TAKSI yang ditumpangi Rio berhenti di seberang gedung apartemen tua
bertingkat dua di pinggiran kota Tokyo.
“Di sinikah tempatnya?” tanya Rio kepada si sopir taksi dengan bahasa
Jepang yang terdengar agak payah dan terpatah-patah. Tetapi setidaknya si sopir
taksi mengerti dan ia mengangguk sebagai jawaban.
“Tunggu sebentar,” kata Rio kepada si sopir. Lalu menggerakkan tangan
untuk memperjelas maksudnya. “Tunggu sebentar di sini. Oke?”
Si sopir mengangguk-angguk dan memberi tanda oke dengan tangannya.
Rio keluar dari taksi dan memandang berkeliling, sebelah tangannya
terangkat ke mata untuk menahan sinar matahari. Daerah ini cukup sunyi, namun
bukan sunyi yang menakutkan. Rasanya seperti sunyi yang menenangkan. Ia
menunduk ke arah kertas lusuh di tangannya. Lusuh karena sudah sering dibuka
untuk dibaca lalu dilipat kembali. Kalau alamat yang diberikan Chris memang
benar, maka inilah gedung apartemen tempat tinggal Ify. Dan yang harus
Rio lakukan sekarang adalah mencari apartemen bernomor 202 dan
mengetuknya.
Rio baru hendak menyeberangi jalan ketika sesuatu menangkap
perhatiannya. Dari seberang jalan ia bisa melihat seorang wanita keluar dari
apartemen di lantai dua. Dan jantung Rio seolah-olah berhenti berdetak sesaat
ketika ia mengenali wanita itu.
Ify. Itu Ify.
Mata Rio tidak terlepas dari sosok Ify yang sedang menuruni tangga
batu di gedung apartemen itu. Rio begitu terpaku sampai butuh beberapa detik
baginya untuk menyadari bahwa ada seorang laki-laki yang menuruni tangga
bersama Ify.
Rio menyipitkan mata untuk melihat lebih jelas. Siapa laki-laki itu? Apa
hubungannya dengan Ify? Apa...?
Namun pertanyaan berikutnya tidak sempat terpikirkan oleh Rio karena
pada saat itu Ify dan laki-laki itu sudah tiba di lantai dasar dan Rio bisa
melihat Ify sedang tersenyum.
Tersenyum kepada laki-laki di sampingnya. Senyum yang tidak pernah dilihat
Rio sebelumnya. Orang-orang yang melihat senyum seperti itu tidak mungkin
salah mengartikannya. Senyum itu berarti... Oh, sialan. Sekarang laki-laki itu
mengatakan sesuatu yang membuat senyum Ify melebar, lalu tertawa.
Rio langsung merasakan sesuatu menghunjam jantungnya dan kakinya
seolah-olah tertancap ke tanah tempatnya berdiri. Ia tidak bisa bergerak. Seluruh
tubuhnya terasa membatu. Berat.
Ify sama sekali tidak menyadari keberadaan Rio di seberang jalan. Ia dan
laki-laki itu berjalan meninggalkan gedung apartemen dan mulai berjalan
menyusuri jalan, menjauhi Rio. Lalu Rio melihat laki-laki itu mengulurkan
tangan dan menggandeng tangan Ify seolah-olah ia berhak melakukannya.
Seolah-olah ia memberikan pernyataan kepada dunia bahwa Ify adalah
miliknya.
Dan Ify sama sekali tidak menarik kembali tangannya. Ify membiarkan
laki-laki itu menggenggam tangannya. Mereka berdua terlihat sangat gembira dan
santai, seolah-olah mereka sudah sering melakukannya dan terbiasa melakukannya.
Rio tiba-tiba merasa sulit bernapas. Ia hampir yakin ada yang salah dengan
dirinya. Debar jantungnya tidak beraturan, dadanya mendadak terasa sangat, sangat
sakit. Dan nyeri. Ia terpaksa harus berpegangan pada taksi di sampingnya supaya ia
tidak jatuh terduduk di tanah. Dan di atas segalanya, ia merasakan desakan besar
untuk melukai seseorang. Terutama laki-laki yang berjalan bersama Ify tadi.
Laki-laki yang menggandeng tangan Ify dan tersenyum pada Ify itu.
