Minggu, 09 Juni 2013

::4 Regrets to Love:: . C.R.A.G with S.I.S.A

  Another Nhia’s Fanwork:One Shoot
.
Hurts/Sad
.
Multi-pairing/Multi-ficlets
.
Cinta?Semua orang tahu itu.Banyak diantaranya yang bahagia karena cinta.Karena membawa kebahagiaan tertentu untuk masing-masing orang.Namun,jika cinta tetap tak bisa dipertahankan?Akan timbul rasa sakit.Sesak,yang luar biasa.Dan tak banyak diantaranya yang memilih untuk,,,                                                                   menyerah..

Cakka-Agni

Hari ini gelap.Tak ada matahari yang muncul sejak pagi.Hanya awan hitam menutupi langit.Menutupi cahaya yang ingin menyinari bumi ini.
Cakka masih mendribble bola Basket di tengah lapangan itu.Keringat yang sedari tadi mengalir tak dipedulikannya.Tanpa lelah ia mendrible bola basket dan memasukkannya berkali-kali kedalam Ring.Seakan saat ini rasa lelah tak membuat ia risih sama sekali.
Tetes air jatuh di pipinya.Itu bukan keringat,tapi air mata.Air matanya jatuh begitu saja saat wajah gadis itu terlintas dibenaknya.Gadis yang selalu mengajaknya bermain basket setiap hari.Yang selalu mengejeknya setiap kalah mendapatkan poin.Dan selalu minta traktir pada Cakka saat dia menang.
“Agni..”
Nama itu terucapkan begitu saja.Nafasnya tersengal-sengal saat ini.Baru dirasakannya rasa lelah itu tepat saat ingatannya pada Agni muncul.Padahal sudah dua jam dia ada dilapangan rumput itu.Hanya bermain seorang diri.
“Kau payah!”
“Ayolah,Cak.Satu kali lagi..”
“Mau minum?”
“Aku menang.Traktir aku sekarang!”
Hujan datang begitu saja.Tak memberi peringatan sama sekali.Membuat semua orang sibuk melindungi diri dari tumpahan air langit.Mencari tempat berteduh agar tak sakit dikeesokan harinya.
Tapi Cakka masih berdiri disana.Membiarkan air hujan membasahi tubuhnya.Tangannya masih memegang bola Basket itu.Sedetik kemudian ia berlari sambil mendribble bola Basket itu.Dan—hap.Masuk kedalam Ring.
Mengapa penyesalan itu datangnya terlambat,ya?Mengapa benar-benar menyakitkan menerimanya.?Apalagi saat penyesalan itu datang setelah seseorang berbahagia.Apa tidak bisa penyesalan itu datang di awal dan kebahagiaan di akhir?Mengapa selalu seperti itu?
Seharusnya saat ini ia tak sendiri.Seharusnya ada Agni disini.Menemaninya bermain basket seperti sebelumnya.Hari Kamis.Hari biasanya mereka bermain bersama dan bertanding Basket.
Pertemanan yang sudah lebih dari separuh usia mereka dan perlahan-lahan menjadi cinta itu terpaksa tak berlanjut.Tak ada yang saling mengakui sebelumnya.Baik Cakka maupun Agni.Mereka berdua tak pernah membicarakan dan mengutarakan perasaan masing-masing.Biarlah itu hanya menjadi sebuah Cinta terpendam,batin keduanya.
Tapi siapa sangka sampai Agni pergi-pun,tak ada yang bisa mengakuinya terlebih dahulu?
Padahal akan jauh lebih baik kalau sebelumnya ia tak meminta Agni datang ke pertandingan basket antar sekolah.Lebih baik kalau Agni diam di rumah dan menyaksikannya di TV.Sehingga tak harus seperti ini.
Tak harus ada kecelakaan mobil saat itu.Tak ada harus ada yang menjadi korban.Tak harus Agni yang kini terbaring dibawah nisannya sendiri.
“Aku pasti datang.Kau tak perlu memintaku seperti itu.Aku pasti akan datang memberi dukungan.!”
Bola Basket ditangannya dibiarkan saja sejak tadi.Dan dilempar begitu saja oleh Cakka,membuat wajah itu terkena cipratan air setelahnya.
Dingin?Sangat dingin.Tentu saja.Sama seperti hatinya yang beku karena tak sempat menyatakan cintanya pada Agni.Memintanya datang kepertandingan dan setelah itu baru menyatakan cintanya.Itu rencana Cakka yang sesungguhnya hingga ia sangat berharap Agni datang di hari itu.Tapi sekarang?Cinta yang selama ini dipendamnya,tak bisa terucapkan secara langsung untuk Agni.
Rasanya seperti pengecut.Tak bisa mengakui hal itu sejak awal.Padahal selama ini Ify selalu menggoda mereka,mengatakan kalau diantara mereka memang sudah ada sebuah cinta.Tapi tetap saja,mereka berdua mengelaknya.Munafik.
Hujan terus membasahi tubuh Cakka.Biarlah,batinnya.Mungkin air hujan itu akan mengalir sama seperti perasaanya pada Agni.Menghilang?Ia tak yakin semudah itu.
Apa masih ada kesempatan untuknya?Hanya untuk menyampaikannya saja.Tidak lebih.Agar rasa sesal didalam dadanya melebur dengan kelegaan nantinya.Tapi bagaimana?
Berteriak sekencang-kencangnya,hingga suaranya habis saja tak akan berguna.
Ini Cakka.Sendirian tanpa ada sosok gadis tomboy yang selalu bersamanya,bermain basket bersama.Dibiarkan oleh perasaan cintanya yang menggantung begitu saja tanpa ada penjelasan sama sekali.
Memangnya Cakka siapa bisa sampai menyesal seperti itu?
Pacar?Bukan.
Teman?Itu masuk akal,tapi Cakka tak harus se-menyesal itu bukan?
Yah,penyesalan.Biarlah itu menjadi temannya saat  ini.Ditengah guyuran hujan.Biarkan dia merenungi semua perasaanya.
Perasaan cintanya…
.
Rio-Ify
.
Rio menyeret langkahnya sebisa mungkin menjauh dari ruangan itu.Ruangan gelap yang sudah ia kunci terlebih dahulu sebelum meninggalkannya.Ruangan itu hanya sebuah ruangan kecil dengan sebuah sofa dan Grandpiano putih.Sebisa mungkin ia bertekad untuk tidak masuk lagi kedalam ruangan itu.Sebisa mungkin..
Setelah membuka pintu mobilnya,Rio tak melakukan apa-apa lagi.Hanya menundukkan kepalanya,membiarkan rasa sesal yang membebaninya begitu saja.Memberatkan seluruh tubuhnya.Membuatnya seakan remuk dan siap membuatnya jatuh saat ini juga.
Tapi rasanya percuma ia mencoba bertahan.Toh,pada akhirnya air matanya menetes dari pelupuk mata yang indah itu.Membiarkan air mata itu mengalir,berharap rasa sesal dan sedih itupun juga ikut hilang.
Ia menegakkan tubuhnya.Memperlihatkan wajahnya yang sekarang sudah basah oleh air mata.Hhhh,,sesak sekali dada ini.
Setelah menyalakan mesin mobil Rio segera meninggalkan kediaman itu.Meskipun begitu,konsentrasinya tetap saja terganggu oleh Ify.Sosok gadis cantik dengan wajah tirus yang menawan selalu melayang difikirannya.Tak pernah berhenti sampai kapanpun.Sampai saat ini.Tidak bisa.
“Hati-hati,ya!”
“Kau harus berjuang.Besok kau akan jadi penyanyi terkenal,Rio.!”
“Rajin belajar.Meskipun kau suka gitar,tapi buku juga harus selalu kau bawa.”
“Tak lama lagi aku akan jadi kekasih seorang penyanyi terkenal.Jadi tidak sabar,,”
Jalanan saat ini tak begitu ramai.Membuat Rio semakin mudah untuk mengendalikan mobilnya namun tetap dalam batas mengemudi sewajarnya.Memang sudah jam 11 malam.Kebanyakan orang pasti sudah sampai dirumah untuk mengistirahatkan dirinya dari rasa lelah aktifitas seharian.
“Aku janji.Setelah menemani Agni menonton pertandingan Cakka,aku akan langsung datang ke Cafe.Aku juga ingin melihat penampilanmu disana.”
Mobil sedannya berhenti disebuah Rumah sakit besar di kota Bandung.Setelah memarkirkan mobilnya,ia segera masuk kedalam rumah sakit itu.
Langkahnya masih berat.Entah karena ia memang sedang capek atau karena sebenarnya ia tak ingin datang kesana.Rio juga tak tahu.
Rumah sakit juga terlihat sangat sepi saat ini.Jam besuk memang sudah berakhir sejak satu jam yang lalu.Dan karena saat ini ia ingin melihat Ify untuk terakhir kalinya.Eh—tunggu.Apa?
Langkahnya terhenti disebuah pintu di Ruang Mawar.Perasaannya berkecamuk.Haruskah ia membuka pintu itu sekarang?Dan menemui Ify disana?Tentu saja.
Dilihatnya perempuan cantik itu masih terbaring diranjang rumah sakit.Matanya yang indah masih terpejam semenjak 1 bulan yang lalu.Selang-selang infus masih terpasang di setiap sudut tubuhnya.Tubuhnya pucat seperti mayat.Ah,bukannya dia memang sedang berada di ambang pintu kematian?
Rio mengambil gitar coklat yang memang telah diletakkan disamping meja kecil disamping ranjang Ify.Ia duduk dikursi dan menghadap kearah gadisnya itu.
“Malam ini aku harus menyanyikan apa?”,tanya Rio kepada Ify—terlebih kepada dirinya sendiri.Ia meletakkan tangan kanannya diatas tangan Ify yang tergeletak lemas itu.Sedangkan tangan kanannya masih memegang gitarnya.
“Maafkan aku,Ify.Aku tidak bisa menjagamu,bahkan hingga sekarang—aku masih belum bisa..”
Berjanjilah..Wahai sahabatku..
Bila kau tinggalkan aku,,tetaplah tersenyum
Meski hati sedih dan menangis..
Kuingin kau tetap tabah menghadapinya..
“kau mau berjanji untukku?”
“Berjanji apa?”
“Kalau pada akhirnya takdir kita tidak bersama.Kamu akan selalu mengingatku,,”
“Kenapa tidak?Tentu saja.”
Bila kau harus pergi,,meninggalkan diriku..
Jangan lupakan aku…
Sudah sebulan Ify koma.Kecelakaan hebat yang dialaminya sebulan yang lalu berhasil membuatnya tak sadarkan diri.Bahkan sebelumnya telah membuat Agni kehilangan nyawanya.
Saat itu mereka hendak pergi menonton pertandingan Cakka,sahabat mereka berdua.Dan saat hari itu pula Rio pertama kalinya bernyanyi didepan banyak orang setelah namanya terkenal lewat lagu’Rindukan Dirimu’.Lagu buatan Ify.
Ify juga sudah berjanji kalau ia akan menyaksikan penampilan Rio setelah menemani Agni.Kebetulan pertandingan itu akan selesai satu jam sebelum Rio tampil.Jadi masih ada waktu untuk perjalanan,bukan?
Tapi,tidak pertandingan Cakka ataupun penampilan Rio.Melainkan sebuah kecelakaan hebat yang menimpa mereka.Mobil yang dikendarai Agni dan Ify menabrak sebuah Bus yang didepan mereka yang saat itu tiba-tiba saja berhenti mendadak.Belum selesai,mobil nissan dibelakang merekapun menghimpit kendaraan yang mereka gunakan.
Tangan kanan Ify patah.Begitupun kedua kakinya yang terjepit badan mobil.Kepalanya mengenai benturan hebat tepat di sarafnya.Membuat para dokter meyakini,jikalau Ify berhasil bertahan,dia akan lumpuh seumur hidupnya.
