Gadis
itu berjalan anggun, menggunakan celana jeans dengan baju berwarna
belang biru putih lengan panjang dipadukan sebuah slayer membalut
lehernya, menambah keanggunannya ketika berjalan di antara lalu lalang
orang-orang yang baru keluar dari stasiun kedatangan luar negeri. Salah
satu tangannya menarik koper. Dipastikan gadis itu baru memijakkan kaki di tanah air Indonesia.
Sepertinya Gadis itu sudah tak sabar untuk berjumpa kerabat di negeri
asalnya. Ia mempercepat langkah anggunnya. Tapi sayangnya, langkah cepat
itu…. “Auuw”. Ringisnya. Ia membungkuk memijat pelan bagian bawah
kakinya. “Aah, my high heels”. Gumamnya. Meratapi sepatu berhak tinggi
yang cantik Ia kenakan patah di bagian hak setinggi 9 cm itu.
Gadis itu menepi perlahan dengan pincang ke sebuah bangku panjang tak
jauh dari insiden-nya tadi. Ia melepas sepatu berhak tinggi itu, dan
bergumam kecil, “I should know, it’s impossible to wear again”. Sekali
lagi gadis itu meratapi sepatu berhak tinggi di genggamannya kali ini.
Ia sudah tahu benda itu sudah –tak layak pakai- semenjak 2 bulan yang
lalu. Jika Ia tidak ingat siapa yang memberikannya, benda itu pasti
sudah diasingkan. Sudah tak terhitung jari berapa kali Ia me-nge-lem
ulang bagian hak yang selalu copot.
“Are you okay?”. Sapa seseorang akhirnya. Seorang gadis juga. “Not to
bad…” Jawab gadis pertama tadi dan tersenyum lemas sambil memperlihatkan
high heel bernasib malang itu.
“Oh.. it’s so bad. Wait”. Gadis bersuara serak basah itu mengeluarkan
sepasang sepatu slop dari koper yang Ia bawa. Mungkin sama seperti gadis
pertama tadi, Ia juga baru menginjakkan kaki di Indonesia. “Wish this
enough on your feet”. Katanya kemudian menyerahkan kepada gadis pertama
tadi.
“Hh, thank you so much.” Gadis pertama menerimanya dan kemudian
mengenakan sepatu slop berwarna biru tersebut. “Well, this is so
beautiful”.
“Yeah, you’re welcome. I am Pricila”. Sahut gadis berbehel tersebut.
“Ya. And I’m Via”. Sahut Gadis yang sepatu hak-nya patah itu, ternyata bernama Sivia.
“Via, mm… are you Indonesian?”
“Yes. Of course”. Jawab Sivia pasti dengan senyum.
“Serius?
Ternyata… Aku juga orang Indonesia. Kenapa harus susah-susah pake
bahasa Inggris segala sih daritadi?” Sesal Pricila. “Hahaha….” Kedua
gadis itu tertawa geli. Mengira satu sama lain bukan WNI asli dengan
style mereka yang sangat elegan ditambah datang dari arah stasiun
kedatangan luar negeri.
“Pricila, makasih buat pertolongannya. Pasti aku balikin sepatunya, aku minta kartu nama kamu boleh?”. Tawar Via.
“Kenapa
nggak.” Pricila membongkar tas di bahunya, mengeluarkan kartu nama
lengkap dengan nomor Hp, alamat e-mail, serta alamat rumah di Indonesia.
“Dateng aja ke rumah, tapi nggak usah dibalikin kali sepatunya. Anggap
kenang-kenangan”.
Sivia hanya tersenyum dan menerima kartu nama itu.
“PRICILA…”.
Suara seorang cowok menyapa. Si pemilik nama pun menoleh, begitupun
Sivia. Dan mereka mendapati seorang cowok berpenampilan penuh kharisma
mendekat. “Aku kira kamu udah balik naik Taxi”. Ujar cowok tersebut
setelah berhasil menormalkan napasnya.
“Belum
kok. Baru juga nyampe”. Kata Pricila lembut pada cowok tersebut. “Oh
iya, kenalin dong, ini Sivia temen baru aku”. Sambung Pricila.
Akhirnya
cowok itu beralih pandang ke gadis yang dimaksud Pricila. Ia baru
menyadari ada seseorang gadis lain di sebelah Pricila, mungkin
perhatiannya tersita pada pencarian Pricila.
Sedangkan
Sivia sendiri sedang membatu. Bahkan sejak tadi, sejak mendengar suara
cowok itu menyapa, walau bukan menyapa namanya, seperti sediakala.
Telinga Sivia hafal betul logat, nada, dan suara khas itu. Sivia
memandang lekat mata cowok di hadapannya. Bagai mendapat tatapan teduh
yang lama Ia rindukan. Tatapan yang tak asing.
“Vi, kenalin, ini Alvin pacar aku”. Pricila memperkenalkan dengan senyum lebar.
Degh!
Benar. Cowok itu Alvin. Sahabat Sivia. Tiba-tiba rasanya campur aduk.
Hampa. Raga Sivia memang di sana, tapi jiwanya seperti sudah hilang.
Tapi juga dilanda rindu, saat mata itu menatapnya.
“Via”. Yak. Sivia mendengarnya. Alvin mengucapkan namanya seperti dahulu.
“Alvin”. Sivia berusaha mengembalikan jiwanya lagi.
“Lho? Kalian saling mengenal?”. Kaget Pricila.
**********
Resto Berry. Tak jauh dari bandara. Mereka memilih tempat itu, untuk memperjelas semua. Mereka ; Sivia, Alvin, Pricila.
“Dunia
memang sempit ya. Temen baru aku, sahabat pacar aku”. Pricila tertawa
kecil, menganggap itu hal yang lucu. Apakah lucu bagi Sivia dan Alvin?
Sivia
memasang ekspresi datar, begitupun Alvin. Saling menatap, namun
menerawang jauh, dalam. Mereka hanya diam, tanpa kata. Jus yang
masing-masing mereka pesan, belum tersentuh sama sekali. Hingga
titik-titik air memenuhi dinding luar gelas. Berbeda dengan Pricila,
yang sudah menghabiskan setengah gelas jusnya.
“Apa pacar kamu nggak pernah cerita?”. Pertanyaan Sivia terlontar seperti jusnya, terkesan dingin.
Pricila
tersenyum. “Alvin mah, tiap hari bilang kalau kangen sahabatnya, rindu
sahabatnya, tapi nggak pernah cerita selebihnya. Setiap aku mau bahas,
dia mengalihkan pembicaraan. Kasih tau nama kamu aja nggak sama sekali”
Sivia beralih pandang ke Alvin yang menunduk, menyembunyikan wajahnya.
“Kenapa Al?” Batin Sivia.
“Tapi sekarang kamu udah tau kan”. Alvin mengangkat wajahnya dan angkat bicara.
“Iya.
Jadii, boleh kan aku temenan kalau bisa sahabatan sama sahabat kamu
juga. Yaa… kali aja aku bisa tau banyak tentang kamu ke Via”. “Ya kan
Vi?” Pricila memastikan ke Sivia.
“Ha? Mm… iya, tentu” Jawab Sivia yang tak siap mendapat pertanyaan tersebut.
**********
Masih
belum tiba di rumah. Sudah diputuskan Sivia jauh-jauh hari, akan
mengunjungi tempat ini. Ia sudah berjanji pada diri sendiri akan
mengunjungi tempat ini pertama, setibanya di Indonesia. Dan janji itu
pasti sudah terlunasi, jika tidak isi singgah di Resto bersama Alvin dan
Pricila. Sungguh di luar rencana.
Sivia
meletakkan setangkai mawar putih di dekat nisan. Tangan kanannya
mengusap lembut nisan marmer yang sedikit berdebu. Tidak diragukan lagi,
itu makam Gabriel. –Kekasih- yang sudah meninggalkannya ke tempat
keabadian.
“Aku
kangen kakak. Hh… Kak Gabriel, aku udah balik ke Indonesia, dan tempat
ini yang aku kunjungi pertama. Lihat, koper aku masih di Taxi Kak”.
Sivia tersenyum simpul,tulus. “Kak Gab, ada sesuatu yang ingin aku
certain banyak ke kakak. Tentang sesuatu yang nggak aku ngerti. Tapi aku
sendiri nggak tau apa itu”.