Oh, sialan...
Dalam kondisi setengah sadar, Rio masuk kembali ke taksi dan duduk
bersandar dengan mata terpejam. Seharusnya ia merasa senang. Ify terlihat baik.
Ify terlihat sehat. Ify terlihat gembira. Ify terlihat bahagia. Ya,
seharusnya Rio merasa senang dengan itu. Bukankah ia memang ingin melihat
Ify baik-baik saja? Bukankah ia memang ingin melihat Ify bahagia?
Tentu saja. Tentu saja, tapi...
Rasa sakit di dadanya semakin menjadi-jadi dan Rio meringis.
Ia memang ingin melihat Ify bahagia, tetapi ia ingin Ify bahagia
bersamanya. Hanya bersamanya.
Apakah ia sudah menunggu terlalu lama? Apakah dua tahun terlalu lama?
Apakah keputusannya untuk menunggu dua tahun telah membuatnya kehilangan
Ify?
Apa yang harus dilakukannya sekarang?
Apa yang bisa dilakukannya sekarang?
*******
“AKU tidak tahu ternyata kau bisa berbahasa Korea, Ify.”
Ify tersenyum mendengar komentar Febby rastanty. “Hanya sedikit-sedikit,”
katanya merendah.
Ketika Ify pertama kali tiba di lokasi pemotretan, ia harus mengakui bahwa
perutnya terasa mual karena sangat gugup. Sejuta pertanyaan berkelebat dalam
benaknya. Apa yang diketahui kakak perempuan Rio itu tentang Ify? Seperti
apa Febby rastanty? Apakah Ify bisa bertanya tentang Mario stevano? Dan kalau bisa, apa
yang harus ditanyakannya?
Namun ketika ia akhirnya bertemu dengan Febby rastanty, Ify merasa kegugupannya
menguap sedikit. Febby rastanty menatapnya dengan mata berkilat-kilat senang dan
Ify yakin wanita itu tidak tahu apa-apa tentang masa lalunya.
Wajah Febby rastanty sama sekali tidak mirip Mario stevano, tetapi ada beberapa kemiripan
yang jelas di antara kedua kakak-beradik itu. Misalnya senyum mereka, sikap
mereka yang ceria dan gaya bicara mereka yang bersahabat.
Febby rastanty memiringkan kepalanya sedikit. “Kudengar kau pernah berpasangan
dengan adikku dalam video musik Iel dua tahun lalu,” katanya. “Kau masih
ingat Rio? Dia adikku.”
Seperti biasa, setiap kali nama Rio disebut-sebut napas Ify langsung
tercekat dan jantungnya mengentak-entak dadanya. Ini dia kesempatan yang
ditunggu-tunggunya. Sekarang saat yang tepat untuk bertanya tentang Rio.
Ify membuka mulut untuk bertanya, tetapi sebelum ia sempat bersuara, ia
mendengar seseorang memanggil namanya dengan penuh semangat. Ia menoleh
dan langsung mengenali Zahra, penata rias yang bekerja sama dengannya pada
pembuatan video musik di London tahun lalu.
Zahra berlari kecil menghampirinya sambil melambai-lambaikan tangan. “Halo,
halo, halo,” katanya dengan wajah berseri-seri. “Senang bertemu denganmu lagi.
Kau masih ingat padaku, bukan?”
“Oh, Onni,” kata Ify dalam bahasa Korea. “Apa kabar?”
Senyum Zahra melebar. “Astaga! Rupanya kau sudah belajar bahasa Korea.”
“Kalian berdua sudah saling kenal? Baguslah,” tanya Febby rastanty sambil
memandang Ify dan Zahra bergantian. “Sekarang sebaiknya kalian bersiap-siap.
Aku harus menelepon seseorang.”
Dan hilanglah kesempatannya untuk bertanya tentang Rio, pikir Ify
sambil menatap Febby yang berbalik dan mengeluarkan ponsel dari tas tangannya.
Lalu Ify menoleh ke arah Zahra yang menggandeng lengannya dengan gembira.
Ah, benar juga. Ia bisa bertanya pada Zahra. Zahra pasti tahu tentang Rio.
“Onni,” panggil Ify agak ragu. “Ngomong-ngomong, kau tahu kabar Ri...”