Sedangkan Agni yang saat itu menjadi pengemudi tewas ditempat kejadian.
Air mata Rio kembali jatuh mengalir.Kali ini benar-benar menangis.Ia melempar gitar coklat itu begitu saja,membantingnya hingga rusak.Dan bangkit dari duduknya lalu memeluk tubuh lemah Ify.
Ia tidak sanggup.Sungguh,ia masih tidak sanggup.
“Aku ingin berduet denganmu suatu saat nanti..”
“Mengapa suatu saat nanti?Aku akan segera mengajakmu sebagai rekan duetku,Ify.Kau punya bakat seni yang sempurna.Suaramu indah,kau pintar bermain piano,pandai menciptakan lag,,”
“Sudahlah.Aku tak seperti itu.”
“Siapa bilang?Jangan merendah.Kau ini segalanya untukku.”
Satu bulan berlalu,ternyata para dokter yang menangani Ify mengaku telah menyerah.Mereka menyatakan percuma saja mempertahankan Ify.Toh,saat Ify sadar dan terbangun dari masa komanya ia takkan bisa melakukan apapun lagi.Dia akan lumpuh.
Rio mendekapkan pelukannya pada tubuh Ify.Seolah-olah ia tak ingin berpisah dengan Ify selama-lamanya.Ia tahu mungkin ini yang terbaik.Tapi merelakan Ify?
Besok tim Dokter akan melepas seluruh alat-alat medis yang melekat pada tubuh Ify.Alat-alat yang membantunya bertahan selama ini.Menempatkannya pada posisi antara hidup atau mati.
Tapi ternyata pihak keluarga Ify pun merasa kalau mempertahankan hidup Ify nantinya akan percuma.Ify hanya akan menderita ditengah kelumpuhannya kelak.Dan membiarkan Ify pergi kealam yang lebih damai adalah satu-satunya jalan keluar.Agar gadis itu tak lagi merasakan sakit.Agar ia tenang disana.
Melepaskan seseorang itu menyakitkan.Dan sulit untuk menerima kenyataan kalau kita harus menyerah pada keadaan.
.
Gabriel-Sivia
.
Sivia mematut dirinya sendiri didepan kacanya.Gaun hitam itu terlihat sangat manis dan anggun ditambah make-up natural-nya.Rambut panjangnya ia biarkan begitu saja tanpa diberikan aksesoris apapun.Namun tetap terlihat cantik bagi setiap orang yang melihatnya.
Sesuatu yang terlupakan.Ah,kalungnya.
Sivia meraba sekitar lehernya.Kalung itu..Kalung dengan ukiran ‘SiviEl’ itu tidak ada.Tapi dimana?
Sejenak Shilla berfikir.Untuk apa ia mencari dimana kalung itu?Toh,ia takkan memerlukannya lagi.Biarkan sajalah.
Ia melangkahkan kakinya menuju ruang tengah,dimana saat ini ruangan itu terlihat sangat ramai.Banyak sekali orang-orang dengan pakaian formal berkumpul disana.Makanan-makanan yang terlihat lezat sudah berjejer disebuah meja panjang.Ada sebuah kue berukuran besar disana.
Sivia berjalan kearah kerumunan orang-orang yang sedang berbincang-bincang.Ada dua orang yang jadi perhatian disana.
Seorang gadis cantik yang menawan terlihat anggun dengan gaun putih panjang yang menutupi kakinya itu.Gadis itu terlalu cantik jika dibandingkan dengan dirinya yang terlihat biasa-biasa saja.
Sedangkan lelaki disampingnya,terlihat sangat tampan dengan tuxedo mahal dilengkapi senyum yang selalu merekah diwajahnya.Terlihat sangat bahagia sekali mereka berdua.
Lelaki itu bernama Gabriel dengan gadis disampingnya—Shilla,terlihat sangat bahagia saat menerima ucapan selamat dari para tamu undangan.Yuph,hari ini adalah hari pertunangan mereka berdua.Pertunangan yang sangat dinanti-nanti keluarga masing-masing pihak,terkecuali Sivia.
Cinta itu datang tanpa memperdulikan apapun.Entah itu status derajat,kekayaan,perbedaan RAS,atau apapun itu.Termaksud,kepada siapa kita jatuh cinta.
Dan itulah yang Sivia alami.Sebuah cinta yang tak masuk akal jika dipahami oleh fikiran.Dan bagi semua orang itu adalah cinta terlarang,yang berarti cinta itu tak pantas terjadi,Tak pantas dipertahankan dan diyakini kebenarannya.
Dia mencintai Gabriel.
Gabriel?Kakaknya?
Perasaan itu datang terlalu cepat.Sebelumnya mereka tidak saling mengenal.Sebelumnya mereka belum pernah bertemu sama sekali.
Orang tuanya memisahkan mereka sejak kecil.Alasannya pun bisa dibilang tak masuk akal.Hanya karena mereka ingin mendidik Gabriel sebagai lelaki yang jauh lebih baik sebagai penerus perusahaan keluarganya.Dan menitipkan Sivia kepada Nenek dan Kakeknya di Paris.
Dan suatu hari mereka berkenalan satu sama lain sebagai seorang teman.Saat Gabriel sedang kuliah di Roma,Italia dan saat itu kebetulan Sivia sedang menghabiskan masa liburan sekolahnya disana.
Mereka dekat begitu saja.Mungkin karena feeling?Tapi itu memang benar.
Tapi sayangnya feeling yang muncul itu bukan feeling adik-kakak bagi Sivia.Melainkan feeling yang lain.Yang lebih dari feeling seorang adik kepada kakaknya.Entahlah?Feeling seorang gadis terhadap seorang lelaki tampan yang ia kenal,mungkin?
Dan bagaimana perasaannya saat tahu kalau mereka punya hubungan sedarah?Kau tahu.Itu menyakitkan.
Gabriel memasangkan cincin itu dijemari Shilla.Begitupun sebaliknya,dan setelah itu para tamu bertepuk tangan untuk mereka berdua.Memberikan applause untuk kebahagiaan mereka.
Sivia hanya tersenyum hambar.Itu kebahagiaan kakaknya,bukankah ia juga harus ikut bahagia.?Seharusnya ia ikut tersenyum tulus seperti para tamu yang lain dan memeberikan tepukan riuh.Tapi tetap saja,itu menyakitkan.
Air matanya mengalir begitu saja.Cepat-cepat ia hapus,tak mau seorangpun melihatnya.Ayolah Sivia Azizah!
Sekuat apapun kau mempertahankan perasaanmu pada Gabriel,takkan ada yang setuju dan memahaminya.Bahkan mungkin Gabriel-pun tidak??
Cukup sudah,aku menyerah..
.
Alvin-Shilla
.
Cinta perlu waktu.Tentu saja.Untuk saling memahami satu sama lain,dan memahami perasaan kita.
Shilla merobek kertas kalendernya.Sudah tanggal 13 Februari,ah…Besok hari Valentine..
Sudah terlalu lama Alvin pergi.Jika dihitung mungkin lebih dari 3 tahun.Dan selama itu tidak ada kabar darinya.Sebenarnya tidak sepenuhnya seperti itu.
3 tahun yang lalu Alvin memang pergi ke Inggris untuk melanjutkan kuliahnya.Yah,dia mendapatkan beasiswa untuk bersekolah diluar negeri karena nilai-nilainya yang memang selalu mendapat peringkat terbaik.
Alvin,kekasihnya memang bukan lelaki yang sempurna.Wajahnya memang tampan.Meskipun begitu ia lahir didalam keluarga yang biasa-biasa saja.Tidak kaya ataupun kurang.Terkadang dia mengalami kesulitan setiap ditanya tentang biaya kuliah yang sangat mahal itu.Namun,sekali lagi ia terselamatkan oleh kepintaran studinya.
Cara mengenal Alvin dengan cara baik-baik.Hanya karena saat itu mereka satu kampus,dan seringkali bertemu diperpustakaan.Hingga suatu hari seorang dosen meminta Alvin membantu Shilla untuk mengembalikan nilainya yang sempat turun.Dan dari sanalah mereka dekat.
Hubungan mereka tak berjalan mulus.Kedua orang tuanya menentang hubungannya dengan Alvin.Mereka menilai Alvin semata-mata karena status Alvin yang biasa saja.Dan prestasi Alvin tak terlalu berpengaruh bagi mereka.Bukan dari kalangan berkelas menjadi masalah untuk orang tua Shilla.Tentu hubungan mereka dimaksudkan pada status derajat keluarga Shilla yang bisa dibilang lebih,
Dan saat itu Alvin berjanji padanya.Berjanji kalau dia akan menjadi orang yang jauh lebih baik.Ia menerima tawaran untuk kuliah di Inggris itu,dan mereka pun berpisah.
Shilla pun sudah bertekad untuk selalu menjaga hatinya kepada Alvin.Mempercayai lelaki itu,kalau dia akan kembali pulang dan menepati janjinya.
Tapi bukankah Alvin seharusnya sudah pulang setahun yang lalu?
Kemana Alvin?
“Percayalah padaku.Aku akan pulang dan akan menjadi jauh lebih baik dari sekarang.”
“kau harus menungguku.Jaga Hatimu.”
“Aku mencintaimu,Shilla.Aku akan segera pulang.”
Itu semua seperti omong kosong belaka bagi Shilla.Dimana Alvin?Mengapa menghilang begitu saja?Tak ada kabar.Bahkan kedua orangtua Alvinpun tak tahu dimana putra sulungnya itu.
Dia hilang?Lost Contact.
Apa yang harus ia lakukan sekarang?Kedua orang tuanya menganggap Alvin telah gagal dan menghilang begitu saja.Dan tak lama lagi mereka akan menjodohkannya dengan seseorang.
Shilla tidak keberatan?Tentu saja awalnya keberatan.Tapi lagi-lagi menyakitkan mengingat Alvin tak pernah memberi kabar kepadanya selama ini.
Sejenak terfikir dalam otak Shilla.Apa Alvin menghilang karena memang benar-benar sudah gagal?Apa dia benar-benar tak bisa menepati janjinya?Atau…Karena perempuan lain?
Shilla menggeleng cepat.Menghilangkan fikirannya yang terakhir itu.Ia tak mau berfikir seperti itu.Sudah terlalu lama ia menunggu Alvin.Dan jika benar seperti itu—demi Tuhan Alvin sungguh tega melakukannya!
Hari Valentine…hanya sendiri.Sama seperti tahun-tahun yang sudah lewat.Hanya ada foto Alvin yang tersenyum kearah kamera menemaninya dikamar.
Tapi sekarang..
“Perkenalkan.Namaku Gabriel Stevent Damanik.Cukup panggil aku Gabriel..”
Perjodohan ini akan terus berlanjut.Ini bukan salah Shilla sepenuhnya.Tapi disini juga ada Alvin yang tidak menepati janjinya dan membiarkan Shilla begitu saja.Apa salah kalau sekarang Shilla jatuh cinta pada seseorang yang jauh lebih baik dari Alvin?
Lelaki yang sudah bisa diyakini loyalitasnya.Lelaki yang sudah terpenuhi kriterianya.Dan tentu saja ada alasan orang tua Shilla menjodohkan mereka.
Shilla mengeluarkan foto Alvin dari dalam bingkainya.Air matanya menetes,menyesal harus melakukan ini.Perasaannya tidak sekuat baja.Ia menyerah.Lelah menunggu hal yang tak pasti.Segera ia robek foto itu menjadi 2 bagian.
Selamat tinggal,Alvin.Aku mencintaimu
.
Would You Give Up?
Lose,late,broken,regret and lie are something hurtful
 which force you to give up your love. Although you don’t want to loose them forever
.
‖END‖

