Minggu, 25 November 2012

Segalanya Pasti Berujung (PART 13)

“Anu Mbak…itu di luar ada temennya Neng Via katanya. Saya ngga berani langsung nyuruh masuk. Biasanya kan neng Via ngga mau sembarangan nerima tamu. Neng Via belum mau buka pintu ya Mbak?”

          “Iya nih Pak, Sivia masih ga mau jawab. saya juga bingung.tamunya bilang ngga namanya siapa?”

“Katanya namanya Cakka Mbak.”

“Hah???” Oik menatap Pak Oni dengan wajah penasaran. “Beneran Pak?”

“Bilangnya sih gitu Mbak. Kenapa mbak emangnya? Disuruh masuk Mbak?”

“Jangan, jangan!!! Mmmmm…..biar di luar aja dulu Pak…Ntar biar saya yang nemuin…”

“Iya Mbak…” Pak Oni mengiyakan perkataan Oik dan bergegas turun dengan dahi berkerut. Dia juga ikut bingung melihat tingkah majikannya yang semakin hari semakin tak bisa dimengerti. Tuan mudanya yang sakit2an, Neng nya yang sering nangis, orang2 tak dikenal yang sering datang ke rumah dan akhirnya disuruh pulang dengan tangan hampa sama Neng nya. Pak Oni jadi ikut bingung.

Oik tampak berpikir. Dia bingung harus bicara apa pada Cakka. Selama ini kalau dari cerita Sivia, Sivia tak pernah mau menemui Cakka. Tapi Sivia juga selalu bilang bahwa sebenarnya ia tak pernah bermaksud menyakiti Cakka. Dia hanya ingin menjaga perasaan Rio yang sudah sangat menyayanginya. Sivia tak ingin menyakiti Rio yang sudah begitu banyak memberikan perhatian padanya. Walaupun sebenarnya Sivia juga sayang pada Cakka, tapi bagaimanapun juga Sivia harus memilih salah satu.

‘apa disuruh pulang aja ya?’ Oik benar2 bingung. Sementara Sivia tak juga mau menjawab panggilannya dari dalam.

Oik memejamkan matanya sambil berjalan mondar-mandir di depan pintu kamar Sivia seraya terus berpikir apa yang harus dia lakukan…..
Langkah Oik tiba-tiba berhenti. Ia membuka matanya dan sontak bergegas menuruni tangga menuju halaman depan.

>>>>>>>>>>

Oik mengamati sosok yang sedang berdiri di bawah lampu taman itu dari kejauhan.
‘Inikah seseorang yang selalu diceritakan Sivia sebagai orang yang sangat dicintainya tapi harus dia kubur dalam2 perasaannya karena sudah ada orang lain yang sangat menyayanginya?’
Perlahan Oik mendekati Cakka yang masih menendang-nendang pelan pada udara kosong di depannya.

“Kamu Cakka?”

Cakka yang semula bersandar pun sontak berdiri kaget melihat seseorang yang tiba-tiba muncul dari jarak beberapa meter di sebelah kirinya. Dan dia bukan Sivia.

“Iya….kamu siapa? Sivia nya mana?”

Oik memandangi Cakka dari ujung kepala sampai ujung kaki.
“Kamu……sayang sama Sivia?”

Cakka tertegun. Haruskah ia menjawab pertanyaan yang begitu pribadi dari seseorang yang muncul tiba-tiba dan bahkan tidak dikenalnya.
Cakka memandang sosok di depannya dari ujung kaki sampai ujung kepala.

“Iya….pasti….siapa kamu berani nanya kayak gitu?”

“Kamu pulang aja ya Cak…”

Cakka mengerutkan dahinya mendengar perkataan Oik.
“Kenapa? Emang kamu siapanya Sivia?” Cakka menatap Oik tajam.

“Aku sahabatnya.”

“Sivianya mana?”

Oik mendekat pada Cakka. Ditatapnya mata Cakka yang memandangnya dengan tatapan tajam yang menyiratkan perasaan tidak nyaman yang ia tau itu dikarenakan kata-kata lancangnya barusan.

“Cak…kamu sudah berkali-kali nemuin Sivia tapi dia tetep ga mau nemuin kamu kan?”
Cakka semakin heran dengan orang tak dikenal yang sekarang berdiri di hadapannya.

“Sudah ada orang lain yang sayang sama dia Cak, namanya Rio….Sivia sayang sama dia. Sivia ngga pernah menemuimu karena dia takut kalau dia akan menyakiti Rio. Sivia mengakui kalau rasa buat kamu emang masih bersisa di hatinya. Tapi dia harus milih salah satu Cak. Dan dia milih Rio. Dan kalau kamu terus-terusan maksa kayak gini, itu bakal bikin hati Sivia semakin sakit.”

“hhh…” Cakka tersenyum sinis pada Oik.
“Berarti dia masih sayang kan sama aku?”

“kalau kamu sayang sama dia, tinggalin dia Cak….sudah cukup dia selalu nangis karena dengan terpaksa harus ngusir kamu. “

“Dia ga perlu ngusir aku kalau dia mau. Aku cuma pengen ngomong sebentar sama dia. Aku cuma pengen bilang sama dia kalau aku masih sayang sama dia. Aku….”

“Semua itu akan membuatnya sakit Cak….dia pengen setia sama Rio. Rio sudah memberikan terlalu banyak hal buat dia. Dia ga mau nyakitin perasaannya. Dia takut rasa sukanya sama kamu akan membuat Rio sakit hati.”

“kalau dia masih sayang sama aku kenapa dia harus menghindar? Aku mau menerimanya apa adanya.ada maupun tidak ada Rio. Kami bisa kembali seperti dulu lagi.”

“Jangan egois Cak. Lalu bagaimana dengan Rio?”

“Sivia berhak memilih siapa yang lebih dia cintai.”

“Cak…..Pulanglah…..Sivia sudah menanggung terlalu banyak beban. Menjauhlah darinya. Biarkan dia hidup dengan jalannya yang sekarang.”

“Cinta itu ga bisa dipaksa.Siapa tau Sivia akan merasa lebih nyaman kalau bersamaku.Kalau memang dia lebih nyaman bersamaku daripada Rio, dia boleh memilihku”

Oik mengalihkan tatapannya dari mata Cakka.
“Entahlah Cak….yang jelas, Sivia ingin kamu menjauh darinya. Dia pengen kamu ngga datang-datang lagi padanya. Dia ingin mencintai Rio sepenuh hatinya. Pilihan ada di tanganmu Cak…..Tetap mendekatinya dan terus menerus membuat dia menangis dan hidupnya tidak tenang. Atau pergi meninggalkannya dan membiarkan dia bahagia dengan kehidupannya sekarang. “

“Kamu jangan sok tau. Kalau aku pergi belum tentu dia bahagia. Bagaimana kalau ternyata dia menangis karena dia sebenarnya ingin bersamaku dan dia tak mau bersama dengan si Rio Rio itu.”

Oik tersenyum sinis dan kembali menatap Cakka.
“Terserah Cak….Jika kalian berjodoh kalian akan bertemu lagi.”

“Basi….”

“Cak….perempuan itu ibarat tulang rusuk. Jika kau berusaha meluruskannya maka dia akan patah. Biarkanlah dia tetap bengkok. Biarkanlah dia hidup dengan caranya sendiri. Jangan dipaksa. Aku ini bukan sok tau Cak. Aku ngomong bukan asal buka mulut doang. Aku ini sahabatnya. Dia mencurahkan semua isi hatinya padaku. Dan aku paham betul apa yang sedang dia rasain.Dan aku sudah mengatakan seperti apa yang dia bilang sama aku. Terserah kamu mau percaya atau tidak…….”

>>>>>>>>>>

Langkah kaki Oik terasa berat menapaki tiap anak tangga menuju kamar Sivia. Pikirannya masih dipenuhi oleh percakapannya dengan Cakka tadi. Hatinya merasa takut kalau-kalau apa yang dilakukannya tadi salah. Tatapan mata Cakka yang memandangnya tajam masih terasa membuat Oik tak enak. Bayangan Cakka yang meninggalkannya dengan wajah marah namun menyiratkan keputus asaan membuat Oik semakin bimbang apakah keputusannya mengatakan semuanya pada Cakka tadi sudah benar. Dan apakah Sivia akan memaafkannya karena telah lancang mengungkapkan semua pada Cakka.

Bagaimana kalau yang dikatakan Cakka tadi benar. Bagaimana kalau ia memang sok tau. Bagaimana kalau Sivia tidak bahagia kalau Cakka pergi. Ada sedikit penyesalan karena dia telah lancang tadi. Berani-beraninya dia mendahului Sivia untuk mengatakan semua isi hati Sivia pada Cakka.

tadi Oik benar-benar merasa dia harus membantu menyelesaikan masalah Sivia. Dan entah kenapa semua kata-kata itu meluncur dengan deras dari mulutnya tanpa ia pikirkan apa akibat dari tindakannya. Tapi sekarang dia takut kalau Sivia malah tak suka dengan tindakannya.

Oik berdiri di depan pintu kamar Sivia. Tangannya mengepal kuat. Perasaaan takut masih membayangi hati Oik.

“Vi….” Oik mendekat ke daun pintu dan sekali lagi mencoba memanggil Sivia yang belum mau keluar dari kamarnya.

“Masuk aja…” Oik kaget mendengar jawaban pelan dan serak dari balik pintu. Akhirnya sahabatnya mau menyahut panggilannya.

Perlahan Oik membuka pintu kamar Sivia. Kepalanya melongok sedikit ke dalam. Pandangannya mengitari seisi kamar mencoba menemukan sosok Sivia. Tampak Sivia terduduk di tepi tempat tidur menghadap balkon. Oik menutup pintu sangat pelan dan berjalan perlahan ke arah Sivia.

“Vi…..”
Oik memandangi Sivia yang tetunduk menatap sebuah foto di tangannya.

“Alvin gimana ya, Ik?”
Oik yang semula mengira bahwa Sivia masih memikirkan kejadian tadi siang pun tertegun menatap sahabatnya yang sekarang justru tertunduk lesu sambil memandangi foto adiknya. Oik pun duduk di samping Sivia. Tangannya mengelus pundak sahabatnya. Oik menatap wajah Sivia yang tampak merah dan masih basah karena air mata. Terlalu banyak air mata di wajah sahabatnya itu belakangan ini.

“Kamu ga apa-apa Vi?”

Sivia mengelus foto di tangannya. Ada titik-titik kecil air di kaca figuranya. Seperti bekas air mata yang dihapus dengan tangan. Sivia memandangi foto itu dalam-dalam. Tampak Alvin yang sedang mengangkat piala juara satu lomba menyanyinya.

Oik mengait-ngaitkan jari tangannya menandakan ia tampak gundah. Ia masih belum tenang karena percakapannya dengan Cakka barusan.
“Vi…..tadi….Cakka kesini…..”

Gerakan jari Sivia yang mengusap foto Alvin sejenak terhenti. Matanya masih fokus pada wajah adiknya.

“Aku……aku suruh dia pulang….” Oik menggigit bibirnya. Takut melanjutkan kata-katanya yang mungkin akan membuat Sivia marah. Tapi sivia hanya diam.

“Aku bilang padanya agar tak memdekatimu lagi.” Oik menatap wajah sivia yang masih tertunduk memandang foto Alvin. Ia benar-benar merasa takut Sivia akan marah.
“Maaf vi….aku….aku lancang udah ngomong kayak gitu sama cakka. Aku….”

“Alvin kapan ya bisa sembuh?”
Kalimat sivia benar-benar membuat Oik tertegun. Jantungnya semakin berdenyut.

“Vi…aku….”

“ntar anterin aku ke rumah sakit ya…..aku mau nginep disana aja…”
Oik hanya mengangguk pelan. Sedikit perasaan lega menyelinap di sela-sela degup jantungnya menanti amarah Sivia. Sepertinya Sivia tidak berniat untuk marah.

Setetes air jatuh di atas kaca figura yang dipegang Sivia. Oik yang menyadari hal itu sontak memeluk Sivia.
“Vi…..”

Sivia menyandarkan kepalanya di pundak sahabatnya. Matanya nanar menatap wajah adiknya yang sedang tersenyum.

Air mata Sivia kembali menerobos sudut matanya dan jatuh membasahi baju Oik yang memeluk dan mengusap rambutnya.

“Kok hidupku gini banget sih, Ik?”

Oik mengusap rambut sahabatnya pelan.

“Ayah sama ibuku meninggal waktu aku masih kecil. Terus nenekku…..aku udah ngrasain susahnya cari makan dari kecil. Aku pernah dicaci, dimaki, ditampar di depan umum, dikucilin. Aku bisa bangkit. Ada orang baik yang mau ngangkat aku jadi anak. Aku bisa sekolah. Aku bisa seneng lagi.”

Oik mempererat pelukannya pada tubuh Sivia yang bersandar lemas pada Oik.

“Kenapa sih aku mesti ketemu sama Alvin? Aku cuma pengen punya adek. Dan kenapa harus dia? Dan kenapa Alvin mesti sakit?” Kalimat Sivia terpotong karena nafasnya yang tersengal.


“Dulu aku selalu ngebayangin kalau aku punya adek aku bisa seneng-seneng terus sama dia, aku bisa ngajak dia main, jalan-jalan, becanda. Selamanya…sampai dia besar, selamanya…..”

Oik merasakan pundaknya basah. Air mata Sivia terus merembes membasahi pundak sahabatnya.

“Aku sayaaaaaang banget, Ik, sama Alvin. Pengen banget rasanya bisa ketawa lagi sama dia. Tapi sekarang aku cuma bisa liat dia terbaring sakit.”

Suara Sivia terdengar semakin lemah. Tiap kalimat yang dia ucapkan terasa menyiratkan keputusasaan. Nafasnya terasa berat mencoba berhembus di sela-sela runtutan kalimat panjang yang ingin dia ucapkan perlahan dengan susah payah sementara dadanya yang terasa sesak menahan tangis.

“Kok secepat ini sih Ik?  Perasaan baru kemaren aku ngrasain didorong sama Alvin yang marah banget waktu aku deketin di panti asuhan. Kenapa sekarang jadi kayak gini sih Ik? Aku pikir semuanya akan baik-baik saja kalau aku sudah punya adek. Aku pikir kami bakal hidup seneng bareng-bareng.”

Sivia meremas kerah bajunya sendiri. Matanya terpejam kuat mencoba menahan sakit yang mendera hatinya.

“aku takut Ik….takuuuuuut banget…..”

Sivia semakin terisak. Tangannya menggenggam erat figura yang dipegangnya.

“Oiiiiiiiikkkk…….” Sivia berkata lirih.