“Rio! Kau tahu sekarang sudah jam berapa? Kenapa kau belum datang?
Datang ke sini sekarang juga atau aku yang akan pergi ke sana dan menyeretmu
kemari.”
Suara Febby yang galak membuat Ify dan Zahra serentak menoleh ke
arahnya. Tanpa berkata apa-apa lagi dan tanpa menunggu jawaban dari orang yang
diteleponnya, Febby langsung menutup ponselnya dengan kasar. Menyadari Ify
sedang menatapnya dengan heran, Febby menyunggingkan senyum manis dan
berkata, “Pasanganmu untuk pemotretan ini akan segera datang. Tenang saja.”
Setelah berkata seperti itu, ia pun pergi.
Ify tertegun. Matanya melebar kaget. Lalu perlahan-lahan ia menoleh
menatap Zahra. “Ma...rio?”
Zahra mengangguk. “Rio yang akan menjadi pasanganmu dalam pemotretan
ini,” katanya sambil menarik Ify ke ruang rias, sama sekali tidak menyadari
Ify yang tiba-tiba berubah kaku. “Bukankah ini menyenangkan sekali? Seperti
reuni saja.”
Oh, dear. Ify mulai panik. Bagaimana sekarang? Ia akan segera berhadapan
kembali dengan Mario stevano dan ia sama sekali tidak tahu apa yang harus dikatakannya
kepada laki-laki itu.
Bagaimana ini?
* * *
Rio mencengkeram kepala dengan satu tangan dan meringis. Ini benar-benar
seperti mimpi buruk. Kepalanya sudah berdenyut-denyut seperti ini sejak beberapa
hari terakhir—tepatnya setelah ia kembali dari Tokyo—dan pagi ini rasanya
sakitnya semakin parah. Pertama-tama ia terbangun karena telepon dari ibunya
yang menanyakan hal-hal yang tidak penting, lalu tidurnya terganggu lagi karena
telepon dari kakaknya yang langsung mengomelinya dan langsung menutup tele-pon tanpa memberinya kesempatan untuk berbicara.
Rio ingat ada jadwal pemotretan iklan kakaknya pagi ini, tetapi ia lebih suka
kalau ia tidak mengingatnya. Entah apa yang terjadi pada dirinya, tapi ia merasa
tidak bersemangat dan suasana hatinya selalu muram. Tidak ada yang baik di
matanya, tidak ada yang membuatnya senang, tidak ada yang bisa mengangkat
beban berat yang mengimpit dadanya.
Sambil mendesah berat, ia memaksa diri bangkit dari ranjang dan bersiap-siap.
Tadi kakaknya mengancam akan datang dan menyeretnya ke tempat pemotretan.
Rio yakin kakaknya pasti akan melaksanakan ancaman itu apabila memang
diperlukan. Rio jadi bertanya-tanya apa yang akan dikatakan kakaknya apabila
melihat Rio dalam keadaan kacau seperti ini.
Satu jam kemudian Rio tiba di lokasi pemotretan. Begitu ia masuk, kakaknya
langsung menghampirinya dengan raut wajah khawatir. “rio , ada apa denganmu
akhir-akhir ini? Kenapa kau selalu terlihat berantakan dan pucat seperti ini?”
tanyanya dengan alis berkerut.
Rio memaksakan seulas senyum muram dan berkata, “Aku tidak apa-apa,
Nuna. Ayo kita mulai bekerja saja.”
“Kita harus bicara nanti,” kata Febby tegas. “Sekarang kita tidak punya waktu
lagi. Sebaiknya kautemui dulu pasanganmu dalam pemotretan ini. Dia ada di ruang
rias.” Febby masih menatap Rio dengan khawatir, tetapi kemudian ia pergi
memastikan semuanya sudah dipersiapkan dengan baik.
Pasangannya? Rio menghela napas dan mengembuskannya dengan keras.
Dengan enggan ia berbalik dan berjalan ke ruang rias. Ia tidak tahu apakah ia bisa
memaksa dirinya bersikap ramah atau tidak karena suasana hatinya benar-benar
buruk.
Di ambang pintu ruang rias, langkah kakinya tiba-tiba terhenti. Matanya
terpaku pada wanita yang sedang berdiri di depan cermin tinggi dan menertawakan
ucapan Zahra.