Sivia
membiarkan otot perutnya berkontraksi, agar udara segar terhirup. Dan
melanjutkan pembicaraan monolognya. “Ohya, tadi aku ketemu adik kakak
yang super nyebelin itu. Dia hebat kak, udah punya pacar, cantik, baik
lagi”. Mengucapkan itu, suara Sivia melemas. “Sekian dulu kak. Aku
pulang ya. Aku sayang kakak selalu”.
Walau
hanya dijawab gerimis hujan, tapi Sivia yakin Gabriel pasti mendengar
semuanya. Dan itu menyebabkan Sivia lega. Iya, dia lega. Karena
sebenarnya ada sesuatu yang bergeliut di benaknya semenjak pertemuannya
dengan Alvin bersama kekasihnya di bandara dan sudah sedikit
tercurahkan. Entah apa itu.
**********
Dan
kini, Sivia benar-benar tiba di rumah. Bertemu kembali dengan Mama,
Papa. Berjumpa lagi dengan Capulet kucing kesayangannya. Bertemu Pak
Iman, Bi Ijah pembantunya di rumah.
Sivia
baru tiba setelah berkujung ke belahan dunia bagian barat, tepatnya
Eropa. Di sana bukan untuk sekedar jalan-jalan menghabiskan waktu dan
uang. Justru Ia mendalami ilmu psikologi jurusan yang dipilihnya. Sudah
semenjak 3 tahun lalu saat lulus dari seragam putih –abu. Dan saat itu
juga Ia harus berpisah –lagi- dengan Alvin, sahabatnya.
*Flashback
“Gue
mau ke Eropa Al, gue kuliah di sana untuk 3 tahun”. Sivia mengadukan
rencanya di saat sedang beristirahat sejenak setelah bersepeda dengan
Alvin merayakan kelulusan mereka. Walaupun Alvin lulus dari Home
Schooling-nya.
“Ha?
Eropa? 3 tahun? Loe ninggalin gue jelek? Kok tega sih. Siapa coba yang
gue ajak main sepeda lagi? Sepi deh hidup gue”. Celoteh Alvin.
Sivia
tak segan menoyor kepala Alvin hingga cowok bermata sipit dengan
tatapan bening itu terdorong, saat mendengar celotehannya yang tak mutu
sedikit pun.
“Lebay
loe. Sekali-sekali kita misah. Kita punya kehidupan masing-masing.
Nggak selamanya harus bareng kan walaupun sahabatan, temen loe juga
banyak kali. Jangan deket sama gue terus, ntar loe nggak laku, dikiranya
kita pacaran lagi”. Cerca Sivia. Alvin terdiam, merenungi setiap
cercaan Gadis yang ‘diklaim’ sebagai sahabatnya itu.
“Lho? Bukannya kita memang pacaran?”
“Aaaalll… sejak kapan? Gue masih pacarnya kak Gabriel kaleee” Kesal Sivia akibat pengakuan tidak sah dari Alvin.
Alvin tersenyum miris. “Loe belum lupain dia Vi?” batin Alvin.
“Apa
kata loe deh. Kalau emang keputusan loe udah bulet, gue dukung.
Baik-baik di sana yaa. Kejar cita-cita loe!” Alvin menyemangati.
“Pasti.
Makasiih Al. Already missing you. Kalau loe kangen gue, e-mail aja
yaa”. Spontan Sivia memeluk sahabatnya itu. Awalnya ragu, tapi perlahan
tangan Alvin membalas pelukan sahabatnya juga, yang mungkin sekaligus
menjadi pelukan perpisahan mereka
*Flashback end
**********
“Anak kita cantik ya Ma? Jangan-jangan ketularan bule Eropa”. Anto, Papa dari gadis berlesung pipi semangat menggoda.
Sivia,
Mama serta Papa dan berkumpul, berbincang hangat melepas rindu di ruang
keluarga setelah sekian lama terpisah jarak dan waktu.
“Papa,
Via memang aslinya cantik, jadi gak mungkin ada ketularan bule gitu”.
Indah, Mama Sivia tidak membenarkan pendapat suaminya.
Sivia
hanya tertawa geli mendengarnya. Gurauan ini sudah lama tak didengar
telinganya. Sivia bergelayut manja di pundak Sang Mama. Meluapkan rasa
rindu mendalam. “Via, kamu masih ingat ucapan Mama tempo hari di telepon
tidak? Tentang saudara kamu?”. Mama Sivia memulai.
Sivia
melepaskan pelukannya, lantas menatap Mama Papanya bergantian. Namun
dari sorot matanya, sepertinya Ia berusaha mengingat ‘ucapan’ yang
dimaksud Mamanya. “Saudara?” Ulangnya. “Ooh.. iya Ma. Saudara angkat Via
kan?”
“Benar.
Sudah hamper setahun dia tinggal bersama kami. Mama dan Papa sudah
resmi mengangkatnya sebagai anak semenjak setahun lalu saat kamu masih
di Eropa. Dan hari ini jika tidak keberatan, akan Mama Papa kenalkan ke
kamu Vi.” Jelas Papanya.
“Tentu nggak Ma, Pa. Via seneng malah punya saudara”. Sahutnya tulus.
“Makasih sayang. Kamu anak yang baik.” Sivia kembali mendekap Mamanya.
“Saat
itu Papa tak sengaja menyerempet seorang gadis yang bersepeda”. Papanya
membuka cerita. “Papa lihat sorot matanya memancarkan kesedihan. Dan
benar saja, saat Mama kamu bertanya, ternyata gadis itu sedang
terburu-buru menuju rumah sakit, setelah mendapat kabar keadaan ibu nya
yang memburuk. Dan kami antar gadis itu ke tempat tujuan, Vi.”
“Dan
kesedihannya bertambah saat mendapati ibunya sudah tak bernyawa. Ibunya
menderita demam berdarah. Hanya saja penanganan yang lambat ditambah
keadaan keluarga yang tak mencukupi berakibat fatal”. Sambung Mama
Sivia.
“Melihat
gadis itu, Papa dan Mama teringat kamu. Teringat memiliki anak gadis
dewasa. Maka dari itu kita memutuskan untuk mengajakserta gadis itu
tinggal bersama kita. Kasian jika Ia harus menanggung beban sendiri,
ayahnya pun telah meninggal.” Sivia agaknya tersentuh, lantas menyeka
butiran bening di pelupuk matanya.
“Haloo.. Ini Kak Via ya?”. Sapa seseorang ramah dan hangat.
Sivia terdiam sesaat melihat gadis imut mungil manis muncul di hadapannya. Ia berusaha membalas keramahan gadis itu.
“Iya. Kamu…?”
“Aku Keke Kak, anak angkat Mama sama Papa dan akan menjadi adik angkat kakak” Sahut Keke polos.
“Sekarang aku kakak kamu. Aku Sivia”. Tanpa ragu Sivia mendekati Keke dan merangkulnya.
“Semoga kalian bisa menjadi saudara seutuhnya”. Harap Sang Mama yang disetujui Papa jua.
**********
Matahari
sudah selesai menjalankan tugasnya sebagai sumber energy terbesar
sehari ini, dan kembali ke asal yang mungkin akan menjalankan tugasnya
di belahan bumi lain.
Di
kamar bernuansa putih dengan pernak-pernik girly. Kamar yang 3 tahun
terakhir ditinggalkannya. Tidak banyak yang berubah dari kamar ini. Tapi
yang berubah adalah keadaan. Rumah, keluarga, bahkan sahabatnya. Yaa…
sahabatnya, Alvin kini sudah tak menyendiri lagi seperti masa-masa
remaja mereka. Sudah ada yang memikat hati sahabatnya itu. Kekhawatiran
Sivia tempo hari jikalau Alvin tak akan laku jika terus nempel dengannya
tak terbukti. Sudah Ia saksikan sendiri Alvin mampu mendapatkannya,
mendapatkan seorang wanita pujaan, baik, cantik, ramah seperti Pricila.
“Yaampun Sivia kamu kenapa?”. Ia berkata seorang diri tanpa ada yang
menjawab.
Sivia
terkesiap merasakan getaran di sebelahnya. HP-nya bergetar dan
berdering menandakan ada panggilan masuk. “Halo”. Sapa Sivia.
“Halo Vi. Ini gue Alvin”. Sahut orang di seberang.