Isyarat Mata - cerpen idola cilik (copas)

Gadis itu berjalan anggun, menggunakan celana jeans dengan baju berwarna belang biru putih lengan panjang dipadukan sebuah slayer membalut lehernya, menambah keanggunannya ketika berjalan di antara lalu lalang orang-orang yang baru keluar dari stasiun kedatangan luar negeri. Salah satu tangannya menarik koper. Dipastikan gadis itu baru memijakkan kaki  di tanah air Indonesia.

            Sepertinya Gadis itu sudah tak sabar untuk berjumpa kerabat di negeri asalnya. Ia mempercepat langkah anggunnya. Tapi sayangnya, langkah cepat itu…. “Auuw”. Ringisnya. Ia membungkuk memijat pelan bagian bawah kakinya. “Aah, my high heels”. Gumamnya. Meratapi sepatu berhak tinggi yang cantik Ia kenakan patah di bagian hak setinggi 9 cm itu.

            Gadis itu menepi perlahan dengan pincang ke sebuah bangku panjang tak jauh dari insiden-nya tadi. Ia melepas sepatu berhak tinggi itu, dan bergumam kecil, “I should know, it’s impossible to wear again”. Sekali lagi gadis itu meratapi sepatu berhak tinggi di genggamannya kali ini. Ia sudah tahu benda itu sudah –tak layak pakai- semenjak 2 bulan yang lalu. Jika Ia tidak ingat siapa yang memberikannya, benda itu pasti sudah diasingkan. Sudah tak terhitung jari berapa kali Ia me-nge-lem ulang bagian hak yang selalu copot.

            “Are you okay?”. Sapa seseorang akhirnya. Seorang gadis juga. “Not to bad…” Jawab gadis pertama tadi dan tersenyum lemas sambil memperlihatkan high heel bernasib malang itu.

            “Oh.. it’s so bad. Wait”. Gadis bersuara serak basah itu mengeluarkan sepasang sepatu slop dari koper yang Ia bawa. Mungkin sama seperti gadis pertama tadi, Ia juga baru menginjakkan kaki di Indonesia. “Wish this enough on your feet”. Katanya kemudian menyerahkan kepada gadis pertama tadi.

            “Hh, thank you so much.” Gadis pertama menerimanya dan kemudian mengenakan sepatu slop berwarna biru tersebut. “Well, this is so beautiful”.

            “Yeah, you’re welcome. I am Pricila”. Sahut gadis berbehel tersebut.

            “Ya. And I’m Via”. Sahut Gadis yang sepatu hak-nya patah itu, ternyata bernama Sivia.

“Via, mm… are you Indonesian?”

“Yes. Of course”. Jawab Sivia pasti dengan senyum.

“Serius? Ternyata… Aku juga orang Indonesia. Kenapa harus susah-susah pake bahasa Inggris segala sih daritadi?” Sesal Pricila. “Hahaha….” Kedua gadis itu tertawa geli. Mengira satu sama lain bukan WNI asli dengan style mereka yang sangat elegan ditambah datang dari arah stasiun kedatangan luar negeri.

“Pricila, makasih buat pertolongannya. Pasti aku balikin sepatunya, aku minta kartu nama kamu boleh?”. Tawar Via.

“Kenapa nggak.” Pricila membongkar tas di bahunya, mengeluarkan kartu nama lengkap dengan nomor Hp, alamat e-mail, serta alamat rumah di Indonesia. “Dateng aja ke rumah, tapi nggak usah dibalikin kali sepatunya. Anggap kenang-kenangan”.

Sivia hanya tersenyum dan menerima kartu nama itu.

“PRICILA…”. Suara seorang cowok menyapa. Si pemilik nama pun menoleh, begitupun Sivia. Dan mereka mendapati seorang cowok berpenampilan penuh kharisma mendekat. “Aku kira kamu udah balik naik Taxi”. Ujar cowok tersebut setelah berhasil menormalkan napasnya.

“Belum kok. Baru juga nyampe”. Kata Pricila lembut pada cowok tersebut. “Oh iya, kenalin dong, ini Sivia temen baru aku”. Sambung Pricila.

Akhirnya cowok itu beralih pandang ke gadis yang dimaksud Pricila. Ia baru menyadari ada seseorang gadis lain di sebelah Pricila, mungkin perhatiannya tersita pada pencarian Pricila.

Sedangkan Sivia sendiri sedang membatu. Bahkan sejak tadi, sejak mendengar suara cowok itu menyapa, walau bukan menyapa namanya, seperti sediakala. Telinga Sivia hafal betul logat, nada, dan suara khas itu. Sivia memandang lekat mata cowok di hadapannya. Bagai mendapat tatapan teduh yang lama Ia rindukan. Tatapan yang tak asing.

“Vi, kenalin, ini Alvin pacar aku”. Pricila memperkenalkan dengan senyum lebar.

Degh! Benar. Cowok itu Alvin. Sahabat Sivia. Tiba-tiba rasanya campur aduk. Hampa. Raga Sivia memang di sana, tapi jiwanya seperti sudah hilang. Tapi juga dilanda rindu, saat mata itu menatapnya.

“Via”. Yak. Sivia mendengarnya. Alvin mengucapkan namanya seperti dahulu.

“Alvin”. Sivia berusaha mengembalikan jiwanya lagi.

“Lho? Kalian saling mengenal?”. Kaget Pricila.

**********

Resto Berry. Tak jauh dari bandara. Mereka memilih tempat itu, untuk memperjelas semua. Mereka ; Sivia, Alvin, Pricila.

“Dunia memang sempit ya. Temen baru aku, sahabat pacar aku”. Pricila tertawa kecil, menganggap itu hal yang lucu. Apakah lucu bagi Sivia dan Alvin?

Sivia memasang ekspresi datar, begitupun Alvin. Saling menatap, namun menerawang jauh, dalam. Mereka hanya diam, tanpa kata. Jus yang masing-masing mereka pesan, belum tersentuh sama sekali. Hingga titik-titik air memenuhi dinding luar gelas. Berbeda dengan Pricila, yang sudah menghabiskan setengah gelas jusnya.

“Apa pacar kamu nggak pernah cerita?”. Pertanyaan Sivia terlontar seperti jusnya, terkesan dingin.

Pricila  tersenyum. “Alvin mah, tiap hari bilang kalau kangen sahabatnya, rindu sahabatnya, tapi nggak pernah cerita selebihnya. Setiap aku mau bahas, dia mengalihkan pembicaraan. Kasih tau nama kamu aja nggak sama sekali”

Sivia beralih pandang ke Alvin yang menunduk, menyembunyikan wajahnya. 
“Kenapa Al?” Batin Sivia.

“Tapi sekarang kamu udah tau kan”. Alvin mengangkat wajahnya dan angkat bicara.

“Iya. Jadii, boleh kan aku temenan kalau bisa sahabatan sama sahabat kamu juga. Yaa… kali aja aku bisa tau banyak tentang kamu ke Via”. “Ya kan Vi?” Pricila memastikan ke Sivia.

“Ha? Mm… iya, tentu” Jawab Sivia yang tak siap mendapat pertanyaan tersebut.

**********

Masih belum tiba di rumah. Sudah diputuskan Sivia jauh-jauh hari, akan mengunjungi tempat ini. Ia sudah berjanji pada diri sendiri akan mengunjungi tempat ini pertama, setibanya di Indonesia. Dan janji itu pasti sudah terlunasi, jika tidak isi singgah di Resto bersama Alvin dan Pricila. Sungguh di luar rencana.

Sivia meletakkan setangkai mawar putih di dekat nisan. Tangan kanannya mengusap lembut nisan marmer yang sedikit berdebu. Tidak diragukan lagi, itu makam Gabriel. –Kekasih- yang sudah meninggalkannya ke tempat keabadian.

“Aku kangen kakak. Hh… Kak Gabriel, aku udah balik ke Indonesia, dan tempat ini yang aku kunjungi pertama. Lihat, koper aku masih di Taxi Kak”. Sivia tersenyum simpul,tulus. “Kak Gab, ada sesuatu yang ingin aku certain banyak ke kakak. Tentang sesuatu yang nggak aku ngerti. Tapi aku sendiri nggak tau apa itu”.

Sivia membiarkan otot perutnya berkontraksi, agar udara segar terhirup. Dan melanjutkan pembicaraan monolognya. “Ohya, tadi aku ketemu adik kakak yang super nyebelin itu. Dia hebat kak, udah punya pacar, cantik, baik lagi”. Mengucapkan itu, suara Sivia melemas. “Sekian dulu kak. Aku pulang ya. Aku sayang kakak selalu”.

Walau hanya dijawab gerimis hujan, tapi Sivia yakin Gabriel pasti mendengar semuanya. Dan itu menyebabkan Sivia lega. Iya, dia lega. Karena sebenarnya ada sesuatu yang bergeliut di benaknya semenjak pertemuannya dengan Alvin bersama kekasihnya di bandara dan sudah sedikit tercurahkan. Entah apa itu.

**********

Dan kini, Sivia benar-benar tiba di rumah. Bertemu kembali dengan Mama, Papa. Berjumpa lagi dengan Capulet kucing kesayangannya. Bertemu Pak Iman, Bi Ijah pembantunya di rumah.

Sivia baru tiba setelah berkujung ke belahan dunia bagian barat, tepatnya Eropa. Di sana bukan untuk sekedar jalan-jalan menghabiskan waktu dan uang. Justru Ia mendalami ilmu psikologi jurusan yang dipilihnya. Sudah semenjak 3 tahun lalu saat lulus dari seragam putih –abu. Dan saat itu juga Ia harus berpisah –lagi- dengan Alvin, sahabatnya.

