Bahagia ku, seperti ini. Dicintai dengan tulus, jujur, terbuka. Tak
pernah sekalipun aku merasa disakit --atau tersakiti-- olehnya yang kini
mengisi hatiku. Berbeda dengan Rio, dibalik sikapnya yang lebih
pendiam, Alvin justru membuatku merasa teristimewa dengan caranya. Dia
mungkin tidak pernah membawakanku seikat bunga, tapi dia selalu setia
menungguiku ditempat kerja. Dia rela basah --karena kehujanan-- hanya
demi menjemputku yang sering terjebak hujan. Dia tidak pernah mengumbar
pujian, tapi dia selalu memperlakukan lebih manis dari sekedar sebuah
sanjungan.
Dia tidak pernah membatasiku dalam bergaul, sekalipun itu dengan..Rio.
Yah, Rio, mantan kekasih yang dulu dengan teganya mempermainkan perasaanku.
Tentunya bukan aku yang memulai hubungan itu kembali. Justru Rio lah
yang datang kepadaku, dan membawaku masuk kembali ke dalam hidupnya.
Berulang kali aku berusaha menghindarinya, namun Alvin dengan kalemnya menasehati..
“Semua orang pernah khilaf, Fy. Maklumin lah. Tuhan aja Maha Pemaaf, masa kamu nggak?”
Atau...
“Memutuskan tali silaturrahmi itu sama dengan memperpendek umur.
Benar begitu, kan?” Ujarnya mengutip salah satu kalimat yang sering ku
lontarkan.
Maka mau tidak mau, aku berusaha mendamaikan hati dan egoku untuk
bisa menerima kehadirannya kembali, sebagai 'teman' dalam hidupku.
***
Semakin ku tenggelam ke dalam kisah hidupmu, yang kau curahkan padaku..
“..gue capek ngejalanin hubungan ini sama dia, Fy.” Keluhnya entah untuk ke berapa kali.
Jika dulu aku selalu melengos, bosan. Kini rasa simpatik sedikit
demi sedikit menghinggapi hatiku. Dari nada bicaranya yang terdengar
lirih itu, jelas dia tidak bermain-main saat itu.
“Ya udah putus aja.” Jawabku tanpa minat.
“Dia nggak mau.”
Aku tertawa sinis. "Dia nggak mau, dan elo ngerasa nggak berkutik cuman karena dia nggak mau?” Tanyaku, seolah-olah terkejut.
Ia menolehkan kepalanya untuk menatapku. Kemudian mengangguk lemah.
Masih ku ingat dulu, kau pergi tinggalkan aku, untuk cinta yang lain..
“Dulu, gue bahkan nggak sempet bilang “nggak” waktu loe lebih milih dia.” Ucapku agak sinis, dia menunduk dalam diam.
Ugh, tiba-tiba saja aku teringat kejadian beberapa tahun yang lalu,
saat ia dengan tanpa-memiliki-perasaan-bersalah memutuskan untuk
menyudahi hubungan kami.
»»
"Aku nggak nyangka, Yo. Kamu tega." ucapku lirih, nyaris tersamarkan oleh suara hujan.
"Maaf."
Apa? Maaf? Hanya itu? Tidakkah dia ingin menjelaskan sesuatu padaku?
Aku melengos. "Maaf? Maksud kamu apa?"
"Kita udah nggak bisa sama-sama lagi, Fy," dia mengatakan itu dengan
tenang membuat hatiku berdenyut sakit. "Gue sama dia..emm, dia cewe
baru gue."
Ya Tuhan. Apa lagi ini? Jadi, Rio memiliki wanita lain padahal jelas-jelas dia masih berhubungan denganku, begitu?
"Mak..maksud kamu?"
"Sorry, Fy. Tapi aku udah memilih dia."
Pukkk..aku menjatuhkan gelas hot cappucino ditanganku, pemberian
gadis itu. Rio, tega sekali dia mempermainkanku seperti ini. Apa
salahku?
Tanpa berkata apa-apa lagi, aku segera menjauh meninggalkannya.
Menyeret sepedaku ditengah hujan, dengan derai airmata menghiasi
wajahku.
Rio! Kamu tega!
««
“Maaf...”
Suara lirih itu membuyarkan lamunanku tentang masa lalu kami. Yah,
masa lalu yang aku rasa tak perlu diulangi lagi untuk kedua kalinya.
