Sabtu, 21 Juli 2012

Bukan Kisah Upik Abu (Cerpen) *COPAS*

Kisahnya bukan kisah Upik Abu, yang scenario nya telah diatur sutradara berbakat..

12 tahun silam..

Bocah kecil itu menyeret langkahnya malas. Bibirnya mengerucut. Matanya sembab dan hidungnya merah. Menandakan Ia habis menangis. Belum lagi kuncir kuda yang bergoyang seiring langkah kakinya.  Gadis kecil tersebut tengah memeluk boneka pandanya.

“Cilla gak mau main lagi cama Lio. Lio nyebeliiin..!!” rengek gadis itu disela-sela langkahnya. Tak jauh, seorang bocah lelaki yang nampak seumuran dengannya, terlihat berlari mengejar.

“Cilla, Cilla maapin Rio..” seru bocah lelaki itu. Tapi gadis yang dipanggil ‘Cilla’ tak menghiraukan sama sekali. Jangankan berhenti, menoleh pun tidak. Rio menambah kecepatan larinya. Hingga tangan kecilnya bisa menjangkau tangan sahabat perempuannya.

“Iiih..lepasin Cilla!! Jangan pegang-pegang!! Lio jahaaat, Lio lebih milih main sama Oji. Lio udah lupaa sama Cilla!! Lio jeleeek!!” rengekan gadis itu makin keras. Tak mau tangis perempuan didepannya makin keras, segera Rio tarik sahabatnya itu masuk kedalam pelukannya. Pelukan bocah, yang mungkin..pelukan persahabatan.

“Cilla jangan bilang gitu dong. Rio gak lupa sama Cilla kok. Rio sayang sama Cilla. Rio janji deh gak akan jauh-jauh dari Cilla” janjinya. Rio melepas pelukannya. Gadis itu masih terisak.

“Ja..janji ?” gadis yang sebenarnya bernama Shilla itu, menunjukkan kelingkingnya. “Janji” disambut oleh kelingking Rio.

Ah, kisah persahabatan yang manis. Bukan ?

*
9 tahun yang lalu..

“Ayoo..Ayoo Rio!! Masa Cuma gitu doang, kejar aku!!” teriak Shilla sembari berlari-lari kecil. Dibelakangnya, Rio nampak tak bersemangat. Nilai 5,5 di ulangan Matematika membuatnya badmood.

“Ogah ah, males” ketusnya singkat. Shilla tak peduli. Gadis kecil itu tetap berlari memasuki kompleks perumahan tempat tinggal mereka.

Ck, jam berapa ini ? matahari sedang tegak-tegaknya. Dan Shilla mengajaknya berlari ?, keluh Rio. Jujur, hanya satu yang ingin Rio lakukan sepulang sekolah, tidur. Memulihkan moodnya.

“aduh!! Huwaaaa…” seseorang memekik kesakitan. Dan Rio paham itu suara Shilla. Secepatnya Ia hampiri sahabat kecilnya itu.

Shilla terduduk. Gadis itu menutupi lututnya dengan rok merah-seragam SD-yang dikenakannya. Rio membungkuk. “Pasti kamu jatoh”

Shilla mengangguk.

“Sini, biar aku liat” Rio membujuk Shilla untuk memperlihatkan lututnya. Dan benar saja, lututnya berdarah.

“Makanya jangan lari-lari. Udah sini, Rio gendong. Ntar sampe rumah tinggal diobatin” Rio menawarkan punggungnya untuk Shilla. Gadis itupun menurut.

Persahabatan, hanya sedikit perhatian. Namun tetap terasa manis.

*
3 tahun yang lalu..

Teman berbeda dengan sahabat. Karena, teman datang padamu karena satu suka. Tapi, sahabat setia denganmu untuk sejuta duka. 

“Shill..”

“Rio..aku..aku gak kuat Yo. Aku pengen nyusul Bunda..” lirih Shilla. Pandangan gadis itu mengabur. Melihat semua orang disekelilingnya mengenakan pakaian gelap. Mereka yang datang, turut menabur duka atas kepergian sang Ibunda selama-lamanya.

Rio sendiri tak tahan dengan keadaan ini. Shilla yang didekatnya bukan Shilla yang Ia kenal. Bukan Shilla yang ceria, Shilla yang bawel. Tapi..Shilla yang rapuh. Laki-laki itu merengkuh pundak Shilla kedalam pelukannya. Bermaksud memberi tempat bersandar setidaknya, untuk sementara. Agar sahabatnya itu sedikit lebih tegar.

“Shill, kamu gak sendirian kok. Kan masih ada Ayah. Masih ada aku, Mamaku, Papaku yang udah anggep kamu keluarga. Inget, kita tetanggaan sejak bayi. Aku sahabatmu dan akan selalu ada buat kamu. Jadi, kamu jangan pernah anggep diri kamu hidup sendiri. Oke ?” terang Rio.

Shilla mendongak. “Tapi Yo..aku..aku gak akan bisa tanpa Bunda”

Rio tersenyum tipis. “Lama-lama juga kamu terbiasa. Jangan terlalu dalem bersedih. Karna itu bakal nyiksa kamu sendiri. Tegar Shill. Aku ada disini”

“Makasih..Yo” sahut Shilla. Yang seterusnya Ia yakini, hari-harinya akan dilalui bersama Rio. Sahabatnya.

*
 1 tahun yang lalu…

Percayalah, tidak ada ujian seberat godam raksasa yang terlalu lama menimpamu..

Rio rada terkejut melihat ‘penampakan’ Shilla sepagi ini didepan beranda depan rumahnya. Tumben, ada apa ?

“Kenapa Shill ?” Rio mendudukan dirinya disamping Shilla. Shilla menoleh, menatap Rio lemah. Lalu menyerahkan sepucuk undangan padanya. Laki-laki tersebut mengangkat satu alisnya. “Ayah kamu..”

“Ayahku nikah lagi. Sama sekretarisnya. Tante Dewi namanya” sela Shilla. Rio masih belum mengerti. Pasti Shilla shock akibat berita ini.

“Tante Dewi itu..janda atau..per..”

“Janda 2 anak. Dua-duanya perempuan. Yang pertama seumuran sama aku. Yang kedua setahun lebih muda dari aku. Mereka..Sivia sama Oik”

“Kamu..udah ketemu sama mereka ?” tanya Rio. Lagi.

Shilla mengangguk. “semalem Ayah nemuin aku sama mereka. Aku kira..Ayah ngajakin aku malam malem berdua. Tapi  ternyata, ada mereka”

“Shill..”

“Aku sakit Yo..pas Ayah bilang bahwa itu calon keluarga baru aku. Kita. Aku gak mau punya ibu tiri. Belum lagi 2 sodara perempuan. Aku..aku gak mau kisahku kaya kisah Upik Abu” terang Shilla.

Rio mengikik. “Shilla..Shilla..pikiran kamu tuh ada-ada aja. Gak semua ibu tiri itu jahat. Kamu tau ? kesan jahatnya ibu tiri itu diciptain sama..sutradara yang pengen ceritanya lebih seru. Dikehidupan nyata, kecil kemungkinan ibu tiri jahat. Dan 2 sodara ? jangan anggep mereka beban. Anggep mereka teman-teman kamu. Setelah itu, pasti kamu bisa terima mereka”

“Entahlah Yo, aku belum yakin”

“Yakin atau gak yakin, undangan udah tercetak dan siap disebar. Denger ya Shill, kamu dan Ayah kamu gak bisa selamanya hidup hanya berdua. Pasti Ayah kamu juga membutuhkan pengganti Bunda untuk merawat kamu. Mengurus semuanya. Ayah kamu gak egois kok. Aku percaya, beliau ngelakuin ini untuk dan hanya demi kamu. dan kalo aku aja percaya, kamu juga harus percaya. Ayah kamu udah cariin yang terbaik dari yang terbaik untuk gantiin posisi Bunda kamu” jelas Rio sambil menepuk pundak Rio.

“Bener ? apa yang kamu bilang itu bener ?” Shilla memastikan. Rio mengangguk mantap. “Gak akan ada kisah Upik Abu dalam hidup kamu”

*

Kisahnya bukan Kisah Upik Abu.
Tak ada kekasih hati, hanya sahabat sejati yang setia menemani..