“Ha? I… Iya. Ada apa Al?”. Tanya Sivia bersusah payah berusaha setenang mungkin, karena awalnya agak terkaget.
“Via via, segitu kangennya loe sama gue ya, sampai kaget gitu. Biasa aja kali”. Canda Alvin.
“Sok
tau! Loe telpon malem-malem gini, ya gue kaget lah”. Sivia beralih.
Padahal, dilihatnya kini bayangan wajahnya di cermin yang merah merona.
“Iya
deh. Gue telpon loe mau marah, balik ke Indo gak bilang-bilang. Tapi ya
udahlah. Terus, gue juga mau ngajakin loe jalan besok, seharian penuh.
Gimana? Banyak yang mau gue certain dan mau gue tanyain ke loe. Pokoknya
nggak ada penolakan.” Pinta Alvin.
Dan
Sivia membekap mulutnya untuk menahan tawa mendengar permintaan
sahabatnya itu. “Sebenernya yang kangen itu siapa sih. Heran deh. Hihi…”
“Via
serius… Tapi kita ketemuan aja ya di cafĂ© deket SMA dulu jam 2 siang.
Soalnya paginya ada urusan di kampus sebentar. Biasa calon dokter”.
Nada Alvin membanggakan diri.
“Kalau pengen curhat ke rumah gue aja kalii seperti biasa. Gak usah pake jalan gitu”.
“Kan
gue pengen nge-date sama loe. Udah ah, pokoknya inget besok”. Tanpa
menunggu jawaban Sivia, sambungan telah terputus oleh Alvin. Sementara
Sivia masih melongo mendengar perkataan akhir Alvin.
“Nge-date?”.
“Hhh… Kak Gab, adik kakak anehnya nggak ketulungan”. Ucap Sivia pada
foto Gabriel yang bertengger di meja belajarnya.
Sivia kembali terkesiap ketika mendengar pintu kamarnya yang diketuk berkali-kali. “Masuk”. Ucapnya.
“Malam
Kak”. Keke ternyata, membawa segelas susu hangat. “Setiap malam sebelum
tidur susu hangat menjadi menu favorit dan wajib Kakak kan”. Sivia
menerima segelas susu hangat tersebut dan menegaknya perlahan.
“Makasih yaa”. Keke hanya mengangguk dan tersenyum simpul. “Kamu umurnya berapa Ke?”
“Mau 16 tahun kak. Selesai liburan ini aku kelas 2 SMA”
“Oo.. belajar yang baik ya”. Lagi-lagi hanya dijawab anggukan oleh Keke.
“Kak Via kangen mereka?” Pertanyaan yang tak cukup jelas dari Keke membuat Sivia menoleh sebentar.
“Mereka?” Ulang Sivia.
“Mereka, Kak Gabriel dan Kak Alvin. Kakak pasti kangen mereka ya”. Terka Keke.
“Kamu tau tentang mereka?” Tanya Sivia masih terheran.
“Tau
sebatas cerita dari Mama dan Papa. Yang tau tentang mereka lebih itu
Kak Via dan hati Kakak”. Sivia mengernyitkan dahinya. Pembicaraan gadis
belia ini lebih dewasa dari umurnya. Dan tak seharusnya Ia heran. Keke
adik nya, sudah sepantasnya dan seharusnya Ia tahu cerita di keluarga
ini, termasuk cerita tentangnya.
“Maaf Kak aku lancang. Kalau gitu aku pamit, selamat malam”.
Sepeninggal Keke, Sivia terlamun. “Yang tau tentang mereka lebih itu Kak Via dan hati Kakak”. Kalimat
itu terngiang. Apa hatinya tau? Tau tentang sesuatu yang mengganjal.
Tapi kenapa hati itu enggan berbisik sesuatu, enggan memberitahukan yang
sebenarnya. Atau hati itu sedang menunggu waktu?
**********
Matahari
memancarkan sinar sebagai salam hangat menyambut setiap insan yang baru
bangkit dari bunga tidur. Begitupula yang dirasakan Sivia. Sinar Raja
Siang mungkin sudah tak hangat lagi, sebab Sivia bangun kesiangan.
Maklum, pagi pertama setibanya di Indonesia. Langsung saja Ia mendatangi
meja makan untuk ikut sarapan pagi walau agak telat.
**********
Berkali-kali Sivia mengganti channel TV di ruang tamu dan sesekali melirik jam dinding. ‘ 3 jam lagi’ batinnya.
“Kak
Via. Kakak nggak apa-apa kan? Kok channelnya diganti terus?” Keke hadir
dengan nada cemas. Gadis mungil satu ini memang adik yang perhatian.
“Oh
nggak kok, ngebosenin semua sih acaranya” Alih Sivia. Keke
manggut-manggut kemudian mengambil posisi tepat di sebelah seseorang
yang semenjak kemarin ditemuinya dan sudah nyaman memanggilnya dengan
‘kakak’. “Kakak nggak siap-siap? Kan mau ngedate sama Kak Alvin” Ujar
Keke. Keke tau, bagaimana bisa. Sivia terpelonjak. “Nggak usah kaget
kak. Nih” Keke memperlihatkan screen BlackBerry nya dan terbaca jelas di
sana ada chatting antara Keke dan Alvin.
“Alvin” Gumam Sivia. “Kalian udah kenal deket ya?” Tanya Sivia heran.
“Yaa,
seiring berjalannya waktu Kak. Lagian mau nggak mau, Kak Alvin kalau
kangen Kakak pasti curhatnya ke aku, ke siapa lagi coba? Kak Pricila?
Nggak mungkin banget deh”.
Sivia mengangguk dan memainkan rambut panjangnya. Keadaan sudah sangat berubah. Dan tak disangka sebesar inikah perubahannya.
“Kakak
ngapain masih di sini? Nggak jadi ngedate?” Tanya Keke. “Bukan ngedate
sayang, Cuma jalan bareng aja, dan itu 2 jam lagi”. Sahut Sivia
memperingati. “Tapi emang nggak pengen siap-siap? Nyalon gitu kek” Jawab
Keke. Memperhatikan Kakaknya dari atsa sampai bawah.
“Apaan sih Ke, gini aja udah oke. Kayak mau ketemu siapa aja”. Via menyahut enteng, kemudian asik dengan camilannya.
“Mau
ketemu sama cowo yang punya isyarat mata lain dari biasanya kalau udah
natap Kakak”. Seusai melontarkan kalimat itu, Keke kabur menuju lantai 2
rumahnya.
“KEKE
SOK TAUUUUU!!!”. Mendadak Sivia berseriosa-ria di rumahnya. Kalau saja
suaranya tidak merdu, bisa-bisa terjadi amuk masa dari tetangganya.
**********
Keke
menutup majalah yang menjadi temannya selama menunggu Sivia
mempercantik diri di sebuah salon ternama. Kemudian pandangannya beralih
ke sosok gadis di depannya, kini tampil lebih fresh dengan rambut
barunya sebahu. “Kak Via, perfect. Look so pretty” Pujian itu terlontar
tulus untuk Sivia. Dengan model rambut baru sebahu, dipadukan dengan
T-Shirt lengan panjang bergaris. “Bisaa aja kamu, makasih”.
“Serius
Kak. Nggak bohong deh. Bener kan Keke bilang apa, harus nyalon dulu.
Nah, sekarang udah mau jam 2 nih, kakak langsung ke tempat tujuan aja,
Keke pulang duluan”
“Thank you dear udah mau nemenin. Nggak apa nih pulang sendiri?”. Tanya Sivia meyakinkan.
“Iya, percaya sama Keke Kak. udah buruan, nanti Kak Alvin nungguin lama lagi.”
**********
Pukul
dua lebih dua puluh menit, Alvin belum menampakkan batang hidungnya.
Aneh, harusnya si pembuat janji datang lebih awal. Oke sabar, ini memang
pertama kalinya Alvin dan Sivia mmembuat pertemuan setelah sempat tak
berjumpa. “Aaal, liat aja lo ntar, seenaknya dateng telat”. Sivia
ngedumel nggak jelas.
“Hai
Vi.. Duh, sorry telat. Tiba-tiba Pricila minta dianter belanja”. Pinta
Alvin. Keringat membasahi keningnya dan beberapa helai rambutnya. Dan
langsung tanpa ijin merebut jus jeruk yang bersisa setengah gelas yang
menjadi saksi kebosanan Sivia menunggu sedaritadi. Setelah itu, Alvin
duduk dan mengatur napasnya, kemudian memerhatikan gadis di hadapannya.