Aku mengibaskan kedua tanganku dihadapannya. Berusaha biasa saja
dengan permintaan maafnya kali ini. “Udahlah, toh itu masa lalu. Gue aja
yang nginget-nginget lagi.” Ucapku diakhiri dengan tawa hambar.
Tanpa ku sadari, dia menatap dalam kedua bola mataku dengan sayu.
“Aku bener-bener bodoh, Fy. Nyia-nyia-in cewek kayak kamu, buat dia
yang..”
Baru sadar? Yah, seandainya alasan ia melepaskanku untuk yang lebih
baik dariku, mungkin rasa sakit itu hanya untuk perasaanku. Tapi,
--bukan ingin menyombongkan diri-- aku bahkan lebih baik dari gadis itu.
Dan rasa sakit itu pun akhirnya bukan hanya untuk perasaanku, tapi juga
perasaannya yang ku yakini --dari awal-- akan terluka.
Aku mendesah panjang. “Udahlah, Yo. Semua udah lewat. Nggak sama lo,
mungkin karena Tuhan udah nyiapin yang lebih baik dari loe, buat gue.”
Suatu sentuhan hangat membungkus kelima jemari kananku dengan erat. Aku mengalihkan tatapanku pada sentuhan itu.
“Ri--”
“--aku udah lama nggak megang tangan kamu kayak gini, Fy.” Ia
menghentikan ucapanku, dan semakin mempererat genggamannya pada
tanganku. Penggunaan gue-loe-pun berubah menjadi aku-kamu dengan
sendirinya. “Rasanya tetep sama, hangat dan--”
“--Rio, please. Kita udah nggak ada apa-apa.”
Dengan tangan yang masih menggenggamku, ia menundukkan kepalanya.
“Apa, aku boleh ngebuat suatu pengakuan sama kamu, Fy?”
Aku mengangguk, meski aku tahu ia takkan melihatnya.
“Aku...”
Aku tak mengerti
Mengapa kau kini ingin kan ku lagi?
Untuk kembali
Tuk..tuk..
Aku mengetuk-ngetukkan ujung jari ke sebuah meja, sambil menunggu
Alvin yang sedang sibuk mencari CD Maroon 5 terbaru. Pikiranku melayang
ke-kejadian kemarin siang, saat aku dan Rio bersama.
Takkan bisa
Takkan bisa, aku disisimu sebagai kekasih
“Lagu apaan sih nih?” Aku mendelik kesal saat mendengar lagu Ada Band yang tiba-tiba saja ku dengar.
“Fy..”
Aku terkesiap saat tangan Alvin telah melingkar dipundakku, dan memandangkku dengan tatapan bertanya.
Aku menyeringai kaku. “Eh, Alvin..”
“Kenapa?” Tanya nya lembut. Aku menggeleng cepat. Rasanya
--setidaknya untuk saat ini-- aku tidak perlu menceritakan pada Alvin.
Toh, ini..sepertinya bukan masalah besar.
”Bener?” Tanya nya lagi. Aku kembali mengangguk disertai dengan senyuman lebar untuk meyakinkannya.
Ah, Alvin selalu --dan terlalu-- perhatian padaku, dan aku
menyukainya. Menyukai segala caranya dalam membuatku menjadi istimewa.
“Udah nemu CD nya?” Gantian aku bertanya, ia mengangguk sambil
membenahkan tata letak poniku. “Ya udah balik, yuk.” Ajakku. Ia kembali
mengangguk dan merangkul bahuku, membawa langkah kaki ku keluar dari
toko kaset ini.
Jangan pernah
Jangan pernah, kau mengharap lebih untuk dapatkan ku lagi
“Benar, Rio! Jangan mengharapkanku lagi, karena aku nggak mungkin kembali lagi sama kamu.” Bathinku, mantap!
***
Dia yang tlah kau pilih tak seperti yang kau ingin, dan membuatmu terluka
“..dia nggak mau udahan sama gue, tapi..dia juga nggak ngejaga perasaan gue.”
Ia kembali memulai ceritanya. Masih di tempat yang sama, halte yang
pernah menjadi saksi bisu berakhirnya kisah kasih kami, dulu.
Aku hanya menunduk dengan ujung sepatu yang bergerak-gerak asal.
“Hufftt..” Ia mendesah tak kentara. ”Dia emang cantik, tapi hatinya nggak secantik wajahnya.”
