaki ke rumah sekitar 5 menit yang lalu. Bahkan Shilla sendiri yang membukakan pintu untuk mereka.

Dan, gadis itu tak menaruh curiga kala melihat seorang gadis cantik yang tampil modis dibelakang majikannya. Mengekor Tuan dan Nyonya nya.

Sampai sang Nyonya memanggil Alvin dan Cakka untuk menuju ruang tamu. Sampai sang Nyonya memperkenalkan gadis sipit itu kepada anak-anaknya. Detik itu Shilla masih terlihat biasa. Namun, menjadi tak biasa saat melihat Alvin ber-cipika-cipiki dengan gadis cantik itu.

Juga saat Nyonya nya memerintahkan shilla untuk membuat minuman-sekaligus mengantarkannya-. Gadis itu berusaha untuk tak mengangkat wajahnya. Agar dirinya tak tersodok perih melihat pemuda nya duduk bersebelahan seraya bercengkerama asik dengan gadis cantik itu.

Jadi, setelah selesai menunaikan tugasnya, gadis itu lebih memilih kabur secepatnya. Tak bisa dibilang kabur, karena Shilla berdiri di balik tembok ruang keluarga-yang bersebelahan denga ruang tamu-yang menyalurkan segala suara dari ruang tamu menuju telinganya.

Shilla menghela. Ada kilasan firasat buruk yang menyapanya. Sepertinya Alvin, bahkan Cakka sudah mengenal gadis itu sejak lama. Buktinya mereka bisa seakbrab itu. Tanpa sungkan.

“Jadi..gimana perjodohan kalian ?” Ibunda Alvin membuka suara. Shilla memeluk nampan teh erat-erat. Jangan, jangan berburuk sangka dulu. Siapa tau yang dimaksud majikannya bukan Alvin dengan gadis-yang-entah-siapa-namanya-itu.

Tiba-tiba sang Nyonya mengambung. “Kok diem sih ? Mama tanya, gimana sama perjodohan kalian ? Alvin ? Sivia ?”

PRANGG!
Shilla tak peduli apakah suara nampan itu terlalu keras menyentuh lantai saat dijatuhkan dari pelukannya. Shilla tak peduli. Tak peduli apapun. Gadis itu seperti baru saja menelan pil pahit. Sebuah godam besar meruntuhkan mimpi-mimpinya.

Tidak, Ia tak percaya dengan cinta sejati.

**

Sehari setelah itu, tak ada percakapan antara Alvin dan Shilla. Jangankan percakapan, karena kontak mata pun turut absen setiap mereka tak sengaja bertemu. Alvin tau Shilla kecewa dengannya. Sementara Shilla berharap, Alvin ingat dengan janjinya tempo hari. Untuk mengakui dirinya didepan kedua orang tua pemuda itu.

“Aku Cuma pengen kamu buktiin janji kamu. Dulu” kata Shilla singkat saat keduanya berpapasan di dapur.

“Oke, Aku bakal temuin orang-tua ku. Dan bilang semua tentang kita” tegas Alvin.

Tak perlu menunggu kapan. Selagi hari itu papa nya berada di rumah. Jadi Alvin putuskan untuk berbicara sekarang.

Demi Shilla, batin Alvin. Karena posisi gadis itu tetap tak tergantikan oleh apapun dihatinya.

Tok..Tok..

“Siapa ?” tanya seseorang dari dalam. Suaranya berat. Khas pria berwibawa. Alvin menghela nafas. “Alvin, Pah. Alvin..mau ngomong sesuatu sama papah”

“Oh, masuk aja” perintah suara itu selanjutnya. Ditemani kemantapan hati yang senantiasa mengiringinya, Alvin membuka pintu.

“Duduk. Mau bicara apa ? papa ga punya banyak waktu”

Alvin tau betul sosok didepannya. Segala keputusannya tak dapat diganggugugat. Segala yang menguntungkan baginya, tak akan pernah dilepaskan. Papa nya. Seorang Pria yang mengajarkan Alvin dan Cakka tentang bagaimana caranya berusaha. Menggapai apapun keinginannya, melakukan apapun demi tercapainya semua. Tak peduli apakah itu menyakitkan orang lain atau tidak.

Egois ? memang. Itulah yang membuat Alvin cemas kalau-kalau papanya tak menyetujui hubungannya dengan Shilla yang notabene hanyalah seorang anak pembantu.