“Eh, itu rambut kok tinggal segitu? Yang lain ke mana?” Kaget Alvin.
“Dipotong”. Datar Sivia.
“Aah, sempet aja ke salon, gara-gara gue ajakin ngedate yaa?” Canda Alvin.
“Aall, lo tau nggak, gue di sini…”
“Tapi
cantik lho Vi, serius”. Tandas Alvin. Hanya dengan kalimat itu, mampu
meredam amarah Sivia. Dan kini gadis itu malah salah tingkah.
“Udah
deh, buruan pesen makanan. Abis itu bilang apa yang mau dibicarain.
Kasian Keke sendiri di rumah” Sivia mengomel. Kali ini Alvin menurut
tanpa komentar, tak ingin menimbulkan kekesalan Sivia lagi.
“Keke
anaknya asik nggak Vi menurut lo?” Tanya Alvin setelah seorang pelayan
café itu mencatat pesanan dan pergi. Oke, Sivia tahu betul ini
pertanyaan basa-basi oleh Alvin.
“Asik banget. Cepet akrab. Gue udah nyaman sama dia” Sahut Sivia sambil memainkan telpon genggamnya.
Alvin
memerhatikan Sivia. Ia pikir, sepertinya gadis itu sedang tidak dalam
mood. Apa karena keterlambatan dirinya. Tapi bukannya Alvin sudah minta
maaf dan menjelaskan alasannya. “Eh, kok bisa sih kita lost contact,
padahal awal-awal masih kirim-kirim e-mail kan?”
“Nggak tau. Nggak ngerti. Takdir mungkin”. Sahut Sivia sekenanya.
“Vi, lo sakit?” Alvin mulai cemas. Tapi Sivia menggeleng dan tetap asik dengan HP-nya. “Ohya, lo ditanyain sama Pricila”.
“Pricila?”.
Via mengulang nama itu, seakan nama itu sosok asing yang kini tiba-tiba
muncul di kehidupannya. “Oh, Cewe lo. Aduh, gue lupa lagi naruh kartu
namanya. Gimana gue bisa kembaliin sandalnya”. Paniknya dan mulai
membongkar isi tasnya.
“Bukan
gitu Vi, nggak usah dibalikin katanya. Pricil pengen ketemu lo, bisa
ngobrol atau jalan bareng gitu kayak cewe-cewe kebanyakan lah”
“Oh gitu, iya boleh. Gue mau-mau aja. Gue minta pin nya”. Ujar Sivia dan meraih BB Alvin.
“Lagian
elo sih, pas itu udah tau higheelsnya udah mau lapuk, masih dipake
aja.” Alvin senyum-senyum penuh arti. “Ehem, pasti deh lo inget sama
yang ngasi kan?” Canda Alvin lagi. Karena memang benar higheels itu
pemberian Alvin sebelum Sivia pergi ke Eropa.
“Al, plis. Nggak ada yang lucu”. Kesal Sivia.
“Lucu dong, coba deh kalo nggak ada Pricila, lo pasti udah nyeker kan?” Alvin sumringah dan tertawa kecil.
Tapi
tidak bagi Sivia. Ucapan Alvin itu bagaikan ultimatum. Alvin
membanggakan Pricila. Oke nggak heran, mereka sepasang kekasih. “Iya
deh, Pricila cewe lo emang jadi malaikat gue saat itu”. Dengan garang
langsung melahap pesanannya yang baru datang.
“Kayaknya gue salah ngomong deh. Bego lo Al”. Alvin mencaci diri sendiri dalam hati.
Setelah
lumayan lama hening. Hanya terdengar dentingan garfu, serta sendok,
Alvin mencairkan suasana lagi. “Udah ke makam Gabriel?” Nada bicara
Alvin kini lebih serius.
Mendengar
nama itu, penghuni hatinya dulu, Sivia menatap Alvin dan menjawabnya
dengan anggukan. “Tepat setelah kita makan di Resto Bery. Pasti deh dia
lagi bahagia di sana ya, tenang, damai. Gue kangen, matanya, suaranya,
semuanya”. Sivia meletakkan garfu dan sendok kemudian menyeruput jus
strawberry yang baru dipesannya lagi. “Udahlah, gimanapun Kak Gabriel
abadi di hati gue, Sivia”. Ujar nya tulus disertai senyum. “Lo sendiri
gimana, pasti sering ke makam Gabriel ya?” Tanyanya balik.
“Gue
tau Vi, abang gue akan abadi selamanya di hati lo. Tapi apa hati lo
sepenuh itu buat Gabriel walaupun dia udah pergi?” Ungkap Alvin dalam
hatinya.
“Al,
denger gue nggak?” Tegur Sivia. “Eeh, iya. Hamper seminggu sekali”.
Sahut Alvin dengan cengiran. “Vi… mama sakit” Ujar Alvin pelan.
“Tante
sakit? Sakit apa Al? Trus gimana keadaannya sekarang?” Terlihat
kekhawatiran di wajah Sivia. Bagaimanapun juga, Ia sudah menganggap Mama
Alvin dan Gabriel seperti Mamanya sendiri.
“Tenang
Vi, sekarang Mama udah sehat. Maksud gue, Mama sakitnya sekitar setahun
lalu, gula darah Mama sempat tinggi dan dirawat di rumah sakit. Loe
inget Dokter John gak? Dokter yang nanganin Abang gue dan gue saat
peristiwa itu?” Sivia mengangguk, menanti kelanjutan cerita Alvin. “Dan
Dokter John juga yang ikut membantu kesembuhan Mama. Beliau adalah
Papanya Pricila, Vi.”
“Papanya
Pricila?” Ulang Sivia agak kaget. Alvin mengangguk. “Saat mama
dinyatakan sudah pulih, Dokter John serta Pricila diundang makan malam
di rumah, dari sana gue kenal dia. Nggak jarang Pricila main ke rumah
menemui Mama, karena Ia merindukan sosok Ibu, mamanya sudah tiada. Dan
seiring berjalannya waktu, gue sama Pricila deket, sering curhat tentang
orang yang masing-masing kita suka. Siapa sangka dari kedekatan kita
ada rasa saling mengagumi, maka dari itu…..”
“Maka
dari itu akhirnya kalian jadian kan?” Terka Sivia. “Nggak Vi, nggak ada
kata jadian antara gue sama dia, bahkan sama sekali gue nggak pernah
nembak dia atau sebaliknya. Hubungan kita ngalir gitu aja, sampai pada
akhirnya ortu kita mencetuskan kata Tunangan.”
“Tunangan??” Lagi-lagi Sivia terkaget.
“Iya.
Tinggal menghitung hari menuju hari H”. Ujar Alvin lemas sambil
menunduk. Kesempatan itu digunakan Sivia untuk menyeka butiran bening
yang entah mengapa tiba-tiba memaksa keluar agar tak terlihat sahabatnya
itu. “Kenapa Al?” Sivia menggenggam lembut tangan sahabat karibnya.
Alvin mendongak dan menatap Sivia seolah bertanya maksud pertanyaan
Sivia. “Kenapa lo lesu gitu? Katanya mau tunangan, yang semangat dong”
Seulas senyum tersungging di bibir Sivia dan tepat saat itu butiran
bening yang tadi sudah berhasil disingkirkan kali ini jatuh jua. Cepat
cepat Ia menyekanya lagi.
“Trus kenapa lo nangis Vi?”
“Gue..
gue terharu aja Al, nggak nyangka, lo yang dulu gue kira nggak akan
laku, ternyata udah mau tunangan, sama cewek cantik pula”
“Tapi Vi… sebenernya gue…” Alvin tak mampu melanjutkan kalimatnya. Tapi matanya berbicara.
“Tuhan. Mata ini lagi. Sorot matanya, isyarat matanya. Apa arti dari itu semua Tuhan” Batin Sivia meratap.
**********
Keke
menaiki tangga, dan berhenti di depan pintu kamar Kakak nya. Sudah dari
tadi Sivia tidak keluar kamar, semenjak tiba di rumah sehabis makan
dengan Alvin pukul setengah lima sore hingga kini jarumjam menunjuk
angka sembilan malam. Sudah tiga kali Ia mengetuk pintu kamar, namun tak
ada sahutan. Oke, Keke akan mencobanya kembali beberapa menit lagi.