Aku mencibir.
Makanya! Jangan menilai wanita dari tampangnya saja!
Ups! Aku kan juga wanita...
”Fy..”
Suara lembutnya menghentikan cibiranku--dalam hati. Dengan sebelah alis terangkat, aku menatapnya.
”Gue mau tanya...” Aku hanya diam, tak menyahuti ucapannya yang menggantung. Dan ia kembali membuka mulutnya, ”Seandainya...”
***
Gila! Di mana sih, dia menaruh otaknya?! Dengan mudahnya ia mengutarakan keinginannya seperti tadi.
”Seandainya gue mutusin dia, apa loe mau balikan lagi sama gue?”
What the...
Dia tahu prihal hubunganku dengan Alvin--dan bahkan aku menangkap
raut tidak sukanya yang kadang-kadang ia tunjukkan tanpa sadar dihadapan
Alvin.
Bahkan, ia pernah mengutarakan betapa irinya, ia dengan Alvin, yang
selalu membahagiakanku. Membuatku tersenyum, dan tak pernah sekalipun
membuatku menangis. Dan sekarang--lebih tepatnya sekitar 2 jam yang
lalu, dia mengatakan ingin memintaku kembali?!
”Fy...”
Aku tersadar dari pikiran panjangku, saat mendengar suara Alvin yang entah sejak kapan telah duduk disampingku.
”Eh, Vin... Sejak kapan kamu disitu?” Tanyaku disertai cengiran kaku, akibat rasa terkejut-ku.
Alvin menatap arloji yang melingkar di tangan kanannya. ”Eung,
mungkin dari 15 menit yang lalu.” Jawabnya kalem. ”Kamu kenapa? Ada
masalah? Nggak mau cerita?” Ia memberondongku dengan sederet pertanyaan.
Aku terdiam. Mungkin, aku memang harus menceritakan hal ini pada Alvin.
”Aku...”
”Ya?”
Aku menghirup nafas dalam-dalam. ”Sebenernya...”
Aku memulai ceritaku dengan ragu. Menjelaskan secara
detail--termasuk permintaan Rio yang mengingkanku, bukan hanya sekali
ini tapi entah untuk yang ke berapa kali, namun singkat.
Alvin mendengarkan ceritaku dengan tenang. Kadang ia mengangguk, namun tak sekalipun ia memotong ceritaku.
”Kamu masih cinta sama dia?” Tanya Alvin setelah aku mengakhiri ceritaku.
Tangannya bergerak halus membelai rambutku. Mata sipitnya tak berhenti menatap dalam kedua bola mataku.
Dengan cepat aku menggeleng. ”Nggak!”
”Sedikitpun?” Aku kembali mengangguk, dengan mantap.
Alvin menggenggam tangan kananku, kemudian mengecupnya singkat.
”Kalau gitu, jelasin ke dia baik-baik. Aku yakin, kalau dia
bener-bener punya rasa yang tulus buat kamu, dia bakal nerima apapun
keputusan kamu, asal itu membuat kamu bahagia.” Ucapnya bijak.
Ku tatap Alvin yang masih setia dengan senyum manisnya.”Thanks yah, Vin.”
”For what?”
”Everything. Kebahagiaan, senyuman, perhatian yang udah kamu kasih
ke aku. Kamu ngebuat aku ngerasa, aku nggak salah udah milih kamu.”
Ucapku sungguh-sungguh. ”Kamu ngebuat aku semakin yakin, kalau Tuhan
emang selalu punya rencana yang lebih indah daripada semua
rencana-rencana yang aku buat.” Alvin tersenyum, kemudian mengacak
poniku singkat. ”Dan bener, Tuhan ternyata udah nyiapin seseorang yang
jauh lebih baik buat aku, setelah menarik seseorang yang udah bikin aku
jatuh cinta dan sakit hati sekaligus. Dan itu, kamu!”
Alvin tertawa pelan. ”Kadang, kita emang harus ketemu seseorang yang
'salah' dulu sebelum ketemu sama yang 'bener'. Biar kita bisa belajar
dari kesalahan.” Ucapnya. ”Eh tapi bukan berarti aku bilang kalau Rio
itu nggak baik yah.” Ralatnya cepat. Aku tertawa kecil mendengarnya.
Alvin kembali berucap. ”Kamu emang harus dan nggak boleh pernah lupa untuk selalu berterima kasih sama Tuhan.”