“Gak akan ada kisah Upik Abu dalam hidup kamu”

Kata-kata itu terus berputar dalam otak Shilla. Kata-kata yang Rio ucapkan setahun yang lalu. Ternyata hanya ucapan untuk memompa semangatnya. Memang terkadang kenyataan, semua tak seperti yang diucapkan. Tak seperti yang diharapkan.

Gadis itu masih menutup matanya. Enggan membuka matanya dan bangun dari mimpi indahnya mengenang masa-masa kecil bersama Rio. Masa dimana Tuhan belum menimpakan ujian padanya.
Shilla enggan membuka matanya. Gadis itu enggan kembali kedalam dunia nyata yang begitu keras baginya. Keras. Hidup yang keras. Shilla ingat, dulu kala Bundanya masih hidup, beliau sering mengajarkannya untuk memahami hidup. Bahwa roda kehidupan senantiasa berputar. Nasib seseorang yang tak menentu. Kata Bunda, Shilla harus selalu siap bila masa-masa sulitnya datang.

Tapi tolong, Shilla tak pernah menyangka akan seberat ini. Jika tak ada Ayah dan Rio, mungkin gadis itu lebih memilih menggantung lehernya di pohon beringin. Atau..terjun bebas dari atap gedung perusahaan milik Ayahnya.

Karena pada nyatanya, kisahnya benar-benar nyaris mirip Upik Abu..

BYUUURR!!

“Banguuun babu!! Udah jam berapa sekarang ?!!!” oke, tampaknya drama ‘Upik Abu’ akan segera dimulai.

Teriakan Sivia ditambah guyuran seember air sontak membangunkan Shilla dari tidurnya.

“Mau jadi apa lo ? Males !! lo tau gak ? kerjaan lo tuh banyaaaak!! Sadar dong, bik Omah kan lagi pulang kampung. Yang gantiin siapa ? LO BABU !!”  cerca gadis cantik itu.

Shilla tak bergeming. Jujur, tidur dikamar pembantu saja sudah membuatnya tak nyaman. Apalagi harus mengerjakan tugas pembantu ? Bisa pingsan Shilla.

“Eh, malah bengong ?!! kenapa ? lo gak terima disuruh suruh gue ?!! gue laporin Mama. Ma..!!”

“Mm..bukan. bukan begitu. Aku..aku terima kok. Tapi bentar ya, aku mandi dulu” ucap Shilla santun. Bagaimanapun Ia tak ingin membuat masalah semakin runyam karena Ia membantah perintah Sivia atau menyelipkan kata-kata bernada tinggi.

Gadis berkulit putih itu hanya tersenyum licik. Lalu bergegas meninggalkan kamar (sementara) Shilla.

*
Shilla menghela nafas panjang. Tinggal satu piring lagi yang belum dibilasnya. Gadis itu menyeka keringat di dahi dan pelipisnya.

“Hey” Sebuah kepala menyembul tiba-tiba dari jendela dapur. Membuat gadis itu cukup shock.

“Ck, Rio..kalo aku punya penyakit jantung, pasti aku mati sekarang juga gara-gara kamu kagetin” sungut Shilla. Gadis itu membilas piring terakhirnya. Lalu mengeringkan tangannya .

Yang ditegur hanya cengar-cengir. “Maaf deh. Kaya kamu gak tau kebiasaan aku aja”

Pemuda itu melangkah memasuki dapur. Mensejajarkan tubuhnya disebelah Shilla.

“Disuruh lagi ya ?” tanya Rio sedetik setelah melempar pandangannya kearah tumpukan piring yang baru saja dicuci. Shilla menatap Rio sebentar, lalu membuang pandangannya seraya tersenyum, tanpa berkata apa-apa.
“Kasian sahabatku ini..sabar ya Shill. Kan masih ada aku” hibur Rio. Tangan pemuda itu mengusap-usap punggung Shilla.

“Makasih ya Yo” Rio tersenyum. “eh ada lagi pekerjaan yang belum diselesein ? sini aku bantu. Kita kerjain sama-sama”

Sahabat tak pernah sejengkal pun meninggalkanmu dikala suka dan duka. Ia akan tetap datang, setia menjadi lampu penerang perjalanan hidupmu..

*
Kisahnya bukan Kisah Upik Abu. 
Ia layangkan sejuta tanya. Mengapa semua ini harus terjadi padanya ?

Gadis itu meronta. Airmatanya terkuras oleh kenyataan pahit yang mau tak mau Ia terima. Nafas ketegaran yang ditularkan Rio, tak memberi efek apapun baginya. Ia hanya ingin satu, tolong kembalikan Ayahnya.

Hanya itu..

Karena hanya Ayahnya lah, tempatnya berlindung dari Ibu Tiri dan 2 saudara Tirinya.

“Shill..kita pulang yuk” ajak pemuda disebelahnya. Yang sejak awal pemakaman setia berada disampingnya. Setia menggenggam jemari Shilla. Setia merangkul Shilla. Setia menopang gadis itu agar tidak rapuh.

“Kenapa sih Yo, kenapa Tuhan kasih aku ujian seberat ini ?! aku baru 17 tahun. Dan sekarang harus jadi Yatim Piatu ?! aku gak mau sendirian Yo..” protes gadis itu seraya mengelus batu nisan berukiran nama Ayahandanya.

Rio menunduk. Pemuda itu turut merasakan betapa pedihnya menjadi Shilla. Sang Ayah pergi meninggalkan dunia untuk selama-lamanya tepat semalam. Penyakit jantungnya kumat. Beliau secepatnya dilarikan ke Rumah Sakit. Namun, takdir berkata lain.

Ya, lagipula..siapa sih yang bisa melawan takdir ?

Rio menarik nafas dalam. Isakan gadis itu makin keras terdengar. Tak tahan, ditariknya Shilla masuk kedalam dekapannya. Sama seperti kala Ia memeluk Shilla kecil dahulu.

“Aku tau ini bukan saat yang tepat untuk ceramah. Tapi aku mohon Shill..jangan merasa diri kamu sendiri.  Kamu masih punya aku. Aku yang selama 17 tahun ada disamping kamu. hapus airmata kamu Shill, plis..jangan nangis lagi” ungkap Rio. Membuat tangis gadis itu bertambah keras.

Entahlah, mungkin saat ini gadis itu sedang mempersiapkan mentalnya untuk menapaki hidup baru yang..akan lebih keras menekannya. Menyudutkannya. Memojokannya. Menyingkirkannya jauh dari titik kebahagiaan.

Tenang, tak perlu khawatir. Ada malaikat pelindung yang dikirim Tuhan khusus, untuk menjaganya.

*

Kisahnya bukan Kisah Upik Abu.
Ketika derita menderu, hanya air mata yang mengiringinya..

Shill, aku gak bisa temenin kamu ke kantin. Ada urusan sama Pak Joe ^_^

Shilla mengetik balasan untuk pesan pendek yang dikirim Rio tepat setelah bel istirahat.

Iya gpp, aku bisa ke kantin sndri kok (:

Saking asiknya berkutat memandangi layar ponsel, gadis itu sampai tak menyadari bahwa ada sebuah bola basket yang melayang kearahnya. Kebetulan sekali tempat berdirinya tepat disamping lapangan basket. Sehingga tak dapat dicegah, bola ‘tak tau diri’ itupun mencium pelipis Shilla. Gadis itu mengaduh. Lalu jatuh terduduk.

“Eh sori sori, lo gapapa ?” tanya seorang pemuda berseragam biru-putih (seragam basket sekolah). Pemuda tersebut nampak khawatir. Sepertinya Ialah oknum pelempar bola itu.

“gak papa kok. Lain kali hati-hati ya” dijawabnya Shilla sembari tersenyum. Pemuda itu membantu Shilla berdiri. “Makasih ya. Sekali lagi sori. Oia gue Cakka. Anak  II IPA I. lo ?”

Melihat pemuda didepannya mengulurkan tangan, refleks Shilla membalas. “Shilla. 3 IPA II”

“Oh berarti kakak kelas gue” tanggap Cakka. Entahlah, pemuda itu nampak terkesima melihat wajah ayu Shilla.