Ify.
Otak Rio berputar-putar dan ia hampir tidak memercayai matanya sendiri.
Ify ada di sini? Di sini? Tapi itu tidak mungkin. Apakah salah satu mimpinya
selama seminggu terakhir ini berhasil menyelinap ke dunia nyata? Apakah...?
Tetapi yang berdiri di sana itu memang Ify. Tidak salah lagi.
Saat itu Ify menyadari kehadiran Rio dan menoleh. Matanya yang hitam
menatap lurus ke mata Rio dan Rio bisa melihat kekagetan dalam mata itu.
Lalu bibir Ify terbuka dan ia bergumam pelan, “Rio.”
Mendadak hati Rio terasa nyeri.
Nyeri karena merindukan Ify.
Nyeri karena akhirnya Ify berdiri di depannya, memandangnya dan
memanggil namanya.
************
KETIKA melihat Rio berdiri di ambang pintu, napas Ify langsung tercekat. Ia
hanya bisa mematung menatap Rio. Ia bahkan tidak sadar dirinya memanggil
nama Rio.
Rio masih terlihat seperti dulu, walaupun gaya rambutnya kini agak berbeda
dan wajahnya terlihat pucat dan lelah. Ify tidak tahu apa yang sedang
dipikirkan Rio karena ia tidak bisa membaca apa yang tersirat di balik mata
gelap yang menatapnya dengan tajam itu.
“Rio,” sapa Zahra ceria. “Lihatlah siapa di sini. Kau masih ingat pada Ify,
bukan?”
Suara Zahra seolah-olah menyadarkan Rio. Ia tersenyum samar dan
bergumam, “Ya, aku ingat.”
“Menurutku kita harus minum-minum bersama. Untuk mengenang masa lalu
dan merayakan pertemuan kita kembali. Mungkin setelah sesi pemotretan ini?
Bagaimana menurut kalian?” tanya Zahra penuh semangat.
Baik Rio maupun Ify tidak menjawab. Mereka hanya bertatapan. Lalu
Rio menoleh ke arah Zahra dan berkata, “Nuna, maafkan aku, tapi bisakah Nuna
meninggalkan kami berdua sebentar?”
“Oh.” Zahra mengerjap bingung. Ia menatap Rio, lalu beralih kepada Ify.
“Tidak apa-apa, Onni,” gumam Ify.
Sebelah alis Rio terangkat mendengar Ify berbicara dalam bahasa Korea.
Setelah Zahra keluar, ruang rias itu pun diselimuti keheningan yang
menegangkan. Setidaknya menurut Ify. Selama beberapa detik—yang terasa
seperti beberapa menit—tidak ada yang bersuara. Sampai sekarang Ify sama
sekali tidak tahu apa yang akan dikatakannya kalau ia sudah bertemu dengan
Rio. Otaknya sama sekali tidak bisa berpikir.
“Jadi kau bisa berbahasa Korea,” kata Rio tiba-tiba. Dan ia mengatakannya
dalam bahasa Korea.
Ify tersentak dan mengangkat wajah. “Ya.”
Hening lagi.
“Jadi bagaimana kabarmu?”
“Bagaimana kabarmu?”
Mereka berdua mengatakannya bersamaan dan rasanya aneh. Ify tidak tahu
kenapa mereka berubah menjadi seperti ini. Sejak kapan mereka saling bersikap
canggung? Kenapa Rio berubah pendiam seperti ini? Apakah dua tahun
memang sudah terlalu lama? Apakah segalanya memang sudah berubah?
“Aku baik-baik saja,” kata Ify, menjawab pertanyaan Rio lebih dulu.
“Dan kau sendiri?”
Rio menghela napas dalam-dalam dan menunduk sejenak. Lalu ia
mengangkat wajah dan menatap Ify. “Aku... aku senang kau baik-baik saja,”
katanya singkat, tidak menjawab pertanyaan Ify. “Kurasa sebaiknya aku
membiarkanmu bersiap-siap. Aku juga harus bersiap-siap. Kita harus bekerja.”
Ify mengerjap kaget ketika Rio langsung berbalik dan berjalan ke arah
pintu yang ditutup ketika Zahra keluar tadi. Begitu saja? Setelah dua tahun berlalu
hanya itu yang ingin dikatakan Rio kepadanya?