“Alvin mau ngaku, sebenernya aku dan Shilla….” Alvin mulai membuka suara. Menceritakan dengan detail segala yang terjadi pasca kepergian Orang tuanya ke Jepang. Dari mulai kejadian di ayunan, saat Alvin mengakui isi hatinya pada Shilla ditengah hujan. Dan tak lupa tentang rutinitas Alvin menyambangi kamar Shilla kala malam tiba. Tak lain dan tak bukan hanya untuk melihat gadis itu terlelap. Dengan ditemani segala banyolan, lagu, atau puisi dari Alvin.

Pria didepannya berdehem beberapa kali seraya membetulkan letak kacamatanya.

“…gitu Pah ceritanya. Jadi..gimana ?” tanya Alvin. Sedetik setelah Ia menyudahi ceritanya.

“Papa..punya 2 opsi untuk kamu. Kamu harus tentukan itu. Pilih salah satu. Papa tunggu keputusan mu sampai besok malam. Kamu harus memilih. Karena semua pria sejati pasti tau, mana pilihan yang terbaik. Dan menguntungkan”

Dahi Alvin berkerut. “Apa opsinya ?”

“Pertama….”

**

Aku memang harus pergi darimu. Kala aku sadar bahwa tak ada lagi yang perlu diharapkan dari kisah ini..

Kurang dari 24 jam lagi waktu yang tersisa. Itu artinya, ada ataupun tak ada, malam ini Alvin harus menyerahkan keputusan atas dua pilihan sulit yang ditawarkan papa nya kemarin.

Sementara di tempat lain, Shilla memantapkan keputusannya. Keputusan yang Ia buat semalaman. Gadis itu menyelipkan kertas berupa pesan untuk Alvin, yang dititipkannya pada Bik Darmi kala wanita itu hendak mengantarkan sarapan ke kamar Alvin.

“Titip ya Budhe. Tolong sampein ke Alvin” pinta Shilla. Bik Darmi mengangguk sembari mengelus-elus punggung keponakannya. “Sabar ya, semua pasti bakal berakhir baik-baik saja”

Shilla tersenyum mengamini.

**

Terpeta sebuah tanda tanya besar dalam raut wajah Alvin. Memo dari Shilla masih digenggamannya. Pesan berisikan : Aku mau bicara. Bisa kita ketemu di tempat kamu mengajakku melihat senja ? kalau iya, sore ini jam 4 aku tunggu. Shilla.

Ada hal apakah yang ingin Shilla utarakan ?

Jadi daripada penasaran, lebih baik Alvin iyakan saja ajakan Shilla. Untung saja sore itu, Mama dan Sivia sedang pergi shopping. Jadi Alvin bisa bebas mengajak Shilla pergi.

Aneh, didalam mobil pun keduanya terasa canggung. Padahal dalam hati, Alvin ingin sekali menggenggam jemari Shilla. Seperti biasanya. Tapi shilla disampingnya sungguh berbeda dengan Shilla yang dulu dikenalnya. Jauh lebih..dingin.

Saat akan memasuki elevator, ada seorang cleaning-service yang sedang mengepel lantai. Aktivitas kantor sore itu sudah sepi. Karena papa nya memang memberlakukan jam kerja hanya sampai pukul 4 sore. Sementara sekarang hampir setengah lima.

Cleaning-service tersebut diam-diam penasaran melihat anak bos-nya datang ke kantor sore-sore. Bersama seorang gadis pula. Tapi, apa sih urusannya ? selain hanya membersihkan lantai kantor ?

Jadi pekerja itu memutuskan untuk tak ikut campur.

*
Shilla berdiri membelakangi Alvin. Pandangan gadis itu menatap lurus kedepan. Kearah barat, menunggu sang penerang raksasa menenggelamkan dirinya.

“Kamu..beneran mau tunangan sama gadis itu ?” shilla membuka pembicaraan.

Alvin mengedikkan bahu. Meski sadar Shilla tak akan melihatnya. “Entahlah. Aku masih bingung”

Shilla berbalik. “Kamu udah bilang kan sama orang tua kamu, tentang kita ?”

“Udah. Aku udah bilang sama mereka”

“Terus ?”

Alvin terdiam. Tak mungkin Ia bicara jujur tentang pilihan yang diberikan papa-nya. “Papa belum kasih keputusan”

“Jadi kamu mau gantung aku seterusnya ?”

“Bukan. Bukan gitu Shill. Ini semua butuh waktu”

“Vin, aku sadar diri kok kalo aku Cuma gadis rendahan yang gak pantes sama kamu. Aku sadar kok kita punya perbedaan status yang sangat mencolok. Tapi..tapi aku juga tau kalo aku cinta sama kamu. Kita bisa bersatu kan ?” ucap Shilla berapi-api.