*Flashback

“Gue mau ke Eropa Al, gue kuliah di sana untuk 3 tahun”. Sivia mengadukan rencanya di saat sedang beristirahat sejenak setelah bersepeda dengan Alvin merayakan kelulusan mereka. Walaupun Alvin lulus dari Home Schooling-nya.

“Ha? Eropa? 3 tahun? Loe ninggalin gue jelek? Kok tega sih. Siapa coba yang gue ajak main sepeda lagi? Sepi deh hidup gue”. Celoteh Alvin.

Sivia tak segan menoyor kepala Alvin hingga cowok bermata sipit dengan tatapan bening itu terdorong, saat mendengar celotehannya yang tak mutu sedikit pun.

“Lebay loe. Sekali-sekali kita misah. Kita punya kehidupan masing-masing. Nggak selamanya harus bareng kan walaupun sahabatan, temen loe juga banyak kali. Jangan deket sama gue terus, ntar loe nggak laku, dikiranya kita pacaran lagi”. Cerca Sivia. Alvin terdiam, merenungi setiap cercaan Gadis yang ‘diklaim’ sebagai sahabatnya itu.

“Lho? Bukannya kita memang pacaran?”

“Aaaalll… sejak kapan? Gue masih pacarnya kak Gabriel kaleee” Kesal Sivia akibat pengakuan tidak sah dari Alvin.

Alvin tersenyum miris. “Loe belum lupain dia Vi?” batin Alvin.

“Apa kata loe deh. Kalau emang keputusan loe udah bulet, gue dukung. Baik-baik di sana yaa. Kejar cita-cita loe!” Alvin menyemangati.

“Pasti. Makasiih Al. Already missing you. Kalau loe kangen gue, e-mail aja yaa”. Spontan Sivia memeluk sahabatnya itu. Awalnya ragu, tapi perlahan tangan Alvin membalas pelukan sahabatnya juga, yang mungkin sekaligus menjadi pelukan perpisahan mereka

*Flashback end

**********

“Anak kita cantik ya Ma? Jangan-jangan ketularan bule Eropa”. Anto, Papa dari gadis berlesung pipi semangat menggoda.

Sivia, Mama serta Papa dan berkumpul, berbincang hangat melepas rindu di ruang keluarga setelah sekian lama terpisah jarak dan waktu.

“Papa, Via memang aslinya cantik, jadi gak mungkin ada ketularan bule gitu”. Indah, Mama Sivia tidak membenarkan pendapat suaminya.

Sivia hanya tertawa geli mendengarnya. Gurauan ini sudah lama tak didengar telinganya. Sivia bergelayut manja di pundak Sang Mama. Meluapkan rasa rindu mendalam. “Via, kamu masih ingat ucapan Mama tempo hari di telepon tidak? Tentang saudara kamu?”. Mama Sivia memulai.

Sivia melepaskan pelukannya, lantas menatap Mama Papanya bergantian. Namun dari sorot matanya, sepertinya Ia berusaha mengingat ‘ucapan’ yang dimaksud Mamanya. “Saudara?” Ulangnya. “Ooh.. iya Ma. Saudara angkat Via kan?”

“Benar. Sudah hamper setahun dia tinggal bersama kami. Mama dan Papa sudah resmi mengangkatnya sebagai anak semenjak setahun lalu saat kamu masih di Eropa. Dan hari ini jika tidak keberatan, akan Mama Papa kenalkan ke kamu Vi.” Jelas Papanya.

“Tentu nggak Ma, Pa. Via seneng malah punya saudara”. Sahutnya tulus.

“Makasih sayang. Kamu anak yang baik.” Sivia kembali mendekap Mamanya.

“Saat itu Papa tak sengaja menyerempet seorang gadis yang bersepeda”. Papanya membuka cerita. “Papa lihat sorot matanya memancarkan kesedihan. Dan benar saja, saat Mama kamu bertanya, ternyata gadis itu sedang terburu-buru menuju rumah sakit, setelah mendapat kabar keadaan ibu nya yang memburuk. Dan kami antar gadis itu ke tempat tujuan, Vi.”

“Dan kesedihannya bertambah saat mendapati ibunya sudah tak bernyawa. Ibunya menderita demam berdarah. Hanya saja penanganan yang lambat ditambah keadaan keluarga yang tak mencukupi berakibat fatal”. Sambung Mama Sivia.

“Melihat gadis itu, Papa dan Mama teringat kamu. Teringat memiliki anak gadis dewasa. Maka dari itu kita memutuskan untuk mengajakserta gadis itu tinggal bersama kita. Kasian jika Ia harus menanggung beban sendiri, ayahnya pun telah meninggal.” Sivia agaknya tersentuh, lantas menyeka butiran bening di pelupuk matanya.

“Haloo.. Ini Kak Via ya?”. Sapa seseorang ramah dan hangat.

Sivia terdiam sesaat melihat gadis imut mungil manis muncul di hadapannya. Ia berusaha membalas keramahan gadis itu.

“Iya. Kamu…?”

“Aku Keke Kak, anak angkat Mama sama Papa dan akan menjadi adik angkat kakak” Sahut Keke polos.

“Sekarang aku kakak kamu. Aku Sivia”. Tanpa ragu Sivia mendekati Keke dan merangkulnya.

“Semoga kalian bisa menjadi saudara seutuhnya”. Harap Sang Mama yang disetujui Papa jua.

**********

Matahari sudah selesai menjalankan tugasnya sebagai sumber energy terbesar sehari ini, dan kembali ke asal yang mungkin akan menjalankan tugasnya di belahan bumi lain.

Di kamar bernuansa putih dengan pernak-pernik girly. Kamar yang 3 tahun terakhir ditinggalkannya. Tidak banyak yang berubah dari kamar ini. Tapi yang berubah adalah keadaan. Rumah, keluarga, bahkan sahabatnya. Yaa… sahabatnya, Alvin kini sudah tak menyendiri lagi seperti masa-masa remaja mereka. Sudah ada yang memikat hati sahabatnya itu. Kekhawatiran Sivia tempo hari jikalau Alvin tak akan laku jika terus nempel dengannya tak terbukti. Sudah Ia saksikan sendiri Alvin mampu mendapatkannya, mendapatkan seorang wanita pujaan, baik, cantik, ramah seperti Pricila. “Yaampun Sivia kamu kenapa?”. Ia berkata seorang diri tanpa ada yang menjawab.

Sivia terkesiap merasakan getaran di sebelahnya. HP-nya  bergetar dan berdering menandakan ada panggilan masuk. “Halo”. Sapa Sivia.
“Halo Vi. Ini gue Alvin”. Sahut orang di seberang.

“Ha? I… Iya. Ada apa Al?”. Tanya Sivia bersusah payah berusaha setenang mungkin, karena awalnya agak terkaget.

“Via via, segitu kangennya loe sama gue ya, sampai kaget gitu. Biasa aja kali”. Canda Alvin.

“Sok tau! Loe telpon malem-malem gini, ya gue kaget lah”. Sivia beralih. Padahal, dilihatnya kini bayangan wajahnya di cermin yang merah merona.

“Iya deh. Gue telpon loe mau marah, balik ke Indo gak bilang-bilang. Tapi ya udahlah. Terus, gue juga mau ngajakin loe jalan besok, seharian penuh. Gimana? Banyak yang mau gue certain dan mau gue tanyain ke loe. Pokoknya nggak ada penolakan.” Pinta Alvin.

Dan Sivia membekap mulutnya untuk menahan tawa mendengar permintaan sahabatnya itu. “Sebenernya yang kangen itu siapa sih. Heran deh. Hihi…”

“Via serius… Tapi kita ketemuan aja ya di café deket SMA dulu jam 2 siang. Soalnya paginya ada urusan di kampus sebentar. Biasa calon  dokter”. Nada Alvin membanggakan diri.

“Kalau pengen curhat ke rumah gue aja kalii seperti biasa. Gak usah pake jalan gitu”.

“Kan gue pengen nge-date sama loe. Udah ah, pokoknya inget besok”. Tanpa menunggu jawaban Sivia, sambungan telah terputus oleh Alvin. Sementara Sivia masih melongo mendengar perkataan akhir Alvin.
“Nge-date?”. “Hhh… Kak Gab, adik kakak anehnya nggak ketulungan”. Ucap Sivia pada foto Gabriel yang bertengger di meja belajarnya.

Sivia kembali terkesiap ketika mendengar pintu kamarnya yang diketuk berkali-kali. “Masuk”. Ucapnya.

“Malam Kak”. Keke ternyata, membawa segelas susu hangat. “Setiap malam sebelum tidur susu hangat menjadi menu favorit dan wajib Kakak kan”. Sivia menerima segelas susu hangat tersebut dan menegaknya perlahan.

“Makasih yaa”. Keke hanya mengangguk dan tersenyum simpul. “Kamu umurnya berapa Ke?”

“Mau 16 tahun kak. Selesai liburan ini aku kelas 2 SMA”

“Oo.. belajar yang baik ya”. Lagi-lagi hanya dijawab anggukan oleh  Keke.

“Kak Via kangen mereka?” Pertanyaan yang tak cukup jelas dari Keke membuat Sivia menoleh sebentar.

“Mereka?” Ulang Sivia.

“Mereka, Kak Gabriel dan Kak Alvin. Kakak pasti kangen mereka ya”. Terka Keke.

“Kamu tau tentang mereka?” Tanya Sivia masih terheran.

“Tau sebatas cerita dari Mama dan Papa. Yang tau tentang mereka lebih itu Kak Via dan hati Kakak”. Sivia mengernyitkan dahinya. Pembicaraan gadis belia ini lebih dewasa dari umurnya. Dan tak seharusnya Ia heran. Keke adik nya, sudah sepantasnya dan seharusnya Ia tahu  cerita di keluarga ini, termasuk cerita tentangnya.

“Maaf Kak aku lancang. Kalau gitu aku pamit, selamat malam”.

Sepeninggal Keke, Sivia terlamun. “Yang tau tentang mereka lebih itu Kak Via dan hati Kakak”. Kalimat itu terngiang. Apa hatinya tau? Tau tentang sesuatu yang mengganjal. Tapi kenapa hati itu enggan berbisik sesuatu, enggan memberitahukan yang sebenarnya. Atau hati itu sedang menunggu waktu?

**********

Matahari memancarkan sinar sebagai salam hangat menyambut setiap insan yang baru bangkit dari bunga tidur. Begitupula yang dirasakan Sivia. Sinar Raja Siang mungkin sudah tak hangat lagi, sebab Sivia bangun kesiangan. Maklum, pagi pertama setibanya di Indonesia. Langsung saja Ia mendatangi meja makan untuk ikut sarapan pagi walau agak telat.

**********

Berkali-kali Sivia mengganti channel TV di ruang tamu dan sesekali melirik jam dinding. ‘ 3 jam lagi’ batinnya.