Rio membuka pintu dengan gerakan cepat, mengagetkan dua oran gyang
sedang berdiri di balik pintu. Zahra dan Febby rastanty melompat mundur dan terlihat
salah tingkah. Jelas sekali mereka baru tertangkap basah karena menguping.
Rio benar-benar akan pergi tanpa berkata apa-apa. Tidak, Ify tidak bisa
membiarkannya. Kalau tidak sekarang, tidak akan ada lagi kesempatan lain. Dan
sebelum Ify sempat berpikir lebih jauh, ia langsung berseru, “Apakah hanya itu
yang ingin kaukatakan padaku?” Ia tidak bisa membiarkan Rio pergi begitu saja.
Ia tidak tahu kenapa Rio bersikap seperti itu, tetapi ia tidak akan
membiarkannya. “Hanya itu?”
Sejenak Rio masih berdiri di ambang pintu, memunggungi Ify,
menghadap Febby rastanty dan Zahra yang masih berdiri di tempat walaupun mereka
berdua tidak berani memandang wajah Rio. Lalu dengan satu gerakan Rio
menutup pintu kembali dan berbalik menghadap Ify.
“Tentu saja tidak,” cetus Rio. Ia berjalan menjauhi pintu dan menghampiri
Ify. “Terlalu banyak yang ingin kukatakan padamu sampai aku tidak tahu harus
memulai dari mana.”
“Aku bisa menunggu sementara kau berpikir,” kata Ify.
Rio mengacak-acak rambut dengan tangan, lalu berkacak pinggang,
menunduk sebentar untuk mengendalikan diri. “Selama ini aku menunggu karena
kupikir kau butuh waktu,” kata Rio dengan suara rendah. “Kukira aku sudah
membuat keputusan yang benar. Tidak, aku yakin aku sudah membuat keputusan
yang benar dengan membiarkanmu pergi. Kau memang butuh waktu untuk
berpikir. Dan kupikir pada saatnya nanti, kalau kau tidak bisa datang padaku, aku
yang akan pergi mencarimu. Tapi sekarang aku bertanya-tanya apakah aku sudah
menunggu terlalu lama. Apakah seharusnya aku tidak menunggu sampai dua tahun
baru pergi mencarimu?”
Ify tidak berkata apa-apa. Ia sama sekali tidak mengerti apa yang sedang
Rio bicarakan.
Rio mengembuskan napas dengan keras. “Katakan padaku, apa yang
dimilikinya yang tidak kumiliki?”
Alis ify berkerut bingung. “Apa? Siapa?”
“Laki-laki itu, Ify,” cetus Rio sambil mengibaskan sebelah tangan dengan
tidak sabar. “Kenapa kau memilih dia? Dia... oh, sialan. Lupakan saja kata-kataku
tadi. Aku hanya bicara sembarangan.”
Rio berbalik dan berjalan dengan langkah lebar ke pintu. Dan ketika kali ini
ia membuka pintu dengan satu gerakan cepat, bukan hanya kakaknya dan Zahra
yang ada di balik pintu, tetapi juga beberapa staf lain. Mereka semua serentak
terkesiap dan melompat mundur ketika Rio tiba-tiba muncul di hadapan mereka
dengan wajah menakutkan.
Ify sama sekali tidak mengerti apa yang dibicarakan Rio tadi. Laki-laki
mana? Siapa? Apa Rio sudah gila? Kekesalan Ify pun terbit.
“Kenapa kau marah-marah?” serunya kepada Rio. “Sebenarnya apa yang
sedang kaubicarakan? Laki-laki mana yang kaumaksud? Aku benar-benar tidak
mengerti. Bicaralah yang jelas.”
Sekali lagi Rio membanting pintu di hadapan semua orang yang berusaha
menguping itu dan berbalik menghadap Ify.
“Jangan pura-pura tidak mengerti,Ify. Kau tahu jelas siapa yang
kumaksud. Aku melihat kalian berdua dengan mata kepalaku sendiri. Apakah
kau ingin aku menjelaskan setiap detailnya?”