Alvin menunduk. Diam seribu bahasa. Entahlah, mungkin dirinya tengah memikirkan opsi yang diberikan papa nya dengan segala resiko ditiap pilihannya.

Untuk sesaat mereka diam. Karena senja mulai menyapa. Menggantikan gulungan langit biru. Menjadi jingga kemerahan yang sangat cantik. Namun beda rasanya saat melihat senja pada kali pertama dengan kali ini. Suasananya itu..

Shilla maju selangkah. Menatap dasar lantai gedung perusahaan dibawahnya. Curam. Satu ide gila dan tak lazim muncul dibenaknya.

“Kamu..beneran serius kan sama perasaanmu ke aku ? serius kan sama apa yang kamu ucapin dulu-dulu ?” tanya Shilla pelan. Alvin mengangkat wajahnya, memandang gadisnya yang kini terlihat lain dimatanya. “Ya, serius. Rasa itu masih ada. Sampe sekarang”

Shilla tersenyum dingin. Lalu menarik pergelangan tangan Alvin hingga keduanya berada sangat dekat dengan tepian gedung. Dua atau satu setengah langkah lagi ke depan, mereka akan jatuh kebawah.

“Kamu..mau ngapain ajak aku berdiri disini ?” Alvin bertanya dengan perasaan bimbang dan heran.

“Aku kan tadi udah tanya, kamu serius kan sama perasaan kamu ke aku ? kamu jawab iya. Oleh karena itu..aku mau..”

Satu alis Alvin terangkat. Penasaran dengan ucapan Shilla. “Mau apa ?”

“Aku mau kamu temenin aku mati. Dengan cara terjun dari atap ini. Kebawah” jawab Shilla. Alvin terkejut bukan main. Hei, Shilla masih waras kan ?

“Gila! Kamu tuh gila! Aku gak mau mati konyol kaya gini!” tolak Alvin keras.

“Tapi kamu kan udah janji, kalo kamu bakal sehidup semati sama aku. Inget kan janji kamu pas dikamar aku dulu ? mana bukti kesetiaan laki-laki ?”

“Iya tapi keinginan kamu gak masuk akal! Ayolah Shill, masih ada kan penyelesaian lain ? tanpa harus ngelakuin hal bodoh kaya gini ?”

Shilla menggeleng. “Tapi aku gak bisa hidup tanpa kamu. Aku gak bisa liat kamu bersama gadis lain. Gak egois kan ?”

Alvin diam. Sungguh, Ia masih sangat mencintai perempuan disampingnya. Tapi bagaimanapun, Ia tak mau ditemukan mati konyol dengan cara lompat dari atap gedung itu.

Shilla mengeratkan genggamannya ditangan Alvin.  “Dihitungan ketiga..kita lompat bareng-bareng ya ?”

Alvin tak menjawab.

“Satu..” Shilla mulai menghitung.

Alvin tak bergeming.

“Dua..”

Diam-diam Alvin memantapkan hatinya. Semoga ini gak salah, batinnya.

“Tiga..”

Ia tak main-main dengan ucapannya. Pada hitungan ketiga, Ia benar-benar terjun dari atap. Melenggang bebas kebawah. Tubuh itu terbanting remuk saat menyentuh dasar. Lalu, dimanakah sang kekasih ? apakah Ia ikut mati ?
Tidak.

Karena Alvin sempat melepaskan jemarinya dari genggaman Shilla-secara paksa-sedetik setelah gadis itu mengakhiri hitungannya.

Alvin tak mau mati. Bukan, bukan itu alasannya. Lebih karena pilihan ayahnya. Pilihan yang Alvin yakini adalah pilihan terbaik dan menguntungkan.

Memori otaknya berusaha memutar percakapan antara Papa dan dirinya kemarin.

Dahi Alvin berkerut. “Apa opsinya ?”

“Pertama, kamu terima perjodohan dengan Sivia dan meninggalkan gadis desa itu. Atau..kamu bersama gadis itu. Tapi..seluruh harta warisan serta saham kamu, akan papa limpahkan secara Cuma Cuma pada adik kamu, Cakka. Itu artinya, kamu akan jatuh miskin tanpa membawa kekayaan apapun dari Papah. Silakan pilih. Papa yakin kamu tau mana yang terbaik. Dan menguntungkan”

Alvin menatap ke bawah. Miris. “Maaf. Maafin aku Shill. Ternyata materi jauh lebih memenangkan cinta. Maaf, tapi asal kamu tau. kamu tetap menjadi Dewi dalam hidup aku”

Setelah itu, Alvin berjalan tergesa-gesa kebawah. Tak peduli saat melihat tatapan aneh pekerja cleaning-service yang ditemuinya tadi sore.