“Kak Via. Kakak nggak apa-apa kan? Kok channelnya diganti terus?” Keke hadir dengan nada cemas. Gadis mungil satu ini memang adik yang perhatian.

“Oh nggak kok, ngebosenin semua sih acaranya” Alih Sivia. Keke manggut-manggut kemudian mengambil posisi tepat di sebelah seseorang yang semenjak kemarin ditemuinya dan sudah nyaman memanggilnya dengan ‘kakak’. “Kakak nggak siap-siap? Kan mau ngedate sama Kak Alvin” Ujar Keke. Keke tau, bagaimana bisa. Sivia terpelonjak. “Nggak usah kaget kak. Nih” Keke memperlihatkan screen BlackBerry nya dan terbaca jelas di sana ada chatting antara Keke dan Alvin.

“Alvin” Gumam Sivia. “Kalian udah kenal deket ya?” Tanya Sivia heran.

“Yaa, seiring berjalannya waktu Kak. Lagian mau nggak mau, Kak Alvin kalau kangen Kakak pasti curhatnya ke aku, ke siapa lagi coba? Kak Pricila? Nggak mungkin banget deh”.

Sivia mengangguk dan memainkan rambut panjangnya. Keadaan sudah sangat berubah. Dan tak disangka sebesar inikah perubahannya.

“Kakak ngapain masih di sini? Nggak jadi ngedate?” Tanya Keke. “Bukan ngedate sayang, Cuma jalan bareng aja, dan itu 2 jam lagi”. Sahut Sivia memperingati. “Tapi emang nggak pengen siap-siap? Nyalon gitu kek” Jawab Keke. Memperhatikan Kakaknya dari atsa sampai bawah.

“Apaan sih Ke, gini aja udah oke. Kayak mau ketemu siapa aja”. Via menyahut enteng, kemudian asik dengan camilannya.

“Mau ketemu sama cowo yang punya isyarat mata lain dari biasanya kalau udah natap Kakak”. Seusai melontarkan kalimat itu, Keke kabur menuju lantai 2 rumahnya.

“KEKE SOK TAUUUUU!!!”. Mendadak Sivia berseriosa-ria di rumahnya. Kalau saja suaranya tidak merdu, bisa-bisa terjadi amuk masa dari tetangganya.

**********

Keke menutup majalah yang menjadi temannya selama menunggu Sivia mempercantik diri di sebuah salon ternama. Kemudian pandangannya beralih ke sosok gadis di depannya, kini tampil lebih fresh dengan rambut barunya sebahu. “Kak Via, perfect. Look so pretty” Pujian itu terlontar tulus untuk Sivia. Dengan model rambut baru sebahu, dipadukan dengan T-Shirt lengan panjang bergaris.  “Bisaa aja kamu, makasih”.

“Serius Kak. Nggak bohong deh. Bener kan Keke bilang apa, harus nyalon dulu. Nah, sekarang udah mau jam 2 nih, kakak langsung ke tempat tujuan aja, Keke pulang duluan”

“Thank you dear udah mau nemenin. Nggak apa nih pulang sendiri?”. Tanya Sivia meyakinkan.

“Iya, percaya sama Keke Kak. udah buruan, nanti Kak Alvin nungguin lama lagi.”

**********

Pukul dua lebih dua puluh menit, Alvin belum menampakkan batang hidungnya. Aneh, harusnya si pembuat janji datang lebih awal. Oke sabar, ini memang pertama kalinya Alvin dan Sivia mmembuat pertemuan setelah sempat tak berjumpa. “Aaal, liat aja lo ntar, seenaknya dateng telat”. Sivia ngedumel nggak jelas.

“Hai Vi.. Duh, sorry telat. Tiba-tiba Pricila minta dianter belanja”. Pinta Alvin. Keringat membasahi keningnya dan beberapa helai rambutnya. Dan langsung tanpa ijin merebut jus jeruk yang bersisa setengah gelas yang menjadi saksi kebosanan Sivia menunggu sedaritadi. Setelah itu, Alvin duduk dan mengatur napasnya, kemudian memerhatikan gadis di hadapannya. “Eh, itu rambut kok tinggal segitu? Yang lain ke mana?” Kaget Alvin.

“Dipotong”. Datar Sivia.

“Aah, sempet aja ke salon, gara-gara gue ajakin ngedate yaa?” Canda Alvin.

“Aall, lo tau nggak, gue di sini…”

“Tapi cantik lho Vi, serius”. Tandas Alvin. Hanya dengan kalimat itu, mampu meredam amarah Sivia. Dan kini gadis itu malah salah tingkah.

“Udah deh, buruan pesen makanan. Abis itu bilang apa yang mau dibicarain. Kasian Keke sendiri di rumah” Sivia mengomel. Kali ini Alvin menurut tanpa komentar, tak ingin menimbulkan kekesalan Sivia lagi.

“Keke anaknya asik nggak Vi menurut lo?” Tanya Alvin setelah seorang pelayan café itu mencatat pesanan dan pergi. Oke, Sivia tahu betul ini pertanyaan basa-basi oleh Alvin.

“Asik banget. Cepet akrab. Gue udah nyaman sama dia” Sahut Sivia sambil memainkan telpon genggamnya.

Alvin memerhatikan Sivia. Ia pikir, sepertinya gadis itu sedang tidak dalam mood. Apa karena keterlambatan dirinya. Tapi bukannya Alvin sudah minta maaf dan menjelaskan alasannya. “Eh, kok bisa sih kita lost contact, padahal awal-awal masih kirim-kirim e-mail kan?”

“Nggak tau. Nggak ngerti. Takdir mungkin”. Sahut Sivia sekenanya.
“Vi, lo sakit?” Alvin mulai cemas. Tapi Sivia menggeleng dan tetap asik dengan HP-nya. “Ohya, lo ditanyain sama Pricila”.

“Pricila?”. Via mengulang nama itu, seakan nama itu sosok asing yang kini tiba-tiba muncul di kehidupannya. “Oh, Cewe lo. Aduh, gue lupa lagi naruh kartu namanya. Gimana gue bisa kembaliin sandalnya”. Paniknya dan mulai membongkar isi tasnya.

“Bukan gitu Vi, nggak usah dibalikin katanya. Pricil pengen ketemu lo, bisa ngobrol atau jalan bareng gitu kayak cewe-cewe kebanyakan lah”

“Oh gitu, iya boleh. Gue mau-mau aja. Gue minta pin nya”. Ujar Sivia dan meraih BB Alvin.
“Lagian elo sih, pas itu udah tau higheelsnya udah mau lapuk, masih dipake aja.” Alvin senyum-senyum penuh arti. “Ehem, pasti deh lo inget sama yang ngasi kan?” Canda Alvin lagi. Karena memang benar higheels itu pemberian Alvin sebelum Sivia pergi ke Eropa.

“Al, plis. Nggak ada yang lucu”. Kesal Sivia.

“Lucu dong, coba deh kalo nggak ada Pricila, lo pasti udah nyeker kan?” Alvin sumringah dan tertawa kecil.

Tapi tidak bagi Sivia. Ucapan Alvin itu bagaikan ultimatum. Alvin membanggakan Pricila. Oke nggak heran, mereka sepasang kekasih. “Iya deh, Pricila cewe lo emang jadi malaikat gue saat itu”. Dengan garang langsung melahap pesanannya yang baru datang.

“Kayaknya gue salah ngomong deh. Bego lo Al”. Alvin mencaci diri sendiri dalam hati.

Setelah lumayan lama hening. Hanya terdengar dentingan garfu, serta sendok, Alvin mencairkan suasana lagi. “Udah ke makam Gabriel?” Nada bicara Alvin kini lebih serius.

Mendengar nama itu, penghuni hatinya dulu, Sivia menatap Alvin dan menjawabnya dengan anggukan. “Tepat setelah kita makan di Resto Bery. Pasti deh dia lagi bahagia di sana ya, tenang, damai. Gue kangen, matanya, suaranya, semuanya”. Sivia meletakkan garfu dan sendok kemudian menyeruput jus strawberry yang baru dipesannya lagi. “Udahlah, gimanapun Kak Gabriel abadi di hati gue, Sivia”. Ujar nya tulus disertai senyum. “Lo sendiri gimana, pasti sering ke makam Gabriel ya?” Tanyanya balik.

“Gue tau Vi, abang gue akan abadi selamanya di hati lo. Tapi apa hati lo sepenuh itu buat Gabriel walaupun dia udah pergi?” Ungkap Alvin dalam hatinya.

“Al, denger gue nggak?” Tegur Sivia. “Eeh, iya. Hamper seminggu sekali”. Sahut Alvin dengan cengiran. “Vi… mama sakit” Ujar Alvin pelan.

“Tante sakit? Sakit apa Al? Trus gimana keadaannya sekarang?” Terlihat kekhawatiran di wajah Sivia. Bagaimanapun juga, Ia sudah menganggap Mama Alvin dan Gabriel seperti Mamanya sendiri.

“Tenang Vi, sekarang Mama udah sehat. Maksud gue, Mama sakitnya sekitar setahun lalu, gula darah Mama sempat tinggi dan dirawat di rumah sakit. Loe inget Dokter John gak? Dokter yang nanganin Abang gue dan gue saat peristiwa itu?” Sivia mengangguk, menanti kelanjutan cerita Alvin. “Dan Dokter John juga yang ikut membantu kesembuhan Mama. Beliau adalah Papanya Pricila, Vi.”

“Papanya Pricila?” Ulang Sivia agak kaget. Alvin mengangguk. “Saat mama dinyatakan sudah pulih, Dokter John serta Pricila diundang makan malam di rumah, dari sana gue kenal dia. Nggak jarang Pricila main ke rumah menemui Mama, karena Ia merindukan sosok Ibu, mamanya sudah tiada. Dan seiring berjalannya waktu, gue sama Pricila deket, sering curhat tentang orang yang masing-masing kita suka. Siapa sangka dari kedekatan kita ada rasa saling mengagumi, maka dari itu…..”

“Maka dari itu akhirnya kalian jadian kan?” Terka Sivia. “Nggak Vi, nggak ada kata jadian antara gue sama dia, bahkan sama sekali gue nggak pernah nembak dia atau sebaliknya. Hubungan kita ngalir gitu aja, sampai pada akhirnya ortu kita mencetuskan kata Tunangan.”

“Tunangan??” Lagi-lagi Sivia terkaget.

“Iya. Tinggal menghitung hari menuju hari H”. Ujar Alvin lemas sambil menunduk. Kesempatan itu digunakan Sivia untuk menyeka butiran bening yang entah mengapa tiba-tiba memaksa keluar agar tak terlihat sahabatnya itu. “Kenapa Al?” Sivia menggenggam lembut tangan sahabat karibnya. Alvin mendongak dan menatap Sivia seolah bertanya maksud pertanyaan Sivia. “Kenapa lo lesu gitu? Katanya mau tunangan, yang semangat dong” Seulas senyum tersungging di bibir Sivia dan tepat saat itu butiran bening yang tadi sudah berhasil disingkirkan kali ini jatuh jua. Cepat cepat Ia menyekanya lagi.