Ify membalas tatapan Rio dengan mata menyala-nyala. “Ya,” katanya
keras. “Jelaskan padaku karena aku tidak mengerti apa yang sedang kauocehkan.”
“Minggu lalu aku pergi ke Tokyo untuk mencarimu,” kata Rio. “Dan ketika
aku tiba di gedung apartemenmu, aku melihatmu bersama seorang laki-laki. Dan
kalian berdua...”
“Kau datang ke apartemenku?” sela Ify kaget. “Dari mana kau tahu tempat
tinggalku?”
“Chris yang memberitahuku. Tapi...”
“Chris? Chris Scott?”
“Ya, Chris. Tapi bukan itu intinya. Aku melihatmu keluar dari gedung
apartemenmu bersama seorang laki-laki dan... dan kalian terlihat... terlihat... akrab.”
Alis Ify terangkat. “Apa? Aku tidak merasa pernah keluar dari apartemen
bersama laki-laki mana pun dan terlihat akrab seperti istilahmu itu,” bantah Ify.
“Lagi pula apa maksudmu dengan akrab?”
Rio mengernyit, seolah-olah kenangan yang berkelebat dalam benaknya
sama sekali bukan sesuatu yang menyenangkan. “Kau benar-benar ingin aku
menggambarkannya?” tanyanya.
“Ya, karena aku yakin aku jelas tidak pernah melakukan apa yang kaukatakan
itu. Itu hanya berarti satu hal: Kau salah lihat.”
“Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri, Ify,” kata Rio sambil
menjejalkan kedua tangan ke saku celananya dengan sikap frustrasi. “Aku bisa
mengenalimu di mana saja. Dan aku melihatmu di sana. Tersenyum pada laki-laki
itu dan menggandeng tangannya seolah-olah...”
“Itu bukan aku,” sela Ify sambil melipat tangan di depan dada. Sungguh,
Rio sudah gila. Itu satu-satunya penjelasan untuk ocehannya yang tidak ada
ujung-pangkalnya ini.
Rio mendesah kesal. “Bukan kau? Kalau yang kulihat itu bukan kau, lalu
siapa? Memangnya kau punya saudara kem...”
Mata Ify menyipit tajam, lalu membentak, “Ya! Aku memang punya
saudara kembar dan aku yakin aku sudah pernah mengatakannya padamu!”
* * *
Bahkan sebelum Ify membuka mulut untuk membentaknya, Rio sudah
menyadari apa yang terlupakan olehnya. Ia melupakan kenyataan bahwa Ify
memang memiliki saudara kembar. Rio tertegun menatap Ify yang balas
menatapnya dengan mata menyala-nyala marah. Kalau begitu yang dilihatnya
keluar dari gedung apartemen itu adalah...
Seolah-olah bisa membaca pikiran Rio, Ify berkata lagi, “Sudah pasti
yang kaulihat itu adalah saudara kembarku, Acha. Asal kau tahu, wajah kami
memang sangat mirip.”
Rio masih agak kesulitan menemukan suaranya. Kalau itu memang saudara
kembar Ify, berarti selama seminggu ini ia sudah mengacaukan diri sendiri
tanpa alasan. Rasa lega langsung membanjiri dirinya. “Kupikir...”
“Kau tidak berpikir,” sela Ify, jelas-jelal masih marah. “Tapi coba sekarang
pikirkan ini. Kalau aku melakukan apa pun yang kaukatakan tadi, kenapa aku
repot-repot belajar bahasa Korea? Kenapa pula aku datang ke sini dan menerima
pekerjaan ini walaupun aku tahu Febby rastanty adalah kakakmu?” Ify berhenti untuk
menarik napas, lalu mendengus dan berjalan melewati Rio.
Tetapi Rio menangkap pergelangan tangan Ify dan menahannya. “Jadi
kau memang sengaja datang ke sini untuk mencariku?” tanyanya sambil menunduk
menatap Ify. “Kenapa?”
Ify berusaha melepaskan diri, tetapi Rio tidak membiarkannya.
Akhirnya Ify menyerah dan mendongak menatap Rio. “Tadi kaubilang kau
pergi ke Jepang mencariku. Kenapa?” ia balas bertanya.
Rio mendapati dirinya menatap ke dalam mata Ify. Sejenak ia ragu,
apakah ia harus mengatakan yang sebenarnya atau apakah hal itu terlalu berisiko.