“Woy Cak, buru balik! Mau maen lagi gak ?!” seru sosok lain dalam lapangan basket. Mendengar namanya disebut, Cakka menanggapi hanya dengan anggukan. Pemuda itu lalu menoleh kembali ke Shilla.

“Gue..balik dulu ya”

Shilla mengangguk & tersenyum. Lalu melanjutkan langkahnya ke kantin.

Tanpa mereka sadari, sepasang mata menatap tak suka.

*

Kantin

Gadis itu mengedarkan pandangannya. Menyapu seluruh penjuru kantin. Ck, akibat insiden bola basket tadi, Ia terlambat ke kantin. Dan berakibat..seperti ini. Kehabisan meja. Tak ada satu bangku pun tersisa. Kantin penuh sesak!

Argh!

Shilla mendesah pelan. Kalau saja tadi pagi Ia sempat sarapan, pasti tak begini jadinya. Gara-gara perintah Mama-nya yang kembali memaksanya untuk mengerjakan pekerjaan rumah selagi pembantu mereka tak ada. Karena itulah Shilla bangun jam 3 dini hari. Menyapu, mengepel rumah yang notabene tak kecil. Dan baru selesai jam 5. Setengah jam membuat sarapan. Lalu gadis itu mandi dan bersiap-siap ke sekolah. Tapi naas karena Sivia dan Oik meninggalkannya. Jadilah Ia berangkat menggunakan metromini.

“Ngelamun ?” sapa seseorang tepat di telinganya. Sontak gadis itu tersentak. Seakan-akan suara itu menariknya dari lamunannya.

“Eh, kamu. gak kok. Cuman..” Shilla tak langsung menyelesaikan ucapannya. Ia lebih memilih mengedarkan pandangan kearah kantin.

Pemuda disampingnya membulatkan mulutnya. “Oh, mau makan tapi penuh ?”

Shilla mengangguk.

Tanpa aba-aba, pemuda itu menarik pergelangan tangan Shilla. Memasuki kantin, dan berhenti di meja yang terletak paling pojok.

“Bisa pindah ? gue mau makan disini. Di meja ini!” ucap pemuda itu santai. Tak usah menunggu dibentak, 3 orang siswa yang tengah makan langsung beringsut dan pergi meninggalkan meja ketimbang harus ada masalah dengan anak pemilik yayasan sekolah. Pemuda itu tersenyum puas. “ayo duduk”

Shilla tersenyum sungkan. “Kamu mau makan aja sampe harus ngusir orang segala”

“Bukan aku. Tapi kamu. aku Cuma mau nemenin kamu makan. Udah itu doang. Eh iya, mau pesen apa ? biar aku pesenin. Ntar ak..”

Shilla cepat-cepat menyela. “Ga. Ga perlu. Kamu ga perlu memperlakukan aku se-istimewa ini. Aku bisa tahan laper sampe pulang sekolah kok”

Pemuda itu kembali tersenyum. “Nahan laper ga bagus loh buat kesehatan. Bisa maag. Dan kamu tau itu kan ? ayoo, sekarang makan. Aku bakal duduk disini sampe kamu ngehabisin suapan terakhir makanan kamu”

Jujur, gadis itu merasa dadanya melambung akibat perhatian dari pemuda tampan didepannya. Pemuda yang sudah hampir 3 tahun dikenalnya ini, memang telah menduduki tempat tersendiri di hatinya.

“Sekali lagi makasih ya..Vin”

Segala yang sempurna, ada saja yang tak suka. Saat sepasang mata lain menatap marah kearah mereka berdua. Kearah gadis itu lebih tepatnya. Jika tatapan bisa membunuh, mungkin saat itu juga Shilla sudah terkapar.

*

Kisahnya bukan Kisah Upik Abu.
Yang sekali meminta, peri suci datang mengabulkan..

Gadis itu baru saja ber-say-goodbye dengan Rio yang mengantarnya sampai depan gerbang. Saat hentakan tangan keras mengejutkannya. Oh, adik tirinya.

“Kenapa Ik ?” tanya Shilla tanpa prasangka.

Oik menatap Shilla dari ujung kaki hingga ujung rambut dengan tatapan sinis. “Lo ?! ngaca !! jangan..kegatelan..sama..cowo..gue!”

“Cowo kamu ? siapa ?”

“Gausah sok-sok-an bego!! Tadi lo ngapain tatap-tatapan sama dia ? disamping lapangan basket ?!! lo mau cari perhatian ?!!” bentak Oik.

Shilla menunduk. Diam-diam Ia tengah merapalkan satu nama yang dimaksud Oik.

“Eh, ditanya tuh jawab!! Inget umur woy!! Lo kan udah punya si..siapa itu Rio ?!! gausah kecentilan sama cowo gue! ular lo!”

“Ada apaan nih ?” belum lagi yang satu hilang, muncul lagi lainnya. Sivia baru saja membuka pintu dan langsung disodorkan pemandangan adiknya menggencet Shilla.

Oik melirik Shilla dengan ekor matanya. “Ini nih, Upik Abu kecentilan sama Cakka. Dia kan punya gue. Cuma punya Oik!”

Sivia mengangkat satu alis. “Emangnya..dia ngapain sama Cakka lo ?”

“Upik Abu ini, cari perhatian dengan jalan di koridor samping lapangan basket sambil ngelamun. Terus kena bola. Pura-pura sakit biar dapet perhatian. Kebetulan banget si Cakka yang nyamperin. Jadi yaaah..tepe tepe deh dia” lapor Oik.

Shilla pernah melihat adegan ini sebelumnya. Di sinetron yang beberapa waktu lalu Ia tonton di rumah Rio kala mengerjakan PR bersama. Dimana seorang gadis si pemeran protagonist mendapat tekanan dari saudara-saudaranya yang berperan antagonis.

Hanya 1 permasalahan. Laki-laki..

Sivia maju selangkah mendekati Shilla. “Bukan Cuma masalah Oik yang bikin gue gedeg sama lo! Tapi..Alvin. lo tau kan, sejak kelas 2 gue suka sama dia ?! tapi kehadiran lo selalu mengacaukan semuanya! LO yang KECENTILAN, atau emang ALVIN yang BUTA ?!!”

Shilla beringsut. “Maaf, saya gak punya hubungan apapun sama Alvin atau Cakka. Saya permisi”

Begitulah, gadis itu berbalik menuju dapur, menuju kamarnya. Disana Ia menangis sepuasnya. Tapi tidak, Shilla bukan tipe gadis pendendam yang akan merencakan sejuta cara untuk melumpuhkan lawannya. Tidak.

Ketika tangis Shilla mereda, gadis itu berusaha melengkungkan senyum pada wajahnya. Mencoba berfikir positif, seperti kata Rio.

“Aku gak boleh sedih. Gak..ayolah Shilla. Ini bukan Kisah Upik Abu kan ?! mereka gak sejahat yang kamu kira. Wajarlah mereka marah ke kamu. karna kamu udah deketin pacar-pacar mereka. Haha” tawa kering mengiringi gumaman Shilla pada dirinya sendiri.

*

Kisahnya bukan Kisah Upik Abu. 
Awalnya yang ia lihat adalah cahaya terang. Kini melabur. 
Gelap dan menyiksa. 

“Kamu habis nangis ?!” tanya Rio saat melihat kantung tebal pada mata Shilla.

Gadis itu tersenyum ringan. “Gak kok”

Rio menghela nafas. “Ini..karena Sivia ? atau Oik ? atau..Mama tiri kamu ?”

Shilla menggeleng. “Aku gak papa Yo. Udah ah, jangan tanya-tanya lagi. Aku mau masuk kelas. Sampe ketemu nanti ya”

Rio menatapi punggung Shilla yang makin menjauh seiring gerak langkahnya. Diam-diam, Rio memendam rasa cinta pada gadis itu. Rasa yang Ia miliki jauh sebelum gadis itu terpuruk seperti sekarang. Rasa yang sudah menguasai dirinya bahkan sejak mereka masih kecil. Rasa yang membuatnya bertahan untuk selalu berada disamping gadis itu.

Tak ada, tak ada alasan lain kecuali..hanya untuk menguatkan Shilla agar Ia tak rapuh.