“Trus kenapa lo nangis Vi?”

“Gue.. gue terharu aja Al, nggak nyangka, lo yang dulu gue kira nggak akan laku, ternyata udah mau tunangan, sama cewek cantik pula”

“Tapi Vi… sebenernya gue…” Alvin tak mampu melanjutkan kalimatnya. Tapi matanya berbicara.
“Tuhan. Mata ini lagi. Sorot matanya, isyarat matanya. Apa arti dari itu semua Tuhan” Batin Sivia meratap.

**********

Keke menaiki tangga, dan berhenti di depan pintu kamar Kakak nya. Sudah dari tadi Sivia tidak keluar kamar, semenjak tiba di rumah sehabis makan dengan Alvin pukul setengah lima sore hingga kini jarumjam menunjuk angka sembilan malam. Sudah tiga kali Ia mengetuk pintu kamar, namun tak ada sahutan. Oke, Keke akan mencobanya kembali beberapa menit lagi.

Sementara, di dalam kamar itu sendiri. Sivia masih dengan pakaian yang sama digunakan bertemu Alvin tadi, menggeliatkan tubuhnya di atas kasur. Ia sudah terpejam untuk beberapa jam, mungkin kelelahan. Sivia membelalakkan matanya saat mendapati jarum jam menunjuk angka Sembilan, karena sedikit ragu, Ia menyibak korden jendela pemisah balkon dengan kamanya dan melihat hamparan langit yang sudah gelap bertabur bintang. “Ya ampun, gue ketiduran”. Ujarnya seorang diri. Pikirannya kembali teringat dengan pembicaraan Alvin beberapa jam lalu, kemudian teringat akan sorot mata cowok itu. Sivia mulai menerka, apa mata itu mengisyaratkan suatu kebahagian atas proses kedewasaan status yang akan dijalaninya nanti bersama Pricila. “Bukan. Bukan itu”. Elaknya dalam hati.

“Auw” Rintih Sivia sambil memegangi perutnya. Organ di dalam perut itu, mulai menagih pasokan pangan untuk dicerna. Tanpa, pikir panjang, Sivia menuju dapur dan memasak pasta.

**********

Keke menggelengkan kepalanya pertanda geli melihat Kakak gadisnya itu begitu lahap menikmati seporsi pasta di meja makan.

“Si kakak mah, kalo laper baru keluar kamar. Keke udah berkali-kali ngetuk pintu” Protes Keke duduk di kursi sebelah Kakaknya.

“Sorry Ke, kakak ketiduran tadi. Capek banget, ini juga belum mandi. Mama Papa belum dateng ya?”
“Katanya besok pagi Kak, tadi udah telpon. Trus gimana kak tadi ngedatenya?” Tanya Keke ingin tahu.

“Nggak ngedate Ke. Ternyata Alvin Cuma mau bilang kalo dia sama Pricila mau tunangan. Itu aja sih intinya dia ngajakin Kakak jalan” Sivia menyahut lesu.

“Tunangan? Serius Kak? Buru-buru amet?” Kaget Keke. Sivia mengangkat bahunya sebagai jawaban. “Trus, tadi Kak Via dapet ngerasa nggak? Tatapan mata yang beda dari Kak Alvin?” Goda Keke.

“Iya Ke. Tatapan itu beda karena di mata Alvin ada kornea Kak Gabriel. Dan Kakak rindu tatapan itu, pancaran mata itu yang selalu tersirat kasih sayang. I miss that moment”

“Kakak, sabar ya. Secepatnya kakak dapet kasih sayang itu lagi walaupun dari orang yang berbeda”
“Makasih Ke. Sini peluk, huhu…” Pelukan antara kakak beradik berlangsung hangat di malam dingin saat itu. “Yaudah lanjut tidur lagi yuk. Malem sistaa”

“Lho? Nggak mandi Kak?”

“Besok aja sekalian dek, nanggung. Bahahahaha…”

**********

Keringat dingin terus membasahi pelipis Alvin. Tak jarang Ia beringsut di ranjang tempat tidurnya. Isi otaknya berkutat ke saat makan bersama Sivia tadi, walaupun matanya terpejam. Apa benar langkah yang diambilnya? Mengapa semua terasa berat untuk menjalani pertunangan yang sudah direncanakan matang ketika kembali melihat mata nya, mata gadis yang menjadi sahabatnya, Sivia.

“Gab, maaf. Gue nggak becus jagain Via lo seperti yang lo minta. Ditambah lagi gue akan tunangan. Maaf Kak. Andai ada jalan keluar yang tanpa menyakiti hati siapapun”

“Lo nggak salah Vin. Gue udah lihat semua yang lo lakuin ke Via. Lo udah kasih perhatian lebih ke dia, lebih dari yang gue kira, lebih dari yang gue pernah berikan, dan lo udah ngelakuin itu dari dulu. Saran gue, sebelum semua terlambat, pikirkan baik-baik, ucapkan dan laksanakan. Perjuangkan cinta lo, Vin. Dan itu hanya untuk Via kan? Kelak nanti, gue nggak ingin lihat pancaran mata lo yang sedih akibat salah langkah, gue nggak ingin ada mata yang selalu tergenang air mata, gue nggak mau mata gadis gue ikut menangis menanti harapan kosong. Lo boleh nggak percaya gue, tapi percaya sama hati lo Vin, hati kecil elo udah berkoar menjerit kalo Via punya rasa yang sama seperti yang lo rasain. Gue harap lo nggak lupa Vin, kornea yang gue donorkan untuk kebaikan lo dan semua orang yang gue sayang. Jadi selagi lo mampu, lakukan yang terbaik. Lo bisa Vin, bisa, pasti bisa…..”

“Gabrielll………” Hanya mimpi. Alvin terjaga dari tidurnya. Keringat dingin semakin membasahi sekujur tubuhnya. “Maaf Gab” Lirih Alvin.

**********

“Mamaa.., kenapa nggak kabarin sih kalo tante Lia sempet dirawat di rumah sakit?” Sivia mencak-mencak menemui Mama nya di ruang tamu yang sedang asyik berdiskusi dengan Papa nya dan Keke masalah Universitas yang akan dipilih adik angkatnya itu.

“Via, pagi-pagi gini anak gadis kok mencak-mencak sih” Tegur Anto, Papanya.

“Abis, ngeselin. Kayaknya Via nggak dianggep gitu.”

“Yaudah Mama sama Papa minta maaf sayang, kita sengaja, biar kamu nggak ikutan cemas. Toh kamu udah tau, dari Alvin kan?” Sang Mama membelai rambut gadisnya yang lagi pasang muka manyun. “Kalau Via mau, sekarang Mama temenin main ke rumah tante Lia yok. Tante juga nanyain kabar kamu, katanya kangen sama mantan calon menantu”

“Beuh, emang maunya Kak Via tuh biar diajak main ke rumah Kak Alvin.”

“Keke nggak mulai plisss…”

**********

Sivia melempar pandangan ke setiap sudut ruangan. Entah kapan terakhir dia ke sini. Di sini, di tempat ini dapat dikatakan menjadi saksi biksu kebersamaannya dengan Gabriel. Iya. Kali ini Sivia dan Mama mengunjungi kediaman keluarga Alm. Gabriel yang memang terletak tak jauh dari rumah.

“Sivia… Yampun gimana kabarmu nak?” Lia menyambut hangat kedatangan Sivia dan Mama bahkan tak ragu untuk memeluknya. “Baik kok tante, sehat. Kata Alvin tante sempet dirawat di rumah sakit ya?”
“Oh itu, udah lama. Sekarang udah sehat lagi. Silahkan duduk dulu” Ujar Lia ramah. “Bik Santi tolong buatkan minum buat Sivia dan Bu Indah ya” Perintahnya. “Baik bu”.

“Sivia kesal karena tidak diberitahu kalo Calon mertuanya dulu sempet masuk rumah sakit, makanya saya temenin main ke sini Bu” Mama Sivia mulai berguyon. “Mamaa” rajuk Sivia menahan malu.

“Haha… Mama kamu bisa saja Vi. Alvin pun sengaja tante minta agar tidak memberitahumu. Takut kalau kamu cemas seperti sekarang ini kan. Sivia dari dulu anak yang perhatian ya, andai kamu bisa jadi menantu tante. Sayangnya Gabriel sudah pergi” Ujar Lia penuh harap. DEGH!  “Menantu?” ulang Sivia dalam hati.

“Mamaa, Alvin pulang” Jerit suara itu jelas terdengar seisi ruangan. “Iya Alvin. Eh sama Nak Pricila juga?”
Mendengar nama itu. Sivia menoleh dan benar memang melihat Alvin bersama calon tunangannya bahkan tangan Pricila masih betah mengait di lengan Alvin. Dan seketika Alvin menjauhkan tangan calon tunangannya itu.

**********

Mereka membiarkan masing-masing kaki mereka terendam dalam genangan bening air kolam. Menyebabkan kolam renang yang terletak di halaman belakang rumah Alvin itu ada beriaknya. Ini bukan pertemuan mereka yang pertama kali, namun tetap masih terasa canggung antara dua gadis menawan ini.

“Aku lihat, hubungan kamu sama Alvin deket banget ya, orangtua kalian pun sangat akrab satu sama lain” Ujar Pricila pada gadis di sebelahnya.

Sivia tertawa kecil menanggapi itu. “Kebetulan rumah kita juga berdekatan” Sahut Sivia tenang, setenang langit siang itu. Tak terlihat banyak awan yang menemani. “Gimana persiapan pertunangannya Pricil?” Tanya Sivia pelan tetap menikmati air kolam.

“Alvin udah kasih kabar ya? Yaa..hampir sempurna, tinggal menunggu waktu. Kamu dan keluarga udah diundang Alvin kan, dateng ya”. Sivia mengangguk kecil.

Hening lagi. Dalam keheningan itu, di balik jendela ruang tengah seorang cowok dengan kedilemaannya mematung, dan hanya dapat memandangi punggung kedua gadis yang sangat berpengaruh dalam hidupnya.

“Pasti kamu lagi bahagia menanti hari itu”. Perkataan Sivia diiringi seulas senyum seolah ikut merasakan kebahagiaan yang dimaksud. “Apa kamu juga bahagia?” Pricila melempar pernyataan serupa.

“Aku?” Sivia menunjuk batang hidungnya. Tak percaya, menganggap pertanyaan Pricila yang aneh. “I..iya. Pasti. Sahabat aku dan temen aku mau tunangan. Bukan hal yang menyedihkan kan?”

“Kamu tidak takut kehilangan dia?” Sivia mulai terlihat tak nyaman dengan pertanyaan Pricila yang menjurus. “Alvin nggak akan pernah hilang, dia tetep sahabat aku sampai kapanpun, jadi dia akan selalu ada setiap aku butuh” Jawab Sivia lugas setelah sempat memutar otak mencari jawaban.