“Kenapa?” tanya Ify sekali lagi.
“Karena aku merindukanmu,” kata Rio pelan.
Mata Ify melebar kaget dan napasnya tercekat.
“Karena aku membutuhkanmu,” lanjut Rio.
“Karena kurasa kau sudah
cukup lama berpikir dan sekarang saatnya kau kembali padaku. Karena aku ingin
kau tahu bahwa perasaanku sekarang masih sama seperti dulu. Dan karena aku
ingin tahu apakah kau sudah percaya padaku, walaupun hanya sedikit.”
Ify membuka mulut, tetapi tidak ada yang keluar.
Ia juga tidak tahu apa yang harus dikatakannya.
“Aku ingin kau percaya padaku,” lanjut Rio, masih menggenggam tangan
Ify.
“Aku ingin kau percaya ketika kukatakan bahwa aku tidak akan pernah
menyakitimu. Kalau perlu, aku bersedia menghabiskan sisa hidupku menebus apa
yang dilakukan kakakku padamu. Asal kau tetap bersamaku. Di sisiku.”
Ify menggeleng-gelengkan kepala. Tidak, tidak... Ia tidak pernah
menyamakan Rio dengan kakaknya dan ia tidak pernah menyalahkan Rio
atas apa yang dilakukan kakaknya. Ia tidak ingin Rio merasa bersalah dan ia
tidak ingin Rio menebus apa pun. Tetapi saat ini ia masih tidak mampu bersuara
karena air mata mulai mencekat tenggorokannya.
“Dan di atas segalanya,” lanjut Rio,
“aku ingin kau percaya padaku ketika
kukatakan bahwa aku mencintaimu.”
Ify hampir yakin jantungnya berhenti berdebar sesaat dan ia harus
memaksa dirinya bernapas karena kalau tidak ia pasti akan pingsan di tempat.
Otaknya juga mendadak kosong sejenak. Selain suara Rio dan debar jantungnya
sendiri yang kembali berdebar keras, Ify tidak bisa mendengar apa-apa lagi.
Dunia seolah-olah mengecil di sekeliling mereka berdua.
“Itulah yan gingin kukatakan padamu pada saat terakhir kali kita bertemu,”
kata Rio. Matanya tidak lepas dari mata Ify. “Itulah yang ingin kukatakan
padamu.”
Sebutir air mata jatuh ke pipi Ify dan ia menghapusnya dengan tangannya
yang bebas. Kemudian ia menunduk menatap tangannya yang lain yang masih
berada dalam berada dalam genggaman Rio. Perlahan-lahan ia menarik
tangannya. Kali ini Rio membiarkannya, walaupun dengan enggan. Rio sama
sekali tidak tahu apa yang sedang dipikirkan Ify. Ia merasa sangat gugup.
Jantungnya berdebar begitu keras. Ia sudah mencurahkan seluruh perasaannya. Ia
sudah melakukan semua yang bisa dilakukannya. Sekarang semua terserah pada
Ify.
Hidupnya... hidupnya kini ada di tangan Ify.
Ify kembali mendongak menatap mata Rio. Air matanya tidak bisa
berhenti mengalir. Perlahan-lahan ia maju selangkah mendekati Rio, lalu
berjinjit, dan melingkarkan kedua lengannya di leher Rio, dan menyandarkan
dagu di bahunya.
Sejenak Rio tetap diam tak bergerak. Ia terlalu tercengang untuk bergerak. Ia
terlalu takut untuk bergerak. Ia takut ini hanya mimpi. Ia takut kalau ia bergerak
maka mimpi ini akan buyar dan Ify akan meninggalkannya. Tetapi ia bisa
merasakan kehangatan Ify, bisa merasakan debar jantung Ify di dadanya,
bisa mendengar tarikan napas Ify di telinganya. Dan ia bisa mendengar suara
Ify...
“Aku,” gumam Ify lirih, “percaya padamu.”
Kata-kata itu hanya berupa bisikan, tetapi itu sudah cukup bagi Rio. Ia
memejamkan mata sementara rasa lega dan bahagia membanjiri dirinya. Rasanya
seolah-olah beban berat yang mengimpit dadanya selama ini akhirnya terangkat.