Rio tak menyangkal bahwa ada sosok lain di hati Shilla. Alvin. Anak Pemilik Yayasan yang sangat berpengaruh disekolah mereka. Populer, banyak gadis yang memuja fisik maupun materinya. Rio pun tau, Alvin mencintai sahabatnya.

Hey, Rio tidak buta. Dia tak kemana-mana 2 tahun belakangan ini. 2 tahun dimana Alvin memberikan perhatiannya pada Shilla. Perhatian berlebih. Walaupun masih kalah jika dibandingkan dengan kesiapsediaan Rio yang selama 17 tahun mengiringi langkah hidup Shilla.

Rio tak mengenal Alvin. Karena itu sama saja menyakiti hatinya. Rio tak pernah sedikitpun mengungkit tentang perasaannya pada Shilla. Kehadiran gadis itu disampingnya sebagai sahabat, sudah lebih dari cukup. Tak munafik, Rio ingin mengukuhkan Shilla sebagai kekasihnya. Tapi, pemuda itu juga tak egois. Ia tahu masalah hati tak bisa dipaksakan. Biarlah gadis itu memilih pangerannya sendiri. Asalkan Rio masih bisa memandang mata beningnya, asalkan Rio masih bisa mendengar tawa renyahnya, asalkan Rio masih bisa menikmati senyum manisnya. Itu sudah sangat membuatnya bahagia.

“Sori, lo Mario kan ?” sapa seseorang. Mengaburkan  lamunan Rio akan gadis itu. Pemuda tersebut menoleh. Dan agak tersentak begitu tau siapa yang menyapanya. “Iya gue Mario”

Alvin tersenyum. “Lo pasti udah tau gue kan ?! mmm..gini Yo, lo itu kan sahabatnya Shilla. Gue pengen minta tolong sama lo. Boleh ?”

“Minta tolong apa ?”

“Gue..minta alamat rumahnya Shilla. Sejak dulu gue minta, dia selalu nolak” pinta Alvin. Rio mendecakkan lidah tak kentara. Bimbang. Ia ingat pesan Shilla, jangan beritahu alamat rumah pada teman-temannya tanpa sepengetahuan Shilla. Rio ingat betul. Mungkin, Shilla tak mau teman-temannya tau kisah hidupnya terkuak.

Tapi kini, Rio harus jawab apa ?
Sejak kematian Ayahandanya, Shilla memang jarang sekali tersenyum. Senyum yang selama ini terukir tak lain hanya sebuah lengkungan tak bermakna yang dibuat si empunya dengan terpaksa hanya untuk menutupi kesedihannya. Atau sebagai penghias wajahnya yang mulai merapuh.

Rio berfikir, jika Alvin datang sendiri ke rumah Shilla, menghibur gadis itu.   Mungkin Rio bisa melihat Shilla yang dulu kembali. Shilla yang ceria dan semangat. Bukan Shilla ala Upik abu yang lemah.

Biarpun cinta, jika memang kebahagiaan Shilla bukan terletak padanya, Rio rela melepas gadis itu. Yang penting Shilla bisa tersenyum.

Semoga keputusannya tak salah.

“Alamatnya di Jalan…” Rio menyebutkan alamat rumah Shilla dengan lengkap.

Ah, andai saja Rio lebih berfikir panjang. Bahwa memberikan alamat tempat tinggal Shilla, malah akan membuat gadis itu makin terperosok dalam penderitaan.

Tapi percayalah, seorang sahabat tak akan mendorongmu kedalam jurang. Yang ada, Ia akan memberikan tangannya padamu, dan mengangkatmu keatas..

*

Kisahnya bukan Kisah Upik Abu.
Dengan sabar Ia memintal benang cinta. Berharap ada sang Adam berhati tulus menyambutnya..

“Hey, Shilla”

Shilla mendongak. Meninggalkan pandangan dari buku yang Ia baca. “Cakka ?”

Cakka membuang pandangan kearah bangku disamping Shilla. “Gue duduk situ boleh ? kosong kan ?”

Shilla ikutan menoleh ke kursi sebelahnya. Lalu balik memandang Cakka, sampai akhirnya mengangguk. “Silakan”

“Sendirian aja ?” Cakka ber-basa-basi-ria. Padahal yaah, Ia sendiri tau Shilla sedang sendirian di taman sembari membaca buku..entah apa. Cakka tak mengerti. Buku paket kelas 3 mungkin.

“Aku gak sendiri” tukas Shilla. Satu alis Cakka terangkat. “Sama siapa ?”

“Sama ini” Shilla menunjuk buku tebal ditangannya. “Dan..angin” sambungnya. Bibir Cakka membulat. “Oh, gue kirain sama siapa gitu. Hehe. Eh gak keberatan kan, kalo gue duduk sini ? gak ada yang cemburu kan ?”

Shilla terkekeh. “Gak kok. Nyantai aja”

“Eh, lo baca buku apa ?” tanya Cakka yang –tanpa ijin-menutup halaman yang sedang dibaca Shilla hanya untuk melihat sampul buku. “Yaelah, buku paket. Niat amat belajar pas jam istirahat”

Shilla menoleh kearah pemuda yang setahun lebih muda darinya ini. “Kan persiapan buat Ujian Nasional Cak”

“Iyasih. Tp kan..malah jenuh tau. kalo keseringan belajar. Padahal kan waktunya masih lama. Ntar yang ada, bukannya pinter. Malah stress. Kaya temen SMP gue, pas mau masuk SMA, dia belajar terlalu nafsu. Sampe pas hari H-3, nyawanya ilang separo alias sin-ting” cerocos Cakka.

Shilla tertawa dibuatnya. Cara Cakka bercerita itu loh, begitu..berapi-api.

“Heh kok ketawa ?”

Shilla menggeleng, masih tersisa serpihan tawa di bibirnya. Cakka ikut tersenyum. Ah, cantiknya gadis ini apabila sedang tertawa, batinnya. Tiba-tiba pemuda tersebut mengulurkan tangannya.

“Lo mau gak, jadi temen gue ?” tawar Cakka.

Tawanya berhenti. Shilla memandang Cakka, lalu tersenyum seraya menyalami tangan Cakka yang terulur. “Tanpa harus diminta, kita udah jadi temen kok”

*
Kisahnya bukan Kisah Upik Abu. 
Tak ada peri, tak ada keajaiban, tak ada sepatu kaca. Dan..tak ada kebahagiaan..

“Loh, Alvin ? kamu..kok bisa ?” pekik Shilla  terkejut kala melihat sosok yang sedang berdiri didepan rumahnya sekarang.

Yang ditanya malah tersenyum. “Apa sih yang gak seorang Alvin tau ?”

“Kamu tau dari..Rio ?” terka Shilla. Alvin mengangguk. “Coba dari dulu aku minta alamat kamu sama dia. Pasti sekarang, kita udah..yah..lebih dari temen”

“Maksud kamu ?” Shilla tak bodoh. Ia paham betul maksud ucapan Alvin. Hanya saja, gadis itu memikirkan satu nama. Sivia. Entahlah apa yang terjadi padanya jika..jika saudara tirinya melihat tamu yang datang ke rumah mereka, tamu yang tujuannya untuk menemuinya. Bukan menemui saudara tirinya.

“Kok ngelamun ? aku..boleh masuk ?” pinta Alvin. Shilla melirik jam dinding di ruang tamunya. Setengah jam yang lalu mama dan saudara-saudara tirinya pergi. Entah kemana, shopping mungkin.

“Oh, yaudah. Tapi..sebentar aja ya. Aku..” gadis itu memutar otak. Tak mungkin Ia mengatakan yang sebenarnya bahwa Ia tak punya waktu untuk bermain-main. Oleh karena Mamanya telah melimpahkan pekerjaan rumah seabrek-abrek padanya sebelum pergi.

“kenapa ?”

“Aku..ah, itu..aku mau..mau ngerjain tugas sekolah sama Rio” dusta Shilla.

“Oh, rumahnya Rio dimana emang ?” Alvin penasaran juga. Shilla menunjuk rumah yang terletak tepat disamping kirinya. “Tuh”

“Oh, deket banget ya. Yaudah deh kalo kamu sibuk. Aku pulang ya” pamit Alvin. Sedikit rasa iri menyelip dalam hatinya. Iri pada Rio yang begitu dekat dengan gadis cantik itu. Iri. Rio yang selalu bisa menjaga Shilla tetap dalam pandangannya.