“Sebagai tunangannya nanti pun, pasti aku juga akan membutuhkannya setiap waktu”. Entah mengapa kalimat itu bagai dentuman sebuah gong yang menandakan Sivia dan Alvin harus menjauh. “Vi, apa kamu mencintai Alvin?”. SKAK. Kenapa pertanyaan ini justru datang dari orang baru yang akan segera resmi menjadi calon pendamping Alvin.

“A…aku… Alvin, dia…”

“Hei cewek-cewek cantik. Ngobrolin apa sih serius amat?” Sergah Alvin tiba-tiba mengambil posisi di antara kedua gadis itu. “Salad buah isi keju tanpa pepaya favorit lo kan Vi, wajib diterima, Bik Santi yang buatin special buat nona Via katanya”

“Iya, makasih Al, bilangin ke Bik Santi juga” Sivia menerimanya agak kikuk merasa tak enak sendiri dengan Pricila. Alvin melakukan hal yang salah, pacarnya Pricila bukan dirinya.

**********

Hari pertunangan yang biasanya dinanti dan dinanti sepasang kekasih, tapi menjadi hari yang sangat ingin dihindari Alvin jika mungkin dilakukan. Dan hari yang dihindari itu justru terasa datang lebih cepat. Bak roket melesat kilat.

“Alvin, Papa sama Mama mau ke hotel, survey tempat pertunangan kamu, takutnya besok ada yang kurang. Kalau mata kuliah kamu sudah selesai, susulin kita ya”

“Ya Pa…” Sahut Alvin ogah-ogahan. Ketahuilah posisinya kali ini masih dibalik selimut, tanpa baju hanya menggunakan celana pendek rambut acak-acakan. Singkatnya belum beranjak dari tempat tidur.

“Alvin, Alvin. Semoga Pricila nggak ilfil kalau tau kamu seperti ini”. Ungkap Papa heran melihat kelakuan anaknya. “Bodo amat Pa”

Frans dan Lia beranjak dari kamarnya dengan keheranan. Putra mereka cuek sekali. Dan Lia memberanikan diri membahas suatu kejanggalan yang dirasakannya pada Sang suami di dalam mobil. “Pa, sepertinya Alvin tidak sreg dengan pertunangan ini. Apa tidak sebaiknya kita bicarakan lagi?” Ungkap Lia.

“Papa juga merasa begitu. Tapi apa penyebabnya coba? Pricila anak yang baik dan cantik pula, Alvin beruntung”

“Entah Pa. Alvin anak Mama, Mama tau betul bagaimana dia. Mama dapat merasakan cinta dan melihat cinta di matanya, hanya saat… saat dia bersama Sivia”. Sesaat Frans menoleh ke arah wanita di sebelah nya. Dan kembali konsentrasi mengendarai mobil.

**********

Halaman demi halaman dibuka perlahan oleh gadis yang terlahir dengan vocal indah ini. Halaman yang dipenuhi rekaman gambar kenangan masa lalu. Ada dirinya sendiri, kekasih yang telah pergi dan sahabatnya. Sivia, sedang membuka memori dalam album kenangan. Kebahagiaan begitu terasa di setiap rekaman gambar itu. Tiba-tiba matanya tertuju pada sebuah gambar yang baru disadari ada di albumnya. Bahkan Ia tak ingat kapan gambar ini diambil. Yang jelas rekaman gambar itu mendeskripsikan suasana kelas yang tidak ada guru saat SMA. Semua penghuni kelas terlihat asyik bercanda tawa layaknya anak SMA. Begitupun dirinya sendiri tampak dengan ekspresi heboh berbincang dengan Alvin. Sementara Alvin menatap lekat gadis yang saat itu bercerita dengan ekspresifnya.

Jantung Sivia berpacu. “Tatapan itu lagi” batinnya. Jari jemarinya mengusap pelan sosok Alvin di gambar itu. “Tapi foto ini sebelum Alvin buta, sebelum Kak Gabriel mendonorkan kornea nya. Kenapa tatapan itu udah ada?” Ujarnya  seorang diri.

“Cinta” Sivia menoleh, Keke sudah duduk manis di sebelahnya dan ikut memandangi gambar di balik jemari Kakaknya. “Bukan karena kornea Kak Gabriel ada di mata Kak Alvin, tapi cinta” Keke meraih tangan Kakaknya dan menempelkantepat di dada Sivia. “Terasa kan Kak?” Sivia tak menyahut. Tapi Ia paham maksud adik angkatnya itu, dan merasakan detak jantung yang berdegup lebih cepat dari normal. “Tatapan mata itu, udah ada sejak dulu jauh sebelum kornea Kak Gabriel bertengger di mata Kak Alvin. Tatapan itu udah berbicara dari dulu. Tatapan itu isyarat mata Kak Alvin, tentang rasa cinta untuk Kakak. Aku nggak tau kenapa Kak Via sulit menyadarinya. Yang terpenting sekarang, ungkapkan Kak, kalo Kak Via juga merasakannya” Keke berargumen.

Sivia memeluk erat adiknya itu. Air matanya pun menetes. “Terlambat Ke. Kak Alvin udah mau tunangan”. Tanpa ragu, Keke membalas pelukan Kakaknya, tanpa komentar lebih lanjut.

**********

Frans dan Lia memandangi putranya yang tertidur lelap. Nampaknya Alvin begitu kelelahan seharian ini mempersiapkan untuk hari esok. Perlahan Lia membenahi selimut yang membalut tubuh Alvin. Ketika itu, tak sengaja tangan wanita itu menyentuh sebuah benda. Sebuah frame kecil ternyata.

Dan sesaat Lia tertegun melihat sosok di frame tersebut. “Pa…” Lia memperlihatkan frame itu pada Frans. Ada keakraban antara Sivia dan Alvin terlukis di foto tersebut ketika masih menggunakan seragam putih abu abu.

**********

Pagelaran pesta cocok digelar hari ini. Karena cuaca sangat mendukung. Seperti yang sudah direncakan sebelumnya, hari ini pertunangan Alvin dan Pricila. Kedua keluarga sibuk mempersiapkan diri. Kesibukan sudah terasa semenjak pagi tadi. Telpon rumah berdering tiap selang beberapa menit. Beberapa dari teman-teman Alvin dari masa sekolah hingga universitas dan beberapa ada dari rekan Papa ataupun Mamanya. Sebagian ada yang mengucapkan ‘selamat’ lebih awal, sebagian ada yang minta maaf karena tidak bisa hadir.

Alvin memerhatikan dirinya di cermin, stelan kemeja serta jas yang dipakai sangat pas di badan. Tapi raut wajah itu nampaknya kurang puas, ada sesuatu yang kurang.

“Akan lebih tampan kalau senyum dikit Vin.”

“Mamaa…” Rajuk Alvin dan akhirnya senyum itu mengembang.

“Kamu bahagia Nak?” Tanya Papa. Alvin terdiam. Apakah ini saatnya Ia mengatakan perasaan yang sebenarnya sebelum terlambat. “Nggak boleh kecewain Papa” Batinnya.

“Tentu Pa, Alvin bahagia”

“Papa harap itu sejalan dengan kata hati kamu. Kalau udah siap, ayo kita berangkat”

“Tapi Pa…” Alvin mencegah. “Kita ke makam Kak Gabriel dulu ya”

**********

Sivia mematut bayangannya di cermin. Dress putih sederhana menjadi elegan saat dikenakan di badannya. Rambutnya yang sebahu dibiarkan tergerai anggun.

“Cantik Kak.” Puji Keke. Ia hadir bersama Mama dan Papa angkatnya.

“Keke emang paling bisa. Kamu juga cantik, Mama juga, Papa juga nggak kalah tampan”  Senyum Sivia tersungging di bibir.

“Tapi tampannya Papa nggak bisa kalahin Alvin toh?” Celetuk Sang Papa tanpa diduga putrinya.

“Papaa apaan sih”. Perpaduan tawa terdengar kompak dari Sang Papa sendiri dan Keke melihat Sivia yang salah tingkah.

“Sudah-sudah. Karena semua sudah siap, mari kita berangkat” Ajak Sang Mama.

“Tapi kita ke makam Kak Gabriel dulu ya” Pinta Sivia.

**********

Mama serta Papanya sudah kembali sekitar lima belas menit yang lalu, sementara Alvin masih betah bermonolog ria di sebelah makam Kaka tersayang. “Kalau keajaiban nggak dateng ke gue, gue minta maaf ke elo Gab. Nggak bisa jagain Via seutuhnya. Udah dulu ya Kak, gue balik.” Alvin beranjak. Dapat Ia rasakan Kakaknya telah menjawab permintaan maafnya melalui isyarat matanya sendiri yang tiba-tiba meneteskan air mata.

**********

Sivia ditemani keluarga berziarah ke makam Gabriel. Diletakkannya setangkai mawar putih. Melihat ada sebuket mawar putih juga di dekat nisan yang masih segar, Sivia yakin baru saja ada yang berziarah juga. Siapa lagi kalau bukan Alvin dan keluarga, pikirnya.

“Kak Gabriel, kita mau ke pertunangan Alvin. Kakak pasti udah tau kan.” Sivia menarik napas panjang. Berusaha keras menahan air matanya namun gagal. Segera Keke memberikan sehelai tissue. Kalau di sana kakak bertanya kenapa aku malah nangis, jawabannya karena haru dan sedih. Via yakin kakak udah tau alasannya. Maaf kak, aku nggak tau kenapa rasa ini juga hadir buat adik kakak. Kakak jangan marah ya, tapi kakak tetep abadi di hati aku. I miss you”

Kepergian Sivia dan keluarga meninggalkan makam diiringi hembusan angin yang hangat merasuk kalbu. Menyatu dengan aliran darah senada seirama dengan detak nadi. Mengeringkan air mata gadis itu.

**********

Event organizer di acara pertunangan Alvin Pricila nampaknya bekerja maksimal. Pesta terkesan sederhana namun glamour. Dekorasinya pun nyaman di pandang mata . Sajian hidangan dengan waitress yang ramah.

Sivia dan keluarga menemui pasangan yang mungkin sedang berbahagia hari ini untuk memberikan selamat. Hati Sivia tak bisa mengelak. Alvin tampil sempurna. Tampan. “Congrats Al. Lo the best deh kalo urusan milih cewek. Pricil selamat ya, kalian serasi” Sivia menyalami pasangan itu, diikuti Keke, Papa dan Mamanya.

“Makasih Vi. Enjoy Party nya ya” Ujar Pricila.

Karena Orangtuanya serta Keke memilih bergabung berbincang dengan orang tua Alvin layaknya orang dewasa, daripada harus merasa perih lagi berdiam di dekat pasangan itu, maka Sivia lebih memilih berbaur ke sekumpulan orang-orang yang dikenalinya sebagai teman semasa SMA, teman Alvin temannya juga. Ternyata acara ini bisa dijadikan ajang reuni. Sivia kembali menyemangati diri sendiri. Inilah yang terbaik untuknya dan Alvin. Semua sudah diatur Tuhan. Maka dipasangnya senyum ramah penuh kebahagiaan palsu saat menemui teman-temannya itu.