Akhirnya ia bisa bernapas.
Saat itulah ia baru bisa menggerakkan kedua tangannya yang sejak tadi terkulai
di sisi tubuhnya. Dan ketika kedua lengannya melingkari tubuh Ify, ia merasa
benar. Ia merasa mulai sekarang ia akan baik-baik saja. Mulai sekarang segalanya
akan baik-baik saja.
Lalu ia mendengar Ify kembali berbisik, “Dan... terima kasih karena sudah
menungguku.”
* * *
“Mereka berpelukan,” bisik salah seorang kru yang mengintip dari lubang kunci
pintu ruang rias.
Mata Febby rastanty melebar. Ia termasuk orang yang ikut berdiri bergerombol
bersama para kru yang penasaran dengan apa yang terjadi di balik pintu ruang rias.
“Mereka berpelukan?” tanyanya penuh semangat. Lalu keningnya berkerut samar.
“Astaga... Jangan-jangan gadis itulah alasan Rio berubah senewen selama ini.
Mungkinkah? Jadi itu orangnya...”
“Sekarang mereka berpandangan,” kru yang sedang mengintip itu kembali
melaporkan dan semua orang di belakangnya serentak ber-“oh” dan “ah” dengan
gembira. “Gadis itu menangis, tapi juga tersenyum. Dan sekarang Rio
menyentuh pipinya dan...”
Tiba-tiba ponsel Febby berbunyi, membuatnya terkesiap keras dan terlompat
kaget. Sambil menggerutu ia buru-buru menjauh dari kerumunan orang yang
penasaran itu dan menempelkan ponsel ke telinga. “Ya.? Ibu? Ada apa?”
Ia berhenti sejenak dan mendengar apa yang dikatakan ibunya. “Ya,rio ada
di sini. Dia tidak menjawab telepon? Mungkin dia mematikannya. Memangnya ada
apa Ibu mencarinya?... Mau menjodohkannya lagi? Ya ampun. Dengar, sebaiknya
lupakan saja niat Ibu untuk menjodohkan rio. Aku jamin dia tidak akan mau....
Kenapa tidak mau? Karena sudah ada gadis yang disukainya. Itulah sebabnya....
Aku juga baru tahu.... Tenang saja, kurasa rio akan segera memperkenalkannya
kepada Ibu. Oh ya, Ibu tidak punya masalah dengan orang Jepang, bukan?”
Epilog
“JADI katakan padaku bagaimana caramu memaksa Chris memberikan alamatku di
Jepang kepadamu. Aku sudah melarangnya memberitahumu dan aku yakin dia
tidak memberikannya begitu saja.”
“Tentu saja tidak. Tapi aku juga bukan orang yang gampang menyerah.”
“Jadi apa yang kaulakukan?”
“Aku terus merecokinya setiap hari. Sampai suatu hari dia mulai kesal padaku
dan berkata bahwa kalau aku bersedia memenuhi satu permintaannya, dia akan
memberikan alamatmu kepadaku.”
“Permintaan apa?”
“Dia ingin aku menemaninya ke pesta.”
“Pesta? Hanya itu?”
“Pesta khusus para gay.”
“Oh.”
“Hanya itu yang bisa kaukatakan? „Oh‟?”
“Kau menyetujuinya?”
“Karena aku ingin mendapatkan alamatmu, ya, aku menyetujuinya.”
“Oh... Kau menikmati pestanya?”
“Kau tidak mungkin bisa membayangkan keadaannya.”
“Astaga. Ini lucu sekali. Tapi kau berhasil melewati pesta itu dengan selamat,
bukan?”
“Nyaris saja.”
“Lagi pula Chris tidak mungkin membiarkan sesuatu terjadi padamu. Aku
yakin dia pasti menjagamu dengan baik. Dia menyukaimu, kau tahu?”
“Ya Tuhan, apakah kau harus mengatakannya? Maksudku, aku benar-benar
tidak perlu tahu soal itu.”
“Tenang saja. Chris bukan orang yang akan mengkhianati sahabat sendiri. Dia
tidak akan merampas milik sahabatnya. Dia sendiri yang berkata begitu. Jadi selama
kau tetap bersamaku, maka kau akan aman.”__
Tidak ada komentar:
Posting Komentar