Sementara,
di dalam kamar itu sendiri. Sivia masih dengan pakaian yang sama
digunakan bertemu Alvin tadi, menggeliatkan tubuhnya di atas kasur. Ia
sudah terpejam untuk beberapa jam, mungkin kelelahan. Sivia
membelalakkan matanya saat mendapati jarum jam menunjuk angka Sembilan,
karena sedikit ragu, Ia menyibak korden jendela pemisah balkon dengan
kamanya dan melihat hamparan langit yang sudah gelap bertabur bintang.
“Ya ampun, gue ketiduran”. Ujarnya seorang diri. Pikirannya kembali
teringat dengan pembicaraan Alvin beberapa jam lalu, kemudian teringat
akan sorot mata cowok itu. Sivia mulai menerka, apa mata itu
mengisyaratkan suatu kebahagian atas proses kedewasaan status yang akan
dijalaninya nanti bersama Pricila. “Bukan. Bukan itu”. Elaknya dalam hati.
“Auw”
Rintih Sivia sambil memegangi perutnya. Organ di dalam perut itu, mulai
menagih pasokan pangan untuk dicerna. Tanpa, pikir panjang, Sivia
menuju dapur dan memasak pasta.
**********
Keke menggelengkan kepalanya pertanda geli melihat Kakak gadisnya itu begitu lahap menikmati seporsi pasta di meja makan.
“Si kakak mah, kalo laper baru keluar kamar. Keke udah berkali-kali ngetuk pintu” Protes Keke duduk di kursi sebelah Kakaknya.
“Sorry Ke, kakak ketiduran tadi. Capek banget, ini juga belum mandi. Mama Papa belum dateng ya?”
“Katanya besok pagi Kak, tadi udah telpon. Trus gimana kak tadi ngedatenya?” Tanya Keke ingin tahu.
“Nggak
ngedate Ke. Ternyata Alvin Cuma mau bilang kalo dia sama Pricila mau
tunangan. Itu aja sih intinya dia ngajakin Kakak jalan” Sivia menyahut
lesu.
“Tunangan?
Serius Kak? Buru-buru amet?” Kaget Keke. Sivia mengangkat bahunya
sebagai jawaban. “Trus, tadi Kak Via dapet ngerasa nggak? Tatapan mata
yang beda dari Kak Alvin?” Goda Keke.
“Iya
Ke. Tatapan itu beda karena di mata Alvin ada kornea Kak Gabriel. Dan
Kakak rindu tatapan itu, pancaran mata itu yang selalu tersirat kasih
sayang. I miss that moment”
“Kakak, sabar ya. Secepatnya kakak dapet kasih sayang itu lagi walaupun dari orang yang berbeda”
“Makasih
Ke. Sini peluk, huhu…” Pelukan antara kakak beradik berlangsung hangat
di malam dingin saat itu. “Yaudah lanjut tidur lagi yuk. Malem sistaa”
“Lho? Nggak mandi Kak?”
“Besok aja sekalian dek, nanggung. Bahahahaha…”
**********
Keringat
dingin terus membasahi pelipis Alvin. Tak jarang Ia beringsut di
ranjang tempat tidurnya. Isi otaknya berkutat ke saat makan bersama
Sivia tadi, walaupun matanya terpejam. Apa benar langkah yang
diambilnya? Mengapa semua terasa berat untuk menjalani pertunangan yang
sudah direncanakan matang ketika kembali melihat mata nya, mata gadis
yang menjadi sahabatnya, Sivia.
“Gab,
maaf. Gue nggak becus jagain Via lo seperti yang lo minta. Ditambah
lagi gue akan tunangan. Maaf Kak. Andai ada jalan keluar yang tanpa
menyakiti hati siapapun”
“Lo
nggak salah Vin. Gue udah lihat semua yang lo lakuin ke Via. Lo udah
kasih perhatian lebih ke dia, lebih dari yang gue kira, lebih dari yang
gue pernah berikan, dan lo udah ngelakuin itu dari dulu. Saran gue,
sebelum semua terlambat, pikirkan baik-baik, ucapkan dan laksanakan.
Perjuangkan cinta lo, Vin. Dan itu hanya untuk Via kan? Kelak nanti, gue
nggak ingin lihat pancaran mata lo yang sedih akibat salah langkah, gue
nggak ingin ada mata yang selalu tergenang air mata, gue nggak mau mata
gadis gue ikut menangis menanti harapan kosong. Lo boleh nggak percaya
gue, tapi percaya sama hati lo Vin, hati kecil elo udah berkoar menjerit
kalo Via punya rasa yang sama seperti yang lo rasain. Gue harap lo
nggak lupa Vin, kornea yang gue donorkan untuk kebaikan lo dan semua
orang yang gue sayang. Jadi selagi lo mampu, lakukan yang terbaik. Lo
bisa Vin, bisa, pasti bisa…..”
“Gabrielll………”
Hanya mimpi. Alvin terjaga dari tidurnya. Keringat dingin semakin
membasahi sekujur tubuhnya. “Maaf Gab” Lirih Alvin.
**********
“Mamaa..,
kenapa nggak kabarin sih kalo tante Lia sempet dirawat di rumah sakit?”
Sivia mencak-mencak menemui Mama nya di ruang tamu yang sedang asyik
berdiskusi dengan Papa nya dan Keke masalah Universitas yang akan
dipilih adik angkatnya itu.
“Via, pagi-pagi gini anak gadis kok mencak-mencak sih” Tegur Anto, Papanya.
“Abis, ngeselin. Kayaknya Via nggak dianggep gitu.”
“Yaudah
Mama sama Papa minta maaf sayang, kita sengaja, biar kamu nggak ikutan
cemas. Toh kamu udah tau, dari Alvin kan?” Sang Mama membelai rambut
gadisnya yang lagi pasang muka manyun. “Kalau Via mau, sekarang Mama
temenin main ke rumah tante Lia yok. Tante juga nanyain kabar kamu,
katanya kangen sama mantan calon menantu”
“Beuh, emang maunya Kak Via tuh biar diajak main ke rumah Kak Alvin.”
“Keke nggak mulai plisss…”
**********
Sivia
melempar pandangan ke setiap sudut ruangan. Entah kapan terakhir dia ke
sini. Di sini, di tempat ini dapat dikatakan menjadi saksi biksu
kebersamaannya dengan Gabriel. Iya. Kali ini Sivia dan Mama mengunjungi
kediaman keluarga Alm. Gabriel yang memang terletak tak jauh dari rumah.
“Sivia…
Yampun gimana kabarmu nak?” Lia menyambut hangat kedatangan Sivia dan
Mama bahkan tak ragu untuk memeluknya. “Baik kok tante, sehat. Kata
Alvin tante sempet dirawat di rumah sakit ya?”
“Oh
itu, udah lama. Sekarang udah sehat lagi. Silahkan duduk dulu” Ujar Lia
ramah. “Bik Santi tolong buatkan minum buat Sivia dan Bu Indah ya”
Perintahnya. “Baik bu”.
“Sivia
kesal karena tidak diberitahu kalo Calon mertuanya dulu sempet masuk
rumah sakit, makanya saya temenin main ke sini Bu” Mama Sivia mulai
berguyon. “Mamaa” rajuk Sivia menahan malu.
“Haha…
Mama kamu bisa saja Vi. Alvin pun sengaja tante minta agar tidak
memberitahumu. Takut kalau kamu cemas seperti sekarang ini kan. Sivia
dari dulu anak yang perhatian ya, andai kamu bisa jadi menantu tante.
Sayangnya Gabriel sudah pergi” Ujar Lia penuh harap. DEGH! “Menantu?” ulang Sivia dalam hati.
“Mamaa, Alvin pulang” Jerit suara itu jelas terdengar seisi ruangan. “Iya Alvin. Eh sama Nak Pricila juga?”
Mendengar
nama itu. Sivia menoleh dan benar memang melihat Alvin bersama calon
tunangannya bahkan tangan Pricila masih betah mengait di lengan Alvin.
Dan seketika Alvin menjauhkan tangan calon tunangannya itu.
**********
Mereka
membiarkan masing-masing kaki mereka terendam dalam genangan bening air
kolam. Menyebabkan kolam renang yang terletak di halaman belakang rumah
Alvin itu ada beriaknya. Ini bukan pertemuan mereka yang pertama kali,
namun tetap masih terasa canggung antara dua gadis menawan ini.