Kenapa bukan dirinya ?

“Maaf ya Vin. Lain waktu, kamu boleh kok main kesini lagi” janji Shilla walau tak yakin. Ucapan itu keluar begitu saja terlebih saat Shilla melihat ekspresi kekecewaan di wajah pemuda didepannya.

Alvin tersenyum kecil. “Iya nyanyai aja. Lagian..aku Cuma pengen tau aja kok. Aku balik dulu ya”

“Eh Vin..” baru saja pemuda itu berbalik. Shilla sudah memanggilnya.

“Ya ? kenapa ?”

Shilla menggigit bibir bawahnya. Tanyakan, atau..tidak ya ?

“Kenapa Shill ?”

“Mmm..kamu..apa kamu..gak ada rasa sama saudara tiriku ? Sivia ?” tanyanya ragu. Shilla merasa butuh kepastian.

Alvin berfikir sebentar sebelum akhirnya menjawab. “Gak. Kamu tau lah, Cuma kamu yang ada disini” Alvin menunjuk dadanya. Lalu berlalu pergi tanpa menoleh lagi.

Shilla tertegun.

*
Kisahnya bukan Kisah Upik Abu. 
Ia dianggap benalu untuk apa yang seharusnya jadi miliknya..

Kisah cinta yang rumit. 3 lelaki mencintai satu gadis yang sama. Menimbulkan rasa iri tak tertahan oleh kaum hawa disekitarnya. Satu lelaki, yang setia menemaninya selama 17 tahun. Lelaki kedua, yang merupakan cinta pertama-nya sendiri. Yang terakhir, lelaki yang selalu punya cara untuk bisa membuatnya tertawa.

Jika gadis itu mencari aman, mungkin lelaki pertama itu sudah cukup baik untuknya.

“Shilla, sendirian aja nih ?! biasanya sama temen lo yang item itu. Siapa namanya ? Tio ya kalo gak salah” ck, Cakka Cakka. Baru saja muncul sudah menghujani Shilla dengan kebawelannya. Tanpa diminta, siswa kelas 2 itu asal duduk saja pada kursi di hadapan Shilla. Kantin saat itu sepi. Maklum, istirahat kedua.

Shilla menggelengkan kepalanya. “Rio, Cakka. Bukan Tio”

Cakka mengibaskan tangannya kedepan. “Alah, iya itu maksud gue. Kemana dia ? gak keliatan batang idungnya”

“Lagi ada urusan buat persiapan pemilihan ketua OSIS yang baru. Dia kan mau lengser dari jabatannya” jawab Shilla.

“Oh, gue gak tau loh dia ketos. Maklum, gue pindahan sih”

“Sebelumnya kamu sekolah dimana ?”

“Bandung”

“Oh” sahut Shilla singkat. Cakka mendelik. “Yah, kok responnya Cuma ‘Oh’ ?”

“Lah terus ? aku harus jawab apa ?”

Entah mengapa Cakka malah tertawa kecil. “Gak papa. Muka lo kalo lagi gitu tambah cantik”

Shilla hanya tersenyum simpul mendengar pujian tak kentara dari Cakka.

“Eh Shill..gue boleh..tanya sesuatu gak ?”

“Apaan ?”

Cakka menarik nafas dalam. Ekspresi mukanya berubah serius. “Sebelumnya gue gak pernah ngerasain ini. Gue adalah..seorang cowo yang cenderung lebih respect sama cewe yang..seumuran atau yang lebih muda dari gue”

“...”

“Tapi setelah ketemu lo, semua beda. Gue baru percaya ungkapan lawas yang bilang kalo..cinta itu buta. Ya, cinta memang buta. Pertama kita ketemu. Pertama gue liat mata lo, liat kecantikan lo. Lo itu..sempurna. yah..meskipun sempurna hanya milik Tuhan. Tapi untuk makhluk-Nya, lo yang paling mendekati kata sempurna” lanjutnya.

Shilla masih menunggu ucapan Cakka selanjutnya.
“Dan anehnya, rasa itu mulai nancep disini, dihati gue. Bahkan makin hari makin kuat. Lo tau ? gue semangat pergi ke sekolah, itu Cuma pengen ketemu lo. Gue pengen jadi orang pertama yang nyapa lo di sekolah. Gue seneng tiap lo ketawa pas gue ngebanyol” tiba-tiba Cakka menarik tangan Shilla. Lalu menggenggamnya. “Gue..suka sama lo Shill. Lo mau gak, jadi..cewe gue ?”

Shilla terperanjat. Harus jawab apa ? gadis itu tak punya rasa apapun pada pemuda didepannya. Tapi kebaikan Cakka selama ini..eh eh, tapi dalam cinta, tak ada balas budi kan ?

“Gimana ?” Cakka menatap Shilla penuh harap.

Shilla menghela. “Aku..gak bisa jawab sekarang Cak. Kasih aku waktu. Oke ?”

*
Kisahnya bukan Kisah Upik Abu. 
Ia tak percaya bahagia itu ada. Keyakinannya sirna..

“Shilla, lo dipanggil Alvin ke taman belakang noh” ucap Irva, teman sekelas Shilla. Shilla menyernyitkan dahinya. Alvin ? memanggilnya ? ada perlu apakah ? biasanya tak se-misterius ini ?

Oke, ketimbang berimajinas yang bukan-bukan, lebih baik Ia temui Alvin sekarang.

Gadis itu tak menaruh curiga. Ah, andai saja saat melewati kelas Alvin, Ia menoleh sedetik saja. Pasti Shilla tau keganjilan yang tengah menantinya di taman belakang.

Kenapa ? karena Alvin ada dikelasnya. Tengah mengikuti pelajaran Sejarah.

Jadi, siapa yang dimaksud Irva ?”

“Vin ? Kamu..dimana ?” Shilla mencoba memanggil nama pemuda itu kala Ia tak melihat siapapun di taman belakang.

Hening.

“Ashilla..” ketika merasa ada yang menyebut namanya, Shilla menoleh dan..

BYURR !!

“HAHAHA!! Putri GEMBEL ! RASAIN !” tawa itu meledak. Tawa oknum yang berhasil menumpahkan ember berisi air-com-be-ran ditambah sampah plastik dan dedaunan yang jatuh dari pohon besar di taman belakang. Yang kini, semua racikan itu tumpah membalut tubuh Shilla.

“Oik ?!!” pekik Shilla. Sungguh, Ia tak menyangka bahwa Ia akan dikerjai.

“Kenapa ? lo mau marah ?!! MARAH CEPET ?!! makanya jadi cewe jangan KEGATELAN!! Lo pikir gue gak tau, apa yang tadi lo lakuin sama Cakka di kantin ?!! ngapain lo pegangan tangan sama dia ?! mau cari perhatian ?!! hah ?! lupa lo itu siapa ? Cuma UPIK ABU yang GAK BERGUNA !!” amuk Oik.

“Lo tuh..ck, RAKUS banget sih ?!! lo kan udah punya Rio ?! udah cukup kan buat lo ?!! gausah ngembat Cakka sama kak Alvin lagi ?!! ngerasa cantik hah ? makan tuh cantik !! Lo itu Mu..rah..an!! pantesnya cewe kaya lo itu ditempatin di..terminal terminal gitu deh, mejeng cari COWO! Bukannya disini! Ups..haha” gadis itu masih saja belum puas menyerang Shilla dengan kata-kata pedasnya. Herannya, si korban malah diam saja. Seakan Ia tuli.

Memang, Shilla berusaha mati-matian untuk menulikan telinganya.

“Yuk Girls, cabut. Ga nahan disini, bau SAM? PAH!” Oik dan gank-kremoz-nya meninggalkan TKP. Tinggalah Shilla sendiri. Gadis itu tak mungkin kembali ke kelas dalam keadaan kotor dan bau seperti ini. Ck, padahal jam terakhir merupakan mata pelajaran Pak Ony, guru Killer di sekolahnya.