“Vi…..aku emang ga ngrasain apa yang kamu rasain. Mungkin aku cuma bisa nebak ataupun mencoba sedikit ikut merasakan sakit hatimu. Mungkin aku cuma bisa ngasih saran sok tau yang mungkin aku sendiripun belum tentu bisa menjalaninya kalau aku yang mengalami. Tapi, Tuhan itu selalu punya rencana Vi…aku cuma bisa bilang…..sabar ya Vi….” Oik menarik tubuh Sivia dari pelukannya. Ditatapnya wajah Sivia dan diusapnya air mata yang masih menggenangi pipi Sivia.

Mereka berdua tenggelam dalam diam.Sivia hanya tertunduk menatap foto Alvin yang masih digenggamnya. Oik memandangnya dengan perasaan bersalah karena tak bisa berbuat apapun untuk meringankan beban sahabatnya.

“Anterin ke rumah sakit ya, Ik…”
Perlahan Sivia mengusap sisa-sisa rembesan air mata di sudut matanya dan meletakkan kembali foto alvin ke meja di samping tempat tidurnya. Sivia beranjak dari tempat tidur dan melangkah mendekati cermin. Disisirnya rambutnya yang agak berantakan karena ia jambak-jambak sendiri.

“Yuk Ik….”
Oik hanya bisa berjalan mengikuti Sivia dengan hati yang miris menatap punggung sahabatnya yang berjalan pelan di depannya.

>>>>>>>>>>

Sivia menggeser kursi perlahan agar tidak menimbulkan suara berisik yang bisa membangunkan Bi Oky yang tertidur bersandar di sofa. Wajahnya tampak kelelahan. Ia tidur sambil memegang remot TV yang masih menyala dengan suara sangat pelan. Mungkin dia kelelahan karena seharian terjaga menunggui Alvin.

Sementara Oik langsung pulang karena Sivia melarangnya untuk ikut menginap di rumah sakit. Sivia tak ingin membuat sahabatnya ikut kelelahan setelah seharian tadi dia kerepotan karena menghadapi Sivia yang sedang sensi.

Sivia duduk di kursi yang ia letakkan di samping kanan ranjang Alvin. Ditatapnya wajah adiknya yang masih tertidur. Putih sekali. Bahkan lebih putih dari biasanya. Pucat. Sivia merasakan merinding di sekujur tubuhnya saat tangannya menyentuh jari-jari adiknya yang terasa dingin.

Sivia menyingkapkan rambut Alvin yang sedikit berceceran di dahinya. Ia melihat bibir Alvin tidak merah seperti biasanya. Tampak pucat dan kering. Kukunya juga tampak sedikit membiru.

Sivia mengamati wajah adiknya. Ditatapnya semua yang selalu membuat hatinya bahagia saat menatap wajah itu. Mata sipitnya yang terkadang tenggelam jika Alvin tergelak karena suatu hal yang lucu. Hidungnya yang walaupun sudah sebesar ini tetapi tak jarang memerahj karena menangis. Pipinya yang akan bersemu merah jika seseorang menanyakan tentang teman yang disukainya.

Sivia merebahkan kepalanya beralaskan tangan kanannya yang ia letakkan di kasur. Wajahnya menatap tangan kanan alvin yang tergeletak di depan wajahnya. Tangan kiri Sivia mengelus-ngelus tangan adiknya itu perlahan.

Sivia merindukan hari-hari bahagianya yang dulu. Sivia kangen ketiduran di depan tivi dengan alvin yang teriak-teriak heboh sendirian di sampingnya saat nonton bola. Sivia kangen narik-narik kaki alvin yang tak juga mau bangun karena nonton bola sampai pagi. Sivia merindukan saat-saat ketika setiap pagi Alvin selalu mencium kedua pipinya jika berpamitan hendak berangkat sekolah. Sivia kangen waktu Alvin dengan malu-malu minta uang jajan saat Sivia lupa memberikannya.Sivia kangen saat ia dan Alvin wisata kuliner setiap kali Alvin berhasil mendapat nilai sempurna di ulangan hariannya. Kangen saat tiap kali Alvin menggendong anak tetangga yang masih balita lalu dia akan membawanya pulang dan membuat seisi rumah berantakan dengan mainannya. Semuanya….

Air mata menetes dari sudut mata Sivia dan mengalir melewati tulang hidungnya karena kepalanya yang terbaring miring di kasur.

Telunjuk Sivia menelusuri jari-jari kecil adiknya. Membelai punggung tangan Alvin yang terasa keras karena tulang-tulang yang menonjol dan tubuhnya yang terlalu kurus. Masih terngiang bagaimana setiap hari adiknya menggenjreng gitarnya dengan nada yang tak karu-karuan. Dan masih terekam bagaimana terakhir kali petikan gitar Alvin yang ia lakukan dengan susah payah mampu membuat hati Sivia luluh lantak.

Sivia menggenggam erat tangan adiknya. Ia memejamkan matanya. Ia lelah….ia ingin tidur…..

Angin yang berhembus cukup kencang malam ini membuat dedaunan di luar sana bergoyang-goyang. Satu demi satu daun yang tak kuat berpegangan pada rantingnya perlahan mulai melayang jatuh menyentuh tanah.

Sivia tertidur masih dengan menggenggam tangan Alvin dan air mata yang mengering di sudut matanya.

>>>>>>>>>>

13 Juni Pukul 13.25

Sivia setengah berlari kembali ke Rumah Sakit. Jantungnya seolah ikut berpacu bersama langkah kakinya. Rasa paniknya tak mau berhenti sejak Oik menelfonnya dan memintanya untuk segera kembali karena Alvin terus merintih dan memanggil namanya.

Ingin menangis rasanya Sivia di sepanjang perjalanan memikirkan adiknya yang terbaring lemah. Dia sama sekali tak tenang setiap kali meninggalkan Alvin walaupun hanya sebentar bahkan hanya untuk membelikan buah-buahan untuknya di minimarket depan Rumah Sakit seperti saat ini. Dia pikir toh ada Oik yang bersedia menjaga Alvin selama ia pergi.

Sivia tak membawa buah yang hendak dia belikan untuk Alvin. Baru saja dia akan membayar ke kasir saat tiba-tiba Oik menelfonnya dengan panik. Tanpa pikir panjang Sivia meninggalkan belanjaannya begitu saja di depan kasir yang berteriak keheranan pada Sivia yang keluar dari minimarket dengan terburu-buru.

Saat Sivia memacu langkahnya sambil terus menahan perasaan agar air matanya tak jatuh sekarang, tiba-tiba ia merasa ada yang menarik tangannya dari belakang dengan kuat hingga ia hampir saja terjatuh.

“Via!!!”

Teriakannya saja sudah membuat Sivia kaget apalagi saat Sivia mengetahui siapa orang yang menariknya itu.

“Shilla?”

Dan Sivia semakin kaget melihat Rio berlari-lari mendekati mereka. Sivia heran apa yang dilakukan Rio bersama Shilla. Tapi pikiran Sivia terlalu panik memikirkan Alvin hingga tak mampu lagi memikirkan yang lain.

“Aku ga ada waktu buat ngomong sama kamu.”
Sivia beranjak meninggalkan Shilla tapi lagi-lagi tangan Shilla menahannya dengan sangat kasar.

“Jangan lari lo. Urusan kita belum selesai!”
Shilla tetap ngotot dengan nada yang tetap tinggi.

“Aku bilang aku ga ada waktu. Aku buru-buru.”
Sivia bersiap melangkah tapi kali ini Shilla benar-benar menarik tangannya dan memegangnya dengan sangat erat.

“Lepasin!”
Sivia mulai kesal dengan sikap Shilla.

“Shilla lepasin dia.”
Rio yang sepertinya juga sedang marah pada Shilla, menarik tangan Shilla yang mencengkeram kuat lengan Sivia.

“Aku bilang lepasin, Shilla. Aku buru-buru.”
Sivia meronta dari genggaman Shilla yang sangat erat.

“Lo mau lari dari tanggung jawab?”

“Tanggung jawab apa? Lepasin!”
Sivia semakin meronta dan emosinya semakin tak terkendali. Alvin sangat membutuhkannya sekarang.

“Sok ga tau lo. Dasar munafik!”
Sepertinya Shilla salah timing saat mengucapkan kata itu. Sivia yang sedang panik memikirkan adiknya sontak tak bisa lagi menahan emosinya dan mulai melawan Shilla dengan sekuat tenaga.

“Lepasin!!!!!”
Sivia mendorong tangan Shilla dengan sangat kuat lalu mengacungkan telunjuknya tepat di depan muka Shilla.
“Jaga mulut kamu ya! Aku bakal selesaiin semua masalah kita tapi ngga sekarang!!!!! Pliss aku buru2!!!”

Sivia berganti memandang Rio dengan mata berkaca2 memohon pertolongan pada Rio yang sejak tadi tertegun tanpa berbuat apapun. Yang ada di pikirannya saat ini hanya Alvin, Alvin dan Alvin.

Sivia memandang Shilla dengan tatapan yang sangat marah. Sampai getar handphone menyadarkan Sivia. Oik memanggil.

Sivia mengangkat telfon dengan tangan kanan sementara tangan kirinya masih dicengkeram kuat oleh Shilla. Melihat hal itu Rio segera mengambil tindakan dan menarik tangan Shilla dari lengan Sivia. Rio menatap Shilla dengan sorot mata penuh amarah dan tak mempedulikan rintihan Shilla yang kesakitan karena lengannya digenggam kuat oleh Rio. Sivia yang sudah berhasil lepas dari cengkeraman Shilla beranjak dengan terburu2 meninggalkan Shilla yang masih dicengkeram kuat oleh Rio.

“Via!!!!” Shilla masih berusaha melepaskan tangannya yang ditahan oleh Rio.

Sivia mengangkat telfon sambil terus melangkah tanpa mempedulikan Shilla yang berteriak memanggilnya dari belakang.

“Halo, Oik”
Sivia berusaha mengendalikan emosi agar suaranya tak nampak aneh di seberang sana.

“Cepet, Via. Alvin terus merintih dari tadi. Badannya berkeringat dingin.”

“Panggil dokter, Oik.”

“ Iya. Ini lagi ditangani sama dokter. Dari tadi dokter nyariin kamu. Alvin terus-terusan manggil nama kamu.”
Nada bicara Oik tampak begitu panik. Sama paniknya dengan Sivia yang masih tersengal-sengal karena kejadian tadi.

“Iya,iya….aku hampir nyampe.”

“Yaudah cepetan.”
Telepon ditutup dan Sivia semakin mempercepat langkahnya. Hampir saja sebuah sepeda motor menyerempetnya saat akan menyeberang jalan.

Rio yang melihat kepanikan Sivia memutuskan mengikutinya ke Rumah Sakit. Rengekan Shilla yang melarang tak dipedulikannya. Akhirnya terpaksa Shilla mengikutinya juga walau dengan muka yang sama sekali tak terlihat ikhlas.
Jalan menuju ruangan Alvin terasa begitu jauh. Nafas Sivia sudah tak teratur saking paniknya. Akhirnya sampai juga. Dari kejauhan terlihat Oik yang mondar-mandir di depan ruangan Alvin.

“Oik!”
Oik yang melihat Sivia tiba tampak begitu lega.

“Via……”

“Gimana, Ik?”

“Dokter masih didalam.”

Sivia mengintip kedalam ruangan melalui kaca pintu. Tak banyak membantu. Tubuh Alvin tertutupi oleh dokter dan suster yang menanganinya. Sivia semakin panik. Dia ikut mondar-mandir di depan pintu. Rio melihat dari kejauhan. Shilla membuntuti dibelakangnya dengan muka ditekuk tujuh tapi sebenarnya dia juga penasaran dengan apa yang terjadi karena dia tak pernah tau kalau adik Sivia sedang sakit.

Di tengah kepanikan Sivia tiba-tiba pintu ruangan Alvin terbuka.
“Mbak Via.”
Dokter Danu nampak keluar dengan tergesa-gesa dan meminta Sivia segera masuk kedalam.

“Adik saya kenapa Dok?”

“Mbak Via masuk saja dulu. Dia terus memanggil mbak Via dari tadi.”
Tanpa pikir panjang lagi Sivia segara berlari kedalam ruangan Alvin. Dia mendapati tubuh adiknya yang tergeletak lemah. Wajahnya sangat pucat. Bibirnya tak henti memanggil namanya dengan suara yang sangat lemah hampir tak terdegar. Semua peralatan medis dan selang infus tak menempel lagi di tubuhnya. Sivia heran kenapa dokter membiarkan adiknya tanpa tindakan apapun.

Beberapa suster mulai keluar ruangan dan tinggallah dokter Danu dan seorang perawat menemaninya. Sivia mendekat pada Alvin. Dia menggenggam tangan adiknya yang berkeringat dingin dan mengelus dahinya yang juga terasa dingin. Air mata tak bisa dibendungnya lagi. Pikiran buruk mulai terlintas silih berganti di pikiran Sivia.

“Alvin……kakak disini Alvin. Alvin dengar kakak kan?”
Perlahan Alvin membuka matanya yang tampak berair. Dia memandang Sivia dengan wajah yang sudah sangat lemah dan pucat.

“va……dan…. A….vi…sa….ki…..di….ngi…..(badan Alvin sakit. dingin)”

Sivia masih bisa mendengar sayup-sayup suara Alvin yang hampir mirip dengan bisikan. Sivia mengalihkan pandangan pada dokter Danu yang diam saja melihat keadaan adiknya seperti itu.

“Via….saya sudah telfon ayah dan ibu kamu. Saya pikir kamu sudah mengatakan pada mereka. Tapi ternyata….”

“Dok, adik saya kenapa? Kenapa Dokter diam saja? Lakukan sesuatu, Dok!”
Dokter Danu tercekat tak bisa meneruskan kalimatnya. Tanpa disangka Dokter Danu membalas kalimat Sivia dengan gelengan yang hampir saja membuat Sivia membentaknya.

Tapi Sivia mulai mengerti apa arti gelengan itu. Air matanya semakin deras mengalir. Dia tak siap kehilangan Alvin sekarang. Sama sekali tak siap.

Oik memandang sahabatnya dengan tatapan yang iba. Rio dan Shilla sudah sempat beradu mulut dengan Oik di luar tadi. Rio bersikeras untuk masuk tapi Shilla melarangnya dan Shilla mulai memaki2 Oik yang menyuruhnya pergi. Tapi mereka segera masuk kedalam saat mendengar teriakan Sivia pada dokter Danu. Mereka semua terhanyut dalam suasana mencekam di dalam ruangan itu.

“Alvin……”
Air mata Sivia jatuh ke pipi Alvin yang memutih karena pucat.

“A…vi…. sa….yang…. Ka….ka…..(Alvin sayang kakak)”

Hati Sivia benar-benar hancur melihat keadaan adik kesayangannya seperti ini. Dunia terasa sempit menjepit tubuhnya hingga terasa sesak di dada. Tenggorokannya sakit menahan perasaan sedih yang tak terkira dihantui berbagai pikiran dan bayangan-bayangan buruk menimpa adiknya.

“Iya……Iya Alvin…..kakak juga sayang sama Alvin.”
Suara Sivia mulai bergetar menahan tangis. Sivia menggenggam tangan adiknya erat-erat dan mengelus kepala adiknya dengan tangan yang mulai gemetar.