“Aku
lihat, hubungan kamu sama Alvin deket banget ya, orangtua kalian pun
sangat akrab satu sama lain” Ujar Pricila pada gadis di sebelahnya.
Sivia
tertawa kecil menanggapi itu. “Kebetulan rumah kita juga berdekatan”
Sahut Sivia tenang, setenang langit siang itu. Tak terlihat banyak awan
yang menemani. “Gimana persiapan pertunangannya Pricil?” Tanya Sivia
pelan tetap menikmati air kolam.
“Alvin
udah kasih kabar ya? Yaa..hampir sempurna, tinggal menunggu waktu. Kamu
dan keluarga udah diundang Alvin kan, dateng ya”. Sivia mengangguk
kecil.
Hening
lagi. Dalam keheningan itu, di balik jendela ruang tengah seorang cowok
dengan kedilemaannya mematung, dan hanya dapat memandangi punggung
kedua gadis yang sangat berpengaruh dalam hidupnya.
“Pasti
kamu lagi bahagia menanti hari itu”. Perkataan Sivia diiringi seulas
senyum seolah ikut merasakan kebahagiaan yang dimaksud. “Apa kamu juga
bahagia?” Pricila melempar pernyataan serupa.
“Aku?”
Sivia menunjuk batang hidungnya. Tak percaya, menganggap pertanyaan
Pricila yang aneh. “I..iya. Pasti. Sahabat aku dan temen aku mau
tunangan. Bukan hal yang menyedihkan kan?”
“Kamu
tidak takut kehilangan dia?” Sivia mulai terlihat tak nyaman dengan
pertanyaan Pricila yang menjurus. “Alvin nggak akan pernah hilang, dia
tetep sahabat aku sampai kapanpun, jadi dia akan selalu ada setiap aku
butuh” Jawab Sivia lugas setelah sempat memutar otak mencari jawaban.
“Sebagai
tunangannya nanti pun, pasti aku juga akan membutuhkannya setiap
waktu”. Entah mengapa kalimat itu bagai dentuman sebuah gong yang
menandakan Sivia dan Alvin harus menjauh. “Vi, apa kamu mencintai
Alvin?”. SKAK. Kenapa pertanyaan ini justru datang dari orang baru yang
akan segera resmi menjadi calon pendamping Alvin.
“A…aku… Alvin, dia…”
“Hei
cewek-cewek cantik. Ngobrolin apa sih serius amat?” Sergah Alvin
tiba-tiba mengambil posisi di antara kedua gadis itu. “Salad buah isi
keju tanpa pepaya favorit lo kan Vi, wajib diterima, Bik Santi yang
buatin special buat nona Via katanya”
“Iya,
makasih Al, bilangin ke Bik Santi juga” Sivia menerimanya agak kikuk
merasa tak enak sendiri dengan Pricila. Alvin melakukan hal yang salah,
pacarnya Pricila bukan dirinya.
**********
Hari
pertunangan yang biasanya dinanti dan dinanti sepasang kekasih, tapi
menjadi hari yang sangat ingin dihindari Alvin jika mungkin dilakukan.
Dan hari yang dihindari itu justru terasa datang lebih cepat. Bak roket
melesat kilat.
“Alvin,
Papa sama Mama mau ke hotel, survey tempat pertunangan kamu, takutnya
besok ada yang kurang. Kalau mata kuliah kamu sudah selesai, susulin
kita ya”
“Ya
Pa…” Sahut Alvin ogah-ogahan. Ketahuilah posisinya kali ini masih
dibalik selimut, tanpa baju hanya menggunakan celana pendek rambut
acak-acakan. Singkatnya belum beranjak dari tempat tidur.
“Alvin,
Alvin. Semoga Pricila nggak ilfil kalau tau kamu seperti ini”. Ungkap
Papa heran melihat kelakuan anaknya. “Bodo amat Pa”
Frans
dan Lia beranjak dari kamarnya dengan keheranan. Putra mereka cuek
sekali. Dan Lia memberanikan diri membahas suatu kejanggalan yang
dirasakannya pada Sang suami di dalam mobil. “Pa, sepertinya Alvin tidak
sreg dengan pertunangan ini. Apa tidak sebaiknya kita bicarakan lagi?”
Ungkap Lia.
“Papa juga merasa begitu. Tapi apa penyebabnya coba? Pricila anak yang baik dan cantik pula, Alvin beruntung”
“Entah
Pa. Alvin anak Mama, Mama tau betul bagaimana dia. Mama dapat merasakan
cinta dan melihat cinta di matanya, hanya saat… saat dia bersama
Sivia”. Sesaat Frans menoleh ke arah wanita di sebelah nya. Dan kembali
konsentrasi mengendarai mobil.
**********
Halaman
demi halaman dibuka perlahan oleh gadis yang terlahir dengan vocal
indah ini. Halaman yang dipenuhi rekaman gambar kenangan masa lalu. Ada
dirinya sendiri, kekasih yang telah pergi dan sahabatnya. Sivia, sedang
membuka memori dalam album kenangan. Kebahagiaan begitu terasa di setiap
rekaman gambar itu. Tiba-tiba matanya tertuju pada sebuah gambar yang
baru disadari ada di albumnya. Bahkan Ia tak ingat kapan gambar ini
diambil. Yang jelas rekaman gambar itu mendeskripsikan suasana kelas
yang tidak ada guru saat SMA. Semua penghuni kelas terlihat asyik
bercanda tawa layaknya anak SMA. Begitupun dirinya sendiri tampak dengan
ekspresi heboh berbincang dengan Alvin. Sementara Alvin menatap lekat
gadis yang saat itu bercerita dengan ekspresifnya.
Jantung Sivia berpacu. “Tatapan itu lagi” batinnya. Jari
jemarinya mengusap pelan sosok Alvin di gambar itu. “Tapi foto ini
sebelum Alvin buta, sebelum Kak Gabriel mendonorkan kornea nya. Kenapa
tatapan itu udah ada?” Ujarnya seorang diri.
“Cinta”
Sivia menoleh, Keke sudah duduk manis di sebelahnya dan ikut memandangi
gambar di balik jemari Kakaknya. “Bukan karena kornea Kak Gabriel ada
di mata Kak Alvin, tapi cinta” Keke meraih tangan Kakaknya dan
menempelkantepat di dada Sivia. “Terasa kan Kak?” Sivia tak menyahut.
Tapi Ia paham maksud adik angkatnya itu, dan merasakan detak jantung
yang berdegup lebih cepat dari normal. “Tatapan mata itu, udah ada sejak
dulu jauh sebelum kornea Kak Gabriel bertengger di mata Kak Alvin.
Tatapan itu udah berbicara dari dulu. Tatapan itu isyarat mata Kak
Alvin, tentang rasa cinta untuk Kakak. Aku nggak tau kenapa Kak Via
sulit menyadarinya. Yang terpenting sekarang, ungkapkan Kak, kalo Kak
Via juga merasakannya” Keke berargumen.
Sivia
memeluk erat adiknya itu. Air matanya pun menetes. “Terlambat Ke. Kak
Alvin udah mau tunangan”. Tanpa ragu, Keke membalas pelukan Kakaknya,
tanpa komentar lebih lanjut.
**********
Frans
dan Lia memandangi putranya yang tertidur lelap. Nampaknya Alvin begitu
kelelahan seharian ini mempersiapkan untuk hari esok. Perlahan Lia
membenahi selimut yang membalut tubuh Alvin. Ketika itu, tak sengaja
tangan wanita itu menyentuh sebuah benda. Sebuah frame kecil ternyata.
Dan
sesaat Lia tertegun melihat sosok di frame tersebut. “Pa…” Lia
memperlihatkan frame itu pada Frans. Ada keakraban antara Sivia dan
Alvin terlukis di foto tersebut ketika masih menggunakan seragam putih
abu abu.
**********
Pagelaran
pesta cocok digelar hari ini. Karena cuaca sangat mendukung. Seperti
yang sudah direncakan sebelumnya, hari ini pertunangan Alvin dan
Pricila. Kedua keluarga sibuk mempersiapkan diri. Kesibukan sudah terasa
semenjak pagi tadi. Telpon rumah berdering tiap selang beberapa menit.