Shilla beringsut dan jatuh terduduk. Dipeluknya kedua kakinya. Ia menangis. Perih, sungguh..Ia merasa sangat kerdil. Merasa hanya Ia-lah umat di Bumi yang tak layak mendapat kebahagiaan.

“Shilla..astaga” seru seseorang. Shilla menoleh. “Rio ? kamu..ngapain disini ?”

Rio memburu sahabatnya. “Kamu kenapa ? siapa yang ngelakuin ini sama kamu ?”

Shilla menggeleng. Rio sudah bisa membaca apa yang terjadi. Jika bukan Sivia, pasti Oik pelakunya. Maka pemuda itu melepas seragamnya. Tinggalah kaos putih polos yang membalut tubuh pemuda itu.

“Nih, pake seragam aku” tanpa menunggu persetujuan Shilla, Rio balutkan punggung Shilla dengan seragamnya. Masa bodoh seragamnya akan kotor dan bau. Rio tak peduli. Pemuda itu menarik Shilla untuk menyandar di pundaknya.

“Pasti..karena masalah cowo ya ?” tebak Rio. Tangis Shilla makin deras. “Aku tuh..kasian banget ya Yo. Kenapa harus aku yang dipilih Tuhan buat jalanin semua ini ? aku gak kuat Yo”

“Aku bisa terima tujuan Tuhan kasih aku cobaan ini. Aku bisa terima. Tapi untuk menjalaninya lebih lama, aku gak bisa. Kalo memang Oik pengen aku jauhin Cakka, oke aku lakuin !!”

Rio hanya diam. Membiarkan Shilla mengeluarkan uneg-uneg nya mungkin salah satu cara baik agar gadis itu lega.

“Aku..pengen ketemu Ayah sama Bunda, Yo. Aku..pengen kumpul-kumpul lagi sama mereka. Aku kangen sama Ayah Bunda Yo..” rintih Shilla tak tertahan.

Rio memejamkan matanya. Sabar Shill Sabar. Aku mohon sabar, batinnya.

Dan pada akhirnya, kedua manusia itu tenggelam dalam pikirannya masing-masing. Hingga bel pulang berdering.

*

Kisahnya bukan Kisah Upik Abu. 
Ia memilih, lebih baik mencintai daripada dicintai..

“Rio !!” pemuda itu menoleh. Dilihatnya Alvin tengah berlari kecil kearahnya.

“Kenapa Vin ?”

“Shilla hari ini gak masuk ya ? kenapa ?”

“Dia..sakit”

“Sakit apa ?” nada suara Alvin terdengar khawatir.

Rio mengedikkan bahu. “Demam”

“Oh, boleh gue jenguk nanti ?”

Rio berpikir sejenak. Sejak peristiwa di taman belakang 2 hari yang lalu, Shilla jatuh sakit. Pemuda itu bimbang. Jika Ia mengijinkan Alvin menjenguk Shilla, Ia takut itu malah akan menjadi boomerang untuk gadis itu. Kalau-kalau Sivia melihat perhatian berlebih yang Alvin tunjukkan ke Shilla. Tapi, apa salahnya mengijinkan Alvin menjenguk Shilla ? Siapa tau saja kehadiran pemuda oriental itu malah sanggup memompa semangat Shilla.

Jadi..bagaimana keputusannya ?

“Terserah lo deh. Tapi..jangan lama-lama ya. Dia butuh istirahat” pesan Rio. Alvin mengangguk mantap. “Sip. Thanks ya”

Sepulang sekolah..

Alvin memarkir Nissan X-Trail Silvernya didepan rumah Shilla. Rumah bercat Hijau daud itu terlihat sepi. Vios Hitam kepunyaan Mama tiri Shilla yang biasanya terparkir pun tak ada. Mungkin sang Nyonya Besar sedang pergi berbelanja.

Langkah pemuda itu telah sampai didepan pintu utama. Tangannya tergerak untuk memencet bel. Tak lama, pintu terbuka.

“Shilla…” didepannya, berdiri gadis yang terlihat sangat pucat dan lemah.

“Kamu ngapain kesini ?” tanya Shilla datar. Nada suaranya pun bergetar. Terlihat jelas kondisi kesehatan gadis itu yang menurun.

“Aku Cuma mau jenguk kamu. aku khawatir sama kondisi kamu. boleh aku masuk ?” pinta Alvin. Mengingat tempo hari Shilla pernah mengumbar janji, jadilah gadis itu mengijinkan Alvin masuk kedalam rumahnya.

Rumah sepi. Hanya ada Shilla disana. Dan Alvin tentu saja. Mama Tirinya sedang ada arisan dengan rekan-rekannya. Sementara dua saudara tirinya belum pulang sekolah.

Meski sakit, bukan berarti pekerjaan rumah diangkat dari punggung gadis itu. Itu sudah peraturan. Tak bisa dilanggar dengan alasan apapun, sampai Bik Omah kembali. Begitu kata Mama tiri Shilla.
“Maaf ya aku tinggal. Aku harus masak. Buat makan siang mama & saudara-saudaraku” ijin Shilla. Membuat kening Alvin berkerut.

“Pembantu kamu kemana ?”

“Pulang kampung. Anaknya sakit”

“Dan, gak ada penggantinya ?”

Shilla menggeleng tanpa menoleh. Pandangannya terpusat pada bawang merah yangs edang Ia iris.

“Loh berarti, selama pembantu kamu pulang, semua pekerjaan rumah kamu yang ngerjain ?” tanya Alvin. Lagi.

Shilla mengangkat wajahnya, hanya tersenyum. Tanpa berkata apapun. Jelas saja, Ia tak mau membuat nama mama Tiri dan saudara-saudara tirinya tercemar jika Ia mengatakan yang sebenarnya.

Pemuda itu berdiri, menghampiri Shilla yang tengah asik dengan wajannya.

“Jangan-jangan..mereka ya, yang nyuruh kamu ngerjain semua ?” Alvin memastikan. Karena walau tak begitu dekat, tapi Alvin cukup tau siapa Sivia & Oik. Siswi yang terkenal Glamour dengan segala barang ber-merk yang senantiasa mereka pamerkan ke sekolah. Tipe gadis seperti itu tentu bukan tipikal gadis yang suka mengerjakan pekerjaan rumah.

“Jawab Shill” desak Alvin. Shilla tak tau harus menjawab apa. Juga karena tiba-tiba tubuhnya limbung. Pusing dikepalanya lah faktor utama. Dan..saat tubuh gadis itu oleng, dengan sigap Alvin menahannya. Menahan pundak Shilla dengan kedua tangannya.

Sedetik. Dua detik. Tiga detik. Sampai entah detik keberapa. Mata itu bertemu. Dua hati yang saling bertautan. Mencoba membaca detak rasa yang mengalir tiap nafas mereka.

“Aku cinta sama kamu Shill” lirih Alvin. Pelan sekali, hingga nyaris berbisik. “Sejak dulu. Saat MOS, pertama aku liat kamu” sambungnya.

Shilla mendegut ludah. Dalam waktu 4 hari, ada dua lelaki yang menyatakan cinta padanya. Gadis itu jadi teringat bahwa Ia belum memberikan jawaban pada Cakka.

“Aku..bisa memastikan kalo aku gabisa hidup tanpa kamu, Shill” Alvin menyambung. Diam-diam Shilla berdoa, semoga saja detak jantungnya tak didengar oleh Alvin. Jujur, memang perasaan Alvin tak bertepuk sebelah tangan. Karena Shilla pun punya rasa serupa.

Shilla menarik nafas dalam-dalam. “Aku..aku juga sayang sama kamu”

Tarikan pada rahang pemuda itu menyunggingkan senyum. Senyum tipis. “Makasih”

Waktu terasa berhenti berputar. Saat Alvin perlahan, mendekatkan wajahnya ke wajah Shilla. Ah, dari jarak sedekat inipun, gadis itu masih dan bahkan terlihat semakin ayu. Mata Shilla terpejam. Entah seberapa dekat jarak mereka hingga Shilla bisa merasakan nafas Alvin.
Tapi tidak. Tak ada kontak fisik apapun diantara mereka. Alvin hanya ingin menikmati ukiran sempurna pada wajah gadis didepannya.