Aku tersenyum sambil mengangguk. Alvin kembali meraih sebelah
tanganku dengan tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya bergerak naik
menyentuh pipiku.
”I love you until the end, Ify...” Ucapnya lirih, yang justru membuatku tertawa.
Alvin --hampir-- tak pernah seromantis ini, pikirku.
***
Semua yang kau alami, pernah ku rasakan
Saat kau hancurkan ku, pergi tinggalkan aku
Daun-daun kering mulai berguguran diatas tanah yang ku pijak.
Disampingku, Rio masih setia menendangi krikil-krikil kecil yang
menyentuh ujung sepatunya. “Setelah sekian lama dia bertahan sama
keinginannya untuk ga putus sama gue, akhirnya gue sama dia putus juga.”
Aku tak begitu terkejut mendengar penuturan Rio kala itu. Disatu
sisi lega, karena itu artinya, beban perasaan yang ia alami akan
berkurang--mungkin juga menghilang. Tapi disisi lain, aku takut ia
menagih jawaban atas permintaannya waktu itu.
Bukannya aku masih memiliki perasaan padanya. Tapi...entahlah, jujur
aku masih memikirkan bagaimana caranya untuk memberikan pengertian
kepada Rio.
”Putus? Dia yang mutusin?” Tanyaku basa-basi, ia mengangguk. ”Aneh!
Dia yang awalnya nggak mau putus, eh sekarang main mutusin aja. Enak
banget sih jadi dia.” Tuduhku.
Aku berjalan menyusulnya yang telah lebih dulu mengambil tempat dibangku panjang yang terletak tepat dibawah pohon ketapang.
Ia mengedikkan kedua bahunya sebelum menjawab pertanyaanku. “Gue juga nggak ngerti, kenapa tiba-tiba dia kayak gitu.“
“Sama.“
“Apanya?“
Aku tertawa tanpa minat. “Iya, sama! Kayak gue.” Sahutku sambil
menatapnya yang tengah memandangku bingung. ”Masih inget nggak? Dulu,
loe juga mutusin gue semau loe, nggak pake diskusi dulu sama gue. Bahkan
gue--sampai hari ini nggak tau, dulu gue punya salah apasih sama loe?”
”Fy--”
“--bener kata orang, Yo. Siapa yang memulai sebuah 'drama', dia akan
mendapatkan karma.” Ucapku menyela ucapannya. ”Ups! Nggak maksud
nyudutin.”
”Gue emang berhak disinisin sama loe kok, Fy. Gue sadar diri, dan paham banget sama kesalahan gue ke-elo dulu.”
Aku mengangguk. ”Yah, terima kasih karena sudah sadar.”
”Eung, loe..loe bener-bener cinta, sama..Alvin?” Tanya nya terbata.
”Menurut loe, setelah sekian lama dia ngedampingin gue, dan nggak
pernah sekalipun ngebuat gue sakit hati, apa masih ada alasan gue buat
nggak bener-bener cinta sama dia?”
Ia menunduk, diam.
Separuh hatiku iba. Namun, aku juga tak ingin membuatnya berharap
lebih kepadaku. Maka yang harus ku lakukan adalah 'ini'. Membuatnya
mengerti bahwa rasa itu sudah hilang sepenuhnya, digantikan dengan rasa
yang dibawa oleh seseorang yang lain, tentu saja bukan dirinya.
”Huftt..berarti gue udah nggak punya kesempatan?”
Pertanyaan macam apa itu?
Bukankah jawabannya sudah jelas?
Aku mendesah tak kentara. ”Yo..” Panggilku, membuat ia yang tengah menunduk segera mengangkat wajahnya.
”Eung, gue pernah bilangkan sama loe : nggak sama loe, mungkin
karena Tuhan sudah menyiapkan seseorang yang lebih baik dari loe buat
gue. Dan gue yakin, itu juga berlaku buat loe.”
Ia menggeleng lemah. ”Nggak, Fy. Perasaan gue--mungkin ini lebay,
tapi perasaan gue buat loe bener-bener rasa yang terdalam. Gue nggak
pernah punya perasaan kayak gini ke cewek-cewek lain sebelumnya.”