Beberapa dari teman-teman Alvin dari masa sekolah hingga universitas dan
beberapa ada dari rekan Papa ataupun Mamanya. Sebagian ada yang
mengucapkan ‘selamat’ lebih awal, sebagian ada yang minta maaf karena
tidak bisa hadir.
Alvin
memerhatikan dirinya di cermin, stelan kemeja serta jas yang dipakai
sangat pas di badan. Tapi raut wajah itu nampaknya kurang puas, ada
sesuatu yang kurang.
“Akan lebih tampan kalau senyum dikit Vin.”
“Mamaa…” Rajuk Alvin dan akhirnya senyum itu mengembang.
“Kamu bahagia Nak?” Tanya Papa. Alvin terdiam. Apakah ini saatnya Ia mengatakan perasaan yang sebenarnya sebelum terlambat. “Nggak boleh kecewain Papa” Batinnya.
“Tentu Pa, Alvin bahagia”
“Papa harap itu sejalan dengan kata hati kamu. Kalau udah siap, ayo kita berangkat”
“Tapi Pa…” Alvin mencegah. “Kita ke makam Kak Gabriel dulu ya”
**********
Sivia
mematut bayangannya di cermin. Dress putih sederhana menjadi elegan
saat dikenakan di badannya. Rambutnya yang sebahu dibiarkan tergerai
anggun.
“Cantik Kak.” Puji Keke. Ia hadir bersama Mama dan Papa angkatnya.
“Keke emang paling bisa. Kamu juga cantik, Mama juga, Papa juga nggak kalah tampan” Senyum Sivia tersungging di bibir.
“Tapi tampannya Papa nggak bisa kalahin Alvin toh?” Celetuk Sang Papa tanpa diduga putrinya.
“Papaa apaan sih”. Perpaduan tawa terdengar kompak dari Sang Papa sendiri dan Keke melihat Sivia yang salah tingkah.
“Sudah-sudah. Karena semua sudah siap, mari kita berangkat” Ajak Sang Mama.
“Tapi kita ke makam Kak Gabriel dulu ya” Pinta Sivia.
**********
Mama
serta Papanya sudah kembali sekitar lima belas menit yang lalu,
sementara Alvin masih betah bermonolog ria di sebelah makam Kaka
tersayang. “Kalau keajaiban nggak dateng ke gue, gue minta maaf ke elo
Gab. Nggak bisa jagain Via seutuhnya. Udah dulu ya Kak, gue balik.”
Alvin beranjak. Dapat Ia rasakan Kakaknya telah menjawab permintaan
maafnya melalui isyarat matanya sendiri yang tiba-tiba meneteskan air
mata.
**********
Sivia
ditemani keluarga berziarah ke makam Gabriel. Diletakkannya setangkai
mawar putih. Melihat ada sebuket mawar putih juga di dekat nisan yang
masih segar, Sivia yakin baru saja ada yang berziarah juga. Siapa lagi
kalau bukan Alvin dan keluarga, pikirnya.
“Kak
Gabriel, kita mau ke pertunangan Alvin. Kakak pasti udah tau kan.”
Sivia menarik napas panjang. Berusaha keras menahan air matanya namun
gagal. Segera Keke memberikan sehelai tissue. Kalau di sana kakak
bertanya kenapa aku malah nangis, jawabannya karena haru dan sedih. Via
yakin kakak udah tau alasannya. Maaf kak, aku nggak tau kenapa rasa ini
juga hadir buat adik kakak. Kakak jangan marah ya, tapi kakak tetep
abadi di hati aku. I miss you”
Kepergian
Sivia dan keluarga meninggalkan makam diiringi hembusan angin yang
hangat merasuk kalbu. Menyatu dengan aliran darah senada seirama dengan
detak nadi. Mengeringkan air mata gadis itu.
**********
Event
organizer di acara pertunangan Alvin Pricila nampaknya bekerja
maksimal. Pesta terkesan sederhana namun glamour. Dekorasinya pun nyaman
di pandang mata . Sajian hidangan dengan waitress yang ramah.
Sivia
dan keluarga menemui pasangan yang mungkin sedang berbahagia hari ini
untuk memberikan selamat. Hati Sivia tak bisa mengelak. Alvin tampil
sempurna. Tampan. “Congrats Al. Lo the best deh kalo urusan milih cewek.
Pricil selamat ya, kalian serasi” Sivia menyalami pasangan itu, diikuti
Keke, Papa dan Mamanya.
“Makasih Vi. Enjoy Party nya ya” Ujar Pricila.
Karena
Orangtuanya serta Keke memilih bergabung berbincang dengan orang tua
Alvin layaknya orang dewasa, daripada harus merasa perih lagi berdiam di
dekat pasangan itu, maka Sivia lebih memilih berbaur ke sekumpulan
orang-orang yang dikenalinya sebagai teman semasa SMA, teman Alvin
temannya juga. Ternyata acara ini bisa dijadikan ajang reuni. Sivia
kembali menyemangati diri sendiri. Inilah yang terbaik untuknya dan
Alvin. Semua sudah diatur Tuhan. Maka dipasangnya senyum ramah penuh
kebahagiaan palsu saat menemui teman-temannya itu.
Tegur
sapa dan basa-basi layaknya orang yang sudah lama tak jumpa. Atau
bahkan mengenang masa-masa SMA. Sedikitnya mampu menutupi kebahagiaan
palsu gadis beralis tebal itu. “Vi, lo kapan susul Alvin, kita tunggu
undangannya” Celetuk salah seorang teman ceweknya.
“Iya-iya. Kalian semua gue undang. Tenang aja” Ucap Sivia enteng.
“Padahal
gue kira dulu Alvin cintanya sama lo Vi. Ternyata meleset ya hihi..”
Ujar salah seorang yang dulunya Ketua Osis SMA. Sivia tak menanggapi,
atau lebih tepatnya malas menanggapi.
“Vi,
denger-denger lo punya adik angkat ya? Kenalin boleh kali. Kali aja
klop gitu sama gue. Hehee…” Ujar seorang cowok. Yang mendapat sorakan
tak setuju dari yang lainnya.
“Bisa aja lo. Iya bener, namanya Keke. Bentar ya gue cariin” Sahut Sivia.
**********
Sudah
lumayan lama Sivia berputar mencari Keke. Kata Mama Papa Ia permisi ke
toilet. Sudah ke toilet pun dicari tetap tidak ditemukan. Saat Ia
menoleh ke luar jendela di ruangan hotel, sesaat Ia tertegun mendapati
pemandangan yang memanjakan mata. Suasana pantai saat malam hari. Baru
disadari hotel ini bersebelahan dengan pantai. Ombaknya tetap
berlomba-lomba menuju tepi dan kembali ke menyurut ke laut dan
berulangkali. Itu menjadi magnet baginya untuk lebih dekat menikmati.
Higheels
nya dilepas dan dibiarkan di genggamannya, agar dapat merasakan
langsung nuansa pantai dengan menyentuhkan kaki ke pasir putihnya.
Tiba-tiba hapenya bergetar menandakan ada pesan singkat. “Kak. Kata mama
papa Kak Via nyariin Keke ya? Keke udah balik ke ballroom, tadi pas ke
toilet nyasar soalnya. Hehe… maaf”
Ia
menggerutu dalam hati. Baru menikmati kedamaian sesaat. Sangat enggan
Ia kembali ke ruangan itu. Tapi apa boleh buat, takutnya justru Ia yang
dicariin. Akhirnya Sivia memutuskan untuk beranjak. Tapi…
“Jangan
pergi.” Cowok itu. Alvin. Udah kayak jin tiba-tiba dateng. Bahkan
menggenggam tangan Sivia. “Lepas Al, gue mau ke dalem” Rajuk Sivia
menghempaskan tangan Alvin.
Namun
tetap Sivia tak dapat beranjak. Karena kini tubuhnya sudah dikunci
rapat di dekapan Alvin. Sivia tak dapat memberontak, tapi Ia juga tak
membalas pelukan itu. Yang hanya bisa Ia lakukan. Menikmati pelukan
hangat dari cowok ini, menikmati degup jantungnya. “Lepasin Al” Akhirnya
Sivia berani memberontak, tapi belum berani menatap cowok itu. “Via…”
Lirih Alvin. Mengangkat pelan dagu lancip gadis di hadapannya,
memaksanya untuk membalas tatapan yang Ia berikan.