“Ka……“

“Iya???“

“A….vi…. ve…ngen… me….luk…. Ka…ka……(Alvin pengen meluk kakak)”

Sivia melihat ke arah dokter Danu. Dokter Danu hanya menganggukkan kepala. Sivia pun mengangkat kepala Alvin perlahan dibantu oleh Oik dan memangkunya sambil setengah memeluknya dengan perasaan yang tak karuan. Air matanya semakin deras mengalir di pipinya yang sudah basah karena diguyur air mata.

“Ka……”
Suara Alvin semakin lemah. Sivia menggenggam tangan Alvin. Terasa dingin.

“Alvin……pegang tangan kakak erat-erat. Alvin sayang kakak kan?”

“I…ya…(iya)”
Hampir tak terdengar Alvin menjawab pertanyaan kakaknya.

“Kalau Alvin sayang sama kakak, Alvin harus kuat. Alvin pasti kuat.”
Sivia tak tau lagi harus berkata apa. Rasanya seperti ingin bersujud di lantai dan memohon agar Tuhan mengembalikan adiknya seperti semula. Dia amat sangat takut kehilangan Alvin.
“Alvin harus kuat. Alvin harus kuat. Alvin minta apa? Bilang sama kakak Alvin minta apa?”

Sebutir air mata jatuh dari sudut mata Alvin yang mulai sayu. Air mata itu terasa seperti air garam yang menyiram luka hati Sivia yang masih basah. Dia tak pernah rela melihat adiknya menangis,

“A…vi… ma…u… ke…te..u… I….bu….(Alvin mau ketemu Ibu)”

Sivia tak menyangka akan apa yang dikatakan adiknya. Bertahun-tahun dia tak pernah mengungkapkan kerinduan pada ibunya dan sekarang dia bilang ingin bertemu ibunya. Perasaan Sivia semakin tak enak mendengar permintaan adiknya. Sivia semakin terisak sambil mengelus wajah adiknya yang semakin dingin dan pucat.

“Alvin…….”
Suara Sivia terdengar bergetar walau sekedar mengucapkan satu kata saja.

“A…vi,,,,,, sa….yah,,,,,,,,ka…ka……A….vi,,,, sa….yah,,,,,,, ka,,,,ka….”
Sivia tak sanggup lagi berkata apapun. Dia hanya menganggukkan kepala smabil terus terisak. Tangannya masih membelai kepala adiknya dengan penuh kasih. Kasih sayang yang selama ini selalu diberikan sepenuh hati dan tak pernah ingin untuk berakhir.

Sivia merasakan genggaman tangan Alvin melemah. Air matanya sudah menganak sungai. Ia hanya bisa memeluk sekujur tubuh adiknya yang mulai dingin.

Hening…..sunyi…..ruangan itu terasa dipenuhi gaung suara isakan Sivia. Dokter Danu, suster, Oik, Rio sampai Shilla pun hanya terpaku menyaksikan Sivia yang sesenggukan memeluk Alvin yang semakin pucat.
Gema detik jam dinding terasa menusuk.
Hingga….

Waktu seakan berhenti berputar, jantung Sivia seolah berhenti berdetak saat Alvin tak lagi terasa menggenggam tangannya. Mata Alvin terpejam. Bibirnya tak lagi berusaha untuk mengucapkan bisikan-bisikan.

“Alvin……..Alvin…..de‘……”
Air mata Sivia seakan bendungan yang ambruk karena diterpa ombak besar. Butiran-butiran hangat itu jatuh membanjiri wajah Sivia yang sudah sembab, lalu menetes ke pipi Alvin yang terus dipandanginya berharap tiba-tiba dia akan membuka matanya. Sivia berusaha menggoncang-goncangkan tubuh Alvin yang tak bereaksi. Ia belai dengan lembut wajah Alvin yang sudah sama sekali tak bergerak.

“Alvin…….”
Isak tangis Sivia terdengar begitu menyesakkan.

“Via….”
Oik mengusap punggung sahabatnya seraya turut menangis. Sivia semakin tak kuasa menahan perih hatinya menyadari bahwa orang yang amat sangat dia sayangi, adik yang teramat dia cintai sekarang telah jauh meninggalkannya.

“Alvin!!!!!!!!”
Teriakan Sivia menggema di setiap sudut ruangan itu. Tinggallah suara isakan Sivia yang meratapi kepergian adiknya dan terus memeluk erat tubuh Alvin yang sudah tak bernyawa.

Semua orang terpaku, meneteskan air mata. Ruangan itu hening……sunyi…..
Seperti hidup Sivia sekarang……

>>>>>>>>>












Tuhan sayang padaku
Sangat sayang
Terlalu sayang mungkin
Dia ingin segera bertemu denganku

Kakak sudah banyak menangis karenaku
Banyak orang yang menangis karena aku

Aku baru tau….
Ternyata Ibuku selama ini masih selalu mengecup keningku saat aku tidur
Aku baru tau karena sekarangpun aku selalu menemani kakak hingga kakak tertidur
Kami semua masih ada untuk kakak selama kakak masih mengingat kami

Aren jangan menangis
Ahh….aku ini memang bodoh sampai-sampai tak menyadari bahwa aku sudah membuatmu banyak menangis. Kenapa kau tak bilang saja dari dulu. Aku memang tak peka dalam urusan seperti ini.

Ify….kau juga menangis. Ahh….jangan kau tatap makamku seperti itu. Aku jadi merasa bodoh karena sudah menyukaimu padahal ternyata kau tidak menyukaiku. Yahhh….harapan kosong….

Teman-teman…..hhhh….maaf juga….setiap kali kalian datang menjengukku, aku selalu sedang tidur. Eh, sekarang aku malah ga bisa bangun-bangun lagi.

Mama sama papa…..padahal hari raya tinggal bentar lagi. Alvin juga ga ngerti Alvin sakit apa. Maaf kalau Alvin ngga bilang.

Kak Via….pengen nangis rasanya Alvin liat Kak Via nangis terus dari tadi. Bodo amat lah aku udah SMP, pokoknya Alvin pengen nangis. Hati Alvin sedih kalau liat kakak nangis. Kangen dipeluk lagi sama kakak…..

Tapi sekarang Alvin udah ngga sakit lagi
Alvin ga malu-maluin kakak lagi karena suka jatuh di tempat umum.hehe…
Alvin juga udah ngga mecahin piring sama gelas lagi di rumah.
Alvin ngga perlu minta ditemenin lagi sama kakak kalau mau tidur karena takut kumat tengah malem.
Kakak juga ga perlu ngeluarin uang lagi bayarin Mbak Lani buat ngurusin Alvin.

Kak……
Mmmm…..
Alvin ada di samping kakak lho.
Boleh ngga Alvin cium pipi kakak sekali aja
Terakhir kalinya
Seperti saat Alvin mau berangkat sekolah setiap hari

…….

Yah…Alvin nangis deh…
Makasih ya Kak atas semuanya
Jangan sedih ya kak…..
Alvin….
Sayang….
Kakak…

Segalanya Pasti Berujung (PART 12)

“Ikut aku bentar ya Vin?”

Alvin mengangguk pelan. Ify pun mendorong kursi roda Alvin keluar kelas.

“Mmmmm….maaf ya Fy merepotkan harus dorong kursi rodaku…” Alvin menengok pada Ify dibelakangnya.
Ify hanya tersenyum.

Entah kenapa Ify merasa ada yang salah. Bukan…bukan seperti ini…harusnya bukan seperti ini yang terjadi. Harusnya bukan dia yang memberikan surprise untuk Alvin….Harusnya bukan dia….

Ify tau Alvin menyukainya. Tapi Ify menganggap Alvin sebagai teman. Bukankah seperti ini hanya akan semakin menyakiti hatinya jika dia tau bahwa semua ini hanya palsu untuk sekedar menyenangkannya. Bukan berarti Ify tidak ikhlas memberikan kado untuk Alvin…bukan…tapi bukankah kejujuran itu lebih indah??

Ify mendorong pelan kursi roda Alvin. Dia memandang tangan Alvin yang mengepal di pangkuannya. Dia bisa merasakan apa yang dirasakan Alvin sekarang. Dia tau Alvin gugup dekat dengannya. Ingin rasanya dia bilang pada Alvin kalau dia tidak menyukai Alvin dan yang menyayanginya adalah Aren.

Tapi apa iya dia tega melakukan itu setelah kemarin Aren memohon2 kepadanya. Dan apakah setega itu dia mengatakan kalau dia tidak menyukai Alvin di hari ulang tahunnya ini dan dalam keadaan Alvin yang seperti sekarang.

Ahhh…..bukan seperti ini seharusnya….ini bukan tanda sayang….hanya kebohongan yang mungkin dibumbui rasa terpaksa.

Ify memandangi Alvin dari belakang.

“Fy…”

“Eh…iya???” Ify terkesiap saat Alvin menoleh padanya walaupun wajahnya tak sampai tepat menghadap padanya.

“Kita mau kemana? Kok kesini?” Alvin bicara pelan sekali. Tampak nada gugup yang semakin membuat Ify tak tahan menatap wajahnya.

“Ada aja…ntar juga tau…” Ify memberikan senyum pada Alvin. Alvin melihat Ify tersenyum dari sudut matanya. Jantungnya makin berdebar.

Mereka menuju sebuah ruangan yang tidak asing lagi bagi Alvin. Tempat dimana dulu Alvin suka menghabiskan waktu istirahatnya untuk bermain basket. Yap…sebuah lapangan basket indoor. Sepi….benar2 sepi….apalagi mereka hanya berdua di dalam ruangan seluas itu. Lampu di dalamnya tidak menyala. Hanya cahaya dari pintu dan beberapa ventilasi saja yang membuat ruangan itu agak terang.

Ify berhenti mendorong kursi roda Alvin tepat di tengah2.
Alvin menatap sekeliling..tak ada sesuatu maupun seseorang. Sepi….

“Fy….disini ngapain?” Alvin masih mengamati sekeliling dengan cermat siapa tau tiba2 muncul surprise untuknya di hari ulang tahunnya ini.

“Fy???”
Tak ada jawaban dari Ify….suasana di dalam jadi benar2 hening. Alvin menengok ke belakang tapi dia kaget karena ternyata Ify tak ada di belakangnya.

“Fy???” Alvin menoleh kesana kemari mencari sosok Ify….dia memutar kursi rodanya ke arah belakang . Diamatinya seisi ruangan itu. Tapi Ify tak ada dimanapun.

“Ify???” Alvin terus mencari2. Dia menggerakkan kursi rodanya ke arah pintu keluar... Tapi baru beberapa meter kursi roda Alvin beranjak,
tiba2...

“Alvin……” Suara dari arah belakang menghentikan gerakan tangan Alvin memutar roda. Alvin menoleh ke belakang. tampak Ify sedang berjalan keluar dari kamar ganti di pojok ruangan yang berseberangan dengan pintu saat mereka masuk tadi.

 Alvin memutar kursi rodanya menghadap tengah lapangan. Alvin mengerutkan kening dan perlahan menjalankan kursi rodanya kembali mendekat ke tengah2. Tapi dia berhenti saat dilihatnya Ify berdiri tegak di tengah2 lapangan. Dia memanggul biola kesayangannya. Posisinya siap menggesek senar2 biolanya.

Alvin terpaku menatap Ify. Jantungnya berdebar.

“Selamat ulang tahun Alvin….” Ify menyunggingkan senyum pada Alvin yang masih terbengong2 menatap Ify.

Ify memejamkan matanya. Dia mulai menggesek senar biolanya dan melantunkan sebuah lagu…..

Bukan….bukan lagu Happy Birthday yang dia lantunkan…..juga bukan lagu Panjang Umur. Alunan lagu Ify terdengar begitu pelan dan menyayat. Ify memainkan biolanya dengan mata terpejam. Perlahan…dan syahdu….

Ify membuka mulutnya…dan dia mulai menyanyi diiringi permainan biolanya yang terdengar begitu sendu.

Aku ingin menjadi mimpi indah dalam tidurmu..
Aku ingin menjadi sesuatu yang mungkin bisa kau rindu
Karena langkah merapuh tanpa dirimu
Oh…karena hati tlah letih…

Alvin merasakan tubuhnya merinding. Jantungnya berdebar kencang. Tangannya mengepal kuat meresapi setiap lirik yang terucap. Ia tatap mata Ify yang terpejam dengn hati terasa diremas2.

Aku ingin menjadi sesuatu yang selalu bisa kau sentuh
Aku ingin kau tau bahwa ku selalu memujamu
Tanpamu sepinya waktu merantai hati
Oh….bayangmu seakan-akan….

Alunan biola Ify menggema di penjuru ruangan. Keras…terdengar sangat keras di telinga Alvin…tapi begitu lembut…menyentuh….
Dan hangat….
Hati Alvin menghangat….
Mata Alvin menghangat….

Kau seperti nyanyian dalam hatiku yang memanggil rinduku padamu
Seperti udara yang kuhela kau selalu ada

Ify menaikkan tempo gesekkan biolanya. Tubuhnya bergerak mengikuti irama yang semakin cepat

Hanya dirimu yang bisa membuatku tenang
Tanpa dirimu aku merasa hilang
Dan sepi…….


Gesekan biola Ify melambat…..Tangan Ify tak lagi bergerak cepat seperti tadi.

Dan sepiiiiii…….

Alunan biola Ify makin melambat dan terus melambat hingga akhirnya….

Tangan Ify berhenti…..Ify membuka matanya. Alvin masih terpaku menatap orang yang disayanginya di depan sana. Tangannya masih mengepal.

Ify meletakkan biolanya begitu saja di lantai. Ia berjalan mendekati Alvin….pelan…pelan sekali…..matanya nanar menatap Alvin yang masih menatapnya seolah mengatakan aku-sayang-kamu-Ify…. Hati Ify sakit menerima tatapan itu dari Alvin. Dia tak tega…..

Ify berdiri di hadapan Alvin. Alvin masih memandang wajahnya lekat2. Ify bisa melihat mata Alvin yang berair. Tidak sampai menetes memang. Tapi cukup membuat Ify merasa semakin bersalah.

Ify menundukkan badannya.
Tangannya merangkul pundak Alvin.
Ify memeluknya.

“Selamat ulang tahun Alvin……” Ify mengucapkannya pelan. Pelan sekali….seperti bisikan. Ify memeluk Alvin….sebulir air mata membasahi punggung Alvin.

Sunyi…..
Alvin terpaku…..
Tangannya menggenggam kuat. Dia tak balas memeluk Ify….tangannya terlalu gemetar untuk membalas pelukan Ify.

Setitik air mata jatuh membasahi lantai.
Bukan…bukan lantai di bawah Ify….juga bukan lantai di bawah Alvin…tapi lantai di bawah seseorang yang menatap mereka dari balik pintu.

Aren….