Tegur sapa dan basa-basi layaknya orang yang sudah lama tak jumpa. Atau bahkan mengenang masa-masa SMA. Sedikitnya mampu menutupi kebahagiaan palsu gadis beralis tebal itu. “Vi, lo kapan susul Alvin, kita tunggu undangannya” Celetuk salah seorang teman ceweknya.
“Iya-iya. Kalian semua gue undang. Tenang aja” Ucap Sivia enteng.

“Padahal gue kira dulu  Alvin cintanya sama lo Vi. Ternyata meleset ya hihi..” Ujar salah seorang yang dulunya Ketua Osis SMA. Sivia tak menanggapi, atau lebih tepatnya malas menanggapi.

“Vi, denger-denger lo punya adik angkat ya? Kenalin boleh kali. Kali aja klop gitu sama gue. Hehee…” Ujar seorang cowok. Yang mendapat sorakan tak setuju dari yang lainnya.

“Bisa aja lo. Iya bener, namanya Keke. Bentar ya gue cariin” Sahut Sivia.

**********

Sudah lumayan lama Sivia berputar mencari Keke. Kata Mama Papa Ia permisi ke toilet. Sudah ke toilet pun dicari tetap tidak ditemukan. Saat Ia menoleh ke luar jendela di ruangan hotel, sesaat Ia tertegun mendapati pemandangan yang memanjakan mata. Suasana pantai saat malam hari. Baru disadari hotel ini bersebelahan dengan pantai. Ombaknya tetap berlomba-lomba menuju tepi dan kembali ke menyurut ke laut dan berulangkali. Itu menjadi magnet baginya untuk lebih dekat menikmati.

Higheels nya dilepas dan dibiarkan di genggamannya, agar dapat merasakan langsung nuansa pantai dengan menyentuhkan kaki ke pasir putihnya. Tiba-tiba hapenya bergetar menandakan ada pesan singkat. “Kak. Kata mama papa Kak Via nyariin Keke ya? Keke udah balik ke ballroom, tadi pas ke toilet nyasar soalnya. Hehe… maaf”

Ia menggerutu dalam hati. Baru menikmati kedamaian sesaat. Sangat enggan Ia kembali ke ruangan itu. Tapi apa boleh buat, takutnya justru Ia yang dicariin. Akhirnya Sivia memutuskan untuk beranjak. Tapi…
“Jangan pergi.” Cowok itu. Alvin. Udah kayak jin tiba-tiba dateng. Bahkan menggenggam tangan Sivia. “Lepas Al, gue mau ke dalem” Rajuk Sivia menghempaskan tangan Alvin.

Namun tetap Sivia tak dapat beranjak. Karena kini tubuhnya sudah dikunci rapat di dekapan Alvin. Sivia tak dapat memberontak, tapi Ia juga tak membalas pelukan itu. Yang hanya bisa Ia lakukan. Menikmati pelukan hangat dari cowok ini, menikmati degup jantungnya. “Lepasin Al” Akhirnya Sivia berani memberontak, tapi belum berani menatap cowok itu. “Via…” Lirih Alvin. Mengangkat pelan dagu lancip gadis di hadapannya, memaksanya untuk membalas tatapan yang Ia berikan.

“I love you” Ungkap Alvin akhirnya. Mengeratkan jemarinya di sela-sela jemari Via. High heels yang digenggam Via pun terjatuh. Dan menegaskan kalimat ‘I love you’ tadi dengan kecupan lembut bibirnya tepat di bibir gadis itu. Sama seperti pelukan yang didapatnya, Sivia tak dapat memberontak perlakuan Alvin ini untuk beberapa detik. Air matanya mulai berlinang. Saat merasa susah menghirup udara. Sivia mendorong tubuh cowok berparas oriental di depannya itu.

“Kenapa Al?!! Kenapa lo lakuin ini baru sekarang?!! Kenapa lo ungkapinnya sekarang?!! Saat lo udah mau terikat dalam suatu hubungan!!” Unek-unek yang disumbat sebongkah persahabatan yang padat, kini meledak sejadi-jadinya.

“Karena gue pikir, hati lo udah penuh buat Gabriel. Dan dia tetap abadi di hati lo kan” Singkat Alvin.
“Iya. Dia abadi di hati gue Al! Tapi cinta gue nggak abadi buat Kak Gabriel? Lo nggak tau gimana rasanya kehilangan sosok Alvin selama 3 tahun di Eropa, yang selalu jadi pelipur lara. Lo nggak tau gimana kecewanya gue saat tau lo punya cewek. Lo nggak ngerti gimana susahnya gue terjebak sama teka-teki yang tercipta dari setiap tatapan mata lo Al! Lo nggak ngertiii….” Menangis dan menangis. Kembali Alvin mendekap gadis pilu di hadapannya.

“Nangis sepuas lo. Gue yang salah, terlalu pengecut ngungkapin perasaan gue. Takut persahabatan kita jadi nggak nyaman. Maaf” Sebuah kecupan lembut di kening oleh Alvin. Sivia membersihkan matanya yang masih basah. Kemudian memundurkan langkahnya menjauhi Alvin. “Love you too Al” Ucapnya segera berbalik dan pergi.

“PRICILA?” Alvin kaget bukan main. Sosok itu sudah berdiri tak jauh dari tempatnya. “Cil, sejak kapan kamu di sini?” Tanya Alvin gugup.

“Entah. Yang jelas cukup bagi aku tau, penafsiran aku benar. Jauh di hati kamu dan dia, menganggap satu sama lain lebih dari sahabat” Pricila berkata tenang.

“Maaf” Hanya satu kata yang mampu dilontarkan Alvin saat ini. “Terserah keputusan kamu sekarang.” Serah Alvin menunduk lesu.

“Kamu kira aku akan ngebatalin acara pertunangan? Salah Vin. Pertunangan tetap berjalan. Sebaiknya segera kamu ke dalam” Tandas Pricila. Kesedihan tak terpancar di wajahnya.

**********

Di podium sudah berdiri sepasang sejoli. Dan seorang gadis anggun membawakan sebuah kotak cincin. Seorang MC sudah mempersilahkan acara tukar pasang cincin dimulai. Tapi sebelumnya Pricila memberikan beberapa patah kata. “Aku ingat seorang berkata padaku, bahwa pertunangan sahabat bukan acara yang menyedihkan”. Ujarnya.

Sivia memperhatikan Pricila lekat. Kalimat itu dipetik dari ucapannya tempo hari. “Dan setau aku. Pertunangan itu moment bahagia antara dua orang yang saling mencintai. Itu artinya, aku kurang pas berdiri di sini, di samping Alvin”. Kasak kusuk mulai terdengar riuh memenuhi ruangan. Tak paham dengan yang dimaksud Pricila. “Dengan hormat, aku, Pricila minta maaf sebelumnya. Sebenarnya tak ada cinta antara aku sama Alvin. Kata jadian pun tak pernah terdengar antara kami. Kita hanya mengagumi satu sama lain, dan hubungan dekat yang terjalin antara orangtua kita.” Suasana kembali hening. Semua mata tertuju pada Pricila. “Cil, kamu ngapain?” Tanya Alvin setengah berbisik.

Tak memperdulikan perkataan Alvin, Pricila melanjutkan bicara. “Sering aku lihat tatapan sarat akan cinta dari mata Alvin. Bukan untuk aku, melainkan untuk seorang gadis. Yang memiliki pengaruh besar di hidup Alvin”

Keke mengeratkan genggaman tangan kakaknya. Dan merasakan keringat dingin di telapak tangan yang basah itu.

“Sempat aku ingin membatalkan pertunangan, tapi aku urungkan. Karena aku yakin, melalui pertunangan ini, dalam keadaan terdesak apapun bisa terjadi. Ternyata benar, seperti yang aku saksikan beberapa menit lalu, debur ombak yang menjadi saksinya, akhirnya Alvin mengakui perasaannya ke gadis itu, gadis yang sebenarnya Ia sangat cintai. Rencana aku berhasil” Suasana riuh lagi. “Pertunangan akan tetap berjalan, tapi bukan aku dan Alvin. Melainkan Alvin dan cinta sebenarnya, Sivia” Pricila mengungkapnya dengan senyum tulus. Ia menggandeng tangan Alvin menuju tempat di mana Sivia berdiri.

“Kalian yang lebih tepat melakukan tukar pasang cincin. Ayo” Pinta Pricila seraya menyodorkan kotak cincin itu. Tanpa ragu dan sangat yakin Alvin meraih jemari Sivia dan memasangkan cincin di jari manisnya begitupun sebaliknya. Diakhiri pelukan kelegaan dan disambut tepuk tangan  meriah penuh haru menyaksikan drama kecil.

“Mungkin ada sesuatu yang bisa kita lakuin untuk membalas ini semua Cil” Sivia dan Alvin memeluk seorang gadis yang menjadi hero bagi perasaan mereka.

“Cukup dengan kalian langgeng aja” Sahutnya tenang dan bijak.

**********

Semua mengulang ucapan selamat atas pertunangan. Karena pasangannya telah berubah, ke pasangan yang sebenarnya. Tak lupa orangtua mereka. Ikut merasa lega, yang sebenarnya pun jauh di dalam hati merasa cemas akan keputusan yang diambil sebelumnya.

“Papa bangga Vin, kamu mengungkapkannya juga” Ucap Frans menepuk pundak putranya. “Dan sepertinya keinginan Mama agar Sivia menjadi menantu akan terkabul”. “Mamaaa.. jauh amet pikirannya”. “Hahahaha……” Gelak tawa terdengar, menyatu dengan suasana malam yang hangat dan semakin larut.

**********

 Alvin dan Sivia melepas lelah tiduran di atas rumput taman kompleks rumah mereka setelah seharian jalan-jalan bersepeda. Alvin pake acara bolos kuliah dan Sivia mangkal dari praktek di rumah sakit sebagai Dokter Psikologi. Demi merasakan kembali suasana bersepeda seperti beberapa tahun lalu. Bedanya saat itu Alvin masih samar-samar mengucapkan kata ‘I Love You’. Tapi sekarang…

“Vi, langit nya lagi cerah. Banyak bintangnya”

“Iya. Kalau yang paling terang itu bintangnya Kak Gabriel”. Ucapnya seraya menunjuk satu bintang.

“Abang gue yang satu itu, punya jurus apa sih sampe-sampe awet abadi di hati lo? Heran deh”

“Cie yang cemburu. Kayak anak kecil lo. Udah mahasiswa juga”

“Makanya lo bilang sayang sama gue kek, atau cinta atau apalah biar gue nggak cemburu lagi”

“Mmm… apa ya? Oke deh. I Just wanna say, I…love…your eye cues” Cup! Seusai berkata, Sivia mengecup pipi Alvin kilat dan meninggalkannya.

“Via. Love you too” Alvin berujar malu-malu sambil memegangi pipinya. “Thanks Kak Gab, lo bisa tenang sekarang. Gue akan jagain Via seutuhnya.”

**********

If you are not sure about one's feelings to you. Face to eye. And find the cue behind it. Because nothing is more honest than the heart and eyes.

**********

THE END