“I
love you” Ungkap Alvin akhirnya. Mengeratkan jemarinya di sela-sela
jemari Via. High heels yang digenggam Via pun terjatuh. Dan menegaskan
kalimat ‘I love you’ tadi dengan kecupan lembut bibirnya tepat di bibir
gadis itu. Sama seperti pelukan yang didapatnya, Sivia tak dapat
memberontak perlakuan Alvin ini untuk beberapa detik. Air matanya mulai
berlinang. Saat merasa susah menghirup udara. Sivia mendorong tubuh
cowok berparas oriental di depannya itu.
“Kenapa
Al?!! Kenapa lo lakuin ini baru sekarang?!! Kenapa lo ungkapinnya
sekarang?!! Saat lo udah mau terikat dalam suatu hubungan!!” Unek-unek
yang disumbat sebongkah persahabatan yang padat, kini meledak
sejadi-jadinya.
“Karena gue pikir, hati lo udah penuh buat Gabriel. Dan dia tetap abadi di hati lo kan” Singkat Alvin.
“Iya.
Dia abadi di hati gue Al! Tapi cinta gue nggak abadi buat Kak Gabriel?
Lo nggak tau gimana rasanya kehilangan sosok Alvin selama 3 tahun di
Eropa, yang selalu jadi pelipur lara. Lo nggak tau gimana kecewanya gue
saat tau lo punya cewek. Lo nggak ngerti gimana susahnya gue terjebak
sama teka-teki yang tercipta dari setiap tatapan mata lo Al! Lo nggak
ngertiii….” Menangis dan menangis. Kembali Alvin mendekap gadis pilu di
hadapannya.
“Nangis
sepuas lo. Gue yang salah, terlalu pengecut ngungkapin perasaan gue.
Takut persahabatan kita jadi nggak nyaman. Maaf” Sebuah kecupan lembut
di kening oleh Alvin. Sivia membersihkan matanya yang masih basah.
Kemudian memundurkan langkahnya menjauhi Alvin. “Love you too Al”
Ucapnya segera berbalik dan pergi.
“PRICILA?”
Alvin kaget bukan main. Sosok itu sudah berdiri tak jauh dari
tempatnya. “Cil, sejak kapan kamu di sini?” Tanya Alvin gugup.
“Entah.
Yang jelas cukup bagi aku tau, penafsiran aku benar. Jauh di hati kamu
dan dia, menganggap satu sama lain lebih dari sahabat” Pricila berkata
tenang.
“Maaf” Hanya satu kata yang mampu dilontarkan Alvin saat ini. “Terserah keputusan kamu sekarang.” Serah Alvin menunduk lesu.
“Kamu
kira aku akan ngebatalin acara pertunangan? Salah Vin. Pertunangan
tetap berjalan. Sebaiknya segera kamu ke dalam” Tandas Pricila.
Kesedihan tak terpancar di wajahnya.
**********
Di
podium sudah berdiri sepasang sejoli. Dan seorang gadis anggun
membawakan sebuah kotak cincin. Seorang MC sudah mempersilahkan acara
tukar pasang cincin dimulai. Tapi sebelumnya Pricila memberikan beberapa
patah kata. “Aku ingat seorang berkata padaku, bahwa pertunangan
sahabat bukan acara yang menyedihkan”. Ujarnya.
Sivia
memperhatikan Pricila lekat. Kalimat itu dipetik dari ucapannya tempo
hari. “Dan setau aku. Pertunangan itu moment bahagia antara dua orang
yang saling mencintai. Itu artinya, aku kurang pas berdiri di sini, di
samping Alvin”. Kasak kusuk mulai terdengar riuh memenuhi ruangan. Tak
paham dengan yang dimaksud Pricila. “Dengan hormat, aku, Pricila minta
maaf sebelumnya. Sebenarnya tak ada cinta antara aku sama Alvin. Kata
jadian pun tak pernah terdengar antara kami. Kita hanya mengagumi satu
sama lain, dan hubungan dekat yang terjalin antara orangtua kita.”
Suasana kembali hening. Semua mata tertuju pada Pricila. “Cil, kamu
ngapain?” Tanya Alvin setengah berbisik.
Tak
memperdulikan perkataan Alvin, Pricila melanjutkan bicara. “Sering aku
lihat tatapan sarat akan cinta dari mata Alvin. Bukan untuk aku,
melainkan untuk seorang gadis. Yang memiliki pengaruh besar di hidup
Alvin”
Keke mengeratkan genggaman tangan kakaknya. Dan merasakan keringat dingin di telapak tangan yang basah itu.
“Sempat
aku ingin membatalkan pertunangan, tapi aku urungkan. Karena aku yakin,
melalui pertunangan ini, dalam keadaan terdesak apapun bisa terjadi.
Ternyata benar, seperti yang aku saksikan beberapa menit lalu, debur
ombak yang menjadi saksinya, akhirnya Alvin mengakui perasaannya ke
gadis itu, gadis yang sebenarnya Ia sangat cintai. Rencana aku berhasil”
Suasana riuh lagi. “Pertunangan akan tetap berjalan, tapi bukan aku dan
Alvin. Melainkan Alvin dan cinta sebenarnya, Sivia” Pricila
mengungkapnya dengan senyum tulus. Ia menggandeng tangan Alvin menuju
tempat di mana Sivia berdiri.
“Kalian
yang lebih tepat melakukan tukar pasang cincin. Ayo” Pinta Pricila
seraya menyodorkan kotak cincin itu. Tanpa ragu dan sangat yakin Alvin
meraih jemari Sivia dan memasangkan cincin di jari manisnya begitupun
sebaliknya. Diakhiri pelukan kelegaan dan disambut tepuk tangan meriah
penuh haru menyaksikan drama kecil.
“Mungkin
ada sesuatu yang bisa kita lakuin untuk membalas ini semua Cil” Sivia
dan Alvin memeluk seorang gadis yang menjadi hero bagi perasaan mereka.
“Cukup dengan kalian langgeng aja” Sahutnya tenang dan bijak.
**********
Semua
mengulang ucapan selamat atas pertunangan. Karena pasangannya telah
berubah, ke pasangan yang sebenarnya. Tak lupa orangtua mereka. Ikut
merasa lega, yang sebenarnya pun jauh di dalam hati merasa cemas akan
keputusan yang diambil sebelumnya.
“Papa
bangga Vin, kamu mengungkapkannya juga” Ucap Frans menepuk pundak
putranya. “Dan sepertinya keinginan Mama agar Sivia menjadi menantu akan
terkabul”. “Mamaaa.. jauh amet pikirannya”. “Hahahaha……” Gelak tawa
terdengar, menyatu dengan suasana malam yang hangat dan semakin larut.
**********
Alvin
dan Sivia melepas lelah tiduran di atas rumput taman kompleks rumah
mereka setelah seharian jalan-jalan bersepeda. Alvin pake acara bolos
kuliah dan Sivia mangkal dari praktek di rumah sakit sebagai Dokter
Psikologi. Demi merasakan kembali suasana bersepeda seperti beberapa
tahun lalu. Bedanya saat itu Alvin masih samar-samar mengucapkan kata ‘I
Love You’. Tapi sekarang…
“Vi, langit nya lagi cerah. Banyak bintangnya”
“Iya. Kalau yang paling terang itu bintangnya Kak Gabriel”. Ucapnya seraya menunjuk satu bintang.
“Abang gue yang satu itu, punya jurus apa sih sampe-sampe awet abadi di hati lo? Heran deh”
“Cie yang cemburu. Kayak anak kecil lo. Udah mahasiswa juga”
“Makanya lo bilang sayang sama gue kek, atau cinta atau apalah biar gue nggak cemburu lagi”
“Mmm…
apa ya? Oke deh. I Just wanna say, I…love…your eye cues” Cup! Seusai
berkata, Sivia mengecup pipi Alvin kilat dan meninggalkannya.
“Via.
Love you too” Alvin berujar malu-malu sambil memegangi pipinya. “Thanks
Kak Gab, lo bisa tenang sekarang. Gue akan jagain Via seutuhnya.”
**********
If you are not sure about one's feelings to you. Face to eye. And find the cue behind it. Because nothing is more honest than the heart and eyes.
**********
THE END
Tidak ada komentar:
Posting Komentar