Entah apa yang sedang dia rasakan.
Sakit hati karena Alvin tak mempedulikannya?
Cemburu pada Ify karena Alvin lebih memilihnya?
Atau bahagia karena Alvin juga bahagia?

Tuhan menciptakan air mata bagi wanita agar mereka bisa meluapkan perasaannya. Dan perasaan Aren sudah tertuang disana…..Walaupun tak seorangpun bisa mengartikannya.

Ify masih memeluk Alvin. Ify menangis bukan karena dia bahagia. Tapi karena dia merasa berdosa.

Alvin masih terpaku. Kado terindah kedua dari Tuhan yang pernah dia dapat di hari ulang tahunnya. Kado pertama ketika dia mendapatkan seorang kakak. Dan sekarang, kado terindah dari orang yang sangat disukainya….

Sunyi….angin yang berhembus di luar….pelan sekali….sekali lagi….seolah mengatakan…..

“semoga berbahagia…..”

>>>>>>>>>>

18 Januari tahun berikutnya……..

Sivia menatap layar TV dengan pandangan kosong. Pikirannya melayang tak berada di tempat. Tangannya masih menggenggam remot yang sudah lebih dari 15 menit dia anggurkan.

Pikirannya tertuju pada Cakka….dan Rio…..

Cakka yang sampai sekarang tak pernah menyerah selalu datang padanya tapi sampai sekarang juga dia selalu menahan perih hatinya harus mengubur dalam2 perasaannya yang sudah meluap2. Apakah dia seorang playgirl? Yang mencintai dua orang sekaligus dalam satu waktu?

Rio yang selalu menyayanginya… menemaninya….. menyenangkannya…. membuatnya melayang karena semua perhatian dan rasa sayangnya. Tapi sampai sekarang dia tak pernah menyatakan perasaannya. Entah apa yang Rio pekirkan. Entah dia menganggap Sivia sebagai apa. Sampai kapan dia harus seperti ini. Bahkan sampai dia lulus SMA dan kuliah, walaupun masih di Jakarta juga, dia tak pernah sekalipun mengatakan suka pada Sivia.

Lalu Sivia harus menganggap Rio sebagai apa? Teman yang selalu menemaninya kemanapun dia pergi? Atau sahabat kerena selalu ada saat Sivia sedang sedih maupun senang? Atau sekedar kakak kelas yang selalu membantu Sivia mengerjakan soal2 kelas XII yang memusingkan? Atau sebagai kakak yang selalu melindungi dia dan memberikan motivasi padanya untuk tetap bersemangat? Harus dianggap apa Rio oleh Sivia?

Sivia merasa seperti orang bodoh yang lemah. Dia hanya bisa diam menahan sakit hati tanpa pernah berani mengutarakan apa yang dia rasakan. Sivia ingin sekali mengetahui apa yang Rio rasakan padanya. Tapi tak pernah sekalipun dia berani bertanya pada Rio secara langsung.

Biarkan mengalir….
kata2 bodoh yang selalu sok diucapkan Sivia dengan ketegaran palsunya.

Andai Sivia berani mengatakan bahwa dia ingin Rio mengungkapkan perasaannya.
Andai Sivia berani mengatakan bahwa dia sudah lelah terus menerus digantungkan seperti ini oleh orang yang sangat disayanginya.
Andai Sivia bisa mengatakan bahwa dia sudah bosan terus menerus dicaci maki oleh Shilla yang sudah berbulan2 tak pernah bosan mengganggu hidupnya.
Andai Sivia bisa mengatakan bahwa dia juga sangat mencintai Cakka dan rasanya ingin sekali memeluk Cakka andaikan Rio tak segera menyatakan perasaannya.
Andai Sivia bisa mengatakan bahwa dia sangat tersiksa dengan semua perasaan bersalahnya karena sudah menduakan hatinya walaupun tidak ia tunjukkan secara nyata.
Andai Sivia bisa mengatakan dia lelah dengan semua air mata yang terkuras habis disaat dia sudah harus mulai mempersiapkan ujian nasionalnya.

Betapa hati Sivia sangat sakit melihat Cakka setiap kali memohon padanya sekedar meminta untuk dibukakan pintu.
Betapa hati Sivia sakit setiap kali Rio hanya diam saat ada yang bertanya pada Rio sambil menunjuk Sivia “pacarnya ya mas?”
Betapa hati Sivia sakit setiap kali dia dibilang manusia tak punya hati, tak punya mata dan telinga, tak punya perasaan, perebut pacar orang, cewek ganjen, dan umpatan2 sadis dari Shilla.
Betapa hati Sivia sakit setiap kali dia harus melihat adiknya yang…..

ah….Alvin….kenapa harus dia????

Sivia benar2 tak ingin kalau sampai semua masalahnya dengan Rio dan Cakka membuatnya melupakan adik yang sangat amat disayanginya melebihi apapun. Ingin rasanya setiap hari Sivia menemani Alvin tanpa harus dibayangi perasaan sakit hati pada Rio, perasaan bersalah pada Cakka maupun rasa gelisah karena Shilla.

Alvin sangat membutuhkannya dan betapa egoisnya dia kalau lebih mengutamakan masalah COWOK daripada kebahagiaan adiknya sendiri. Dan juga satu hal yang sama sekali tak boleh dia lupakan. Dia adalah Sivia. Pemegang rekor ranking satu selama 5 semester berturut2. Apakah cuma gara2 masalah COWOK dia akan mengecewakan ortu angkatnya yang sudah sangat berbaik hati mau membiayainya.

Aaaaarrrgghhh!!!!!!!

Kepala Sivia terasa semakin berat memikirkan semuanya. Wajah2 itu tak mau pergi dari pikirannya. Terus, terus dan terus menghantui entah sampai kapan.

Tiba2 Sivia tersadar dari lamunannya.

Dia mendengar suara dari lantai atas. Sayup2. Pelan….
Seperti suara gitar.

Bukan…bukan gitar yang berbunyi membentuk suatu irama maupun lagu layaknya seorang gitaris handal. Bukan juga genjrengan layaknya seseorang yang sedang belajar memainkannya.
Bukan…..

Teng……

Teng….

Sivia mengerutkan keningnya. Dia bangkit dari duduknya dan beranjak menuju lantai atas tanpa mempedulikan TV yang sejak tadi didiamkan olehnya. Sivia menaiki tangga perlahan dengan telinga yang berusaha mendengar suara itu lebih jelas.

Sivia semakin mendekati sumber suara.

Kamar Alvin…..

Sura seperti petikan senar itu berasal dari kamar Alvin. Sivia membuka pintu perlahan. Dia mengintip ke dalam kamar Alvin.

Alvin duduk di kursi rodanya menghadap meja belajarnya. Di depannya, gitar kado dari Sivia di hari ulang tahunnya tergeletak begitu saja di atas meja. Tangan kanan Alvin tertelungkup di atas senarnya. Alvin menatap gitar itu dengan tatapan kosong. Jari telunjuk kanan Alvin memetik senar gitar di depannya tanpa melodi. Hanya satu senar….perlahan….dengan susah payah. Sedangkan tangan kirinya tergeletak lemas di pahanya.

“Mbak….” Mba Lani yang sedang duduk di tepi tempat tidur sambil memandangi Alvin sontak mengangguk pada Sivia yang memasuki kamar.

Mbak Lani adalah perawat yang digaji oleh Sivia untuk mengurus Alvin.

Ya….Alvin…..

dia tak bisa lagi berjalan…..tubuhnya tak bisa lagi bergerak. Bicaranya sudah tak lagi jelas. Bahkan makan pun dia tak bisa melakukannya sendiri. Waktu berlalu begitu cepat merenggut senyum adiknya. Mengambil semua kebahagiaan yang belum genap 2 tahun dirasakannya.

Sivia mengangguk pada Mba Lani.

Sivia berjalan perlahan mendekati Alvin. Ia menatap adiknya yang masih terus memetik satu senar gitar dengan susah payah.

 Sivia mengelus pundak adiknya. Alvin menghentikan gerak telunjuknya tapi tangan kenannya masih tetap tertelungkup di atas gitar. Dia tak bisa meletakkannya sendiri ke pahanya. Tadi saja Mba Lani yang membantunya meletakkan tangan kanannya di atas gitar.

“Alvin…..”

Alvin melirik perlahan pada Sivia yang berdiri di sampingnya. Dia tersenyum…pelan sekali, kemudian kembali menatap gitar di depannya.

Teng…..

Teng….

Jari telunjuknya memetik senar gitar itu lagi dengan susah payah. Matanya masih tertuju pada alat musik di depannya itu.

“Ke…..na….va….A….vin…..ka….ya….ki…ni….(kenapa Alvin kaya gini?)”
Alvin berusaha bicara dengan jari masih bersusah payah memetik gitarnya.
Air mata menggenang di pelupuk mata Sivia menatap adiknya.

“A….vin….ga….vi….sa…..ja….yan…..(Alvin ga bisa jalan)”
“A….vin…..ga….vi…sa…..ge….ak…..(Alvin ga bisa gerak)”
“ke…na….wa…..(kenapa?)”

Alvin bicara sangat pelan dengan pengucapan yang tidak jelas.

“co…..wa…..A….vin…ga….sa….ki…..A….vin…..pe…ngen….ma….in….gi…..tah…..sa….ma….ka….kak……(coba Alvin ga sakit, Alvin pengen main gitar sama kakak)”

“A…..vin…..”

Alvin menghentikan kalimatnya saat Sivia tiba2 mendekap bahunya dan menangis memeluknya.
Sivia tak bisa menahan perasaannya melihat adiknya seperti ini…

“Alvin….”
Sivia menyebut nama adiknya dengan hati terasa ditusuk2. Dia terus menangis mendekap bahu adiknya.

“A….vin….me….he…vot….kan…..(Alvin merepotkan)”

Sivia melepas pelukannya. Dia meletakkan tangan kanan Alvin yang sedari tadi tergeletak di atas gitar ke pangkuan Alvin. Kemudian Sivia memutar kursi roda Alvin agar menghadap padanya. Sivia duduk bersimpuh di hadapan adiknya.

Kedua tangan Sivia menggenggam kedua tangan Alvin di pangkuan adiknya itu. Mata Sivia yang memerah menatap wajah adiknya yang sayu dan pucat.

“Kakak sayang Alvin…..kakak sayang Alvin seperti apapun keadaan Alvin…..Alvin adik kakak yang paling kakak sayangi…..“

“A…..vin….sa…kit….a….va….(Alvin sakit apa?)“

Sivia menundukkan wajahnya. Ditariknya napas dalam2 masih dengan tenggorokan yang perih menahan isakan.

“Tuhan sayang sama Alvin………sayang banget…… terlalu sayang….. Sehingga Tuhan……. pengen……..“

Sivia tak mampu melanjutkan kata2nya……dadanya sakit.

“Tu….han…ve…ngen….a….va…..(Tuhan pengen apa?)”

“Tuhan sayang…..terlalu sayang……” Sivia semakin terisak di hadapan Alvin. Dia sudah benar2 tak mampu bicara.

Sivia mengangkat wajahnya yang sudah basah karena air mata. Perlahan Sivia mencium tangan adiknya yang pucat. Pelan sekali. Air mata Sivia membasahi punggung tangan Alvin.

Mba Lani menyeka air matanya melihat adegan di depannya.

Sivia terus menangis…..menangis dengan masih terus mencium tangan adiknya yang dingin dan pucat. Alvin hanya diam melihat kakaknya menangis di pangkuannya.

Angin….
lagi2 hanya bisa mendoakan….

“Semoga berbahagia…..”

>>>>>>>>>>

16 Mei pukul 13.00

Oik menggandeng tangan Sivia berjalan menuju ruang kelas dengan langkah gontai. Rio mengikuti di belakang mereka. Dia menatap punggung Sivia yang berjalan di depannya dengan tatapan penuh kekhawatiran.

Hari ini seluruh siswa kelas XII wajib cap 3 jari untuk ijazah. Oik belakangan ini sering ke sekolah untuk konsultasi ke BK mengenai perguruan tinggi. Biasanya Sivia juga akan ikut mencari informasi tentang universitas incarannya. Namun sudah 3 hari ini Sivia absen datang ke sekolah. Tapi khusus untuk hari ini Sivia memaksakan diri untuk datang.

Rio barusan yang menjemputnya di rumah sakit. Oik yang memintanya. Oik merasa sahabatnya itu butuh dukungan dari orang yang disayanginya. Rio segera mengiyakan karena dia sendiri juga khawatir dengan keadaan Sivia yang belakangan ini semakin memburuk. Selain itu saat menunggu Sivia cap 3 jari nanti dia juga bisa bertemu kangen sebentar dengan guru2 setelah hampir setahun dia lulus dari SMA itu.

begitu sampai di sekolah, Oik langsung menggenggam tangan sahabatnya yang wajahnya sudah benar2 terlihat sayu dan lelah.

Ya…..sudah 3 hari ini Sivia menghabiskan seluruh waktunya di rumah sakit. Apalagi kalau bukan untuk menjaga adiknya yang sudah koma lebih dari 75 jam. Ini kedua kalinya Alvin koma sampai berhari2. Sivia benar2 merasa sangat amat resah melihat keadaan adiknya yang sepertinya sudah tak mungkin lagi menunjukkan perubahan kondisi menjadi lebih baik.

Kalau saja Alvin koma saat Sivia belum Ujian Nasional, mungkin Sivia tidak akan lulus karena waktu belajarnya pasti tersita untuk adiknya.

Sivia merasa sudah mau pingsan sejak kemaren. Saat Dokter Danu kembali mengatakan bahwa tak ada lagi harapan. Sivia merasa seluruh badannya tak punya daya untuk kembali beraktivitas seperti biasa.

Entahlah….dulu dia begitu tegar menghadapi kepergian 3 orang tercintanya. Namun semua itu bukan berarti Sivia siap untuk yang keempat kan? Manusia mana yang mau mengalami semua itu berulang kali.

Sivia dan Oik memasuki ruang kelas. Sedangkan Rio hanya mengantar sampai di pintu. Setelah itu dia menuju ruang guru untuk sekedar mencium tangan beberapa guru yang dulu sudah membimbingnya. Tapi pikirannya masih tertuju pada Sivia.

Sekitar satu setengah jam kemudian Sivia dan Oik sudah selesai menunaikan kewajibannya. Oik menggandeng tangan sahabatnya menuju parkiran. Mereka akan menunggu Rio yang baru saja di sms oleh Oik.

“Vi…kamu pulang aja ya….” Oik masih menggenggam erat tangan sahabatnya.

“Ngga….aku mau balik ke rumah sakit aja. Kasihan Alvin ga ada yang nungguin.”

“Vi…disana tu ada Bi Oky.”

“Aku kakaknya dan Alvin kalau sadar pasti nyariin aku.” Sivia menatap mobil2 yang berjajar di parkiran dengan tatapan kosong.

“Vi…aku tau kamu khawatir sama Alvin. Tapi cobalah Vi kamu juga sayang sama diri kamu sendiri. Gimana coba perasaan Alvin kalau lihat keadaan kamu yang kaya gini waktu dia sadar? Bukannya seneng malah tambah sakit dia Vi. Dia tu sayang sama kamu Vi….”

Sivia masih terdiam dan tak mengalihkan pandangan matanya sedikitpun.

“Seenggaknya kamu istirahat lah dulu bentar di rumah. Tidur dulu beberapa jam. Biar badan kamu fresh lagi.”

Sivia masih tetap mengacuhkan perkataan Oik. Sampai tiba2.…

“EH!!!!!!!!!”

Sivia yang sedari tadi hanya diam sontak menengok ke sebelah kiri. Begitu juga dengan Oik. Dan begitu mengetahui siapa yang berdiri disana, mata Sivia terbelalak kaget. Pikirannya seolah bisa menebak apa yang akan terjadi selanjutnya.

“Shilla??”

Oik terkejut begitu mengetahui bahwa orang yang berdiri di depannya sekarang ternyata adalah orang yang bernama Shilla, yang selalu Sivia ceritakan kepadanya sebagai pengganggu hidupnya.

Shilla tau kalau hari ini Sivia pasti datang ke sekolah karena cap 3 jari yang hukumnya wajib. Dia sudah berniat ingin menegaskan sekali lagi sakit hatinya pada Sivia. Dia benar2 nekat tanpa mempedulikan harga dirinya sendiri.

“Loe belum kapok juga ya jadi cewek ganjen?” Shilla mulai mengeraskan volume suaranya.

“Bisa ga sih ga usah teriak2 di tempat umum kayak gini?” Sivia berkata dengan pelan tapi tampak menahan emosi karena kedatangan Shilla di saat yang sangat amat tidak tepat dan dengan cara yang sangat amat tidak menyenangkan.

“Bodo….biarin semua orang tau kalau lo tu cewek ganjen yang suka ngrebut pacar orang!!!“ Shilla justru semakin mengeraskan volume suaranya sehingga membuat anak2 yang lalu lalang di sekitar mereka menengok. Benar2 pertaruhan harga diri. Baik harga diri Shilla maupun Sivia.

“Aku lagi males ribut sama kamu Shil.” Siva menjawab masih dengan nada pelan. Tapi wajahnya menyiratkan perasaan tidak nyaman.

“Peduli amat!!! Lo udah bikin gue sakit hati karena lo udah ngrebut Rio dari gue!!!”

“Eh…yang ngrebut Rio dari kamu tu siapa? Tanya dong sama dia kenapa dia mutusin kamu?” Oik mulai terpancing emosinya melihat ulah Shilla pada sahabatnya yang kondisinya sedang tidak sehat.

“Diem lo! Lo ga berhak ikut campur disini.”

“Aku berhak! Kamu yang ga berhak bentak2 orang sembarangan kayak gini tau!!!” Oik menatap Shilla tajam.

“Gue ga ada urusan sama lo ya. Eh Vi… Gara2 lo yang kecentilan Rio jadi menjauh dari gue!!!” Shilla yang semula melotot pada Oik kemudian mengacung2kan telunjuknya tepat kedepan wajah Sivia.

“Shil, coba kamu tanya sama Rio. Masih mau ngga dia sama kamu?” Sekarang ganti Oik yang terus membalas umpatan Shilla karena Sivia yang hanya diam diperlakukan seperti itu oleh Shilla.

“Heh!!! Nglunjak ya lo!!! Denger ya…. Rio tu punya gue dan dia ga berhak…..”

“BUKAN!!!!”

Shilla menengok kaget saat mendengar suara orang yang dikenalnya.

“Rio??” Urat wajah Shilla mengendur saat melihat Rio, tapi sesaat kemudian amarahnya kembali meluap.

“Aku bukan punya kamu dan aku bebas ngatur hidupku sendiri….” Rio menatap Shilla tajam. Anak2 di sekitar mereka melihat peristiwa itu dari tempatnya masing2. Tak ada yang berani mendekat apalagi turut campur.

“Kenapa sih kamu selalu ngebelain dia Yo?” Urat2 Shilla kembali menegang.

“Karena Sivia ga salah dan kamu udah marah sama orang yang salah!!!”

“Tapi dia udah ngrebut kamu dari aku Yo!!!”

“Harusnya kamu marah bukan sama Sivia. Harusnya kamu marah sama diri kamu sendiri. Aku mutusin kamu karena semua keegoisan dan sifat genit kamu sama temen2 cowok kamu itu ngerti?????” Rio berteriak keras dihadapan Shilla.

“Rio?????” Shilla merasa seperti ditampar dimuka umum begitu mendengar kalimat Rio.

“Mendingan kamu pergi dan ga usah ganggu2 Sivia lagi!!!”

Shilla sejenak terdiam tampak berpikir.
“Kenapa sih Yo??? Emang cewe ini siapamu? Pacar????”

Shilla sengaja melempar pertanyaan itu karena dia tau Rio dan Sivia belum jadian.

Dan tanpa diduga kalimat itu berhasil membuat Rio terdiam menatap Shilla. Ditatapnya wajah Shilla dan Sivia bergantian.

“Dia bukan pacar kamu kan???” Shilla mempertegas pertanyaannya.

Jantung Sivia berdebar menunggu jawaban dari Rio. Pertanyaan yang hampir sama dengan pertanyaan2 lain yang selama ini diajukan pada Rio. Oik berdiri terpaku di sampingnya.

“bukan….” Raut wajah Rio berubah lesu.

“Terus kenapa kamu ngebelain dia seolah dia itu pacar kamu? Kamu suka sama dia??? Naksir???”

Anak2 di sekitar mereka turut menunggu jawaban dari Rio walaupun beberapa dari mereka ada yang tidak mengenal Rio, Shilla, Sivia maupun Oik. Pokoknya ada tontonan gratis aja.

Rio terdiam. Sejenak matanya memandang Sivia tapi kemudian bergantian memandang Shilla. Dia tak juga menjawab. Shilla masih menatap Rio tajam menunggu apa jawabannya.

“Vi!!!” Oik memanggil namanya begitu Sivia yang tak sabar menunggu jawaban Rio tiba2 melangkahkan kakinya meninggalkan tempat itu. Oik berlari mengikuti di belakangnya.

“Anterin aku pulang, Ik…”

Oik yang sudah berjalan sejajar di sampingnya langsung mengangguk dan buru2 mengeluarkan kunci mobilnya.

Dan sialnya satu hal yang Sivia inginkan saat itu tak terjadi seperti apa yang dia bayangkan. Sungguh saat itu dia ingin sekali Rio mengejarnya dan mancegah dia pergi. Tapi kenyataannya…Rio hanya berdiri terpaku di tempatnya sambil terus memandangi Sivia yang semakin menjauh dari pandangannya. Hatinya memang tak ingin Sivia pergi. Tapi keinginan tanpa tindakan tak akan pernah  berarti apapun Yo.

Sampai mobil Oik keluar dari parkiran pun Rio tetap tak bergeming dari posisinya. Setelah mobil Oik tak lagi tampak barulah dia memalingkan wajahnya pada Shilla dan menatap tajam Shilla yang tersenyum karena merasa menang.

“Sial!!!!!!” Rio mengatakannya langsung di hadapan muka Shilla dan setelah itu dia buru2 berjalan menuju mobilnya sendiri dan memacunya dengan agak tergesa2. Shilla tak mengejarnya. Dia sudah merasa menang hari ini. Dan jangan disangka dia akan menyerah hanya sampai disini.



 Rio menyadari tindakan bodohnya tadi bisa menghancurkan semua yang telah dia bangun. Tapi entah kenapa hingga semuanya jadi serumit inipun rasa gengsinya tetap tak bisa dia kesampingkan. Bahkan hanya untuk sekedar mancegah Sivia pergi. Kenapa dia tak bisa menjadi seperti aktor2 sinetron yang akan menggenggam tangan orang yang dicintainya untuk mencegahnya pergi. Kemudian dia akan mengatakan perasaannya yang sesungguhnya lalu mereka akan hidup bahagia selamanya. Ah….. Sebenarnya dia ini cinta atau tidak pada Sivia…..



Mobil Oik memasuki halaman rumah Sivia. Sivia turun dengan terburu2 kemudian langsung berlari memasuki rumah menuju kamarnya di lantai atas.

“Vi…” Oik mengejarnya tapi Sivia terlanjur menutup pintu kamarnya tanpa mempedulikan Oik yang mencoba mencegahnya.

“Vi buka Vi…..Vi kamu jangan kayak gini dong….Vi….” Oik mengetuk2 pintu kamar Sivia berkali2 tapi Sivia sama sekali tak menyahut. Oik mulai khawatir.

“Vi plis buka dong……Sivia….” Oik tetap berusaha membujuk Sivia agar dia mau membuka pintu tapi Sivia tetap tak mau menjawab panggilan sahabatnya.

“Vi aku mohon kamu jangan kaya gini. Crita dong Vi…..“ Oik menunggu sesaat. Tetap tak ada jawaban.

“Oke….aku bakal tetep nunggu kamu di lantai bawah sampai kamu mau buka pintu. Plis Vi….” Tetap tak ada jawaban. akhirnya Oik pun turun dan memutuskan menunggu di ruang tengah yang terletak tepat di dekat tangga.

>>>>>>>>>>

Sudah jam setengah 8. Oik baru saja selesai sholat isya‘. Dan sudah sejak tadi Oik mengetuk2 pintu kamar Sivia untuk mengajaknya sholat tapi Sivia tetap tak mau membuka pintunya. Sebenarnya sedang apa Sivia di kamarnya. Haruskah dia meminta Pak Oni untuk mendobrak kamar Sivia.

Oik mondar mandir di depan pintu kamar Sivia. Dia bingung harus berbuat apa.

“Mbak……”
Oik yang masih melamun di depan pintu kamar Via tersentak kaget saat Pak Oni memanggilnya dari belakang.

“Iya Pak?”

“Anu Mbak…itu di luar ada temennya Neng Via katanya. Saya ga berani langsung nyuruh masuk. Neng Via belum mau buka pintu ya Mbak?”

          “Iya nih Pak, Sivia masih ga mau jawab. saya juga bingung. Mmmm…..tamunya siapa ya Pak?”

Segalanya Pasti Berujung (PART 11)


Jantungnya berdesir, tubuhnya merinding menatap wajah orang yang duduk tak jauh dari tempatnya berdiri.
 Sivia berdiri mematung….

sosok di hadapannya menghentikan ketukan tangannya di kursi dan sontak berdiri dari duduknya begitu mengetahui Sivia sudah berdiri tak jauh dari tempatnya.

Mereka berdua saling menatap dengan luapan perasaan yang tercermin dari sorot mata masing2.

Sivia menangis.
Air matanya reflek mengalir saat mengetahui siapa yang sedang dihadapinya. Sivia menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Badannya terasa lemas.

“Via!!!” Sosok itu menubruk tubuh Sivia dan memeluknya erat sekali. Rasa rindu yang teramat sangat membuatnya tak peduli lagi dengan segala sesuatu. Saat ini yang dia inginkan hanyalah memeluk Sivia seerat dan selama mungkin.

Air mata Sivia semakin gencar meluncur. Kini dia terisak dalam pelukan tamunya. Ia tak tau kenapa dia seperti ini. Jantungnya tiba2 saja terasa berdebar dan matanya terasa panas. Bukankah seharusnya dia menyambut tamunya, tapi kenapa dia justru menangis……

Sivia benar2 merasakan ada luapan perasaan aneh yang tiba2 menyergap tubuhnya. Dan sekarang dia rasanya ingin menangis sepuasnya di dalam pelukan tamunya itu. Entah karena apa dia sendiri tak mengerti.

Sementara tamunya itu juga memeluknya semakin erat. Sivia bisa merasakan tangannya gemetar dan dia juga merasakan seperti ada luapan perasaaan dari orang yang memeluknya sekarang.

“Cakka….” Sivia menyebut nama itu dengan bergetar diselingi isakan dan guncangan tubuhnya semakin menjadi.

Cakka memeluknya semakin erat. Air mata Sivia membasahi dada Cakka yang memeluknya erat sekali.

“Via…..aku merindukanmu….aku mencarimu Via….aku mencarimu….” Cakka merasakan detak jantungnya berpacu berpadu dengan detak jantung Sivia yang sudah tak karu2an.

Tak ada lagi yang bicara. Hanya ada isakan Sivia dan pelukan erat Cakka.
Beberapa menit dalam diam, tiba2 Sivia menjauhkan dirinya dari pelukan Cakka. Sivia menatap Cakka masih dengan mata sembab.

“Via….” Cakka menatap mata Sivia lekat2. Tatapan mata tulus yang tak pernah berubah sejak dulu. Tatapan mata yang selama ini sempat terlupakan oleh Sivia.

Wajah Cakka buram dalam pandangan Sivia karena air mata yang menggenang di pelupuknya.

“Bagaimana kau bisa menemukanku?” Sivia menghapus sendiri air mata dipipinya.
“Aku………aku melihatmu di TV. Aku melihat adikmu….aku melihatmu Via, aku menemukanmu…..aku ….aku menemukanmu…..” Cakka bicara terbata2 gugup. Dia begitu senang bisa bertemu lagi dengan orang yang sangat dirindukannya.

“Pulanglah Cakka…”
Cakka kaget mendengar kalimat Sivia.
“Aku…aku merindukanmu Vi…..”
Sivia menggigit bibirnya. Dia ingin memeluk Cakka tapi dia tak mungkin melakukannya. Dia ingat kalau sudah ada Rio yang mengharapkan dirinya. Tapi Sivia tak bisa memungkiri bahwa dia pernah mencintai Cakka dan masih mencintainya sampai sekarang.

“Pulanglah….” Sivia harus membohongi perasaannya sendiri.

“Tapi Vi….”

“Pulanglah Cak…” Sivia berlari masuk ke dalam rumah dan bergegas hendak menutup pintu tapi Cakka menahannya.
“Vi….aku pengen ngomong sama kamu Vi…Via…” Cakka menahan pintu yang hendak ditutup oleh Sivia.

“Pulanglah Cakka….” Sivia berteriak dari dalam. Dia mendorong pintu lebih kuat hingga tertutup lalu menguncinya dari dalam.
“Vi!!! Via!!!! Buka Vi…” Cakka mengetok dari luar tapi Sivia tak mempedulikannya. Dia jatuh terduduk bersandar di pintu dengan berurai air mata.
Cakka tak terdengar memanggil2 namanya lagi. Beberapa saat kemudian terdengar suara mobil yang menjauh dari halaman rumahnya. Sivia terisak memeluk lutut di belakang pintu.

Tiba2...

“Kak…..” Suara lemas Alvin mengagetkan Sivia dari isakannya. Sivia sontak menoleh ke arah sumber suara yang sudah berdiri beberapa meter di depannya.

“Eh…Vin…Kok turun?” Sivia segera berdiri dan buru2 menghapus air matanya.

“Kakak kenapa nangis???” Alvin berjalan mendekati kakaknya dengan tatapan khawatir.

“Alvin kenapa turun?” Sivia tak menjawab pertanyaan Alvin.

“Kakak lama….Alvin ga mau sendirian….” Alvin menatap mata Sivia sayu.
Sivia akhirnya tersadar bahwa tadi dia meninggalkan Alvin dalam keadaan sedang shock berat.
“Kakak kenapa?” Alvin masih penasaran.

“Gapapa…ayo….ganti bajunya…udah kusut begitu…” Sivia menggandeng tangan Alvin ke lantai atas.
Alvin hanya mengikuti langkah Sivia sambil terus memandangi mata kakaknya yang sembab.
Sivia menemani Alvin sampai dia tertidur. Setelah merapikan selimut adiknya, Sivia berjalan gontai ke kamar. Bayangan wajah Cakka menari2 di pelupuk matanya.

Sivia tak menyangka Cakka akan hadir lagi dalam hidupnya.
Cakka adalah orang yang dulu sangat disukainya…..Dia masih belum bisa menghilangkan perasaannya pda Cakka. Tapi bagaimana dengan Rio. Dia tak ingin menyakiti hati Rio yang sangat menyayanginya walaupun mereka baru sekedar HTS.

Tapi hati Sivia amat sakit harus membohongi dirinya sendiri.
Dia masih sangat menyayangi Cakka. Jika dia membiarkan Cakka masuk lagi dalam kehidupannya, dia tak bisa membohongi dirinya bahwa hatinya pasti lebih memilih Cakka. Dia harus membunuh perasaannya pada Cakka.

Sivia terisak di kamarnya teringat pertemuannya dengan Cakka malam ini.
“Cakka…..” Sivia menyebut nama Cakka lirih sama seperti saat dia menyebut nama itu 3 tahun yang lalu saat mereka masih SMP. Perasaan yang harus dipendam karena suatu alasan.

>>>>>>>>>>

6 hari lagi GF akan digelar. Alvin benar2 berusaha mati2an berlatih vokal. Apapun akan dia lakukan agar suaranya bisa lebih baik. Dia mendapatkan semangat dari orang2 terdekatnya. Dia memang sempat terpuruk karena kejadian di pentas dulu. Tapi support dari Sivia, teman2 sekelasnya, fans2 nya, Aren, Ozy, dan bahkan Ray saingannya di GF juga mendukungnya dengan semangat menggebu2.

Setiap hari Alvin bergantian berlatih dengan Pak Duta dan Aren. Aren pernah mengajaknya ke studio musik ayahnya dan meminta ayahnya untuk melatihnya. Pak Duta mencari berbagai cara agar anak didiknya itu bisa menyanyi dengan baik.

Tiada hari tanpa latihan…..

>>>>>>>>>>

Sejak hari Rabu kemaren Alvin dan Sivia menginap di salah satu hotel di Jakarta Barat. GF akan diadakan di salah satu gedung di daerah itu. Dan akan disaksikan langsung oleh Gubernur DKI. Kontes menyanyi ini memang akan memperebutkan piala bergilir dari Gubernur. Tapi GF ini tidak untuk umum. Hanya para pendukung, keluarga dan orang2 lingkup SMP saja yang bisa menyaksikan.

Dan untuk keperluan latihan, para finalis disewakan hotel di dekat situ sehingga akomodasinya tidak merepotkan.

Sekarang hari Sabtu, Alvin pulang dari latihan terakhir sebelum GF besok.
Rio yang mengantar mereka hari ini.
Jam 3 sore mereka kembali ke hotel…..Alvin sepertinya sudah kelelahan. Ray tadi sudah pulang duluan sementara Alvin, Sivia dan Rio mampir dulu ke rumah makan. Alvin sudah merengek2 minta sate sejak kemaren. Tapi mereka belum sempat membelikannya.

Mobil Rio berhenti di depan hotel tempat Alvin dan Sivia menginap.

“Kamu ke kamar dulu aja Vin…cepetan istirahat. Kakak ngambil barang2 di bagasi dulu.”

“Biar Alvin bantuin Kak….” Alvin menutup pintu mobil dan hendak melangkah ke bagasi.
“Ga usah Vin kamu ke kamar aja dulu. Biar kakak sama Kak Rio aja yang bawa.” Sivia menarik bahu Alvin dan menjauhkannya dari bagasi.
Alvin cuma manyun tapi akhirnya meraih kunci yang diacungkan Sivia dan melangkah juga ke dalam hotel.

Sivia mengambil barang2 yang tadi mereka bawa saat latihan. Tidak banyak sih….hanya beberapa tas kecil, sehingga cukup Sivia saja yang membawa. Setelah semua barang keluar dari bagasi, Sivia segera menyusul Alvin masuk ke dalam sementara Rio memarkir mobilnya.

Sivia berjalan di lorong lantai satu menuju lift yang berada di pojok. Kamar mereka di lantai 3. Dia menenteng tas punggung Alvin yang berisi baju ganti dan beberapa kantong makanan.

Beruntung saat itu lift sedang sepi sehingga Sivia bebas meregangkan tubuhnya yang pegal karena duduk berjam2 menemani Alvin.

Sudah sampai di lantai 3. Lift pun terbuka. Sivia melangkah keluar dari lift hendak menuju kamarnya yang ada di pojok. Tapi saat keluar dari lift dia menghentikan langkahnya kaget. Tak jauh dari kamarnya ada gerombolan orang2 yang tampak sedang meributkan sesuatu. Terdengar suara orang membentak dan memaki.

Alangkah kagetnya Sivia saat dia mengetahui siapa yang ditunjuk oleh orang yang sedang memaki itu.

“Alvin???”

Alvin tampak terpojok dikepung kurang lebih 5 orang yang menatapnya dengan pandangan menyeramkan. Wajahnya tampak bingung dan takut.

Sivia berjalan bergegas ke arah mereka. Tapi belum sampai dia di tempat itu tiba2.…

PLAKK!!!!

Salah satu orang itu menampar pipi Alvin.

“Alvin!!!!” Sivia yang tadi berjalan cepat sekarang berlari ke arah adiknya. Tas2 yang dibawanya dia buang begitu saja.
Sivia berlari ke arah Alvin. Begitu dia sampai dia langsung memeluk kepala adiknya yang tampak ketakutan.

“Heh…apa2an ini?” Sivia melindungi Alvin yang sepertinya sebentar lagi akan diberi tamparan susulan.
“Eh….kalian pasti nyuap kan? Suara adekmu jelek begitu kok bisa2nya masuk GF?”

“Eh kalian ini siapa? Berani2nya nampar Alvin.”

Sivia menatap gerombolan orang itu dengan tatapan marah. Tapi dia langsung tau siapa mereka saat membaca tulisan “RAY” di kaos mereka yang juga ada sablonan foto Ray. Ternyata mereka fansnya Ray.

“Kalau sampai Ray kalah gara2 kalian yang tukang suap ini, kami ga akan rela.”

Seseorang dari mereka berusaha menjambak rambut Alvin yang masih berada di pelukan Sivia. Badan Alvin gemetar.
Cepat2 Sivia menepis tangan orang itu.

“Eh jangan macam2 ya…”
 Tapi massa itu sudah tak terkendali. mereka semua berusaha meraih Alvin yang berada dalam pelukan Sivia. Sivia berusaha mendekap adiknya erat2 berusaha agar tangan2 itu tak mampu menjangkau bagian tubuh manapun dari Alvin. Tapi Sivia tetaplah seorang perempuan. Dia tak sekuat itu mampu menghadapi keroyakan 5 orang di hadapannya.

Beberapa dari mereka berusaha menarik tangan Alvin, menjambak rambutnya, bahkan mendorong2 tubuh mereka.

“Jangan!!! Tolong!!!” Sivia berteriak tapi tak ada satu orangpun yang keluar dari sekian banyak kamar di lorong itu. Sivia kwalahan. Alvin yang berada dalam pelukannya sudah menangis ketakutan. Badannya ditarik2.

Pintu kamar di sebelah kamar Alvin terbuka. Sosok Ray keluar dari dalam. Sepertinya dia mendengar kegaduhan di dekat kamarnya. Dia kaget saat melihat Alvin dan kakaknya dikeroyok oleh orang2 dengan kaos bergambar dirinya. Ray segera berlari menghampiri mereka. Bersamaan dengan itu…

“Woeeeiii!!!!” Rio datang dan langsung menepis tangan2 liar yang mengeroyok Alvin dan Sivia.

“Bawa Alvin ke kamar Vi!” Rio menahan orang2 itu sementara Sivia bergegas membawa Alvin menjauh dari mereka dan menuju kamarnya.

Rio berusaha menghadang orang2 yang berusaha mengejar Alvin dan Sivia.
Ray yang melihat keadaan itu tiba2 berteriak kencang

“Berhenti!!!!” Sontak orang2 itu menghentikan aktivitasnya yang saling baku hantam.
Ray berjalan ke arah mereka dengan tatapan marah.

Begitu sampai di hadapan mereka dia berkata dengan tegas.

“Aku ga mau punya fans seperti kalian!!!!”
Setelah menyelesaikan kalimatnya Ray langsung berlari menyusul Alvin ke kamarnya disusul oleh Rio. Orang2 itu terdiam di tempatnya.

Rio dan Ray segera masuk ke kamar Alvin. Tampak Sivia masih memeluk Alvin yang sudah menangis kejang. Sivia dan Alvin masih berdiri di dekat pintu.

“Vin…udah Vin…mereka udah ga ada..” Sivia menenangkan adiknya walaupun sebenarnya dirinya juga panik.

Tubuh Alvin bergetar hebat. Isakannya semakin keras terdengar. Sivia mendekap adiknya. Tangannya mengelus pipi Alvin yang tadi ditampar oleh orang2 rese itu dan sekarang basah karena air mata.

Rio dan Ray terpaku tak jauh dari mereka.

Sivia memeluk Alvin erat2. Tiba2 dia merasakan tubuh Alvin memberat dan tiba2 Alvin merosot jatuh.

“Alvin!!!!” Sivia berteriak panik.
Rio sontak mengangkat tubuh Alvin dan membaringkannya di kasur.

“Rio…bawa ke rumah sakit Yo…”
“tenang Vi…dia cuma pingsan….ambilin minyak kayu putih aja kalau ada Vi…”
Sivia segera berlari ke kotak obat dan mengambil minyak kayu putih. Ia membaukan minyak itu ke hidung Alvin dan tak lama kemudian Alvin mulai bergerak. Badannya berkeringat dingin, wajahnya pucat, tangannya masih gemetar.
Sivia mengelus2 rambut adiknya dengan wajah panik.

“Tenang Vi…tenang…Alvin gapapa…dia cuma butuh istirahat…”
Sivia yang mendengar kalimat Rio bukannya tenang malah justru menangis menatap Alvin yang gemetaran.

“Vin…..” Ray duduk di samping ranjang. Ia menggenggam tangan sahabatnya berusaha turut menenangkan.

“Alvin ga mau menang…..Alvin ga mau…..Alvin mau pulang….pulang…”
“Vin…..” Sivia mengelus rambut Alvin dan menggenggam tangan adiknya erat2. Alvin terus mengigau dengan mata yang masih terpejam. Air mata menetes dari sudut matanya. Sivia merasakan tangan Alvin yang dingin dan gemetar. Badan Alvin juga berkeringat dingin.

Sivia menatap Rio. Wajahnya tampak panik.

“Pulang….pulang Kak….”

Air mata Sivia sudah menganak sungai melihat keadaan adiknya seperti itu. Ingin rasanya dia memutar kembali waktu dan dia tidak akan mengijinkan Alvin ikut lomba itu. Atau kalau tidak, ingin rasanya dia bertukar posisi dengan Alvin. Biar dia yang menderita penyakit laknat itu sehingga Alvin tak perlu kehilangan kemampuan menyanyinya seperti sekarang.

Sivia terus mengelus rambut Alvin. Rio duduk di sampingnya berusaha menenangkan. Sementara tangan Ray masih mengenggam erat tangan sahabatnya itu.

>>>>>>>>>

Minggu pagi….

Alvin duduk di kasur memeluk kakaknya. Dia sudah mengenakan pakaian show lengkap, rambutnya juga sudah rapi siap tampil. Tapi dia malah mendekam di pelukan kakaknya dengan wajah seperti ketakutan.

Ray duduk di sebelahnya. Dia menatap Alvin yang masih didekap oleh Sivia.

“Alvin takut Kak…”
“Alvin….Alvin sudah berlatih keras sampai hari ini. Alvin sudah berusaha dan berdoa. Kakak, dan semua orang yang mendukung Alvin juga pasti mendoakan Alvin. Alvin pasti bisa.”

“Iya Vin….jangan diinget2 lagi orang2 jahat yang kemaren itu. Kamu pasti bisa Vin.” Ray menyemangati sahabatnya. Dia tak tega melihat Alvin diperlakukan seperti kemaren. Sama fansnya pula. Ah….mencoreng nama baik saja sih mereka ini.

Alvin melepaskan pelukannya. Dia menatap Ray.

“Kamu harus menang Ray….” Nada bicara Alvin terdengar lesu.

Ray dan Sivia kaget mendengar penuturan Alvin…

“Kok gitu Vin? Kita kan bakal berjuang bersama. Kamu juga punya kesempatan buat menang kok.”

“Tapi mereka semua maunya kamu yang menang. Mereka benci sama aku.” Alvin bicara pada Ray dengan wajah putus asa.

“semua??? apa kamu ga peduli sama fans2 kamu? apa kamu pikir mereka ga pengen liat kamu menang? Fans aku pasti pengennya aku yang menang. Begitu juga dengan fans kamu pasti pengennya kamu yang menang. Kita berdua punya kesempatan Vin. Kita bakal berjuang bareng kan?”

Entah dari mana tiba2 Ray bisa mengeluarkan kata2 itu. Kedewasaan yang terpendam.
Alvin menatap Ray dengan dahi berkerut.

“Tuh…dengerin kata Ray….Alvin juga punya kesempatan untuk menang. Orang2 kemaren itu cuma orang2 sirik yang mau membuat Alvin nyerah dan putus asa. Alvin pasti bisa ngebuktiin kalau mereka itu salah. Doa kakak selalu buat kamu Vin…” Sivia mengelus pundak adiknya.

“Ayolah Vin…kita berjuang!!!!” Ray menarik2 tangan Alvin dengan wajah manja imutnya.

Alvin menatap Ray. Ray merangkul pundak sahabatnya itu.

“Kita berjuang….“ Ray mengacungkan jari kelingking kanannya ke depan Alvin.

Alvin menatap kelingking Ray yang teracung di depan mukanya dan akhirnya dia pun tersenyum dan mengaitkan jari kelingking kanannya ke kelingking Ray, Mereka siap berangkat……

>>>>>>>>>>

Di lokasi GF….

Ada Oik, Rio, Ozy, Acha, Aren dan Ify di antara kursi penonton walaupun mereka tak duduk berdekatan. Sementara Sivia duduk di kursi khusus pendamping.

Acara dibuka dengan penampilan dari 2 juara lomba itu di tahun2 sebelumnya. Setelah itu ada penampilan dari band tamu. Setelah berbasa-basi sejenak tibalah saatnya penampilan dari Ray. Ray menyanyikan lagu Lelaki Hebat dan dia menyanyikannya sambil bermain drum.

Penonton berdecak kagum dengan penampilan anak yang satu ini. Permainan drumnya tidak mempengaruhi suaranya yang tetap terdengar bagus dan menghibur.

Bapak Gubernur saja bertepuk tangan saat menyaksikan Ray mengebuk drumnya penuh semangat.

Derai sorak sorai penonton mengiringi Ray yang turun dari panggung
Tapi begitu nama Alvin disebut, suasana justru hening. Dengung bisikan mulai terdengar disana sini.

“marilah kita sambut penampilan dari Alvin!!!!!”
Hanya tepuk tangan pendukung Alvin yang menggema. Sementara yang lainnya menatap Alvin dengan sinis.
Sivia menundukkan kepalanya. Tangannya mengatup memanjatkan doa.

Aren menatap Alvin dengan jantung berdebar tak karu2an.matanya sudah menghangat menatap wajah Alvin yang tak mampu menutupi kegelisahannya.

Rio melihat ke arah Sivia yang masih tetap menunduk.

Musik mulai mengalun. Sekarang Aren benar2 menangis. Lebay memang. Tapi hatinya terasa diremas2 melihat Alvin yang tampak gugup. Aren menutup mulutnya dengan sebelah tangannya. Dia tak bisa membayangkan kalau sampai kejadian kemarin terulang lagi setelah segala usaha yang mati2an dilakukan Alvin.
“Ya Tuhan….kumohon…”

Dari kejauhan Ify menatap Aren dan Alvin bergantian. Mencoba mencerna apa yang dirasakan Aren. Ify mencoba memahami arti pandangan Aren pada Alvin. Dan dia menarik kesimpulan yang tepat. Aren menyukai Alvin.

Alvin memejamkan matanya.
“Ku mohon Tuhan…sekali ini….kumohon…..”

Alvin terbayang segala usahanya, semua latihannya, semua tamparan, cacian dan makian yang diterimanya.
“Ku mohon Tuhan….”
“Ibu……doakan aku…..”

Alvin membuka matanya dan mulai melantunkan syair lagunya.

Minta ampun aku, atas kesalahanku
Minta ampun aku, atas dosa2ku

Aku bukan siapa siapa
Aku hanya manusia, Yang tak lepas dari kesalahan

Ku serahkan hidupku padaMu
Tuhan ampuni aku
Ku memohon padaMu, Tunjukkan jalanMu

“Alviiiiiiiiinnnnn!!!!!!“ Teriakan fans Alvin menggema di penjuru ruangan.
Sivia mengangkat wajahnya yang tertunduk. Dia mengatupkan kedua telapak tangannya menutupi mulutnya. Air matanya menetes mendengar suara Alvin.
“Alvin bisa…..Alvin bisa…..Ya Tuhan…..” Sivia berkata lirih.
Sivia menatap Alvin yang menyanyi dengan penuh penghayatan. Tak ada seorangpun yang tau bahwa saat itu dari sudut mata Alvin pun sudah menetes sebutir air mata.
Dia bernyanyi dengan merasakan sakit hatinya atas segala perlakuan yang dia terima. Betapa sakit hatinya dengan semua cacian dan makian yang tertuju padanya. Betapa mereka semua tidak mau mengerti dia hanya seorang anak yang tak pernah meminta untuk mengalami hal seperti ini.

Betapa dia menyanyikan lagu itu dengan perasaan sakit yang tak pernah mereka semua tau.

Aren….Sivia…orang2 yang tau betul seperti apa perjuangan Alvin benar2 merasa Tuhan memberikan karuniaNya. Betapa mereka merasakan merinding di sekujur tubuhnya saat mendengar Alvin mampu menyanyikannya dengan sangat baik.

Semua penonton hanyut dalam syair yang terlantun. Termasuk orang2 yang pernah memaki dan mencerca Alvin. Suara Alvin terasa seperti menampar dan menyadarkan betapa egoisnya mereka selama ini.

Ku seeeeraaaahkaaaan hidupku padaMu
Tuhan ampuni aku….
Ku memohon padaMu
Tunjukkan jalanMu…..

Tunjukkan jalanMu…………

Alvin mengakhiri lagunya dengan mata terpejam.

“Alviiiiiinnnnn!!!!!!”
Sontak seisi ruangan bergemuruh mengiringi Alvin turun dari panggung. Ray langsung memeluk sahabatnya itu.

“Kamu berhasil Vin…kamu bisa….” Ray berkata penuh semangat.
Alvin masih mengepalkan tangannya yang terasa dingin karena gugup. Ray masih menggoyang2kan tubuh Alvin saking senangnya.

Aren memuji nama Tuhan berkali2. Dia sangat bersyukur. Alvin bisa melakukannya. Semua senang. Ozy, Pak Duta, Ify, Sivia, Oik, dan Rio juga.

Dan tibalah saatnya pengumuman siapakah yang berhak menjadi pemenang. Bapak Gubernur sendiri yang akan membacakan pemenangnya. Beliau sudah berdiri di atas podium dengan membawa amplop hijau berisi nama pemenangnya. Penonton menantikan dengan harap2 cemas.

“Dan yang berhak menjadi pemenangnya adalah…..”
Bapak Gubernur membuka amplop itu perlahan, membacanya sebentar, kemudian mendekat ke mike.

DEG DEG DEG……backsound suara jantung ngena banget.

Alvin dan Ray bergandengan di tengah panggung.

“Alviiiiiin!!!!!!!”

Huaaaaaa!!!!!!!! Seisi ruangan bergemuruh meneriakkan nama jagoannya. Ray reflek memeluk sahabatnya itu. Tak ada sedikitpun rasa tidak terima dalam hatinya. Dia tau Alvin pantas mendapatkannya.

Pak Gubernur menyalami Alvin dan menyerahkan piala juara 1 nya.
“Silahkan….Alvin ingin memberikan beberapa patah kata mungkin….” Pembawa acara memberikan mike kepada Alvin. Ruangan langsung sunyi senyap.

“Puji syukur pada Tuhan atas karuniaNya yang begitu indah…..Eeeee…..terkadang kritikan itu bisa menumbuhkan semangat bagi orang yang menerimanya walaupun kadang sakit hati juga saat mendengarnya…..Mmmmm….Terima kasih buat kakak yang selalu mendukungku, buat Ozy dan Ray sahabatku, Buat pendukungku yang selalu mendoakan dan memberikan semangat, untuk Aren dan Pak Duta yang sudah banyak membantuku, dan semuanya yang mungkin ga bisa aku sebutkan satu persatu. Dan untuk orang yang kusayangi, Ify…..Terima kasih….”

Ify kaget Alvin menyebut namanya sebagai orang yang……disayangi???? Ify sontak melihat ke arah Aren di kejauhan. Dan benar saja. Aren terpaku di tempat duduknya. Ia tertunduk. Mata Aren nanar menatap lantai. Penonton yang berdiri di depan, belakang dan sampingnya membuat tubuhnya terbenam. Aren merasakan ada sesuatu yang meremas jantungnya.

Setitik air membasahi lantai yang ditatap Aren. Air matanya jatuh.
Ify melihatnya…..
Ia melihat Aren yang menangis…
Karena dia…..

Alvin mengangkat pialanya dan melempar senyum pada semua orang yang hadir disana. Suasana hening tiba2 terpecahkan oleh suara tepuk tangan dari salah satu penonton di deretan pendukung Ray.
Alvin ingat wajah itu….dia salah satu dari orang yang mengeroyoknya di hotel kemarin. Dia memberikan tepuk tangan dengan tulus disusul oleh gemuruh tepuk tangan dari semua yang hadir.

Di rumah Alvin….

“Cieeee Ify nih ye…..” Sivia mencolek2 pipi adiknya yang lagi menyisir rambutnya di depan kaca di kamarnya.

“Isshhh…apaan sih Kak…” Alvin menyisir rambutnya dengan muka merona.

“Untuk orang yang kusayangi…Ify..” Sivia menirukan gaya Alvin saat mengucapkannya.

“Ih….kakak nyebelin Ih….” Alvin manyun digodai kakaknya seperti itu.

“Ahahai….adikku lagi jatuh cinta nih ceritanya. Owhh….jadi Ify tu orang yag kamu suka ya….Hm hm hm….”

“Ih kakak!!!!” Alvin tersipu malu mendengar candaan cacanilla. Dia sendiri juga tak menyangka dia berani mengucapkan itu di depan umum tanpa sadar.  sementara Sivia tertawa puas melihat muka adiknya memerah tomat.

Happy ending kan???
Iya bagi Sivia dan Alvin….
Tapi sad ending untuk Aren dan Cakka…
Dan menggantung untuk Rio dan Ify….

>>>>>>>>>>

4 bulan kemudian….

Sudah 4 bulan semenjak  GF.
Alvin menjalani hari2nya seperti biasa bersama kedua sahabatnya. Hanya saja kondisi fisiknya mulai mengalami banyak penurunan. Dia semakin sering terjatuh, sering pingsan, sering menjatuhkan barang, bicaranya mulai sulit dicerna dan semua kejanggalan2 yang sudah dijelaskan Dokter Danu di awal dulu.

Terlepas dari kondisi fisiknya, semua kembali seperti semula. Dia seringkali mengintip Ify latihan biola setiap hari Jumat. Tak ada lagi alasan baginya untuk menemui Ify. Apalagi gara2 dia ngucapin makasih buat Ify di panggung GF kemaren. Baru deketan sama Ify dikit aja, mulut cablak teman2nya langsung nyorakin ga karu2an.

Sementara Aren tetap memandangi Alvin dari kejauhan. Dia juga tak ada lagi alasan untuk bersama Alvin. Seringkali Aren menangis diam2 jika dia melihat Alvin sedang berdiri di pintu ruang musik sambil memandangi Ify dengan tatapan sukanya. Dia juga tak tahan setiap kali ikut nimbrung bareng Alvin dan sahabat2nya. yang dibahas selalu Ify. Walaupun Acha dan Ozy tak ikut2an karena mereka tau Aren suka pada Alvin.

Sivia masih terus menerima sms teror GJ dari Shilla. Cakka selalu datang ke rumahnya setiap hari Sabtu, tapi setiap kali itu pula dia tak pernah mau menemuinya, dan setiap kali Cakka datang Sivia pasti menangis meratapi perasaannya. Semakin sering dia menangis karena Cakka, semakin dalam pula perasaan Sivia padanya dan semakin terkikis pula perasaannya pada Rio.

Tapi mau bagaimana lagi. Kalu ditanya lebih suka mana antara Cakka dan Rio. Sivia pasti menjawab Cakka. Tapi dia tak mungkin begitu saja meninggalkan Rio setelah apa yang dia berikan.

Sivia sendiri juga bingung harus bagaimana. Rio begitu baik dan bisa membuat hatinya damai jika bersamanya. Sementara Cakka adalah cinta pertamanya yang sampai sekarang belum bisa dilupakannya. Berat jika harus melepas salah satu. Tapi tak mungkin juga menggenggam keduanya.

>>>>>>>>>

Minggu pagi…….

Sivia menuruni tangga dengan santai. Hari ini terasa begitu damai. Hari ini tumben Sivia bangun lebih pagi dari biasanya. Begitu membuka matanya dia langsung membuka gorden kamarnya dengan gaya anggun ala bintang iklan. Kemudian sok menghirup napas dalam2 seperti menikmati udara pegunungan yang sejuk. Tumben bangun tidur dia langsung mandi dan berdandan rapi.

“Hari minggu yang menyenangkan. Ah….Mari kita nonton TV” Sivia bicara sendiri saat menuruni tangga.
Sivia menuju ruang TV dengan semangat. Saat melewati almari kaca yang terpajang di ruang tengah, Sivia berhenti sejenak dan memandang ke dalamnya dengan senyum terkembang. Sebuah piala tanda kemenangan Alvin di pentas menyanyi 4 bulan yang lalu terpajang anggun di tengah almari. Sivia terkenang kembali segala lika liku perjuangan adiknya itu untuk bisa mendapatkannya.

“Eh….Alvin udah bangun belum ya? Udah jam segini harusnya dia udah bangun.” Sivia berbalik arah dan kembali ke lantai atas menuju kamar Alvin.

“Vin!!” Sivia mengetuk pintu Alvin.
Tak ada jawaban.….
“Vin kakak masuk ya?” Sivia memang selalu khawatir kalau adiknya sudah tak bersuara di dalam kamar. Makanya Sivia melarang Alvin mengunci kamarnya sehingga kalau ada apa2 Sivia bisa langsung masuk.

Perlahan Sivia membuka pintu dan melongokkan kepalanya ke dalam kamar mengintip dimana adiknya berada.
Sivia yang tadi sempat khawatir langsung lega begitu melihat adiknya masih berselimut di atas kasur.

“Yah…masih molor.”
Sivia berjalan ke arah jendela lalu menyibakkan gordennya lebar2 sehingga sinar matahari masuk dengan bebas menerangi seisi kamar itu dan membuat pandangan menjadi silau.

Setelah itu dia berjalan mendekati tempat tidur Alvin lalu menepuk2 tubuh adiknya pelan.
“Bangun dong Vin udah siang nih….”
Alvin ga segera beranjak dari alam mimpinya.
Sivia mencari cara agar adiknya itu mau bangun.

“Aha!!!!” Sivia bergaya layaknya ilmuwan yang menemukan ide untuk percobaan besar. Dia menemukan satu ide yang pasti langsung akan membangunkan adiknya itu dari tidurnya. Langsung ngomel2 kalau perlu Alvinnya.
Sivia cengingisan sendiri di samping Alvin yang masih terlelap.

Perlahan Sivia mendekatkan wajahnya ke kepala Alvin. Dia mendekatkan bibirnya sedekat mungkin dengan telinga Alvin kemudian dia bisikkan sesuatu.

“Bangun dong sayang….” Sivia mengatakan kalimat itu dengan nada bisikan mesra yang GJ.

Setelah Sivia membisikkan mantra mautnya, dia malah ketawa ketiwi sendiri. Tapi kemudian dia berhenti tertawa karena Alvin yang ga respek sama sekali dengan kalimat mesra penuh cintanya tadi.

“Tumben…..ga ngomel. Wah…ga bisa pake cara halus…perlu dikasarin nih….”
Sivia menarik selimut yang menutupi badan Alvin kemudian menggoyang2kan badan adiknya cukup keras.

“Alvin bangun sih……Udah siang ini….” Sivia menggoyangkan tubuh adiknya makin keras tapi Alvin tak juga mau membuka matanya.

Sontak Sivia merubah ekspresi jahilnya menjadi wajah serius.

“Vin???” Sivia menarik punggung adiknya yang tidur miring agar menghadap padanya. Dan alangkah kagetnya Sivia saat melihat darah keluar dari hidung Alvin. Sivia akhirnya menyadari adiknya tidak sedang tidur.

“Alvin????” Sivia mulai panik. Ditepuknya perlahan pipi adiknya yang pucat.
“Alvin!!!! Bi!!!!” Sivia memangku kepala adiknya yang ternyata benar2 pingsan.

“Ya Tuhan….Alvin!!! Alvin bangun Alvin….” Sivia mengelus2 rambut adiknya.
“Bibi!!!!!”

Bi Oky berjalan tergopoh2 memasuki kamar Alvin.

“Iya Neng?”
“Bi!!!! Panggilin Pak Joe. Alvin pingsan…bawa ke rumah sakit Bi…” Air mata Sivia sudah tak terbendung lagi menatap mata adiknya yang terpejam.
“Iya…iya Neng…” Bi Oky berjalan buru2 dan berteriak memanggil Pak Joe.

“Alvin…..Alvin bangun Alvin…….” Sivia memeluk kepala adiknya yang terkulai lemas. Tangannya merah karena darah dari hidung Alvin. Tak lama kemudian Pak Joe datang memasuki kamar Alvin.

“Pak tolong Pak….” wajah Sivia benar2 panik dan sangat amat khawatir. Buru2 Pak Joe membopong tubuh Alvin dan segera membawanya ke mobil untuk diantar ke rumah sakit. Sivia mengikuti di belakangnya sambil menutupi mulutnya dengan kedua telapak tangannya menahan tangis dan rasa takut.

“Cepet Pak….” Sivia di jok belakang mendekap tubuh adiknya dengan badan gemetar. Jarak rumah sakit terasa begitu jauh kali ini.

Begitu sampai Pak Joe langsung membopong tubuh Alvin yang terkulai dan membawanya ke IGD. Dokter jaga segera menangani Alvin. Sivia menunggu di luar ruangan dengan perasaan panik dan ketakutan luar biasa. Tak lama kemudian Oik yang di sms oleh Sivia datang dan langsung memeluk sahabatnya yang terus menangis.

>>>>>>>>>>

Karena kejadian itu Alvin koma selama 4 hari. Sivia benar2 panik. Tiap hari dia menangis di samping tubuh adiknya yang sama sekali tidak bergerak. Rio dan Oik setiap hari menemani Sivia menunggui Alvin. Sedangkan Cakka, Sivia sudah berpesan pada Bi Oky untuk tidak memberi tahu dimana Alvin dirawat.
Sekarang dia hanya ingin berkonsentrasi pada adiknya.

Bersyukur akhirnya Alvin bisa bangun lagi. Tapi semenjak itu Alvin tidak bisa jalan. Dia harus menggunakan kursi roda kemanapun dia pergi. Badannya sudah semakin lemah. Wajahnya sekarang tampak lebih pucat.

Alvin tak mau disuruh home schooling. Dia ngotot mau tetap di sekolahnya yang biasa. Ray dan Ozy bergantian membantu Alvin mendorong kursi rodanya di sekolah.

Alvin hanya tau dia menderita sakit yang menyebabkan kakinya lumpuh. Sivia yang memberitahunya dengan terpaksa saat Alvin bertanya padanya dengan sangat ngotot. Tapi Sivia tidak menjelaskan apa saja yang akan dia alami karena penyakit itu. Dia tak mau membuat adiknya putus asa.

Alvin tak bisa lagi main bola, tak bisa lagi main basket, ga bisa lagi jalan2 bebas bersama teman2 nya. Alvin jadi sering melamun dan wajahnya sering tampak sedih.

Alvin semakin kesulitan dengan segala keterbatasannya. Sudah 2 bulan dia menggunakan kursi roda dan dia sudah sering sekali merepotkan orang2 di sekitarnya.

Sivia selalu memberikan semangat pada adiknya. Dia akan berpidato membara di hadapan Alvin, tapi begitu masuk ke kamar dia akan menangis sepuasnya meratapi nasib adiknya. Dan sekarang kotak masuk pesan di Hpnya hanya berisi 3 nama. Oik dan Rio dengan kalimat2 motivasi mereka, dan Shilla dengan segala umpatan, cacian, makiannya tanpa mempedulikan keadaan Sivia sekarang.

>>>>>>>>>

Aren berjalan menyusuri lorong sekolah yang sudah sepi itu sendirian. Suara detak sepatunya menggema di antara dinding2 kelas di samping kiri kanan lorong.

Langkahnya pelan seakan tak tau arah tujuannya. Sebenarnya dia tau harus kemana. Hanya saja dia ragu apakah dia akan benar2 menuju kesana.

Mata Aren menatap ruangan di depannya yang semakin lama semakin mendekat. Rasanya ingin berbalik arah.

Dia berhenti di depan ruangan musik. Ia bersandar di dinding luar dekat pintu. Dia akan menunggu.

15 menit kemudian mulai terdengar ribut2 dari dalam. Disusul dengan rombongan anak2 yang bergantian keluar.
Sudah sejauh ini. Aren tak mungkin kembali. Aren berdiri di depan pintu. Dia sudah siap. Ditunggunya orang yang hendak dia temui. Tampak dia sedang membereskan tasnya di dalam ruangan. Setelah selesai dengan barang2nya sosok itu melangkah keluar dengan menenteng biolanya.
Langkahnya terhenti saat melihat Aren berdiri di depan pintu sambil memandangi dirinya.

“Aren???”

Aren tersenyum pada Ify.

“Kamu…..nunggu aku?” Ify berkata ragu takut dibilang GR sok ada yang nungguin.

Aren hanya mengangguk pelan pada Ify.
“Boleh ngomong bentar kan?” Entah kenapa Aren merasa deg2an berhadapan dengan Ify. Ada rasa takut, aneh, dan……mmmmm……apa ya…..itu tuh…..anu……cemburu……

“Iya boleh. Duduk disitu aja ya.” Ify menunjuk bangku di luar kelas yang menghadap ke kolam ikan di depan ruang musik.

Sekali lagi Aren hanya mengangguk. Merekapun duduk disana berdua.

“Mau ngomong apa Ren?”
Aren menarik napas dalam2. Wajahnya yang tertunduk perlahan mulai mengarah pada Ify. Dia menatap Ify dengan wajah serius.

“Fy…..” Aren menggantung kata2nya. Ify penasaran juga kenapa Aren bertingkah seperti itu.
“Iya?”

“Tanggal 20 nanti Alvin ulang tahun….”

Heh??? Alvin??? Apa maksudnya tiba2 dia datang dan ngomongin Alvin?

“Maksudnya?” Ify mengerutkan keningnya.

“Dengerin aku jelasin dulu ya….” Aren menatap Ify dengan wajah penuh harap.

Ify mengangguk.

“Fy…..4 hari lagi Alvin ulang tahun. Tanggal 20. Aku cuma pengen minta satu hal sama kamu. boleh ga aku minta kamu untuk…….ngasih kado special buat dia? Terserah kamu mau ngasih kado apa tapi jangan bilang aku yang nyuruh. Aku mohon…buat dia bahagia di hari itu. Aku mohon Fy….” Aren menatap mata Ify dengan tatapan penuh permohonan. Ify kaget mendengar permintaan Aren. Setelah dirasa penjelasan Aren cukup, Ify mulai angkat bicara.

“Kenapa?” Ify bertanya dengan suara pelan. Dia bisa menangkap raut kesedihan dari wajah Aren.

“Karena dia suka padamu. Kamu tau kan?”

Ify kaget juga Aren langsung to he point ngomong begitu padanya.

“Aku…..mmmm….iya…aku ngerasa…..tapi kan aku….”

“Fy kumohon….” Tanpa disangka2 Aren menangis di hadapannya. Wajahnya tampak memelas benar2 berharap pada Ify.

“Kenapa kau tidak jujur?”
Aren tertegun tiba2 Ify bertanya seperti itu.
“Kenapa kau tidak jujur kalau kau menyukainya? Kenapa tidak kau saja yang membuatnya bahagia di hari ulang tahunnya? Kenapa harus aku?”

Jantung Aren serasa berhenti berdetak mendengar pertanyaan Ify yang benar2 dalam menusuk hatinya.

“Karena dia menyukaimu….Aku….aku hanya teman baginya…..”

“Bahagia itu tidak harus selalu diberikan oleh orang yang disukai. Teman pun bisa memberikan bahagia baginya.”

“Kumohon Fy….”
Aren sadar apa yang dikatakan Ify itu benar, tapi hatinya tetap bersikukuh dengan keputusannya.

“Kumohon….” Aren menundukkan kepalanya seperti orang yang memohon.

“Aren jangan gitu dong.” Ify memegang bahu Aren dan menegakkan kembali badannya. Dia tak enak diperlakukan seperti itu.

“Iya….aku akan melakukan apa yang kamu minta….”

“Makasih Fy…makasih….” Aren menjabat tangan Ify erat sekali. Wajahnya tampak begitu lega.

“Kau sangat menyayanginya….”
Aren kaget tiba2 Ify mengucapkan kalimat itu. Ia tertegun tapi segera membuyarkan lamunannya dan kembali menjabat tangan Ify erat.

“Makasih ya Fy makasih….Aku senang kau mau mengerti. Makasih ya Fy….kalau kamu butuh bantuanku untuk mempersiapkan kadomu, aku siap melakukan apa saja. Makasih ya Fy….” Aren berkata penuh semangat. Ify tak habis pikir ada orang yang rela menyerahkan orang yang disukainya begitu saja pada orang lain. Ify hanya tersenyum pada Aren.

“Yaudah kalau gitu….aku pulang dulu ya…..makasih banget Fy…makasih banget……” Aren menjabat tangan Ify sekali lagi lalu melangkah meninggalkan Ify.
Saat Aren memalingkan wajahnya dari Ify, bersamaan dengan itu pula meneteslah air matanya. Tapi Aren melangkahkan kakinya dengan tetap berusaha tersenyum walaupun pipinya sudah basah.
‘Aku harus bisa….’

Ify masih duduk terpaku menatap Aren yang semakin menjauh.

>>>>>>>>>

Senin tanggal 20 September…..

Baru kursi rodanya saja yang turun dari mobil, beberapa anak perempuan sudah langsung menyerbunya. Padahal Alvinnya sendiri belum nongol dari dalam mobil. Mereka mengucapkan selamat ulang tahun pada Alvin, beberapa anak memberikan kado padanya. Di sepanjang perjalanan ke kelas, tangan Alvin sampai pegal menjabat tangan anak2 yang mengucapkan selamat padanya. Ray yang mendorong kursi roda Alvin juga ikutan kena imbasnya. Sekarang tasnya penuh dengan kado2 buat Alvin yang sudah ga cukup lagi dibawa pake tangan.

Pagi tadi Sivia, Bi Oky, Pak Joe dan Pak Ony sudah berdiri di depan pintu kamarnya dan langsung menyodorkan kue dan menyanyikan lagu selamat ulang tahun begitu Alvin membuka pintu. Sivia memberikan sebuah kado berukuran besar yang setelah dibuka ternyata adalah sebuah gitar. Sivia membelikannya walaupun dia tau Alvin tidak bisa memainkannya. Apapun yang Alvin minta pasti diturutin lah sama Sivia. Ayah dan Ibu di Sidney juga telfon tadi pagi mengucapkan selamat ulang tahun pada Alvin setelah sebelumnya Sivia sms mengingatkan mereka. Maklum, kesibukan membuat mereka tak mengingat hari2 seperti itu.

Di kelas, begitu Alvin masuk, tanpa disangka2 semua anak sudah hadir. Mereka semua berdiri menyanyikan lagu Happy Birthday untuk Alvin. Ada sebuah kue besar yang sepertinya hasil patungan anak2 sekelas. Alvin sudah mau mewek liat perlakuan teman2 nya. Tapi dia tahan.

Sementara anak2 cewek sudah berkaca2 saat menjabat tangan Alvin yang pucat. Malah ada yang menangis sambil memeluknya. Entah dia benar2 sedih atau cuma cari kesempatan saja. Banyak yang terharu hari itu.

Saat istirahat, Ozy, Acha dan Aren ngasih surprise di taman sekolah. Mereka memberikan kado2 masing2. Aren menyanyikan lagu Happy Birthday dengan suara kualitas papan atas eksklusif di hadapan Alvin.

Sekarang di pojok ruangan kelas Alvin sudah bertumpuk bungkusan warna warni dari anak2 satu sekolahan. Mungkin nanti dia akan meminta Pak Joe mengangkutnya ke mobil. Setiap kali tadi ada guru yang masuk, pasti langsung ditanyai,dan akhhirnya guru itu juga ikut memberikan selamat pada Alvin. Yaiyalah….kadonya menggunung begitu apanya yang ga mencolok mata.

Pulang sekolah……

From : Ify
“Jangan pulang dulu ya. Aku mau ngomong. Bentar lagi aku ke kelasmu.”

Alvin menatap layar Hp nya dengan senyum tersungging. Jantungnya mulai deg2n penasaran Ify mau ngomong apaan.

“Vin….Pak Joe udah di sms blm? Buset dah…aku aja ultah kagak pernah dapet kado menggunung begini.” Ray menatap tumpukan kado di pojok kelas sambil geleng2 kepala.

“Ho’oh” Ozy ikutan manggut2 liat tumpukan kado yang dimasukin bagasi mobil aja entah muat atau ngga.

“Eh…mmm…maaf ya, kalian pulang duluan aja ya. Aku mau ada urusan bentar sama Ify….”

Ray dan Ozy berbarenagn menengok pada Alvin. Ozy menyipitkan matanya menatap Alvin, sementara Ray mengerutkan kening dan menatap Alvin curiga.

“Ciee…cieeee….senangnya hatiku turun panas demamku. Kini aku bermain dengan riang.” Ozy menari2 GJ. Persis banget kayak anak TK. Tinggal ngasih tas punggung gambar spongebob sama ngalungin botol minuman gambar Dora, persis banget dah tuh.

Alvin cuma bisa senyum2 sambil garuk2 kepala. Mukanya yang putih, bersih, mulus dari lahir langsung memerah tomat digodain begitu.

“Vin….” Panggilan dari pintu membuat mereka bertiga langsung kicep.
Alvin udah salting ga karu2an.

Ozy langsung narik Ray.
“Vin…kita pulang dulu…ati2.…inget umur Vin….jangan macem2.…” Ozy menarik Ray keluar kelas sambil ngedipin sebelah matanya ke Alvin yang udah mematung di kursi rodanya.

Ify masuk ke kelas Alvin dan menghamiri Alvin yang deg2an ga karu2an.

“Ikut aku bentar ya Vin?”

Alvin mengangguk pelan. Ify pun mendorong kursi roda Alvin keluar kelas.