“APA-APAAN NIH ?!!” teriak seseorang yang refleks, menjauhkan jarak antara Alvin dan Shilla. Keduanya menoleh. Garis amarah tergambar jelas di wajah Sivia. Jelas saja, gadis berkulit putih itu pasti menyangka Alvin mencium Shilla. Mengingat posisi mereka yang begitu..dekat. dibelakang Sivia muncul Oik.

“Via..Vi, kita gak..” Shilla mencoba menjelaskan. Namun Sivia berjalan cepat kearahnya. Dan..

PLAK!!

Sebuah tamparan keras mendarat di pipinya.

“MURAHAN !! LO TAU KAN KALO GUE SUKA SAMA ALVIN ? KENAPA LO REBUT JUGA ?!! SETELAH CAKKA ?!! DIMANA MUKA LO, GUE TANYA ?!! DIMANA MUKA LO !!” amuk Sivia.

“Dan Lo, Alvin! Keluar dari rumah gue sekarang!” usir Via.

“Gue gak bisa pergi setelah ngeliat apa yang lo lakuin ke Shilla. Asal lo tau ya, gue yang suka sama dia. Bukan dia yang kecentilan ke gue” elak Alvin.

“GUE GAK PEDULI!! KELUAR DARI RUMAH GUE SEKARANG !! INI RUMAH GUE DAN GUE BERHAK NGUSIR LO!!”

“Oke, gue bakal keluar. Tapi denger ya, sampe ada apa-apa sama Shilla, gue yang akan bales semua ke lo” ancam Alvin sebelum akhirnya pemuda itu benar-benar pergi.

Sepeninggal Alvin, suasana makin memanas. Sivia menatap tajam kearah Shilla. Sungguh, kemarahannya telah mencapai ubun-ubun melihat adegan tadi.

“Vi..dengerin aku dulu. Tadi itu…”

“Alah, mau jelasin apa lagi lo ?!! lo itu..MUNA! siapa yang bilang gak ada hubungan apa-apa ? LO kan ?!! lo ga mikirin perasaan gue ya Shill. MURAHAN !! rasain nih !” selesai berkata demikian, Sivia meraih spatula yang terdiam di wajan, lalu menyiramkan minyak panas yang terbawa pada spatula itu, ke tangan Shilla. Gadis itu meronta.

“RASAIN LO! Pelajaran buat lo, untuk jangan main-main sama yang namanya Via !” hanya begitu. Lalu Oik dan Sivia naik ke lantai 2. Menuju kamar mereka.

Shilla meringis kesakitan. Ia murka. Murka pada dirinya sendiri. Mengapa Ia begitu bodoh ?!

*

Kisahnya bukan Kisah Upik Abu. 
Ia tak lagi menunggu cinta menyapanya. Pencariannya cukup sampai disini..

Rio selesai membalutkan salep ke jemari Shilla yang sedikit melepuh akibat minyak panas. Gadis itu beberapa kali ber’aduh’ karena rasa perih lukanya. Namun itu tak seberapa dengan pedih di hatinya.

“Via itu udah keterlaluan Shill. Bukan Cuma Via, tapi juga Oik. Kamu bisa loh, laporin mereka ke polisi. Dengan tuduhan penganiayaan” ujar Rio sembari menutup ujung salep dengan penutupnya.

Shilla menggeleng. “Mereka dipenjarapun, gak akan mengobati luka di hati aku Yo. Sumpah aku sakit banget dihujani kata-kata pedes sama mereka”

“Kamu itu..terlalu sabar Shill. Terlalu baik”

Shilla tersenyum hampa. “Yo, kenapa sih, menurut kamu, kenapa sih Tuhan kasih semua ini untuk aku ?”

Rio menatap Shilla dalam. “Karena kamu yang terpilih. Karena kamu yang disayangi Tuhan. Tuhan pengen menguji kesabaran kamu dengan cobaan ini. Percaya Shill, Dia gak akan memberikan ujian melebihi kemampuan kamu”

“Tapi aku udah gak mampu Yo. Bunda aku pergi saat aku masih kecil. Ayah juga ikutan pergi. Belum lagi, perlakuan kasar Mama dan Saudara tiri aku. Aku udah berusaha buat tetep baik sama mereka. Aku berusaha untuk berfikir positif ke mereka. Tapi apa ? apa yang aku dapet Yo ?! hujaman & celaan, perlakuan gak enak, bentakan ?!” protes gadis itu.

Tangan Rio tergerak untuk merangkul Shilla. “Dan untuk ngedapetin kekasih aja, gak ada kesempatan buat aku”

Rio mendelik. “Kamu..beneran suka sama Alvin ?”

Shilla mengangguk. “Sejak dulu Yo. Kamu tau kan ?”

“….”

“Dunia itu..aku bilang gak adil ya. Katanya orang kuat gakbisa semena-mena. Tapi buktinya ? nyatanya yang kuat memang yang menang. Aku bingung Yo, segitu nyedihinnya ya aku. Sampe Tuhan gak kasih kesempatan aku bahagia sama laki-laki yang aku cintai. Apa emang aku gak pantes bahagia ? ato aku gak pantes dicintai ?” mata gadis itu mulai berkaca-kaca.

“Shilla, ada penjelasan atas 2 teori kamu yang salah. Pertama, yang kuat memang yang menang. Itu bener, mereka yang kuat menjalani ujian dari Tuhan, seberapa pun beratnya, mereka akan menang. Memenangkan tiket menuju surga. Kedua, semua orang di dunia ini berhak bahagia. Mereka diciptakan berpasang-pasangan. Kalo Alvin bukan jodoh kamu, ikhlasin dia pergi. Karna mungkin diluar sana, Tuhan udah menciptakan laki-laki yang jauh lebih baik dari Alvin. Untuk kamu. hanya untuk kamu” jelas Rio yang seolah menyindir dirinya sendiri.

Shilla terdiam. Mencerna betul kata-kata Rio. “Iya sih. Tapi aku kapok Yo, saat ini..aku bakal berusaha ngelupain Alvin maupun Cakka. Aku gak mau terluka lagi. Jika dicintai lebih menyakitkan, mungkin aku bakal lebih milih mencintai..ketimbang dicintai”

Rio mengusap-usap pundak gadis itu. “Apapun itu, aku dukung. Terpenting adalah kamu bisa bahagia”
Tiba-tiba Shilla mendongak. Menatap wajah bijak Rio. “Yo, kenapa sih kamu setia banget ada disamping aku ? emangnya..kamu gak cape apa, selalu dengerin keluhan aku ? emang kamu gak cape, selalu nyeka airmata aku ?”

Rio tersenyum. “Shilla..Shilla. gimana ya, mungkin karena kita udah ditakdirkan bersahabat sejak kecil kali ya. Aku gak pernah cape. Gak pernah bosen. Apalagi sampe berniat ninggalin kamu. gak, gak akan aku lakuin. Aku bakal ngejagain kamu, sampe aku berhenti bernafas”

“Bener ? janji ya ? karena setelah ayah Bunda pergi, Cuma kamu penopang ketegaran aku Yo”

“Iya, aku janji. Janji juga, kamu harus lupain Alvin & Cakka”

Kedua sahabat itu saling mengaitkan kelingkingnya masing-masing.

*

Kisahnya bukan Kisah Upik Abu. 
Tuhan, akhirilah penderitaannya..

“Lo ajak gue kesini ? mau bicara apa ?” tanya Alvin saat Rio mengajaknya ke aula sekolah yang sepi. Maklum, sepulang sekolah.

BUKK!!
Tanpa aba-aba satu bogem mentah Rio layangkan ke muka Alvin. Pemuda sipit itu tersungkur. Darah mengalir dari sudut bibirnya.

“apa-apaan sih lo ?!!” marah Alvin.

“Itu..satu pukulan karena lo udah buat Shilla disakitin sama Via!”

“Maksud lo apa ?!”

Rio menarik bibirnya keatas. Hanya ke kanan. Sehingga terkesan senyum licik. “Lo tau ? gara-gara lo, tangan Shilla nyaris melepuh akibat disiram minyak panas sama Via. Hanya karena satu, cemburu”

Alvin bangkit. Pemuda itu terperanjat. “Lo..serius ?”

“Buka mata lo lebar-lebar!! Shilla udah cukup tersiksa atas apa yang lo lakuin. Juga Cakka lakuin. Dia dijahatin sama dua saudara tirinya hanya karena Shilla deket-deket sama lo & Cakka!!”

“Gue gak peduli dengan Rakka, Cakka atau siapa lah itu. Tapi untuk gue, gue yang deketin Shilla. Bukan Shilla yang deketin gue” terang Alvin.

“Gue juga tau! tapi apasih pedulinya Via & Oik ?! mereka Cuma liat Shilla yang KECENTILAN sama PACAR mereka !”

“Gue bukan cowonya Via” tegas Alvin.

“Terserah apa kata lo. Gue, gue sayang sama Shilla. Gue yakin lo juga sayang sama dia. Gue mohon Vin, jauhin Shilla. Demi kebahagiaannya. Gue gak mau dia tambah menderita. Lupain Shilla, demi dia” tanpa diduga, Rio berlutut. sungguh, apapun akan Rio lakukan demi Shilla.

Alvin termenung. Sulit rasanya melupakan gadis yang hampir 3 tahun dicintainya. Tapi, Ia tak boleh egois. “Gue..gue bakal berusaha lupain dia”

Rio tersenyum puas. Selanjutnya tinggal memberi tahu Cakka.

*

Kisahnya bukan Kisah Upik Abu.
Tiada lagikah setitik cinta untuknya ?

Ketulusan adalah, ketika kamu ikhlas melepas seorang yang kamu cintai, bahagia bersama orang lain. Itulah yang dirasakan Shilla saat ini. Entah ada angin apa, keesokan harinya. Hari pertama Ia sekolah setelah 4 hari tak masuk karena sakit. Baru saja menapaki gerbang, gadis itu sudah disodorkan pemandangan mengejutkan. Kala melihat motor Suzuki Satria milik Cakka melintas, dengan Oik yang duduk manis di boncengan pemuda itu. Cakka sempat melirik Shilla, tapi langsung membuang pandangannya.

Kejutan untuk sang Upik Abu tak hanya sampai disitu. Saat jam istirahat tiba, gadis itu dibuat tercengang oleh dua orang yang tengah bermanis ria duduk pada satu meja. Alvin, dan Sivia.

Jujur, Shilla terluka. Sangat terluka. Baru beberapa hari lalu Alvin menyatakan cinta. Tapi kini ? malah bersama gadis lain. Bahkan Alvin tak melempar tatapan walau hanya sedetikpun, pada Shilla. Sebegitukah hati lelaki ? yang cepat sekali berubah ?

“Shill, inget janji kamu” lirih Rio. Pemuda itu menggenggam jemari Shilla.

Shilla menoleh, lalu tersenyum. “Pasti Yo”


Semua berlalu cepat. Perlahan, gadis itu sudah mulai melepaskan seluruh perasaannya pada Alvin. Dan melupakan pemuda itu sepenuhnya. Kepergian Alvin, membuat ruang kosong dihatinya nampak menganga. Tapi Shilla tak ambil pusing. Karena baginya, kehadiran Rio sebagai sahabat saja sudah cukup. Tak ada waktu mencari pangeran pujaan. Karena dia akan datang sendiri. Suatu saat nanti.

“makasih Yo, karena kamu udah ngembaliin semangat aku” gumam Shilla.

*

Kisahnya bukan Kisah Upik abu.
Ketika asa memupus, mati adalah pilihan terakhir..

“Apa ? kamu mau ke Manado ?” tanya Shilla saat Rio menjelaskan rencana kepergiaannya ke Manado.

Rio mengangguk. “Nenek aku sakit Shill. Kamu gak papa kan, aku tinggal beberapa hari sendirian ?”
“Gak kok, tenang aja Yo. Via sama Oik gak akan jahatin aku lagi. Kan sekarang mereka udah punya Alvin sama Cakka” janji Shilla.

“Aku berangkat besok Shill, jaga diri baik-baik ya. Aku bakal kembali buat kamu. buat jagain kamu”

*
Setelah keberangkatan Rio

“Shilla, bikini minum buat gue sama Alvin dong !!” perintah Sivia keras. Dengan langkah tergopoh-gopoh, Shilla datang dengan nampan berisi 2 Orange Juice yang Ia letakan diatas meja ruang tamu.

Mata Alvin tak bisa lepas dari gadis itu. Berapa lama Ia harus menjalani hari-harinya dengan topeng ini ? berpura-pura mencintai Sivia, hanya demi kebahagiaan Shilla ? apakah Ia mampu memakai topeng itu lebih lama ? ataukah..ego nya lebih memenangkan dirinya ?

“Eh Vin, aku siap-siap dulu ya. Kamu tunggu disini bentar. Ntar abis itu kita langsung jalan” pesan Sivia. Gadis itu melangkah cepat menuju kamarnya.

Mungkin ini saatnya bicara dengan Shilla. Pikirnya. Pemuda itu bergegas menuju dapur.

“Kita harus bicara” ucap Alvin. Namun Shilla menolak. “Enggak. Semuanya udah selesai. Tolong jangan ajak aku bicara”

Rupanya pemuda itu tak terima begitu saja dengan penolakan Shilla. Ditariknya gadis itu paksa kedalam rengkuhannya. “Aku sayang sama kamu, Shill. Masih dan akan selalu begitu. Aku terpaksa pacarin Sivia karena aku gak mau kamu dijahatin sama dia..”

“Kalian..?!” pekik seseorang. SIVIA!!

“SHILLA, LO ITU..EMANG BENER-BENER CEWE MURAHAN !!! GUE BENCI SAMA LO !!!”

Semua berlalu begitu cepat. Hingga Shilla tak ingin mengingat kejadian yang berlangsung sejam yang lalu. Saat Sivia menjambak rambutnya, lalu menamparnya. Saat Alvin dan Sivia terlibat pertengkaran hebat akibat dirinya. Saat Sivia memecahkan cangkir dan melukai tangan Shilla.

Sekarang, Shilla terisak didalam kamarnya. Dikiranya ujian Tuhan sudah selesai, tapi ternyata..ini hanya sebuah awal. Bukan akhir.

Shilla meraih ponsel yang Ia simpan dibawah bantal. Gadis itu menekan beberapa digit nomor ponsel Rio.

“Ha..Halo..Yo…” tegur Shilla saat sambungan terangkat. Isakannya terdengar jelas.

“Shill, Shilla kamu kenapa ? kamu nangis ?!”

“Aku..Aku gak..Aku gak..kuat Yo..Aku..Aku..pengen ketemu Ayah sama Bunda..hh..hmmbf..” tangis Shilla makin keras. Gadis itu tak kuasa menjawab rentetan pertanyaan panik Rio. Jadilah Ia menutup sambungan telpon secara sepihak.
Drrtt..drrtt..
Shilla mengabaikan getaran ponselnya. Ia hanya ingin menenangkan diri. 


*
Kisahnya Bukan Kisah Upik Abu.
Tak ada takdir Indah diakhir kisahnya..

Penyesalan itu tak akan pernah pergi menghantui hidupnya. Selama-lamanya.

Shilla sungguh menyesal. Andai saja Ia sempat mencegah. Andai saja Ia tak begitu manja dengan mengadu ke Rio. Mungkin, mungkin kecelakaan itu tak akan terjadi.

Rio meninggal dalam kecelakaan pesawat yang membawanya pulang ke Jakarta. Itu terjadi sekitar 4 jam yang lalu. Kini Shilla tengah berada di rumah Rio dengan sejuta duka yang tak mampu digambarkan.

“Maaf.maafin aku Yo..ini semua gara-gara aku. Maaf” isak Shilla. Diam-diam gadis itu membongkar kotak masuk ponselnya. Membuka sms yang tadi sempat diabaikannya. Sms yang ternyata dari..Rio.

Sender : Rio

Apapun yang terjadi sama kamu, aku akan pulang hari ini juga. 
Tunggu aku, aku bakal kasih pelajaran ke siapapun yang udah buat km nangis!

Jika tidak ada Rio, lalu siapa yang memberikan pundaknya untuk tempat bersandar Shilla ??

Tidak ada komentar:

Posting Komentar