Aku memberanikan diri untuk menyentuh pundaknya, dan mengusapnya
lembut. ”Nggak, Rio.” Dan dengan tangan kananku, aku meraih sebelah
tangannya, sekedar untuk menyalurkan sedikit kepercayaan melalui
genggaman tanganku. ”Ini cuman masalah waktu. Apa yang loe ucapin
barusan sebenernya efek dari rasa terluka loe karena cewek itu. Yang
pada akhirnya, ngebuat loe jadi ngebandingin masa-masa saat loe sama
gue, dan masa-masa loe saat sama tu cewek.”
”Tapi gue bener-bener nggak bisa ngelupain loe, Fy.”
”Yo, gue pernah baca sebuah kutipan disalah satu buku bacaan gue.”
Aku sengaja menghentikan ucapanku, menanti respon apa yang akan ia
berikan.
”Apa?” Tanya nya tanpa minat.
”Ketika dirimu terluka, dekatkanlah dirimu dengan orang yang
mencintaimu, dan bisa menoleransi rasa sakitmu tanpa melontarkan
penilaian atau memberimu saran. Seiring dengan waktu yang berlalu, kau
tidak akan terlalu merindukan apa yang dulu kau miliki dan bisa lebih
menjalani apa yang kau hadapi hari ini.”
-Letters to Sam-
”Ngerti?” Tanyaku kemudian.
Ia mengangguk sekali. ”Jadi maksud loe, yang loe lakuin dulu setelah
sakit hati sama gue itu...ngedeketin Alvin? Jadi dari dulu Alvin udah
punya perasaan sama, loe?”
Aku menjawabnya dengan anggukan singkat. Aku tidak ingin menjelaskan detailnya seperti apa, cukup bagiku seperti itu saja.
Hening. Aku dan Rio sama-sama terdiam ditempat kami masing-masing.
Meskipun sudah memberikan jawaban 'tidak' untuk permintaanya, entah
mengapa aku merasa masih harus meyakinkan segala sesuatunya.
”Yo...”
”Ya?”
”Loe yakin sama perasaan loe ke gue?” Tanyaku. ”Maksud gue, apa loe
bener-bener serius kalau perasaan loe itu ke gue tulus.” Aku segera
menyambung ucapan ku agar tidak terjadi kesalahpahaman dengannya.
”Yang gue rasa seperti itu, tapi menurut penilaian loe, nggak seperti itu kan?”
Lupakan sajalah aku...
”Loe tau makna tulus, kan?”
”Memberi tanpa harus menerima.”
Aku tersenyum sembari menatapnya. ”Kalau gitu, loe tau harus bagaimana menyikapi keputusan gue, kan?”
Ia terdiam cukup lama.
”Menerima apapun keputusan loe, sekalipun itu artinya, loe nggak memilih gue dan akan terus sama Alvin.”
”Thanks, loe semakin dewasa.”
”Loe yang ngajarin gue semua itu.” Jawabnya dengan sebuah senyuman yang lebih tulus.
Aku lega. Sepertinya drama cinta ini akan segera menemui endingnya.
”Loe juga ngajarin hal yang sama ke gue.”
Dia kembali tersenyum, dan tanpa aba-aba menarik tubuhku ke dalam dekapannya.
”Gue bahagia asalkan loe bahagia.”
”Meskipun dalam hati loe sebenernya sakit?”
Ia menguraikan pelukannya, dan mengangguk ragu.
”Ucapan paling munafik dari seorang manusia. Mulutnya ngomong
begitu, tapi dalam hati, gue yakin loe lebih bahagia kalau gue sama loe,
kan?” Sahutku bercanda, mencoba mencairkan suasana yang sempat terasa
canggung diantara kami.
”Sialan! Tapi, gue akan mencoba seperti itu.”
”Beneran?”
”Iya!”
”Sekalipun gue nanti ketawa-ketawa sama Alvin di depan loe, peluk-pelukan sama Alvin disebelah loe, ci---”
”Yak! Ify, gila! Jangan diterusinnn!!!” Aku tertawa mendengar
teriakannya, dan sedikit tersentak mendapat 'serangan' nya--yang seperti
biasa (dulu) menggelitiki hingga keluar air mata.
Melepaskan tak sesulit yang kamu bayangkan, jika didasari dengan keikhlasan. Percaya deh!
Semua memang butuh proses, dan proses itu memakan waktu. Istilahnya,
sekalipun untuk sampe ke daratan mesti mengarungi lautan yang luas,
tapi udah pasti nyampe ke daratan kan?
••• THE END •••
Tidak ada komentar:
Posting Komentar