Alvin tak peduli. Saat ini hatinya dipenuhi berbagai perasaan aneh.

**

“….begitulah ceritanya” Alvin mengakhiri sesi wawancara yang dilakukan sekitar 2 jam yang lalu. Sementara Zahra dan Rio terpaku, mendengarkan kesaksian Alvin yang mengejutkan.

“Oh kalau begitu..kami permisi. Udah malem, mungkin Anda mau istirahat” pamit Zahra dan Rio. Keduanya menata alat-alat yang mereka gunakan untuk wawancara.

Entahlah, Zahra dan Rio ingin cepat-cepat pergi dari ruangan itu. Ada atsmofer aneh setelah mereka mendengarkan cerita Alvin tadi.

Kreeek.
Pintu terbuka dari luar saat Zahra dan Rio hendak keluar. Dari arah yang berlawanan, muncul seorang gadis cantik bermata sipit. “Loh..Vin, ada apa ini ?”

Alvin tak menjawab. Melainkan berjalan kembali ke tempat tidurnya. Zahra dan Rio berpikiran sependapat bahwa gadis itu adalah Sivia.

Tapi ya sudahlah. Bagaimana kelanjutan hidup Alvin, itu bukanlah urusan mereka berdua.

**

“Gila ya Ra, gue nggak nyangka Alvin bisa segitunya. Kalo gue jadi dia, gue bakal lebih milih Shilla. Biar gimanapun, materi kan gak bisa disebandingkan dengan cinta. Walaupun nyatanya kita gak bisa hidup tanpa materi” tutur Rio dalam perjalanan pulang.

Tadi mereka berdua sempat bertanya-tanya pada Bik Darmi yang mengantarkan mereka hingga didepan pintu utama Rumah Sakit. Katanya, Alvin dilanda depresi yang cukup hebat akibat kepergian Shilla. Semua orang di rumah tak ada yang menyangka Shilla ditemukan tewas dalam keadaan mengenaskan. Bik Ira sendiri memilih pulang kampung. Bahkan sebagian mengira Shilla meninggal karena didorong Alvin. Atau lebih karena itu, Alvin depresi karena rasa takutnya kalau-kalau dirinya yang dikira membunuh Shilla. juga pengakuan Bik Darmi yang bilang kalau Alvin sangat terpukul dengan kepergian Shilla yang tak biasa. sampai majikannya itu harus masuk rumah sakit karena kondisi kejiwaan yang demikian.

“yeah, kisah cinta yang tragis. Ehtapi, kita udah gak berhak ikut campur lagi. Yang penting kan kita udah dapet kesaksian Alvin. Hehe”

“Ra, mampir ke warung Padang dulu ya. Laper gue. Dari tadi siang belom makan” pinta Rio sambil mengusap perutnya.

“beuh dasar. Tapi gue juga laper sih. Hehe”

Motor Rio melesat menembus kota Jakarta yang tak pernah mati walau malam datang.

**
Se- jam di warung Padang

“Aaaah..kenyaaaang” ceplos Rio. Diikuti anggukan Zahra. Gadis berbehel itu mengelap mulutnya dengan tissue.

Drrrttt…drrrtt..
Ponsel Rio bergetar. Ada satu panggilan masuk. Nomor yang terpampang adalah nomor asing. Siapa ?

“Siapa Yo ? kok gak diangkat ?” tanya Zahra. Rio menggelengkan kepala. “Gak tau. gue gak kenal nomernya. Gue angkat aja kali ya”

Setelah menekan tombol ‘yes’ pemuda itu mendekatkan ponselnya ke telinga. “Halo..iya…saya sendiri. Oh kenapa ? apa ? astaga…kami..turut bersedih”

Tuut. Rio memutuskan sambungan telponnya. Wajahnya berselimut duka. Ada apakah ?

“Yo, kenapa ?”

Rio melirik Zahra. Tatapannya menunjukkan bahwa pemuda hitam manis itu masih shock dengan berita yang Ia dengar kurang dari dua menit yang lalu.

“Telpon dari Bik Darmi. Katanya..Alvin meninggal akibat overdosis obat-obatan rumah sakit setengah jam setelah kita pergi”

Zahra terpaku. Mendadak, gadis itu merasa makanan yang ada di perut Zahra seakan terkoyak ingin keluar lagi dari mulutnya.

**

Ternyata, cinta memang tak hanya butuh kesetiaan. Tapi pengorbanan untuk menjaga agar cinta itu tetap bersih dan suci.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar